Tuesday 31 May 2011

Manfaat Mempelajari Filsafat



          Dalam pelajaran-pelajaran permulaan,sering mahasiswa bertanya : “Untuk apa kita belajar filsafat?”, “Apa manfaat filsafat?”, dan “Apa filsafat berguna bagi saya dalam hidup saya?”. Banyak filosof yang memikirkan soal-soal ini. Sidney Hook, dalam suatu makalah tentang filsafat mengatakan bahwa kita akan dapat mengetahui filsafat itu dengan menyelidiki manfaatnya. Ia menunjukkan bahwa filsafat bukannya aktivitas yang member jawaban-jawaban pasti terhadap pertanyaan, akan tetapi sebagai aktivitas yang mempersoalkan jawaban-jawaban.

          Kegagalan untuk memperoleh suatu jawaban yang pasti kadang-kadang menyebabkan rasa frustasi. Walaupun begitu, kita tetap berpendirin bahwa manfaat yang besar dari filsafat adalah untuk menjajagi bidang pemecahan yang mungkin terhadap problema filsafat. Sekalipun pemecahan tersebut sudah diidentifikasi dan diperiksa, akan lebih mudah untuk menghadapi problema dan akhirnya untuk kita mengadakan pemecahan sendiri. Agar dapat menjadi efektif dalam tugasnya, seorang filosof harus dapat melampaui cara berpikir yang biasa agar dapat menghadapi munculnya problem baru yang tidak dapat diharapkan sebelumnya. Dengan begitu, pertama, kita dapat menjawab untuk sementara akan pertanyaan: “Mengapa kita mempelajari filsafat?”, dengan menunjukkan perlunya mempersoalkan hal yang tradisional, konvensional dan yang sudah melembaga.

          Kedua adalah untuk  menunjukkan bahwa ide itu merupakan satu dari hal-hal yang praktis didunia. Ide-ide falsafi mempunyai relevansi yang langsung dengan kejadian-kejadian hari ini. Umpamanya, konsepsi filsafat tentang watak manusia, tentang jiwa manusia atau personality, tentang kemerdekaan kemauan, semua itu membentuk pengalaman kita sekarang. Kita pernah mendengarkan kata-kata : “Apa yang menjadi kepercayaan seseorang itu tidak penting selama ia melakukan hal-hal yang benar”. Hal ini berarti bahwa sebagian orang mempunyai kecenderungan untuk menilai tindakan-tindakan diatas keyakinan dan kepercayaan. Akan tetapi ide adalah dasar dari tindakan dengan pasti, kecuali jika ia percaya suatu prinsip. Sebagai yang kita ketahui, bahwa komunisme mungkin tidak akan lahir seandainya Karl Marx tidak meletakkan dasar-dasarnya dalam filsafatnya, sekali orang menerima ide-idennya, sudah dapat ditentukan bahwa ide-ide tersebut harus diekspresikan dengan tindakan.

          Dengan sadar atau tidak, kita harus mengakui bahwa filsafat itu adalah suatu bagian dari keyakinan kita dan tindakan kita berdasarkan atas keyakinan  tersebut. JIka kita ingin mengambil suatu keputusan secara bijaksana dan suatu tindakan secara konsisten, maka kita perlu menemukan nilai-nilai dan arti benda-benda, kita perlu memecahkan persoalan kebenaran atau kebohongan, keindahan atau keburukan, kebenaran atau kesalahan. Pencarian ukuran dan tujuan adalah suatu bagian yang penting dari tugas filsafat. Filsafat mementingakan aspek benda-benda secara kualitatif. Filsafat tidak mau menganggap sepi suatu aspek yang otentik dari pengalaman kemanusiaan dan berusaha untuk merumuskan ukuran dan tujuan-tujuan dengan cara yang sangat sesuai dengan akal.

          Manfaat filsafat yang terpenting adalah kemampuannya untuk memperluas bidang-bidang keinsafan kita, untuk menjadi lebih hidup, lebih bergaya, lebih kritis, dan lebih cerdas. Dalam beberapa lapangan pengetahuan spesialisasi terdapat sekelompok fakta yang jelas dan khusus, mahasiswa diberi problema sehingga mereka dapat memperoleh kemampuan untuk mendapatkan jawaban yang cepat dan mudah. Akan tetapi dalam filsafat terdapat pandangan yang berbeda-beda dan harus dipikirkan, dan ada pula problema-problema yang belum terpecahkan tetapi penting bagi kehidupan kita. Dengan begitu maka rasa keheranan si mahasiswa, rasa ingin tahu dan kesukaannya dalam bidang pemikiran akan tetap hidup.

