"Ibu tidak akan izinkan kamu pergi, Dampu." Dia teringat  kata-kata Ibunya tadi pagi.
"Tapi, Bu..." sergah Dampu Awang.
"Tidak! Sekali tidak, tetap tidak!'' Wajah ibunya mulai memerah.  "Ibu tahu, nong. Kamu pergi supaya kita tidak sengsara terus. Tapi ibu sudah  cukup dengan keadaan kita seperti ini," lanjut ibunya sambil terus  menginang.
"Ibu, Dampu janji. Kalau Dampu pulang nanti, Dampu akan  membahagiakan ibu. Dampu akan menuruti segala perintah ibu. Coba ibu bayangkan,  nanti kita akan kaya, Bu. Kita akan bangun rumah yang besar seperti rumah para  bangsawan." Dampu Awang merayu ibunya.
"Dampu ... Ibu lelah," ujar ibunya. "Ibu sudah bosan mendengar  ocehanmu tentang harta kekayaan. Setiap hari kamu selalu saja melamun ingin  cepat kaya"
Perkataan itu betul-betul menohok tepat di ulu hati Dampu.
"Kamu tahu nong," Ibu melanjutkan ceramahnya. "Ibu masih kuat  sampai sekarang, itu karena kamu. Karena masih ada kamu, Dampu. Nanti kalau kamu  pergi, siapa yang menemani ibu? Sudahlah, Dampu... Ibu sudah lelah"
Selepas shalat maghrib Dampu Awang kembali menemani laut dari  beranda rumah. Wajahnya masih menyisakan harapan sekaligus kekecewaan yang  teramat sangat mendalam. Batinnya terus menerus bergejolak. la masih kesal  dengan ucapan ibunya.
Apakah ibu tidak tahu di Malaka sana   banyak sekali pekerjaan yang akan membuat  aku kaya? ujar Dampu dalam hati. Dan kalau aku kaya, tentu ibu akan turut kaya  raya. Seharusnya ibu melihat jauh ke masa depan, kita tidak akan kaya kalau kita  selamanya hidup di kampung nelayan miskin ini terus.
Kesempatan ini telah lama aku nantikan. Seorang saudagar asal  Samudera Pasai datang berdagang ke Banten. Setelah satu bulan lamanya menetap di  Banten, kini saatnya saudagar itu angkat sauh dan kembali berlayar ke negeri  asal. Tinggal satu minggu lagi, kapal itu akan berlabuh. Namun, ibu belum juga  memberikan izin.
"Dampu..." ucap ibunya lembut, khawatir mengagetkan anaknya.
Dampu melihat ibunya tersenyum. Di matanya ada kehangatan cinta  yang mendalam. Batin Dampu kembali terguncang. Hatinya terus bertanya-tanya.
"Ada   apa, Ibu?" tanya Dampu.
Ibu hanya tersenyum. Matanya meneravvang mencari bintang di  langit cerah kemudian memandang' deburan ombak di lautan yang bersinar karena  ditimpa sinar gemerlap rembulan.
Betapa bahagia hati Dampu Awang mendengar ibunva memberi izin. la  merasakan dadanya menghangat. seolah diselimuti pusaran energi yang dahsyat.  Matanya mulai berembun. Dampu Awang pun membentuk sebuah lengkungan manis di  bibirnya.
"Terima kasih, Ibu..."
Deburan ombak, semilir angin laut, bau asin pantai, kepak sayap  burung-burung camar, lambaian orang-orang kampung, mengiringi kepergian  rombongan saudagar dari pelabuhan. Dampu Awang melihat ibunya meratapi  kepergiannya. Sebening embun menggenang di pelupuk mata. Masih terngiang di  telinganya petuah-petuah yang diberikan ibunya sesaat sebelum ia pergi.
