Dr
Musthafa, Ketua Muktamar Al-Alami untuk Pemeliharaan HAM di Bosnia
Herzegovina pernah menanyakan sesuatu
yang menyakitkan dan membingungkan kepada Syekh Yusuf Qardhawi.
Pertanyaan
Dr Musthafa ini ia kutip dari kasus beberapa orang remaja putri yang diperkosa
oleh tentara Serbia yang kejam lagi bengis.
Tentara
Serbia tersebut sering mengintimidasi umat Islam Bosnia serta tidak mengindahkan kehormatan dan harkat
manusia. Akibat kekejaman mereka, banyak gadis Muslimah yang hamil.
Remaja
putri Muslimah tersebut banyak menderita gangguan mental, ketakutan, sekaligus
bingung dengan janin yang dikandungnya. Apakah sikap yang semestinya dilakukan
oleh remaja putri yang menjadi korban tindak kriminalitas tersebut?
Apakah
syarak memperbolehkan para remaja putri tersebut menggugurkan kandungan mereka?
Kalau kandungan itu dibiarkan hingga si
janin dilahirkan dalam keadaan hidup, maka bagaimana hukumnya? Kemudian bagi
wanita Muslimah yang diperkosa tersebut, sampai dimanakah tanggung jawabnya terhadap
janin yang dikandungnya?
Menyikapi
hal yang pelik ini, Syekh Yusuf Qardhawi menjawab hal ini dalam muktamar yang
diselenggarakan di Zagreb, ibukota Kroasia. Syekh Al-Ghazali yang juga hadir
dalam muktabar tersebut juga menyerahkan
persoalan ini kepada Qardhawi untuk menjawabnya.
Pertanyaan yang serupa pernah diajukan kepada Qardhawi
oleh Muslim di Eritrea mengenai
nasib yang menimpa anak-anak dan
saudara-saudara perempuan mereka akibat ulah tentara Nasrani
yang tergabung dalam
pasukan pembebasan Eritrea.
Pertanyaan
yang sama juga pernah diajukan beberapa tahun
lalu oleh sekelompok wanita
Mukminah dari penjara orang-orang
zalim jenis thaghut di beberapa negara Arab Asia kepada
sejumlah ulama di negara-negara
Arab. Isinya, apa yang harus mereka lakukan
terhadap kandungan mereka
yang merupakan kehamilan haram
yang terjadi karena pemerkosaan
dan sama sekali bukan atas kehendak mereka.
Pertama-tama,
Qardhawi menerangkan bahwa sama sekali wanita-wanita tersebut tidak menanggung
dosa sama sekali terhadap apa yang terjadi pada diri mereka, selama mereka
sudah berusaha menolak dan memeranginya.
Mereka
yang dipaksa di bawah acungan senjata dan
di bawah tekanan
kekuatan yang besar, apalah yang dapat diperbuat oleh wanita tawanan
yang tidak punya kekuatan di hadapan para penawan atau pemenjara yang
bersenjata lengkap yang tidak takut kepada Sang Pencipta dan tidak menaruh belas kasihan kepada makhluk?
Allah
SWT tidak menganggap dosa dari orang yang terpaksa dalam masalah yang lebih
besar daripada zina, yaitu kekafiran dan mengucapkan kalimatul-kafri.
Firman-Nya,
"Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam
beriman (dia tidak berdosa)." (QS. An-Nahl: 106).
Bahkan
Alquran mengampuni dosa (tidak berdosa) orang yang dalam keadaan darurat,
meskipun ia masih punya sisa kemampuan lahiriah untuk berusaha, hanya saja
tekanan kedaruratannya lebih kuat.
Allah berfirman setelah menyebutkan macam-macam
makanan yang diharamkan, “Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi
Mahapenyayang." (QS. Al-Baqarah: 173).
Rasulullah
SAw bersabda,"Sesungguhnya Allah menggugurkan dosa dari umatku atas suatu
perbuatan yang dilakukannya karena khilaf (tidak sengaja), karena lupa, dan
karena dipaksa melakukannya."
Qardhawi
menasihatkan kepada pemuda-pemuda Muslim agar mendekatkan diri kepada Allah
dengan menikahi salah seorang dari wanita-wanita tersebut. Dengan tujuan untuk
mengobati luka hati mereka yang telah
kehilangan sesuatu yang paling berharga sebagai wanita terhormat dan suci.
Adapun
menggugurkan kandungan, maka pada dasarnya hal ini terlarang. Semenjak
bertemunya sel sperma laki-laki dan sel telur perempuan, yang dari keduanya
muncul makhluk yang baru dan menetap di
dalam tempat menetapnya yang kuat di dalam rahim.
Maka makhluk baru ini harus dihormati, meskipun ia
hasil dari hubungan yang haram seperti zina. Dan Rasulullah SAW telah
memerintahkan wanita Ghamidiyah yang mengaku telah berbuat zina dan akan
dijatuhi hukuman rajam itu agar menunggu sampai melahirkan anaknya.
