MOHON MAAF, GAMBAR TELAH DIHAPUS
Cerita rakyat yang berhubungan dengan Islamisasi di Banten salah satunya adalah cerita Pucuk Umun. Pucuk Umun menghadapi Sultan Hasanuddin. Menurut ceritanya, kedua orang itu mengadakan adu ayam dengan ketentuan bila ayam Pucuk Umun kalah, Sultan Hasanuddin bebas menyebarkan Islam di derah Banten. Ternyata ayam Pucuk Umun Kalah dan setelah itu ia melepaskan daulatnya atas Banten dan kemudian bermukin di Ujung Kulon. Tempat pertarungan adu kesaktian antara Maulana Hasanuddin dengan Pucuk Umun pun telah disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu di lereng Gunung Karang. Satu tempat yang dianggap netral, karena kedua pihak tentu tidak ingin disebut jago kandang bila berhasil memenangkan pertandingan, yang tidak saja mempertaruhkan jabatan tapi juga kedaulatan atas Banten. Perlu dicatat disini, bahwa pertarungan ini bukanlah pertarungan ‘full-body contact’ langsung antara dua tokoh agama, tapi pertarungan dengan menggunakan perwakilan berupa ayam jago: satu milik Maulana Hasanuddin dan yang satu lagi milik Pucuk Umun. Penyelenggaraan pertarungan dahsyat ini adalah prakarsa dari Pucuk Umun sendiri yang langsung diterima oleh Maulana Hasanuddin. Pendekatan seperti ini dapat dipandang sebagai jalan tengah menuju penyelesaian damai terhadap konflik berkepanjangan antara dua pihak yang berbeda kepentingan. Pucuk Umun berkepentingan mempertahankan eksistensi ajaran Sunda Wiwitan (Hindu) di bawah naungan Negeri Pajajaran. Sedangkan Maulana Hasanuddin berkepentingan agar supaya kegiatan dakwah Islam di Banten dapat berjalan tanpa hambatan yang berarti.
Matahari pagi mulai memanasi Gunung Karang yang hijau  ketika kumpulan  orang-orang mulai memadati lapangan. Untuk menghadapi  berbagai  kemungkinan, masing-masing pihak melengkapi diri dengan  senjata  masing-masing. Dari kejauhan tertampak, selain ada golok di  pinggangnya,  Pucuk Umun juga memegang tombak. Sedangkan di pinggang  Maulana  Hasanuddin terselip sebilah keris pusaka warisan Wali Songo. Di  tepi  utara lapangan, Maulana Hasanuddin tampak mengenakan jubah putih  dengan  sorban di kepala. Sementara disisi selatan, Pucuk Umun  berpakaian  hitam-hitam, dengan rambut gondrong sampai leher, mengenakan  ikat  kepala.
Dua ekor ayam jago yang masing-masing masih  dalam kandang anyaman  bambu sudah berada di tengah lapangan. Ayam  milik Pucuk Umun telah  diberi ajian ‘otot kawat tulang besi’ dan  dipasang keris berbisa pada  kedua tajinya. Sedangkan pada ayam milik  Maulana Hasanuddin tidak  dipasang senjata apapun, tetapi dia telah  dimandikan dengan air sumur  Masjid Agung Banten. Pada saat dimandikan,  dibacakan ayat-ayat Al-Quran,  termasuk Surat Al-Fatihah, Surat  Al-Ikhlas dan kalimat “La haula wala  quata illa billahil aliyyil  ‘adzim” masing-masing tiga kali.
Suasana di arena laga  tampak menegangkan. Dari pihak Maulana  Hasanuddin, telah hadir ratusan  pengikutnya yang terdiri para ustad dan  santri yang juga merangkap  sebagai anggota pasukan keamanan. Mereka  semua terbenam dalam doa  memohon pertolongan Allah SWT. Adapun di pihak  Pucuk Umun, telah hadir  juga 800 ajar (sejenis pendeta) dan beberapa  Punggawa (Panglima)  Pajajaran, yang semuanya tampak komat kamit membaca  jampi-jampi.
Dalam suasana yang mencekam itu, dua orang Punggawa yang mewakili  kedua pihak maju ke tengah lapangan membacakan maklumat:
“Di hadapan yang mulia Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umun,  perkenanlah kami membacakan maklumat sebagai berikut:
- Sebagaimana yang telah disepakati antara yang mulia Maulana Hasanuddin dengan Prabu Pucuk Umun, bahwa apabila Prabu Pucuk Umun kalah maka pihak Maulana Hasanuddin akan diberi kebebasan menyebarkan Islam di Banten. Tetapi apabila ternyata Prabu Pucuk Umun yang menang, maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan kegiatan dakwahnya di Banten Tengah dan Selatan.
 
- Pihak yang kalah harus menunjukkan tanda pengakuan kepada pihak yang menang dengan menyerahkan senjata kepada pihak yang menang.
 
- Kepada semua yang hadir, agar dapat menahan diri dan menjaga ketertiban dengan tidak memasuki lapangan selama pertandingan berlangsung.
 