"Dampu..." ujar ibunya, "Ibu titip si Ketut. Kamu harus merawat  si Ketut baik-baik, ya nong. Si Ketut ini dulunya peliharaan bapakmu. Bapakmu  dulu sangat menyayangi si Ketut. la sangat mahir sebagai burung pengirim pesan.  Kamu harus rutin mengirimi ibu kabar. Jaga baik-baik si Ketut seperti kamu  menjaga ibu, ya nong," Ibu melanjutkan petuah-petuahnya. Air matanya sudah tidak  mampu dibendung lagi.
"Enggih, Bu." Hanya itu yang mampu Dampu ucapkan saat ibunya  memberikan puluhan petuah sebelum Dampu berlayar. Tapi ia berjanji akan  mengirimi Surat    untuk Ibunya tercinta setiap awal purnama.
Setiap hari, saat bola api langit masih malu-malu menyembulkan  jidatnya di permukaan bumi, Dampu Awang bekerja membersilikan seluruh galangan  kapal dan merapihkan barang-barang di kapal saudagar Teuku Abu Matsyah.
Hari berganti, bulan bergulir, tahun bertambah. Dampu Awang kini  terkenal sebagai pekerja yang rajin. Tak aneh, jika Teuku Abu Matsyah begitu  perhatian padanya. Bahkan Siti Nurhasanah, putri Teuku Abu Matsyah, diam-diam  menaruh hati padanya. Hingga suatu hari Teuku Abu Matsyah memanggil Dampu Awang  untuk berbicara empat mata.
"Dampu..." Ujar Abu Matsyah mengawali pembicaraan.
"Saya, Juragan"
"Kita Sudah saling kenal lebih dari lima   tahun. Itu bukanlah  waktu yang sebentar untuk saling mengenal," suara Abu Matsyah terdengar berat.  -Saya kagum dengan kerajinanmu, Dampu."
"Terima kasih, Juragan"
"Karena itu, saya berniat untuk menjodohkan kamu dengan putriku.  Siti Nurhasanah," kata Abu Matsyah seraya menyisir-nyisir janggut putihnya.
Dampu Awang terkejut bukan main. la tak menyangka Teuku Abu  Matsyah berbuat sejauh ini. Diam-diam ia memang mencintai Siti Nurhasanah, tapi  apa pastas? Lantas bagaimana dengan restu ibunya di Banten'? Apakah ia marnpu  membahagiakan Siti? Berpuluh-puluh pertanyaan bersarang di kepala Dampu  Awang.
"Bagaimana, Dampu?" Pertanyaan Abu Matsyah membawa Dampu Awang  kembali ke alam nyata. 
"Maaf, Juragan. Saya bukan rnenolak niat baik juragan." Dampu  menanti saat yang tepat. "Tetapi apakah saya pastas?"
"Jadi kamu menolak niat baik saya, Dampu?"
"Maaf. Juragan. saya tidak berani menolak niat baik juragan. Tapi  ..."
Sudah satu dasawarsa Dampu Awang meninggalkan tanah kelahirannya.  la hanya mengirimkan empat kali surat   kepada ibunva di Banten. Hingga suatu  hari, tersiarlah kabar akan ada saudagar besar dari Malaka. Kabar itu merembet  dengan cepat seperti kecepatan awan yang ditiup angin. Setiap orang ramai  membicarakan kekayaan saudagar itu.
"Jangan-jangan Dampu Awang pulang," ujar ibunya sumringah. "Dampu  Awang, putraku, akhirnya pulang." Ujar ibunya lagi. Dari suaranya tercermin  jelas keharuan dan kegembiraan yang tiada terkira. Yang tidak akan mampu  terangkum dalam rangkaian kata atau terlalu besar untuk disimpan di dalam gubuk  reotnya.
"Alhamdulillah, hatur nuhun Gusti Allah. Alhamdulillah...  Alhamdulillah... Alhamdulillah," berkali-kali wanita itu berucap syukur.
"Woi! Kapalnya sudah datang!" seseorang berseru dari arah  pantai
"Hei lihat! Kapalnya besar sekali!" sahut orang yang lain.