          Sebagaimana yang dikatakan oleh para filosof zaman purba, filsafat adalah mencari kebijaksanaan. Kita mengerti bahwa seseorang mungkin memiliki pengetahuan yang banyak tetapi tetap dianggap orang bodoh yang berilmu. Dalam zaman kita yang penuh dengan kekalutan dan ketidakpastian, kita memerlukan ilmu pengarahan (sense of direction). Kebijaksanaan akan memberi kita ilmu tersebut, ia adalah soal nilai-nilai. Kebijaksanaan adalah penanganan yang cerdik terhadap urusan-urusan manusia. Kita merasakan tidak enak dari segi pemikiran jika kita dihadapkan pada pandangan dunia yang terpecah-pecah dan terbaur. Tanpa kesatuan pandangan dan response, jiwa kita akan terbagi, filsafat akan sangat berguna bagi kiata karena ia memberikan kita integrasi dalam membantu kita mengetahui arti dari eksistensi manusia.

Tujuan filsafat

          Kita hidup dalam suatu periode yang mirip dengan tahap-tahap terakhir dari kebudayaan Greko-Romawi, Renaissanse, Reformasi dan Revolusi industry, dimana terjadi perubahan besar dalam cara manusia berpikir, dalam nilai dan praktek. Terjadi perubahan-perubahan yang mengenai dasar-dasar kehidupan manusia dan masyarakat. Sekarang manusia memiliki kemampuan yang sangat besar untuk menguasai alam dan ruang angkasa. Manusia telah melakukan loncatan-loncatan raksasa dalam bidang sains, teknologi pertanian, kedokteran, ilmu-ilmu social dan pendidikan. Dalam abad ini, khususnya dalam dasa warsa terakhir, kita menyaksikan kemajuan pengetahuan manusia, lelaki dan perempuan hidup lebih panjang, bepergian lebih cepat, memiliki kenikmatan dan alat-alat yang menghemat tenaga serta menghasilkan bahan yang lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat. Perkembangan zaman mesin jelas akan menghilangkan kelelahan jasmani, menambah produksi dan mengurangi jam kerja. Kemampuan untuk menguasai sumber-sumber energy dari atom, matahari, ombak laut serta angin akan menjelmakan dalam kehidupan kita perubahan-perubahan yang diluar khayalan kita.

          Akan tetapi disamping kemajuan-kemajuan yang menakjubkan, banyak pemikir yang resah dan gelisah. Mereka memikirkan situasi dimana kekuatan fisik kita, serta pengetahuan ilmiah dan kekayaan kita berada dalam keadaan kontras dengan kegagalan pemerintah dan individualis untuk memecahkan persoalan-persoalan kehidupan dari segi intelektual dan moral. Pengetahuan menjadi terpisah dari nilai, telah tercapai kekuatan yang besar akan tetapi tanpa kebijaksaan.

          Kejadian-kejadian pada beberapa dasa warsa yang akhir ini menunjukkan bahwa ada kesalahan-kesalahan dalam cara mengurus urusan-urusan manusia. Manusia telah memperoleh kekuatan yang besar dalam sains dan teknologi, tetapi sangat sering mempergunakan kekuatan-kekuatan itu untuk maksud-maksud yang destruktif. Manusia telah memperluas jangkauan dan kuantitas pengetahuan tetapi belum dapat mendekati ideal-ideal individualitas dan realisasi diri. Mereka telah menemukan cara-cara untuk memperoleh keamanan dan kenikmatan, pada waktu yang sama mereka merasa tidak aman dan merasa risau oleh karena mereka tidak yakin akan arti kehidupan mereka dan tidak tahu arah mana yang mereka pilih dalam kehidupan itu.

