Thursday 29 March 2012

Dua Kekuatan Yang Mewarnai Dunia




Keadaan dunia yang begini ini ada yang mewarnainya. Kekuatan yang mewarnai tiu yang pertama ialah agama dan yang kedua ialah filsafat. Orang yang mewarnai dunia juga hanya dua, nabi dan ulama, dan filosof. Apakah sains dan teknologi ikut juga mewarnai dunia? Tidak. Sains dan teknologi dalam garis besarnya netral. Pakar sains dan teknologi menggunakan sains dan teknologi untuk mewarnai dunia berdasarkan pandangan hidupnya; pandangan hidup itu hanya ada dua: agama dan filsafat. 


Sejarah telah mempertontonkan adanya manusia yang berani mati untuk dan karena agama yang dianutnya. Orang mengorbankan harta, pikiran, tenaga, atau nyawa sekalipun untuk dan karena kepercayaan yang dianutnya. Adapula orang yang dibakar hidup-hidup oleh orang yang merasa agamanya disentuh oleh orang tersebut. Orang rela pula dijemur dan diapit dengan batu besar untuk mempertahankan kepercayaan (agama) yang dianutnya. Orang dengan tekun menabur bunga di kuburan, membakar kemenyan di tanah-tanah tinggi atau di pojok rumah untuk dan karena kepercayaan agamanya. Ada pula orang yang rela mengubur anak perempuannya hidup-hidup karena kepercayaan yang dianutnya. Demikian kenyataannya. 


Orang yang meyakini agama tertentu ingin pula agar orang lain ikut bersamanya. Lalu agama tersebut disebarkannya, didakwahkanya, dipropagandakannya. Itu dikerjakannya dengan sungguh-sungguh demi agamanya. Begitulah yang telah, sedang dan akan terjadi. Ini berarti dengan tekun mereka mewarnai dunia. Tidak jarang bentrokan besar terjadi karena latar belakang agama. Agama mengatur dunia; ini suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. 


Selain kenyataan itu, sejarah telah mencatat pula adanya orang kuat, yang kadang-kadang juga berani mati, karena meyakini sesuatu yang diperolehnya karena memikirkannya. Yang ini adalah pemikir atau filosof. Sesuatu dipikirkan sedalam-dalamnya, lantas suatu ketika ia sampai pada kesimpulan yang dianggapnya benar. Kebenaran ini mempengaruhi tindakannya; keyakinannya pada kesimpulannya itu membentuk sikapnya. Socrates sanggup mati dengan cara meminum racun, sebagai hukuman baginya, karena mempertahankan kebenaran filsafat yang dianggapnya benar. 


Keyakinan filsafat itu diikuti pula oleh orang lain. Mereka memang ingin diikuti, bahkan filosof itu merasa wajib menyebarkan pendapat mereka. Pada orang yang mengikuti itu terbentuk pula sikap mereka; tindakan mereka dibentuk oleh pandangan filsafat itu, jadi menjadi pandangan hidup mereka. Mereka juga mewarnai dunia. 


Agama dan filsafat adalah dua kekuatan yang mewarnai dunia. Barang siapa hendak memahami dunia, ia harus memahami agama atau filsafat yang mewarnai dunia itu. Orang harus mempelajari kekuatan itu.

Sumber :
Prof. Dr. Ahmad Tafsir. Filsafat Umum. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. 2000

Andaikan Aku Bisa




Semua cerita tentang kita..
Berakhir saat kau tak lagi percaya..
Tentang pengorbanan cinta..
Yang ada untukmu tercipta..

Kau yang kini telah pergi..
Meningalkan luka dalam hati ini..
Yang kini mengikiskan semua..
Rasa cinta yang telah lama ada..

Andai aku bisa..
Memutar balikkan semua..
Kenangan indah bersamamu..
Saat kau masih di sisiku..

Kini aku harus bisa..
Jalani semua sisa cerita..
Tanpamu..
Yang kini telah tinggalkanku..

Masih terlihat jelas..
Senyummu saat kau akan melepas..
Cintaku..
Yang hanya untukmu..

