Tuesday 28 February 2012

Hukum Mencangkok Organ Tubuh




JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan, hukum transplantasi atau cangkok organ tubuh diperbolehkan selama sesuai dengan ketentuan syariat. Sebaliknya, jika tidak memenuhi ketentuan syariat, cangkok organ tak boleh dilakukan.
Ketentuan hukum mengenai cangkok organ tersebut tertuang dalam fatwa yang dikeluarkan MUI pada 2010. Fatwa tersebut menegaskan, pencangkokan yang diperbolehkan jika melalui hibah, wasiat dengan meminta, tanpa imbalan, atau melalui bank organ tubuh. Donor organ tubuh dari orang meninggal juga diperbolehkan dengan syarat kematiannya disaksikan dua dokter ahli.
Transplantasi dihukumi boleh, karena salah satu dasarnya adalah adanya maslahat yang lebih besar. Maslahat itu ditentukan oleh kesaksian tim medis berdasarkan analisis kedokteran yang kuat. "Namun, transplantasi diharamkan bila didasari tujuan komersial. Tidak boleh diperjualbelikan," kata Ketua MUI, Ma'ruf Amin, beberapa waktu lalu.
Ketua Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (NU) Zulfa Musthofa, mengatakan, kesimpulan yang sama diputuskan pula oleh NU. Bahkan, hukum transplantasi tersebut disepakati dalam Muktamar NU.
Kesimpulannya, transplantasi organ tubuh menurut hukum Islam diperbolehkan. Dengan catatan, jelas Zulfa, syarat dan ketentuan syariatnya terpenuhi. Di antara syarat itu adalah persetujuan dari pemilik organ tersebut. “Kalau tidak ada izin itu, tidak boleh.”
Hukum cangkok organ juga dibahas di Forum Bahtsul Masail pada Kongres ke-16 Muslimat NU beberapa waktu lalu. Tiga narasumber tampil memberikan pandangan terkait masalah ini, yaitu Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA (Rais Syuriah PBNU Bidang Fatwa yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal), Prof Dr Dra Istibsjaroh SH MA (praktisi hukum Islam), dan Dr Imam Susanto (dokter spesialis bedah).
KH Ali Mustafa mengatakan, sebagai sesuatu yang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW, transplantasi organ tubuh manusia sempat diperselisihkan hukumnya oleh ulama.
Ada pendapat yang membolehkan, ini sesuai dengan hadis Bukhari dan Muslim yang menyebutkan, organ tubuh akan hancur kecuali tulang ekor. “Karena itu, memanfaatkan sesuatu yang apabila tidak dimanfaatkan akan hancur adalah hal yang baik, jadi hukumnya boleh,” kata Mustafa.
Namun, adapula yang mengharamkan. Mereka yang berpendapat seperti ini, salah satunya berpegang pada surat Ali Imran ayat 109 yang intinya menyebutkan, apa saja yang ada di langit dan bumi adalah milik Allah, manusia menggunakan saja. “Jadi, memberikan sesuatu yang tidak kita miliki kepada orang lain hukumnya haram,” jelas Mustafa.
Kedua pendapat ini, menurut dia, saling bertolak belakang. Namun, pendapat yang rajih (kuat) dalam transplantasi organ tubuh adalah pendapat pertama yang memperbolehkan, dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan.

Sumber : Republika.co.id

Bodohnya Diriku



Aku tau, aku telah membuat banyak sekali luka dihatimu..
Aku sadar, aku telah membuatmu lelah disampingku..
Aku pun mengerti, betapa sedihnya hatimu saat aku tak menghiraukanmu..

Maafkan Aku, karena aku tak pernah melihat kasih sayangmu yang begitu tulus padaku..
Maafkan aku, karena aku telah menyia-nyiakan dirimu..
Maafkan aku, karena aku tidak pernah memikirkan sedikit pun perasaanmu..
Maafkan aku, karena aku tidak pernah menghargai setiap waktu yang kamu kasih ke aku..
Maafkan aku, karena aku telah membuatmu sakit hati..
Dan maafkan aku, karena aku begitu egois telah memaksamu kembali ke sisiku..