          Abad ke-20 berbeda dengan abad-abad sebelumnya dengan adanya perang ide disamping perang manusia, material, dan kepentingan-kepentingan nasional yang saling bertentangan. Filsafat-filsafat yang tidak dapat dikompromikan berlomba-lomba mencari penganut. Pada permulaan abad ini perbedaan antara kehidupan dalam Negara-negara demokrasi dan Negara fasis tidak merupakan perbedaan dalam teknologi atau sains atau pendidikan umum.Perbedaan itu adalah dalam ide-ide dasar, ideal dan loyalitas. Dengan cara yang mirip, komunisme telah melemparkan tantangan-tantangan terhadap kepercayaan-kepercayaan dan ideal kita serta memperkeras perjuangan bagi pikiran dan hati manusia.

          Tajuk-tajuk rencana, makalah-makalah, buku-buku, film dan komentator televise bersatu dalam mengajak kita untuk meluruskan arah masyarakat kita. Mereka merasa bahwa kita hanyut tanpa kepemimpinan moral dan intelektual. Sudah jelas bahwa zaman kita adalah zaman yang penuh dengan ketidakseimbangan social dan personal. Kita tidak tahu bagaimana cara membentuk masyarakat yang murni yang akan memberi kepuasan dan harapan bagi anggota-anggotanya. Pada waktu yang sama kita menuntut untuk mengurus kepentingan kita sendiri, kemudian kita menyesalkan usaha kita untuk mendapatkan rasa kesepian. Kebudayaan kita telah sering di-diagnosa,mereka yang melakukan diagnosis itu pandai dalam memberitahukan ciri-ciri berbagai penyakit, akan tetapi jarang ada yang mengusukan obatnya. Yang disetujui oleh  kebanyakan ahli kritik bahwa sudah tiba saatnya untuk melakukan perubahan.

          Perubahan dalam adat kebiasaan dan sejarah biasanya dimulai dengan adanya sekelompok orang yang akan menilai sesuatu yang ideal atau yang menarik oleh pandangan cara hidup yang lain. Setelah abad pertengahan banyak orang yang mulai memikirkan cara hidup yang didasarkan atas keyakinan bahwa hidup didunia ini, pada dasarnya perlu dihayati. Dalam arti yang sangat luas, keyakinan semacam itu telah memungkinkan terjadinya Renaissanse, Reformasi dan timbulnya dunia modern dengan pabrik-pabriknya, produksi secara besar-besaran, uang dan bank, transfortasi yang cepat, tenaga atom dan eksplorasi luar angkasa. Dengan semua hal tersebut dimaksudkan untuk menjadikan dunia ini lebih baik dan untuk memberikan kepada manusia kekuasaan yang lebih besar terhadap alam. Akan tetapi jikakita dapat mengetahui watak manusia secara konsisten, watak masyarakat umum dimana manusia hidup, dan beberapa patokan nilai yang didasarkan atas hal-hal yang lebih tinggi daripada keinginan-keinginan manusia, maka cirri-ciri dunia modern tersebut diatas tidak dapat member dasar yang kukuh bagi dunia kita. Filsafat dengan bekerja sama dengan ilmu-ilmu lainnya, dapat memainkan peran yang sentral dalam memimpin kita kearah keinginan-keinginan dan aspirasi-aspirasi baru.

          William Barret dalam bukunya yang berjudul the illusion of technique, mengatakan bahwa pada waktu sekarang lebih daripada waktu yang lain dalam sejarah, kita harus menempatkan teknik ilmiah dalam hubungan baru dengan kehidupan. Sebagai telah kita katakan masyarakat kita semakin dipengaruhi oleh ahli-ahli sains dan pengetahuan lain yang mengikuti aliran behaviorism (tidak membicarakan nilai). Baret yakin bahwa filsafat modern harus menjawab tantangan teknik dan teknologi, kalau tidak, kemanusiaan akan kehilangan tujuan, arah dan kemerdekaan.

          Sekarang, tiap orang akan mengutamakan “kemerdekaaan” harus melibatkan dirinya dengan wataknya teknik, bidangnya dan batasan-batasannya. Persoalan teknik itu sendiri merupakan persoalan penting bagi filsafat, apalagi filsafat modern yang sering terpengaruh oleh pandangan teknik dalam menentukan sikapnya. Dan lebih penting daripada itu semua, persoalan ini ada hubungannya dengan ketidakpastian seluruh peradaban yang berdasarkan teknologi, karena peradaban yang berdasarkan teknologi tersebut tidak mengetahui dengan pasti batasan-batasannya dan akibat-akibatnya, walaupun telah memiliki kekuatan teknologi yang besar.