Dan takkan ku lupa..
Semua hal yang telah tercipta..
Bersamamu cinta..
Selamanya..

Berbagai Jenis Nafsu Insani




Nafsu insani yang tidak terkawal, adalah sebagai penghalang seseorang untuk mencapai ketenangan dalam menghadap Allah swt. Hidayah Allah tidak akan masuk ke dalam sanubarinya, seandainya ia belum mampu mengendalikan hawa nafsunya. Pada asasnya, manusia dibagi kepada dua golongan, yaitu golongan yang dikalahkan nafsunya sehingga tingkah lakunya dikendalikan nafsu dan golongan yang mampu mengendalikan nafsunya, sehingga nafsu itu tunduk dengan perintahnya. Para shalihin ada yang berkata: “Akhir dari perjalanan hidup seseorang yang menuju jalan makrifat yaitu jika ia dapat membuktikan bahwa dirinya telah mampu mengendalikan nafsu-nafsunya. Siapapun yang berhasil mengendalikannya, maka beruntunglah ia, sebaliknya bagi mereka yang dikalahkan nafsu, maka rugilah ia. Firman Allah swt menjelaskan sebagai berikut:


“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutmakan kehidupan dunia, maka sesunggunya nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya”.
(QS. An-Naazi’at : 37-41)

  1. Nafsu Muthmainnah
Nafsu Muthmainnah yaitu nafsu tenang bersama Allah, tenteram ketika mengingatnya, selalu merindukan Allah dan senantiasa dekat dengan-Nya. Firman Allah swt menjelaskan sebagai berikut:


“Hai jiwa yang tenang. Maka masuklah ke dalam jamaah yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam surga-Ku”.
(QS. Al-Fijr : 27-30)


Ibnu Abbas ra berkata: “Muthmainnah artinya yang membenarkan. Qatadah berpendapat muthmainnah yaitu hanyalah orang-orang yang beriman, yang jiwanya tenang terhadap apa yang dijanjikan Allah”. Orang yang berjiwa tenang ini akan nampak pada akhlaknya, bersikap tenang,sabar dan sanggup menerima setiap cobaan dari Allah swt. 


Jiwa yang muthmainnah yaitu jiwa yang berhijrah dari segala sesuatu yang dibenci auatu yang dilarang oleh Allah swt menuju kepada perbuatan yang diridhai-Nya. Umpamanya dari sikap ragu-ragu kepada memperoleh keyakinan. Dari bodoh kepada berilmu pengetahuan, dari lalai hingga ingat kepada Allah. Begitulah seterusnya dari keburukan menuju kepada yang lebih baik dan mendapat bimbingan Allah.


Pokok ari semuanya itu adalah kesadaran jiwa yang tinggi, serta peka terhadap goncangan jiwa dan perasaan. Sehingga terhindar dari segala bentuk dosa maksiat yang pernah dikerjakan. Setelah melihat kesadarannya itu barulah tahu bahwa hidup ini tidak lama dan akan berakhir dengan kematian. Akhirnya akan bertemu yang Maha Agung. 


Oleh sebab itu, setiap muslimin hendaknya secepat mungkin untuk memanfaatkan sisia-sisa umur yang pendek ini untuk mengabdi hanya keada Ilahi. Menghidupkan kembali hati yang telah mati, ataupun memberi penawar bagi jiwa yang telah sakit, agar kehidupan kita bahagia di akhirat kelak.

  1. Nafsu Lawwamah
Nafsu Lawwamah yaitu nafsu yang tidak pernah stabil atau satu keadaan. Ia selalu berubah, baik dalam bentuk pendirian ataupun tingkah laku. Ia diantara ingat dan lalai, antara ridha dan marah, antara cinta dan benci dan lain-lain. 


Sebagian orang berpendapat bahwa nafsu Lawwamah adalah nafsu prang yang beriman. Ada juga yang mengatakan Lawwamah yaitu mencela diri sendiri kelak pada hari kiamat, di mana setiap orang akan berbuat serupa. Jika ia pernah membuat kesalahan, maka ia mencela kebodohan sikapnya itu, dan jika berbuat baik maka ia juga mencelah karena sedikitpnya kebaikan yang ia lakukan.