Aku tahu aku orang yang sangat-sangat BODOH..
Mengapa?? Karena aku merelakan orang yang ternyata sangat aku sayangi pergi begitu saja dari sisiku..
Dan bodohnya lagi, aku baru menyadari kalau ternyata kamu begitu berarti buat diriku..
dan banyak hal terbodoh ketika,
Tak pernah terpikir olehku betapa hancunya hatiku saat kamu meninggalkan aku..
Tak pernah terpikir olehku bahwa kamu lah satu-satunya orang yang aku sayangi..
Tak pernah terpikir olehku betapa berharganya kamu untukku..
Dan tak pernah terpikir olehku bahwa kamulh yang aku perlukan untuk slalu disampingku..
Mungkin sekarang hatimu sudah tak lagi untukku..
Mungkin sekarang kamu tak lagi menyayangiku..
Andaikan saja aku dapat memutarkan waktu..
Aku pasti akan menjaga hatimu, aku pasti tidak akan meyia-nyiakan dirimu, dan
Aku akan brusaha sekeras mungkin untuk tidak mengecewakanmu..

Pusat-pusat Peradaban Islam : Isfahan (Persia)




Isfahan adalah kota terkenal di Persia, pernah menjadi ibu kota Kerajaan Safawi. Kota ini merupakan gabungan dari dua kota sebelumnya, yaitu Jayy, tempat berdirinya Syahrastan dan Yahudiyyah yang didirikan oleh Buchtanashshar atau Yazdajir I atas anjuran istrinya yang beragama Yahudi. Ada beberapa pendapat tentang kapan kota ini ditaklukkan oleh tentara Islam. Pendapat pertama mengatakan penaklukkan itu terjadi pada tahun 19 H (640 M), dibawah pimpinan Abdullah Ibn ‘Atban atas perintah Umar Ibn Al’Khaththab untuk menaklukkan kota Jayy yang merupakan salah satu ibu kota provinsi Persia waktu itu. Setelah beberapa peristiwa, pengeuasanya memilih masuk Islam daripada membayar pajak. Pendapat lain, uaitu Al-Thabari, menyebutkan bahwa, penaklukan itu terjadi pada tahun 21 H (642 M). Aliran Bashrah menyebutkan, penaklukan Isfahan terjadi pada tahun 23 H (644 M) di bawah pimpinan Abu Musa Al-Asyi’ari, yaitu setelah penaklukan Nahawand atau di bawah pimpinan Abdullah Ibn Badil yang menerima penyerahan kota itu dengan syarat pembayaran pajak. Penaklukkan ulang terjadi pada masa khalifah Abbasiyah, Al-Mu’tazz, ketika tentara Abbasiyah berusaha memadamkan pemberontakan Al-Alawiyin di Thabaristan tahun 247 H (861 M). Sejak itu, kota ini menjadi kota penting sebagai ibu kota provinsi dan pusat industri dan perdagangan. 


Kota ini berbentuk bundar, pintunya ada empat dengan menara pengontrol sebanyak seratus buah. Lebar tembok kota sekitar setelah farsakh (satu farsakh sekitar 8 KM atau 3,5 mil). Rukn Al-Daulah Ibn Buwaih memperluas kota itu dengan sebidang tanah dan memperbaiki tembok-tembok kota yang masih berdiri hingga abad ke-5 H/11 M. Di dalam kota ini terdapat bangunan menyerupai benteng, disekitarnya terdapat tambang terbuat dari perak yang sudah tidak berfungsi lagi sejak penaklukkan tentara Islam, juga tambang tembaga, dan batu bahan celak. Ardasyir, raja Persia, pernah membangun irigasi untuk pengaturan air dari sungai Zandah, bernama Zirrin Rod, berarti sungai emas. Hingga sekarang, perekonomian negeri ini sangant tergantung kepada pertanian kapas, sandu dan tembakau. 