Monday 30 May 2011

Teori Asal-Usul Agama : Teori Jiwa



          Penemu teori ini adalah seorang ahli antropologi asal Inggris, Edward B. Tylor (1832-1917), dengan bukunya Primitive Culture (1873). Menurut Tylor, kesadaran manusia akan paham jiwa timbul karena dua hal :

a.     Perbedaa yang tampak pada manusia akan hal-hal yan hidup dan mati. Suatu saat makhluk itu bergerak yang berarti hidup, dan suatu saat ia tidak bergerak yang berarti mati. Lambat laun manusia tahu bahwa yang bergerak dan hidup itu disebabkan adanya jiwa, yaitu suatu kekuatan yang berada di luar tubuh manusia.
b.     Dalam peristiwa mimpi, manusia melihat dirinya berada di tempat lain dri tempat tidurnya. Karena itu manusia tahu bahwa ada perbedaaan antara tubuhnya, yang ada di tempat tidur, dengan bagian lain dari dirinya yang berada di tempat lain, yaitu jiwanya.

Sifat abstrak jiwa itu menimbulkan keyakinan bahwa jwa dapat hidup lepas dari tubuh. Pada waktu hidup, jiwa maish tersangkut dalam tubuh, dan pada saat mimpi atau pingsan jiwa meninggalkan tubuh. Akibatnya tubuh dalam keadaan lemah. Walaupun jiwa sedang melayang ke luar tubuh, namun hubungan masih tetap ada. Hanya pada waktu mati, jiwa tadi benar-benar terlepas dari tubuh. Jiwa bersifat bebas dan dapat berbuat semaunya. Alam semesta penuh dengan jiwa-jiwa yang merdeka itu, yang disebut dengan soul atau spirit, atau “makhluk halus”. Demikianlah pikiran manusia telah mentransformasikan kesadaran terhadap adanya jiwa menjadi kepercayaan pada makhluk-makhluk halus.

Makhluk-makhluk halus itu tinggal disekeliling manusia. Tetapi karena begitu halusnya maka tidak dapat tertangkap oleh indera manusia. Mereka dapat berbuat sesuatu yang tidakdapat diperbuat manusia sehingga menempati kedudukan terpenting dalam kehidupan manusia. Manusia melakukan penghormatan dan pemujaan kepadanya melalui berbagai macam upacara berupa doa, sesaji atau korban. Kepercayaan ini oleh Tylor disebut dengan Animisme.

Selanjutnya gerak alam ini, yang berupa peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala alam seperti jalannya matahari, mengalirnya air dari gunung ke laut, gempa bumi dan sebagainya, dipercaya digerakkan oleh jiwa alam yang dipersonifikasikan dengan suatu pribadi yang memiliki kemauan dab pikiran. Makhluk-makhluk halus yang berada di balik gejala alam itu disebut Dewa Alam.

Sejalan dengan timbulnya susunan kenegaraan dalam masyarakat, timbul pula kepercayaan bahwa Dewa-Dewa Alam juga hidup dengan susunan kenegaraan seperti masyarakat manusia. Dewa-dewa tersebut juga bertingkat-tingkat mulai dari tingkat rendah sampai tingkat yang tertinggi. Susunan tersebut akhirnya menimbulkan suatu kepercayaan bahwa dewa itu pada hakikatnya hanya merupakan penjelmaan saja dari dewa yang tertinggi, sehingga kemudian timbul kepercayaan akan adanya suatu Tuhan.


Romdhon, A. Singgih Basuki dkk.Agama-Agama Di Dunia.IAIN Sunan Kalijaga Press. Yogyakarta.

Saturday 28 May 2011

Dinamisme : Konsep Kepercayaan “Mana”



1.     Pengertian Mana

“Mana” dikenal Untuk Pertama kali berkat R.H Codrington melalui bukunya, The Melanesians, tahun 1891. Menurut rumusannya, mana adalah suatu kekuatan supernatural, yaitu suatu alam gaib yang suci tempat beradanya kekuatan-kekuatan yang melebihi kekuatan-kekuatan yang telah dikenal manusia dalam alam sekitarnya dan yang dihadapi manusia dengan rasa keagamaan. Kekuatan tersebut sekali kali berbeda dengan kekuatan fisik, karena kekuatan tersebut merupakan kekuatan yang luar biasa, mengatasi kekuatan lahir, bersifat suci, dan mengandung khasiat baik dan buruk menurut keperluan serta menguasai kehidupan penganutnya.