Imam Ibnu Qayyin berkata: “Semua pendapat di atas tentang nafsu Lawwamah itu adalah benar”. Kemudian Lawwamah dibedakan lagi kepada dua jenis, Lawwamah yang tercela dan Lawwamah yang terpuji. Lawwamah yang tercela yaitu nafsu yang bodoh dan zalim, semuanya itu dicela oleh Allah swt. Lawwamah yang terpuji yaitu nafsu yang senantiasa berfungsi sebagai peneliti atas setiap tindakan seseorang. Apakah telah mengabdikan diri kepada Allah, beriman dan beramal saleh, serta segala kebaikan yang diperintah-Nya.

  1. Nafsu Ammarah
Nafsu Ammarah adalah nafsu yang tercela, sebab ia selalu mengajak kepada kezaliman. Tidak seorangpun yang terlepas dari nafsu ini, kecuali oarng yang memperoleh pertolongan Allah swt. Seperti kisah istri Al- Azizi penguasa Mesir. Firman Allah menjelaskan :


”Dan aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(QS. Yusuf : 53)


Firman Allah swt menjelaskan sebagai berikut :


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti angkah-langkah seteanm maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbauatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih dari perbuatan-perbuatan keji yangmeungkar itu selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
(QS. An-Nuur : 21)


Sebenarnya nafsu ini hanya satu, tetapi ia dapat bersiat ammarah, bersifat lawwamah dan terakhir dapat meningkat kepada muthmainnah. Muthmainnah inilah merupakan puncak kesempurnaan dan kebaikan nafsu insani. Karena nafsu muthmainnah selalu berteman dan berada di sisi Malaikat. Senantiasa berusaha untuk mengabdi kepada Allah swt. 


Sedangkan nafsu ammarah selalu berdampingan dengan setan. Menggoda dan mempengaruhi manusia dengan janji-janji palsu, mengajar manusia mengerjakan kebatilan dan kemaksiatan. Nafsu ammarah merupakan nafsu yang menjadi penghalang bagi nafsu muthmainnah untuk mencapai tingkat kesempurnaan. Begitulah seterusnya, bahwa dalam kehidupan kita ada dua nafsu yang selalu berlawanan.

Sumber :
Drs. Muhammad Isa Selamat, MA. Penawar Jiwa dan Pikiran. Kalam Mulia: Jakarta. 2005.

Sunday 25 March 2012

Perkembangan Transplantasi dari Masa ke Masa



Kemajuan teknologi kedokteran, utamanya transplantasi, bukanlah ilmu yang diperoleh dari hasil merenung semalaman. Sebaliknya, ia merupakan hasil penelitian dan kerja keras selama bertahun-tahun. Menurut satu legenda, transplantasi telah dikembangkan selama berabad-abad, bahkan sejak 200 tahun sebelum Masehi. Kala itu, sepasang anak manusia bernama Pien Csiao dan Hua To berjanji akan mentransplantasikan jantung mereka. Tentu saja, Anda sah-sah saja bila tak mempercayai hal itu. Namanya juga legenda.


Yang pasti kalangan kedokteran modern lebih suka menyebut abad ke-18 sebagai tonggak awal perkembangan transplantasi. Kala itu, para ahli mulai bereksperimen dengan obyek binatang maupun manusia. Pada awalnya, sejumlah percobaan transplantasi tak membuahkan hasil memuaskan. Tapi pada paruh pertama abad ke-20, percobaan-percobaan mengenai teknik transplantasi terus diasah dan dipertajam. Alhasil, pada tahun 1954, operasi transplantasi organ pertama di dunia dilakukan di Amerika. Saat itu, Dr Joseph Murray berhasil mentransplantasi ginjal lewat operasi yang berlangsung di Boston, Massachusetts.