Kota ini, sebelum dibawah kekuasaan Kerajaan Safawi, sudah beberapa kali mengalami pergantian penguasa: Dinasti Samani tahun 301 H/913 H, kemudian, direbut oleh Mardawij  tahun 326 H/928 M dan memerdekakan diri dari kekuasaan Baghdad. Setelah itu, jatuh ke tangan penguasa Bani Buwaih dan pada tahun 421 H/1030 M direbut oleh Mahmud Al-Ghaznawi, penguasa dinasti Ghaznawiah. Dari penguasa Ghaznawiah ini, Isfahan lepas ke tangan spenguasa Saljuk dan dijadikan sebagai tempat tinggal Sultan Maliksyah. Di awal abad ke-6 H/ 12 M, di kota ini Syi’ah Islamiliah banyak memperoleh pengikut. Pada tahun 625 H/ 1228 M, terjadi pertempuran bersar di sini, ketika tentara mongol datang menyerbu negeri-negeri Islam dan menjadikan Isfahan sebagai salah satu bagian dari wilayah kekuasaan Mongol itu. Ketika Timur Lenk menyerbu negeri-negeri Islam, kota ini ikut jatuh ke tangannya tahun 790 H/1388 M dan sekitar 7000 orang penduduknya terbunuh. Setelah itu, kota ini dikuasai oleh kerajaan Usmani tahun 955 H/1548 M dan pada tahun 1134 H/1721 M, terjadi pertempuran anatara Husein Syah, raja Safawi dengan Mahmud Al-Afghani, yang mengakhiri riwayat kerajaan Safawi sendiri. Pada tahun 1141 H/1729 M, kota ini berada id bawah kekuasaan Nadir Syah.


Ketika raja Safawi, Abbas I, menjadikan Isfahan sebagai ibu kota kerajaannya, kota ini menjadi kota yang luas dan ramai dengan penduduk. Sebagaimana telah disebutkan, kota ini terletak di atas sungai Zandah. Di atas sungai ini terbentang tiga buah jembatan yang megah dan indah, satu diantaranya terletak di tengah kota. Sementara, dua lainnya di pinggiran kota. Kota ini, ketika berada di bawah kekuasaan Kerajaan Safawi, dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tanah dengan delapan buah pintu. Di dalam kota banyak berdiri bangunan, seperti istana-istana, sekolah-sekolah, masjid-masjid, menara-menara, pasar-pasar dan rumah-rumah yang indah, terukir rapih dengan warna-warna yang menarik. Masjid Syah yang masih ada sampai sekarang yang didirikan oleh Abbas I, merupakan salah satu masjid terindah di dunia. Pintunya di lapisi dengan perak. Di samping itu, juga ada lapangan dan tanaman yang terawat baik dan menawan.
Gmbar Masjid Syah di Isfahan.

Sumber :
Dr. Badri Yatim, M.A.”Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II”.PT Raja Grafindo Persada.Jakarta:2008.

Pendekatan Teologis Normatif Dalam Memahami Agama


Secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.


Jika diteliti lebih mendalam, dalam intern umat beragama tertentu dijumpai berbagai paham atau sekte keagamaan, seperti teologi Kristen-Katolik, teologi Kristen-Protestan dan lain sebagainya. Dalam Islam sendiri, secara tradisional, dapat dijumpai teologi Mu’tazilah, teologi Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Dan sebelumnya terdapat pula teologi yang bernama Khawarij dan Murji’ah. Menurut pengamatan Sayyed Hosein Nasr, dalam era komtemporer ini ada 4 prototipe pemikiran keagamaan Islam, yaitu pemikiran keagamaan fundamentalis, modernis, mesianis, dan tradisionalis. Keempat prototipe pemikiran keagamaan tersebut sudah barang tentu tidak mudah disatukan dengan begitu saja. Masing-masing mempunyai “keyakinan” teologi yang seringkali sulit untuk didamaikan. Mungkin kurang tepat menggunakan istilah “teologi” di sini, tapi menunjuk pada gagasan pemikiran keagamaan yang terinspirasi oleh paham ketuhanan dan pemahaman kitab suci serta penafsiran ajaran agama tertentu adalah juga bentuk dari pemikiran teologi dalam bentuk dan wajah yang baru. 


Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman kagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya sebagai salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan paham lainnya salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itu pun menuduh bahwa lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling meng-kafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah keterpurukan (eksklusifisme), sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak-kotak.


Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih lagi kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi, pada dasarnya memang tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Bercampur aduknya doktrin teologi dengan historisitas institusi sosial kemasyarakatan yang menyertai dan mendukungnnya menambah peliknya persoalan yang dihadapi umat beragama. Tapi, justru keterlibatan institusi dan pranata sosial kemasyarakatan dalam wilayah keberagamaan manusia itulah yang kemudian menjdai bahan subur bagi peneliti agama. Dari situ, kemudian muncul terobosan baru untuk melihat pemikiran teologi yang termanifestasikan dalam “budaya” tertentu secara lebih objektif lewat pengamatan empirik faktual, serta pranata-prana sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya.


Berkenaan dengan hal diatas, saat ini muncul apa yang disebut dengan istilah teologi masa kritis, yaitu suatu usaha manusia untuk memahami penghayatan imannya atau penghayatan agamanya, suatu penafsiran atas sumber-sumber aslinya dan tradisinya dalam konteks permasalahan masa kini, yaitu teologi yang bergerak antara dua kutub: teks dan situasi; masa lampau dan masa kini. Hal demikian mesti ada dalam setiap agama meskipun dalam bentuk dan fungsinya yang berbeda-beda.


Salah satu ciri dari teologi masa kini adalah sifat kritisnya. Sikap kritis ini ditujukan pertama-tama pada agamanya sendiri (agama sebagai institusi sosial dan kemudian juga kepada situasi yang dihadapinya). Teologi sebagai kritik agama berarti antara lain mengungkapkan berbagai kecenderungan dalam institusi agama yang menghambat panggilannya; menyelamatkan manusia dan kemanusiaan. 


Teologi kritis bersikap kritis pula terhadap lingkungannya. Hal ini hanya terjadi kalau agama terbuka juga terhadap ilmu-ilmu sosial dan memanfaatkan ilmu tersebut bagi pengembangan teologinya. Teologi ini bukan hanya berhenti pada pemahaman mengenai ajaran agama, tetapi mendorong terjadinya transformasi sosial. Maka beberapa kalangan menyebut teologi kepedulian sosial itu sebagai teologi transformatif.


Dengan memperhatikan uraian tersebut, terlihat bahwa pendekatan teologi dalam memahami agama cenderung bersikap tertutup, tidak ada dialog, parsial, saling menyalahkan, saling mengkafirkan, yang pada akhirnya terjadi perkotakan-perkotakan umat, tidak ada kerjasama dan tidak terlihat adanya kepedulian sosial. Dengan pendekatan demikian, agama cenderung hanya merupakan keyakinan dan pembentuk sikap keras dan tampak asosial. Melalui pendekatan teologi ini agama menjadi buta terhadap masalah-masalah sosial dan cenderung menjadi lambang atau identitas yang tidak memiliki makna.
Uraian diatas bukan berarti kita tidak memerlukan pendekatan teologi dalam memahami agama, karena tanpa adanya pendekatan teologi, keagamaan seseorang akan mudah cair dan tidak jelas identitas dan pelembagaannya. Proses pelembagaan perilaku keagamaan melalui mazhab-mazhab sebagaimana halnya yang terdapat dalam teologi jelas diperlukan. Antara lain berfungsi untuk mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi sebagai pembentukan karakter pemeluknya dalam rangka membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama.


Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi. Namun pendekatan teologis ini menunjukkan adanya kekurangan antara lain berfiat eksklusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain, dan sebagainya. Kekurangan ini dapat diatasi dengan cara melengkapinya dengan pendekatan sosiologis.


Pendekatan teologis ini selanjutnya erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang ekonomi, agama tampil menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran, dan saling menguntungkan. Untuk bidang ilmu pengetahuan, agama tampil mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang setinggi-tingginya, menguasai keterampilan, keahlian dan sebagainya. Demikian pula untuk bidang kesehatan, lingkungan hidup, kebudayaan, politik dan sebagainya agama tampil sangat ideal dan yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan.