Jadi sesuatu yang mempunyai mana adalah sesuatu yang suernatural, sehingga menimbulkan kebenaran, ketakutan dan rasa hidmat, karena memiliki keistimewaan dan kekuatan tertentu.

Di Indonesia, sesuatu yang dinamakan mana adalah sesuatu yang memuaskan. Tetapi ada pula yang beranggapan bahwa sesuatu itu kotor jika mengandung daya yang membinasakan atau membahayakan. Sesuatu yang mendatangkan kepuasa tadi disebut sebagai “keramat” di sini ditemukan arti baru lagi tentang dinamisme yaitu “keramat” dan “kotor”. Keduanya merupkan dua buah sisi dari hal yang sama.

Dengan demikian di satu pihak mana mempunyai daya penolak karena orang takut kepada kekuatan yang tidak dapat dikuasainya itu, tetapi di lain pihak mana mempunyai daya tarik karena menimbulkan rasa hormat dan hidmat. Dua sisi itu adalah keramat, sebab apa yang disebut keramat ialah sesuartu yang luar biasa, istimewa, yang berganti-ganti menimbulkan rasa takut dan hormat, rasa benci dan cinta sekaligus.

2.     Sikap Manusia Terhadap Mana

Sikap manusia primitif terhadap mana adalah hati-hati, awas. Segala perbuatan manusia yang berkenaan dengan “melepas tenaga” harus disingkiri, atau kalau tidak, arus dilakukan dengan hati-hati. Bersin, buang hajat, menangis, adalah termasuk perbuatan yang berbahaya sehingga harus dilakukan dengan hati-hati karena dalam perbuatan-perbuatan tersebut terdapat daya dalam diri manusia yang terlepas. Dalam hubungannya dengan benda, memecahkan pinggan yang terbuat dari tanah misalnya, adalah berbahaya, sebab pinggan tersebut mengandung daya kekuatan karena dibakar dalam api, dan daya itu akan terlepas jika pinggan tadi pecah.

Sikap hati-hati manusia primitif terhadap segala sesuatu yang dianggap mengandung mana dinyatakan dengan “tabu”, seseorang bisa dikatakan tabu dalam arti orang tersebut harus berhati-hati, berbahaya, seperti pada wanita yang sedang hamil. Laki-laki yang sedang berperang. Bila sesuatu dikatan tabu berarti benda itu berbahaya sehingga harus dihadapi dengan sikap hati-hati.

3.     Tempat dan Manfaat Mana

Sebagai sesuatu kekuatan, mana akan tampak bila sudah jelas tempatnya. Pada dasarnya tidak ada mana yang terlepas dari tempat ia ada. Semua benda abstrak maupun konkrit bisa menjadi tempat bagi mana. Mana juga sealu berhubungan dengan orang atau benda, sehinggatidak pernah berdiri sendiri. Mana tidak pernah disembah, disucikan, dihormati atau ditakuti karena dianggap tabu shingga perlu dihindari. Pada suku tertentu, misalnya di Melanesia, mana selalu dihubungkan dengan hantu, ruh atau manusia. Jadi, mana tidak bisa dibatasi atau ditentukan tempatnya secara pasti, karena mana berada di segala tempat di mana-mana.

Sifat mana adalah kuat, tidak dapat dilihat, tidak memiliki tempat yang tetap, tidak selalu baik atau buruk, dan kadang-kadang dapat dikontrol kadang-kadang pula tidak. Mana bisa bersifat baik dalam arti dapat membawa kebahagiaan atau keselamatan, dan bisa buruk dalam arti mencelakakan. Manusia yang percaya pada mana beranggapan bahwa semua hasil, nasib baik dan keberuntungan seseorang, adalah karena mendapatkanmanfaat dari mana yang dimilikinya. Adapun bencana terjadi karena arah dan tujuan yang jelek dari kekuatan tersebut. Jadi, daya gaib itu tidak akan terlaksana atau dirasakan manfaatnya tanpa campur tangan dari orang yang masih hdup.