Lalu, pada pertengahan dekade 60-an, untuk pertama kali dilakukan transplantasi liver dan pankreas. Operasi transplantasi ini membuktikan kemampuan para dokter masa itu untuk menyelamatkan nyawa dengan cara menghilangkan organ tubuh yang terkena penyakit atau tak berfungsi dengan organ lain yang sehat. Setelah sukses dengan transplantasi ginjal, liver dan pankreas, para ahli kemudian berjuang keras untuk tujuan yang lebih besar: transplantasi jantung. Dan akhirnya, Dr Christian Barnard, ahli bedah dari Afrika Selatan berhasil menorehkan prestasinya dengan tinta emas tatkala pada Desember 1967 berhasil mentransplantasi jantung dari seseorang ke orang lainnya.


Sejak itu, 'status' transplantasi berubah dari suatu operasi eksperimental menjadi suatu prosedur yang diakui manfaatnya untuk menyembuhkan penyakit jantung tingkat lanjut. Tak puas sampai di sini, para ahli kedokteran kemudian bekerja keras lagi untuk menyempurnakan teknik transplantasi dan mengembangkan obat-obat baru. Sejak itu, kisah sukses tentang operasi transplantasi organ-organ penting, makin sering terdengar.


Meski teknologi kedokteran dalam hal transplantasi makin maju, toh masih saja ada kendala yang kerap dihadapi pasien. Dalam hal ini, ada dua kendala utama dalam transplantasi yaitu: penerimaan dan ketersediaan. Artinya, suatu organ kadang kala tidak bisa dengan mudah diambil dari dari dalam tubuh seseorang lalu dicangkokkan pada tubuh orang lain.


Memang, perlu ada kesamaan genetik antara penerima dan pemberi organ untuk mencegah reaksi penolakan. Itu mengapa, organ dari anggota keluarga memiliki peluang lebih besar untuk diterima (oleh si penerima organ). Namun reaksi penolakan bisa diredam menyusul ditemukannya obat-obat penekan sistem kekebalan tubuh. Obat-obatan inilah yang membuat transplantasi semakin menjanjikan dan memungkinkan para penerima organ bisa menikmati hidup lebih lama.


Lalu bagaimana dengan kendala yang kedua: ketersediaan? Seringkali, kendala ini juga sangat memusingkan. Kendala ini terjadi lantaran permintaan akan organ jauh melebihi jumlah organ yang didonorkan. Inilah yang kemudian memicu munculnya perdagangan organ tubuh secara gelap. Muncul pula ide agar jual beli organ tubuh ini dilegalkan. Tentu saja, semua ini menimbulkan perdebatan.


Terlepas dari perdebatan ini, para ahli terus berupaya untuk menyempurnakan teknik-teknik transplantasi tersebut. Saat ini misalnya, para neurolog bereksperimen untuk mentransplantasi otak. Sementara para ahli kanker di Manchester, Inggris melakukan transplantasi testis yang pertama di dunia. Meski demikian, diantara kemajuan ini, muncul pula pertanyaan-pertanyaan yang berkait dengan soal etika. Misalnya saja, ada kalangan yang mencemaskan implikasi lantaran seseorang 'mengenakan' tangan dan sidik jari orang lain? Lalu bagaimana pula dengan seseorang yang menjalani transplantasi otak? Bukankah otak merupakan pusat identitas manusia?

Sumber : Republika.co.id

Aku Yang Bersalah




Kesempatan pertama kau masih mengerti..
Hari demi hari kau selalu berlaku yang terbaik..
Namun apa yang kulakukan..
Ku sia-siakan itu ..
Ku tak mengerti inginmu..
Dan masih meninggikan sifat acuhku..
Namun sekarang kusadari..
Bukan salahmu meninggalkanku..
Bukan salahmu tak pedulikan diriku..
Namun salahku yang tak pernah memikirkanmu itu..
Maafkan,,
Jika engkau berkenan..
Pedulilah,,
Jika engkau masih sayang..

Saturday 24 March 2012

Sering Melamun Pertanda Otak Cerdas




Orang yang banyak melamun diduga memiliki otak yang lebih tajam, lebih cerdas. Dari hasil penelitian, orang-orang melamun, tapi kerjanya tak terganggu, justru malah akan menyimpan memori tersendiri dalam otaknya. Hal ini malah akan memberikan kemampuan untuk melakukan dua hal pada saat yang bersamaan.


