Sunday 5 April 2015

Jawaban Ruh Ketika Akan Dicabut


           Diriwayatkan dalam sebuah hadits, sesungguhnya Malaikat Maut ketika menghendaki untuk mencabut nyawa orang mukmin, maka ruhnya akan berkata,  “Aku tidak akan patuh kepadamu selama engkau belum diperintahkan untuk itu.” Menanggapi kejadian seperti itu, Malaikat Maut berkata, “Aku diperintahkan untuk mencabutmu.” Ruh itu tetap belum percaya , dan meminta agar Malaikat Maut menunjukkan buktinya, dan berkata, “Sesungguhnya Tuhanku telah menciptakanku dan memasukkanku ke dalam jasadku, sedangkan engkau tidak ada di sana ketika kejadian itu. Sekarang engkau menghendaki untuk mengambilku?” Merasa dirinya terpojokkan, Malaikat Maut kembali menghadap Allah. Allah bertanya kepada Malaikat Maut, “Apakah engkau sudah mencabut nyawa hamba-Ku?” Malaikat Maut menjawab pertanyaan itu dengan hormat, “Ya Tuhanku, sesungguhnya hamba-Mu telah berkata demikian …, dan demikian …, dia meminta suatu bukti dariku.” Allah pun berfirman, “Benar, ruh hamba-Ku itu. Hai Malaikat Maut, pergilah ke surga dan ambillah buah apel. Di atas buah apel itu ada tanda-Ku, lalu tunjukkan kepadanya.”
            Malaikat Maut segera pergi ke surga dan memetik satu buah apel yang bertuliskan bismillahirrahmanirrahiim. Ia membawanya turun ke bumi. Tatkala Malaikat Maut menunjukkan buah apel tersebut kepada ruh itu, maka keluarlah ruh itu dengan cepat, dan terasa nikmat serta sangat bahagia tanpa rasa sakit karena keindahan dan aroma surga yang telah terpampang diwajahnya.
            Di dalam firman Allah disebutkan betapa remehnya di dunia dalam at-Taubah ayat 38 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu, ‘Berangkatlah untuk berperang pada jalan Allah,’ kamu merasa berat dan ingin tinggal ditempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.”
            Bukankah dunia akan terlihat hina dank arena dunia memang hina ketika kita sudah mampu menggapai kehidupan surga? Dunia memang tidak akan pernah sebanding dengan surga. Apa pun yang terindah di dunia, tidak akan pernah mampu mengimbangi dengan apa yang ada di surga. Dan, cara penggapaiannya pun sangatlah berbeda. Jika kita ingin menggapai dunia, maka semakin kita kejar, dunia akan semakin jauh meninggalkan kita, dan itu hanya bersifat fana atau sementara saja. Sedangkan jika kita menginginkan menggapai surga, semakin kita mengejarnya,dia malah akan bertambah mendekati kita, dan dengan sifatnya yang kekal selamanya. Sekarang, terserah kita, menjadikan dunia yang kita miliki untuk semakin menjauhkan kita dari surga, atau menjadikan dunia sebagai kendaraan untuk mengejar surga. Bukankah memang semua itu selalu ada cara untuk menemukan dari apa yang kita damba?
            Sebuah peringatan Allah kepada hamba-hamba-Nya agar mereka tidak terlalu mencintai dan menggandrungi dunia. Allah berfirman, “Hai cucu Adam, barangsiapa yang sedih karena perkara dunia, maka ia semakin jauh dari Allah. Sedangkan dia di dunia semakin payah bekerja, dan akhirnya di akhirat bertambah pula kesukarannya. Dan, Allah akan menempatkan tekad yang tak putus-putus di dalam hatinya, pada kesibukan yang tidak menyisakan kekosongan waktu selamanya, juga kemiskinan yang jauh dari kekayaan, dan angan-angan yang selalu menyibukkan. Hai cucu Adam, kau tidak tahu umurmu semakin berkurang, setiap hari Aku bawakan rezekimu, tetapi kamu tidak bersyukur dengan memuji-Ku. Aku tidak mereasa cukup pada yang sedikit. Pada yang banyak kau tidak merasa terpuaskan. Hai cucu Adam, tidaklah terlewat hari kecuali rezeki datang dari-Ku. Tidak terlewat malam, kecuali malaikat membawa amal burukmu. Engkau memakan rezeki-Ku, tetapi kemudian engkau bermaksiat kepada-Ku. Engkau berdoa, Aku kabulkan. Kebaikan-Ku telah turun kepadamu, dan juga kejelakanmu telah sampai kepada-Ku. Sebaik-baik pelindungmu adalah Aku, sejelek-jelek hamba adalah kamu. Engkau menyembunyikan apa yang Aku beri, padahal aku telah menutupi kejelekanmu. Aku malu kepadamu, tetapi engkau tidak. Engkau melupakan-Ku, dan ingat pada selaik-Ku. Engkau takut kepada sesama manusia, tapi merasa aman dari-Ku. Engkau takut kebencian mereka kepadamu, tetapi merasa aman dari kemurkaan-Ku.”

Sumber :
Imam Abdurrahman bin Ahmad al-Qadhi. Daqaiqul Akhbar. DIVA Press. Yogyakarta. 2009.