Kapalnya luar biasa besar dan megah. Sampai-sampai membentuk  bayangan di pantai. Kayunya dari  bahan  kayu pilihan. Layarnya luas terbentang. Para   awak kapal yang gagah tengah sibuk menurunkan barang bawaan.
Penduduk Banten semakin lama semakin banyak yang merubungi  pantai. Mereka penasaran siapa yang datang berkunjung. Ibu Dampu Awang adalah  salah satu diantara lautan manusia yang semakin membludak saja itu. Tampang Ibu  Dampu Awang lusuh bukan main, bahkan pakaiannya lebih kumal dibanding bendera  kapal megah itu.
Sementara itu, di dalam kapal Dampu Awang gelisah. la sekarang  sudah menjadi pewaris kekayaan tunggal dari   Teuku Abu Matsyah. Sejak Dampu menikah dengan Siti Nurhasanah, mertuanya  itu mempercayakan seluruh harta kekayaannya kepada Dampu. Selang beberapa lama  Teuku Abu Matsyah meninggal dunia. Dan kini, namanya sudah tersohor menjadi  pedagang yang kaya raya dari Malaka.
Sengaja ia singgah di kampung halamannya, ingin melihat apakah  ibunya masih hidup. Hanya untuk sekadar melihat saja. Ratusan pasang tatap mata  mengiringi seorang lelaki tampan nan gagah yang keluar dari ruangan kapal.  Bajunya terbuat dari kain emas dan pecinya sangat indah sekali. Di pinggangnya  terselip golok sakti yang menjadi idaman setiap pendekar. Di pundaknya  bertengger seekor burung perkutut yang terlihat sangat sehat.
Di samping lelaki itu terdapat seorang perempuan cantik yang  digapitnya mesra. Dia pasti istrinya. Wajahnya putih bersih dan bercahaya.  Sedangkan rambutnya hitam legam seperti langit malam. Suatu kombinasi yang  sempurna. Cantik sekali!
"Dampuuuuuu! Dampu Awaaaaaang! Ini Ibu. Di sini. Sebelah sini!"  teriak Ibu Dampu Awang sambil melambai-lambaikan tangan. Mendadak wanita tua itu  kembali mendapatkan tenaganya kembali. Gairah yang ia rasakan seperti dulu  sebelum Dampu Awang, putranya, pergi.
"Dampu Awaaaaaang!" teriak sang ibu sekali lagi.
Semua perhatian terpusat pada Ibu Dampu Awang yang dari tadi  berteriak-teriak. Semua heran, apa betul wanita tua dekil ini adalah ibu dari  saudagar yang kaya raya itu.
"Kang Mas, apa betul dia ibumu?" tanya istri Dampu Awang.  "Mengapa Kang Mas tidak pernah cerita, kalau orang tua Kang Mas masih  hidup'?"
"Tidak! Wanita tua itu bukan ibuku!" tampik Dampu Awang dengan  cepat. "Dia hanya seorang wanita gila yang sedang meracau!"
Dari  atas kapal Dampu  Awang menatap kerumunan penduduk yang wajahnya tampak kebingungan.
"Wahai penduduk Banten!" seru Dampu Awang. "Tidak usah bingung.  Dia bukan ibuku. Kedua orang tuaku sudah mati. Mereka adalah manusia terhormat  yang kaya raya. Bukan seperti wanita tua itu yang berpakaian compang camping dan  miskin sengsara!"
Perkataan Dampu Awang tadi bagai petir di siang bolong. Seperti  ada godam besar yang menghujam berkali-kali ke sanubari Ibu Dampu Awang.  Perasaannya lebih sakit dibanding saat kematian suaminya atau saat melepas  putranya berlayar.
"Hei, wanita tua gila!" Dampu Awang menunjuk ibunya. "Aku tidak  pernah mempunyai ibu sepertimu. Demi Allah, ibuku adalah seorang yang kaya raya,  bukan seorang wanita miskin yang hina sepertimu!"