Untuk mendapatkan mana seseorang harus melakukan korban, menghidangkan sesaji, melakukan tari-tarian dan semedi. Bila man sudah menempat dalam diri seseorang, maka orang terebut akan mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang menakjubkan. Biasanya orang yang seperti itu berasal dari kalangan kepala suku, pepmimpin perang atau saman (dukun). Seorang tokoh dalam sejarah Jawa, yaitu Ken Arok dianggap memiliki mana yang kuat. Jika orang melihat pahanya, ternyata paha tersebut bersinar. Oleh sebab itu ia selalu benang, beruntung dan keramat.

4.     Teori Tentang Mana

Menurut Marett, manusia primitif sering kagum terhadap hal-hal dan peristiwa-oeristiwa yang gaib yang tidak dapat diterangkan dengan akalnya yang terbatas. Kaarena itu timbul kepercayaan bahwa kekuatan gaib tersebut terdapat dalam segala hal yang sifatnya luar biasa, baik itu pada manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda alam lainnya. Kepercayaan semacam itu, dan emosi keagamaan yang timbul akbiat kepercayaan tersebut, tingkah laku dan upacara akibat emosi itu, oleh Marett disevut Preanimisme.

Selanjutnya kekuatan mana dan kekuatan supernatural yaang dikonsepsualisasikan oleh Codrington dan Marett tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh Kruyt, yang mengadakan penelitian tentang suku di Selawesi Tengah. Manurut Kruyt manusia primitif percaya bahwa ada suatu zat halus yang memberi kekuatan hidup dan gerak kepada banyak hal di alam semesta ini. Zat halus adalah Zielstof,  yang terutama ada pada bagian tertentu dari tubuh manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lainnya. Zielstof yang ada pada bagian tubuh manusia antara lain terdapat dibagian kepala, kuku, rambut, gigi dan ludah. Orang dapat menambah zielstof tersebut dengan minum darah. Adapun zielstof yang terdapat pada binatang antara lain terdapat pada kunang-kunang, laba-laba, jangkrik, kupu-kupu, ular, tikus, dan harimau. Pada tumbuh-tumbuhan antara lain pada padi, nyiur, pohon aren, dan karet; sementara pada benda antara lain terdapat pada benda-benda pusaka. Dalam menghadapi segala yang mengandung zielstof tadi manusia harus bersikap hati-hati dalam berhubungan atau mempergunakannya, karena disamping dapat berguna juga berbahaya.


Romdhon, A. Singgih Basuki dkk.Agama-Agama Di Dunia.IAIN Sunan Kalijaga Press. Yogyakarta.

Agama Primitif : Totemisme



1.     Pengertian

Kata “totem” berasal dari kata “ototeman”, dialek suku Ojibwa di Amerika Utara, yang berarti kekerabatan dan keeluargaan seperti saudara. Kata tersebut sering digunakan untuk mengungkapkan adanya hubungan yang bersifat kekeluargaan antara manusia dan binatang. Kata “ote” itu sendiri mempunyai arti pertalian keluarga dan kekeraabatan antara saudara laki-laki dan perempuan, hubungan kelompok karena kelahiran atau pengangkatan keluarga secara kolektif dan dihubungkan oleh tali persaudaraan, yang membawa konsekuensi tidak boleh saling mengawini.

Dapat diduga bahwa banyak diantara suku-suku di dunia yang beranggapan bahwa ada suatu hubungan yang istimewa antara dirinya dengan binatang. Pergaulan manusia dengan binatang telah membentuk suatu tanggapan yang religius tentang makhluk-makhluk yang hidup bersama manusia dalam dunia yang sama, tetapi yang lain dari dirinya dan dalam banyak hal menguasai hidupnya. Hidup binatang serba tertutup bagi manusia. Banyak binatang yang memiliki kelebihan dari manusia, mislanya dalam ketajaman matanya, ketangkasannya dan sebagainya.