Sumber :
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.

Monday 27 February 2012

Baterai Akan Tahan Lama Jika Disimpan Dalam Lemari Es





Baterai bekerja dengan mengubah energi kimia menjadi energi listrik yang dikenal dengan proses discharge. Semua baterai memiliki karakteristik yang mengalami kehilangan muatan (charge) secara perlahan dengan berjalannya waktu (dikenal sebagai baterai seft-discharge). Komponen baterai juga dapat mengalami deteriorasi (seperti korosi yang terjadi pada seng dalam baterai seng-karbon) atau penguapan (misalnya kehilangan air karena penguapan). Seperti juga reaksi-reaksi kimia lain, reaksi ini juga memiliki kecepatan reaksi tertentu yang konstanta kecepatan reaksinya merupakan fungsi dari temperatur. Jika seandainya mekanisme reaksinya melibatkan satu langkah penentu kecepatan reaksi, maka konstanta kecepatan reaksi dari langkah elementernya akan dapat dijelaskan berdasarkan hukum Arrhenius. Hukum ini secara kuantitatif memberikan gambaran bagaimana hubungan antara kenaikan kecepatan suatu reaksi dengan kenaikan temperatur. Secara umum, semakin tinggi temperatur penyimpanan maka semakin besar kecepatan reaksinya. Sehingga untuk beberapa baterai, reaksi discharge dan deteriorasi akan menjadi lambat jika disimpan pada temperatur rendah. Baterai hidrida logam nikel (nikel metal hydrid, NiMH) memiliki kecepatan self-discharge 0,8%/hari pada temperatur 20 oC, tetapi pada 45 oC menjadi 6%/hari. Demikian juga untuk baterai biasa (nonrechargeable) seperti sistem Zinc-carbon atau alkalin-mangan perbedaan umur penyimpanan akan sangat besar bila disimpan pada temperatur rendah.
Penjelasan teoritiknya adalah sebagai berikut. Pada 1889 seorang ahli kimia dari Swedia yang bernama Svante Arrhenius mengatakan bahwa suatu reaksi kimia baru akan terjadi jika molekul-molekul yang bertabrakan memiliki suatu energi kinetik minimum tertentu. Jika dua buah molekul bertabrakan dengan energi kurang dari energi minimum ini maka molekul-molekul ini akan berbalik tanpa mengalami perubahan kimia. Energi ini disebut energi aktivasi (Ea). Jika reaksi diberi ‘energi’ sehingga melampaui energi kritis ini maka reaktan akan berubah menjadi produk. Kenaikan temperatur akan memberikan energi pada reaksi dan konstanta kecepatan reaksi menjadi naik. Hubungan antara konstanta kecepatan reaksi dengan temperatur dalam Kelvin dan energi aktivasi adalah sebagai berikut k=Ae-Ea/RT atau lnk= lnA -Ea/RT dengan A adalah faktor pre-eksponensial atau faktor frekuensi. Semakin besar temperatur T maka konstanta kecepatan reaksi k juga akan semakin besar, artinya reaksinya juga akan semakin cepat.
Profesor yang lain, Prof. Dr. Ir. Hamzah Berahim, MT, dosen Teknik Elektro di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta menyebutkan bahwa baterai akan mati (tidak bisa digunakan lagi) jika baterai digunakan terus menerus, sehingga zat-zat kimia di dalamnya membeku.
Prof. Yessi Pratiwi menambahkan, agar dapat digunakan kembali, tentu saja baterai harus dinaikkan lagi suhunya, yaitu dengan pemanasan. Masih ingat nggak, waktu SMA, guru Kimia kita bilang bahwa baterai mengubah energi kimia menjadi energi listrik. Nah, tenaga kimia yang akan diubah menjadi energi listrik ini berasal dari zat-zat kimia yang ada di baterai, terdiri atas zat-zat yang berperan sebagai katoda dan anoda, dimana terjadi reaksi sedemikian rupa sehingga energi listrik dihasilkan dalam jumlah tertentu.
Yang jelas, energi listrik yang dihasilkan oleh baterai ini lah yang kemudian menentukan waktu pakai baterai. Dan, jangan lupa, masa pakai baterai juga tergantung dari benda dimana baterai itu dipakai. baterai yang kita pakai untuk sebuah Walkman dengan senter tentu saja akan berbeda, karena kebutuhan daya listriknya juga berbeda.