Luka yang ditorehkan oleh ucapan Dampu Awang itu semakin  membesar. Menganga di dalam hati sang ibu. Sang ibu tertunduk lesu. la bersimpuh  di atas kedua lutut keriputnya.
"Nakhoda, cepat kita pergi dari sini. Batalkan janji bertemu  dengan Sultan. Kita akan lanjutkan perjalanan!" Dampu Awang memerintah. la harus  lekas pergi sebelum orang-orang tahu kalau wanita tua yang dekil itu adalah ibu  kandungnya. Mau ditaruh di mana mukaku, ujarnya dalam hati.
Sang ibu tertunduk lesu. Air matanya semakin tidak terbendung.  Harapan, kebahagian, kegembiraan, suka cita, yang telah dihimpunnya selama  puluhan tahun, kini seolah semuanya telah menguap tanpa bekas. Penantiannya  selama puluhan tahun harus berakhir dalam kesakithatian yang semakin  mendalam.
"Duhai, Gusti. Hampura dosa," Ibu Dampu awang berdoa. "Kalau  memang benar dia bukan anakku, biarkan ia pergi. Tapi kalau dia adalah putraku,  hukumlah ia karena telah menyakiti perasaan ibunya sendiri." Ibu Dampu Awang  khusyuk berdoa. Khidmat.
Tiba-tiba langit gelap. Awan-awan hitam datang tanpa diundang.  Berkumpul menjadi satu kesatuan. Hitam dan besar. Hingga sinar matahari pun  tidak mampu lagi terlihat. Siang hari yang cerah mendadak seperti malam yang  gelap gulita. Petir. Kilat. Guntur  . Saling sambar menyambar. Hujan  deras.
"Ada   badai. Cepat berlindung!" teriak seorang  warga.
Langit muntah. Langit muntah. Muntah besar. la menumpahkan segala  yang dikandungnya. Dunia serasa kiamat. Dampu Awang beserta kapalnya  terombang-ambing di lautan. Dipermainkan oleh alam. Allah telah menjawab  rintihan seorang hamba yang didzalimi. Para   awak kapal ketakutan, mereka ramai-ramai menerjunkan diri ke laut. Petir  menyambar galangan kapal dan layar. Tiang-tiang kapal tumbang.
Tiba-tiba keajaiban terjadi. Si Ketut bisa bicara.  "Akuilah....Akuilah... Akuilah ibumu, Dampu Awang."
"Tidak! Dia bukan ibuku! Dia bukan ibuku. Ibuku telah mati!"  sergah Dampu Awang.
"Akuilah....Akuilah... Akuilah ibumu, Dampu Awang" si Ketut  mengulangi ucapannya.
"Ya Allah, berilah pelajaran yang setimpal sebagaimana yang ia  lakukan padaku," Ibu Dampu Awang kembali berdoa.
Angin puyuh besar pun datang. Meliuk-liuk ganas di atas laut.  Menyedot dan terus berputar. Kapal Dampu Awang ikut tersedot. Kapal Dampu Awang  terbang masuk ke dalam pusaran angin puyuh. Berputar-putar. Terus berputar dalam  pusaran angin puyuh.
"lbuuuuuu, tolong aku! Ini anakmu Dampu Awang!" Dampu Awang  berteriak ketakutan.
Sang Ibu tetap tidak bergeming.
Kapal yang berisi segala macam harta kekayaan itu dipermainkan  oleh angin. Berputar-putar. Dan akhirnya terlempar jauh ke selatan. Jatuh  terbalik.
Menurut penuturan masyarakat, kapal Dampu Awang yang karam  berubah menjadi Gunung Pinang. Gunung itu terletak tepat di samping jalur lalu  lintas Serang - Cilegon, kecamatan Kramat Watu, kabupaten Serang, propinsi  Banten. Hingga kini, setiap orang dengan mudah dapat menyaksikan simbol  kedurhakaan anak pada ibunya itu.
oleh: Adkhilni MS 
No comments:
Post a Comment