Pada suku tertentu hubungan rahasia antara manusia dan binatang tadi diakui sebagai hubungan keagamaan. Dari sini dapat diduga bahwa tidak jarang manusia menganggap binatang-binatang tertentu sebagai nenek moyangnya, hidupnya dekat binatang tersebut, dan dengan itu manusia beranggapan dapat memperoleh daya kekuatan yang magis. Atau dengan kata lain, manusia dapat memperoleh keselamatan dari perhubungannya dengan binatang.

Masalah pokok dalam totemisme ialah adanya persekutuan, partisipasi dan saling menjadi bagian antara manusia dan binatang. Dalam persekutuan itu manusia primitif percaya bahwa ia akan memperoleh kekuatan yang luar biasa. Dalam banyak suku bangsa, totemisme terbagi  menjadi dua, yaitu perorangan dan kelompok. Totemisme perorangan ialah jika binatang tertentu dianggap sebagai pelindung seseorang, dan disebut tetemisme kelompok bila binatang tersebut merupakan pelindung kelompok atau suku.

Totemisme erat sekali hubungannya dengan animisme, karena dalam totemisme binatang-binatang tertentu kadang-kadang dianggap sebagai nenek moyang suku, yaitu sebagai nenek moyang azali. Hal ini terlihat jelas dalam mite penduduk Australia Utara di Arnhem Land. Dalam mite tersebut digambarkan semacam persekutuan jiwa antara nenek moyang dengan jenis binatang tertentu yang dianggap sebagai totem.

2.     Teori Totemisme

Banyak sekali para antropolog yang mengadakan studi tentang totemisme ini sehingga untuk mengemukakan semuanya memerlukan suatu pembahasan yang khusus. Emile Durkheim dalam bukunya The elementary Forms of the Religious Life (1915). Pandangannya bermula dari empat ide pokok yang dikemukakan olehRobertson Smith, yaitu (a) bahwa agama primitif adalah kultus marga (khan); (b) kultus tersebut adalah totemisme; (c) tuhan marga adalah marga itu sendiri; dan (d) totemisme merupakan bentuk yang paling dasar atau primitif, yaitu bentuk asli dari agama yang dikenal sekarang ini. Dengan mendasarkan diri pada ide-ide tersebut Durkheim berpendapat bahwa totemisme itu terdapat dalam masyarakat yang memiliki kultur dan struktur sosial yang paling sederhana. Agama, menurutnya, adalah suatu kesatuan sistem kepercayaan dan ibadat dalam kaitannya dengan benda-benda suci (sacred) dan terlarang, yaitu benda-benda yang disisihkan dari lain-lainnya. Kepercayaan dan ibadat tadi menyatu kedalam kelompok moral yang dinamak jamaah, yakni semua mereka yang mengikutinya.

Menurut Durkheim lebih lanjut, totemisme merupaka semacam Tuhan yang tidak bersifat kemanusiaan, yang menetap di bumi dan bersenyawa dengan benda-benda yang tak terbatas jumlahnya, dan erat hubunganya dengan ‘mana’ dan ide yang sejenis dengan masyarakat primitif. Tetapi di Australia, kenyataanya penduduk asli beranggapan bahwa ide Tuhan tersebut tidak dalam bentuk yang abstrak, melainkan dalam bentuk binatang dan tumbuha-tumbuhan, yaitu totem, yang merupakan “bentuk materiil” yang dibelakangnya terdapat imajinasi yang menggambarkan zat bukan materiil atau Tuhan. Karena itu yang prinsipal dan vital bagi mereka adalah “manusia dan totemnya”.

Totem disamping merupakan simbol Tuhan atau sesuatu yang vital juga menjadi simbol masyarakat, karena Tuhan dan masyarakat adalah identik. Tuhan dan klan yang menjadi prinsip totemisme, diwujudkan dan digambarkan dalam bentuk yang dapat dilihat, yaitu pada binatang atau tumbuh-tumbuhan yang bertindak selaku totem. Dalam simbol totem inilah para anggota klan memperlihatkan sikap moral dan rasa ketergantungannya satu sama lain, jiga terhadap kelompoknya secara keseluruhan. Dengan itu pula mereka berkomunikasi dan menegakkan solidaritas. Demikianlah penelitian Durkheim tentang totemisme di Australia.

Romdhon, A. Singgih Basuki dkk.Agama-Agama Di Dunia.IAIN Sunan Kalijaga Press. Yogyakarta.