Peneliti yang melakukannya, seorang psikolog di University of Wisconsin-Madison, Daniel Levinson, mengatakan mereka yang memiliki kapasitas memori yang lebih tinggi dalam bekerja, sering melamun, pikirannya berkeliaran pada tugas-tugas yang lain. “Tapi kinerja mereka tidak terganggu,” ujarnya seperti dilansir dari Dailymail, Ahad, (18/3).


Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Psychological Science, adalah penelitian pertama yang menunjukkan hubungan antara melamun dan  kemampuan intelijensia. “Ada ruang kerja mental ekstra yang dilakukan, seperi menjumlahkan dua angka sekaligus,” ujarnya.


Dalam penelitian ini, peserta disuruh untuk menekan tombol saat muncul tulisan tertentu pada layar. Para peneliti pun menanyakan secara berkala, apakah mereka sedang memikirkan hal lain atau tidak. Di akhir sesi, peneliti mengukur kapasitas memori kerja peserta, memberikan skor untuk kemampuan mereka untuk mengingat serangkaian huruf diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan matematika sederhana.


Kapasitasnya telah dikaitkan dengan langkah-langkah umum intelijensia, seperti membaca pemahaman dan skor IQ. Penelitian ini menggarisbawahi bagaimana memori kerja penting dalam memungkinkan otak untuk fokus pada masalah yang paling mendesak.


Orang yang sering melamun saat mengerjakan sesuatu, justru malah disimpulkan bahwa otaknya lebih tajam, karena bisa melakukan dua hal sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Uji IQ nya pun memberikan hasil yang lebih tinggi.

Sumber : Republika.co.id

Aku dan Sang Rembulan




Malam ini langit terang ..
Terang oleh rembulan ..
Dihiasi bintang-bintang ..
Turut menambah keindahan ..

Di bumi ini ku memandang ..
Yang juga dihiasi awan ..
Memandang dengan hati tenang ..
Menyembunyikan kegelisahan ..

Diri ini seorang ..
Menenangkan pikiran ..
Tuk berusaha cemerlang ..
Menjalankan kegiatan ..

Malam ini yang hening ..
Membawa ketenangan ..
Melepaskan siang nan bising ..
Yang terkadang membawa kekesalan ..

Asal Muasal Nama Indonesia




PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai *Nan-hai* (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini *Dwipantara* (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta *dwipa* (pulau) dan *antara* (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke *Suwarnadwipa* (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.


Bangsa Arab menyebut tanah air kita *Jaza’ir al-Jawi* (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah *benzoe*, berasal dari bahasa Arab *luban jawi*(kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon *Styrax sumatrana* yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.


Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”.


Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (*Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien*) atau “Hindia Timur” *(Oost Indie, East Indies, Indes Orientales)* . Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (*Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais*).


Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah *Nederlandsch- Indie* (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah *To-Indo* (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu *Insulinde*, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin *insula* berarti pulau). Tetapi rupanya nama *Insulinde* ini kurang populer.


Bagi orang Bandung, *Insulinde* mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.


Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.


Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari *Jawadwipa*( Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, *”Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” *(Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.


Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.

Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, *Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia* (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.


Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel *On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations*. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (*a distinctive name*), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: *Indunesia*atau *Malayunesia* (*nesos* dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: *… the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians. *


Earl sendiri menyatakan memilih nama *Malayunesia* (Kepulauan Melayu) daripada *Indunesia* (Kepulauan Hindia), sebab *Malayunesia* sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan *Indunesia* bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah *Malayunesia* dan tidak memakai istilah *Indunesia*.


Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel *The Ethnology of the Indian Archipelago. * Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan.


Logan memungut nama *Indunesia* yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.


Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: *Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. * Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!


Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku *Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel*sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam *Encyclopedie van Nederlandsch- Indie*tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.


Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama *Indonesische Pers-bureau. *

Makna politis
Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan!


Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.


Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa *Handels Hoogeschool* (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama *Indische Vereeniging* ) berubah nama menjadi *Indonesische Vereeniging* atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.


Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (*de toekomstige vrije Indonesische staat*) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (*een politiek doel*), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (*Indonesier*) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.


Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan *Indonesische Studie Club*pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 *Jong Islamieten Bond* membentuk kepanduan *Nationaal Indonesische Padvinderij* (Natipij) . Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut

Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota *Volksraad* (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch- Indie”. Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.


Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.




Thursday 22 March 2012

Sahabatku yang Membekas Di Hati




Sahabat,,
Engkau adalah mata hatiku..
Kau telah membuka hati untukku..
Kau juga telah membawaku ke dalam dunia baru..
Kita bersama memasukinya untuk mengembara di dalamnya..

Sahabat,,
Engkau abadi di otakku..
Ketika aku melepasmu, kau telah memberikan setapak kenangan..
Ketika aku melepasmu, aku akan membangkitkan kenangan kita..
Sehingga,,
Bagiku hanyalah keledai yang jatuh di lubang yang sama..

Sahabat,,
Engkau abadi di hatiku..
Saat aku hampir putus asa dan hanya berfikir keegoisan,,
Aku ingat engkau yang mencintaiku..
Itulah dimana aku mulai bangkit..
Dan melawan keegoisan demi harga diri di depanmu..

Sahabat,,
Engkau adalah guruku..
Kita telah bersama sekian tahun,,
Membangun pribadi masing-masing..
Satu sama lain saling mempengaruhi,,
Sehingga engkau mendidik kedisiplinan yang akan kubawa nanti..

Sahabat,,
Engkau adalah bagian dari diriku..
Sejauh apapun aku pergi meraih cita-cita,,
Dirimu tetap ada di dadaku..
Sehingga suatu saat aku akan bercerita pada orang di negeri sana,,
Bahwa engkau sangat berjasa bagi masa mudaku dulu..

Sahabat,,
Kadang aku berfikir, dapatkah kita bertemu kembali nanti ?
Berkumpul, bercanda riang saling melempar kata-kata..
Dapatkah kita berkumpul seperti kemarin ?
Sedangkan ombak besar telah datang menghantam..
Dan batu karang di bawah kita pun telah menghantui..

Sahabat,,
Rimba kita masing-masing akan berbeda..
Mungkin engkau berenang di samudra,,
Sementara aku mencabik-cabik ranting yang menghalangi jalanku di hutan..
Namu aku yakin, kau pasti selalu ingat aku..

Sahabat,,
Kita pasti akan menghadapi pertikaian,
Perselisihan,
Sampai baku hantam,,
Karena hidup adalah perlombaan..
Namun bukan pengalaman berharga jika tidak ada itu semua..

Sahabat,,
Sadarkah, tak ada yang namanya “bekas sahabat”..
Sahabat tak lekang oleh zaman selama otak masih pada tempatnya..
Selama sidik jari tak berubah..
Bahkan jika kau menjadi orang lain,,
Jasa-jasamu tetap tertanam di raga ini..

Selamat Jalan Sayang




Jalan yang panjang dan berliku..
Aku lewati dan kunikmati..
Hingga akupun tak menyadari bahwa waktunya tiba..
Kucoba membujuk waktu,,
Agar aku masih bisa bersamanya..
Dan ternyata waktupun tak mau berjalan pelan..
Hingga aku tertatih-tatih..
Serta terseok-seok demi untuk bersamanya..
Tangan ini selalu memeluknya..
Bahkan kaki ini senang mengikutinya melintasi waktu..
Setiap duri yang menusuki langkahku,,
Dan panasnya sinar matahari yang membuat keringat membasahi tubuhku,,
Tak pernah kurasakan..
Tuhan,,
Mengapa air mata ini terus mengalir kala saatnya tiba..
Meski telah kucoba menahannya,,
Namun aku tak sanggup menahan saat waktu datang membawanya..
Dan pergi untuk selamanya..
Berat rasanya dada ini..
Kupandangi raganya yang perlahan-lahan mulai kaku..
Lalu kubisikkan salam perpisahan..
Satu tahun tiga bulan,,
Adalah waktu yang terindah dalam hidupku saat bersamanya..
Selamat jalan sayang..
Bahagialah engkau selalu..