Sumber : Kaskus

Awal Tahun Baru



Detik-detik berakhirnya 31 Desember
Malam pergantihan tahun kini menjelang
Begitu meriah suasana mewarnai malam
Kebahagiaan dirasakan setiap insan
Di tengah keramain aku menunggu sang pujaan hati yang selama ini aku rindu
Berteman nyamuk-naymuk nakal & kegelisahan
Terlihat kiri kanan semuanya bergandengan tangan
Tetapi aku hanya terdiam dalam penantian
Waktu berjalan begitu cepat
Aku dengar sorak meraiah hitungan detik pergantian tahun
Hingga 31 Desember berganti 1 Januari
Namun sang pujaan hati tak kunjung datang
Bahkan batang hidung nya pun tak aku lihat
Kekecewaan dalam hati aku rasa
Mewarnai 1 Januari ini
Ingin aku teriak & menangis tapi tak bisa
Aku harus bertanya pada siapa
Di mana pujaan hati aku berada…..??????

Haruskah Manusia Bertasawuf ?




Barang siapa bertasawuf tanpa berfikih maka dia zindiq
Barang siapa berfikih tanpa bertasawuf maka dia fasik
Barang siapa menggabung keduanya maka dia akan sampai pada hakikat
(Imam Malik)
Fenomena kajian dan pengamalan tasawuf semakin menjadi tren di sejumlah kota besar. Hal ini juga bukan hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga menjadi fenomena global. Tak heran jiwa ilmuwan dan praktisi tasawuf semakin mobile. Jaringan berbagai tarekat semakin mengglobal.
Pertanyaannya adalah haruskah manusia bertasawuf? Kalau itu harus, mengapa kehidupan tasawuf dalam era permulaan Islam tidak begitu populer? Mengapa kajian tasawuf menjadi fenomena kelas menengah? Apakah fenomena ini hanya tren sesaat?

Apa itu tasawuf?
Tasawuf merupakan bagian dari upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Imam Al-Junaidi mengartikannya berakhlak mulia dan meninggalkan semua akhlak tercela. Zakaria Al-Anshari berpendapat, tasawuf merupakan ilmu tentang kebersihan jiwa, perbaikan budi pekerti, serta pembangunan lahir dan batin guna memperoleh kebahagiaan abadi.
Jika fikih bertujuan untuk memperbaiki amal, memelihara aturan syar’i, dan menampakkan hikmah dari setiap hukum, maka tasawuf bertujuan memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya kepada Allah SWT. Orang yang ahli fikih disebut faqih, jamaknya fiqha'. Sedangkan ahli atau praktisi tasawuf biasa diartikan dengan sufi.
Tasawuf terkadang sulit dijelaskan kepada orang-orang yang selalu mengedepankan logika dan pragmatisme. Tasawuf lebih merupakan ilmu personal. Dalam arti, tasawuf sulit dikenal dan dipahami bagi orang yang tidak mengalaminya. Dengan kata lain, ilmu ini harus dialami sendiri jika ingin memahaminya. Ibarat mengajarkan manisnya gula, tidak mungkin memberikan penjelasan tanpa mencicipinya.