Demikianlah maklumat kami sampaikan.”
Riuh  rendah suara penonton mulai membahana tatkala dua ekor ayam jago  mulai  dikeluarkan dari sangkarnya masing-masing. Kedua jago itu  bergerak  saling mendekati, berhadap-hadapan dalam jarak sekitar dua  meter.  Bagaikan dua jagoan di atas ring tinju, keduanya terus bergerak,   menari-nari, dengan posisi siap menyerang dan diserang, sambil menatap   mata lawan. Belum ada insiatif menyerang dari masing-masing jago.   Karena, tampaknya, kedua jago ini mengharapkan serangan dimulai oleh   lawan. Kemudian, tiba-tiba jago Pucuk Umun mengambil ancang-ancang,   mundur setengah meter, lalu dengan kekuatan penuh, bergerak maju   menyerang, mengarahkan kerisnya ke dada jago Maulana Hasanuddin yang   siap menyambut serangan pertama itu. Gebraaaaak!! Suara keras terdengar   sampai jarak satu kilometer. Benturan fisik pun terjadi antara dua jago   yang sedang bertarung mempertaruhkan harga diri tuannya.
Kedua  jago itu saling terpental kearah belakang masing-masing. Tidak  ada  tanda-tanda luka pada jago Maulana Hasanuddin, dan malahan ia  kembali  berusaha tenang setelah menerima serangan pertama. Mereka  kembali  berhadap-hadapan, siap menyerang dan diserang. Jago Pucuk Umum  menjadi  beringas, yang terlihat dari gerakan dan matanya yang memerah.  Apakah  pukulan jago Maulana Hasanuddin berhasil bersarang di dadanya  saat  hunjaman kerisnya gagal menggores dada lawan? Entahlah. Yang tampak   ketika itu adalah suasana hening di pinggir lapangan. Semua mata   mengarah kepada kedua jago itu. Rupanya, jago Pucuk Umun terpancing   emosinya. Gerakannya semakin liar dan matanya merah. Lalu dia menyerang   lagi dengan maksud merobek dada jago Maulana Hasanuddin. Kali ini, jago   Maulana Hasanuddin berkelit kearah kiri menghindari keris berbisa jago   Pucuk Umun, dan … Buk!!, tangan kanannya bersarang di rusuk kanan jago   Pucuk Umun. Serangan jago Pucuk Umun gagal total, bahkan dia mendapat   sebuah gebukan telak.
Jago Pucuk Umun tampak semakin  kalap dan berniat melancarkan serangan  mematikan kearah lawannya.  Melihat gelagat lawannya itu, jago Maulana  Hasanuddin menghindar.  Tiba-tiba, dia melompat ke angkasa. Jago Pucuk  Umun pun melompat tinggi  menyusulnya. Semua mata terfokus pada kedua  jago yang berada pada  ketinggian sekitar 40 meter dari tanah. Tak  terhindarkan lagi, sebuah  pertarungan sengit terjadi di udara,  disaksikan gunung karang yang  tegak kokoh dengan sinar mentari yang  berkilau di atas pepohonan hijau.  Lalu tiba-tiba terdengar suara keras  memekakkan telinga. Gebraaaak!!!  Tubuh jago Pucuk Umun hancur  berkeping-keping, jatuh ke tanah  berlumuran darah. Para penonton,  pendukung jago Maulana Hasanuddin  bergemuruh sambil meneriakkan “Allahu  Akbar! Hidup Maulana Hasanuddin! Hidup Syariat Islam!”
Demikianlah,  akhirnya Maulana Hasanuddin memenangkan adu kesaktian  melawan Pucuk  Umun. Pucuk Umun mengaku kalah, melangkah mendekati  Maulana Hasanuddin,  memberi hormat dan menyerahkan golok dan tombak  miliknya sebagai tanda  pengakuan atas kemenangan Sang Maulana. Pucuk  Umun undur pamit setelah  mengaku kalah dan menyerahkan daulatnya atas  Banten, dan kemudian  bermukim di Ujung Kulon sampai akhir hayatnya.  Adapun pengikutnya yang  loyal, memutuskan untuk memisahkan diri dari  masyarakat Islam. Mereka  menetap di Desa Kanekes, Kecamatan  Leuwidamar, Lebak sampai sekarang sebagai satu komunitas yang  melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.
Sementara  itu, pada hari itu juga, 800 ajar dan dua orang Punggawa  Pajajaran,  Mas Jong dan Agus Jo, menyatakan diri masuk Islam dengan  mengucapkan  dua kalimat syahadat di hadapan Sultan Maulana Hasanuddin.  Dengan  masuknya mereka ke dalam masyarakat muslim, maka semakin muluslah  jalan  bagi Sultan Maulana Hasanuddin untuk mewujudkan sebuah Negara  Islam di  Banten. Pusat Pemerintahan pun dipindahkan, pada tanggal 1  Muharram  933 H atau 8 Oktober 1526, dari Banten Girang (dekat Serang  sekarang)  ke daerah pesisir yang kemudian dikenal dengan nama Surosowan,  yang  sekarang disebut Banten Lama.






anda yakin foto yg dipampang itu foto atau lukisannya sultan hasanudin Banten?
ReplyDeletefoto ni hanya ilustrasi
ReplyDeleteapa bila anda tidak yakin akan foto sultan Hasanudin Banten. sebaiknya dihapus saja, karena dapat menimbulkan banyak pertanyaan.
ReplyDeleteok ok ,, foto segera d hapus .. mohon maaf sblmnya ^_^
DeleteSepertinya alur ceritanya bukan gitu deh,,ente asli orang banten bukan?
ReplyDeleteAlahkah baiknya informasi itu valid, agar tidak ada salah paham ... Lebih baik nonton di s128 !
ReplyDelete