Setelah
itu ia disuruh menunggu sampai anaknya selesai masa menyusui. Baru setelah
itu dijatuhi hukuman rajam.
Inilah
fatwa yang dipilih Qardhawi untuk keadaan normal, meskipun ada sebagian fukaha
yang memperbolehkan menggugurkan kandungan asalkan belum berumur 40 hari. Hal
ini berdasarkan sebagian riwayat yang mengatakan bahwa peniupan roh terhadap
janin itu terjadi pada waktu berusia 40 atau 42 hari.
Bahkan
sebagian fukaha ada yang memperbolehkan menggugurkan kandungan sebelum berusia 120 hari, berdasarkan riwayat
yang masyhur bahwa peniupan roh terjadi pada waktu itu.
Namun,
Qardhawi sendiri berpendapat dan yang ia
pandang kuat ialah pendapat yang melarang hal tersebut.
Meskipun
dalam keadaan uzur tidak ada halangan untuk mengambil salah satu di antara dua pendapat
terakhir tersebut.
Apabila
uzurnya semakin kuat, maka rukhshahnya semakin jelas. Dan bila hal itu terjadi
sebelum berusia 40 hari, maka yang demikian lebih dekat kepada rukhshah
(kemurahan/kebolehan).
Selain itu, tidak diragukan lagi bahwa pemerkosaan
dari musuh yang kafir dan durhaka,
yang melampaui batas
dan pendosa, terhadap wanita
Muslimah yang suci dan bersih, merupakan uzur yang kuat bagi si Muslimah dan
keluarganya karena ia
sangat benci terhadap janin
hasil pemerkosaan tersebut serta ingin terbebas daripadanya.
Maka,
ini merupakan rukhshah yang difatwakan karena darurat, dan darurat itu diukur
dengan kadar ukurannya. Meskipun begitu, kita juga tahu bahwa ada fukaha yang
sangat ketat dalam masalah ini, sehingga mereka melarang menggugurkan
kandungan meskipun baru berusia satu
hari.
Bahkan,
ada pula yang mengharamkan usaha pencegahan kehamilan, baik
dari pihak laki-laki maupun dari pihak
perempuan, ataupun dari kedua-duanya.
Hal ini dengan beralasan beberapa hadis yang menamakan nazl sebagai pembunuhan tersembunyi
(terselubung). Maka tidaklah
mengherankan jika mereka
mengharamkan pengguguran setelah terjadinya kehamilan.
Pendapat
terkuat ialah pendapat yang tengah-tengah antara yang memberi kelonggaran
dengan memperbolehkannya dan golongan yang ketat yang melarangnya.
Sedangkan
pendapat yang mengatakan bahwa
sel telur wanita setelah dibuahi
oleh sel sperma
laki-laki telah menjadi manusia, maka yang demikian
hanyalah semacam majas
(kiasan) dalam ungkapan, karena kenyataannya ia adalah bakal manusia.
Memang benar
bahwa wujud ini
mengandung kehidupan, tetapi kehidupan itu sendiri bertingkat-tingkat
dan bertahap, dan sel sperma serta sel
telur itu sendiri
sebelum bertemu sudah mengandung kehidupan, namun yang demikian bukanlah
kehidupan manusia yang telah diterapkan hukum padanya.
Karena
itu, rukhshah terikat dengan kondisi uzur yang muktabar (dibenarkan), yang
ditentukan oleh ahli syarak,
dokter, dan cendekiawan. Sedangkan
yang kondisinya tidak demikian,
maka tetaplah ia dalam hukum asal, yaitu terlarang.
Bagi
wanita Muslimah yang mendapatkan cobaan dengan musibah seperti ini
(korban perkosaan) hendaklah memelihara janin tersebut.
Sebab
menurut syarak, ia tidak menanggung dosa. Sebagaimana ia tidak dipaksa untuk
menggugurkannya.
Dengan
demikian, apabila janin tersebut tetap dalam kandungannya selama kehamilan
hingga ia dilahirkan, maka dia adalah anak Muslim, sebagaimana sabda Nabi SAW,
"Tiap-tiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah."
Yang
dimaksud dengan fitrah ialah tauhid, yaitu Islam. Menurut ketetapan fiqhiyah,
bahwa seorang anak apabila kedua orang
tuanya berbeda agama, maka dia mengikuti orang tua yang terbaik agamanya.
Ini
bagi orang (anak) yang diketahui ayahnya, maka bagaimana dengan anak yang tidak
ada bapaknya? Sesungguhnya dia adalah anak Muslim, tanpa diragukan lagi.
Dalam hal
ini, bagi masyarakat
Muslim sudah seharusnya mengurus
pemeliharaan dan nafkah anak itu serta memberinya pendidikan yang baik, jangan menyerahkan beban itu kepada ibunya
yang miskin dan yang telah terkena cobaan.
Demikian
pula pemerintah dalam Islam, seharusnya bertanggung jawab terhadap pemeliharaan
ini melalui departemen atau badan sosial tertentu. Dalam hadis sahih Muttafaq
'alaih, Rasulullah SAW bersabda,
“Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai
pertanggungjawabannya."