Mengapa tasawuf tidak populer di masa awal Islam?
Pertanyaan ini dijawab oleh Dr Ahmad Al-Wasy. Menurut dia, tak populernya tasawuf pada masa awal Islam yakni di masa sahabat dan tabi'in karena pada kurun waktu itu hampir semua umat Islam ahli takwa, wara, dan ahli ibadah. Jaraknya dengan Rasulullah yang menjalani kehidupan asketis dan sufistik masih relatif dekat.
Sehingga, tidak diperlukan pembahasan secara khusus. Tidak perlu diragukan juga nilai-nilai asketisme di masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat sampai tabi'in. Banyak ilmu keislaman dikembangkan justru ketika sudah jauh dari masa kehidupan Rasulullah. Tradisi penulisan Alquran, misalnya, populer setelah Rasulullah wafat.
Pada abad ketiga dan keempat Hijriah, saat Islam mengalami globalisasi dan perluasan wilayah serta mengalami puncak kejayaan, termasuk puncak kekuasaan politik dan kebebasan ekspresi intelektual, tasawuf menjadi alternatif dalam kehidupan kosmologi Islam.
Terutama pula setelah umat Islam mengalami kemunduran sebagai akibat penaklukan pusat-pusat kekuasaan dan peradaban Islam di pengujung abad ketiga dan keempat Hijriah. Pada saat itu, tasawuf mengalami perkembangan pesat. Ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh tasawuf.
Sebut saja Abu Sulaiman Ad-Darimi (w. 215 H), Ahmad ibn Al-Hawari Al-Damisqi (w. 230 H), Dzun Nun Al-Mishri (w. 261 H), Junaid Al-Bagdadi (w. 298 H), Husain ibn Mansur Al-Khallaj (w. 309 H), Abu Bakar Asy-Syibli (w. 334 H), dan Abu Nasr Sarraj At-Tusi (w. 378 H).  Pada abad kelima dan keenam, tasawuf kian berkembang.
Pada periode ini, lahir Imam Gazali (w. 505 H/1111 M) yang ajarannya paling banyak berpengaruh di India dan termasuk di kepulauan nusantara. Lalu muncul pertanyaan, apakah ada kaitan antara kemerosotan peradaban dan intelektualitas dunia Islam dengan berkembangnya tasawuf? Masih perlu kajian mendalam.
Hal yang sudah jelas, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mengalami degradasi politik dan intelektual. Akan tetapi, ini mungkin ada hikmahnya. Islam sufistis yang masuk ke Indonesia lebih mudah beradaptasi dan berpenetrasi, sehingga tak menimbulkan resistensi. Seperti masuknya Islam ke Spanyol dan daratan Eropa lainnya.

Mengapa Tasawuf banyak digemari kelas menengah?
Fenomena kelas menengah baru Indonesia sesungguhnya adalah fenomena kelas menengah santri. Mereka berlatar belakang keagamaan Islam yang relatif taat meskipun sebatas formal. Kelas menengah di sini meliputi kelas menengah dalam dunia bisnis dan perekonomian, akademisi, militer, dan dunia LSM.
Secara ekonomi mereka sudah berada pada post basic-needs. Mereka sudah mempunyai kecukupan untuk melengkapi kehidupannya dengan aksesoris kebutuhan sekunder. Mereka ini kebanyakan berdiam di kota-kota besar. Karena, mereka kebanyakan dari latar belakang santri, maka mereka tahu peta jalan keagamaan.
Mereka sadar, kebahagiaan mempunyai banyak sisi, termasuk kebahagiaan melalui jalur agama. Mereka ini lebih tertarik untuk memahami agama lebih dari sekadar hal formalistis, yang memang sudah tertanam dari dalam lingkungan keluarganya. Mereka ingin memahami sisi-sisi lain dari agama.
Di antara sisi yang mengasyikkan itu adalah kajian spiritual atau tasawuf. Kajian tasawuf menjadi sesuatu yang dibutuhkan mereka yang setiap hari bergelimang dunia materi yang lebih dari cukup. Mereka sangat percaya dunia eskatologis, kehidupan setelah mati.
Namun, mereka tidak lagi cukup memahami agama dari sudut fikih yang dinilainya terlalu dogmatis, normatif, rutin, deduktif, dan terkesan kering. Mereka menginginkan sesuatu yang bersifat mencerahkan, menyejukkan, dan menyentuh aspek paling dalam di dalam batin mereka.
Ternyata, kajian yang seperti ini mereka temukan dalam kajian tasawuf. Maka itu, wajar kalau kajian-kajian spiritual-tasawuf semakin ramai dikunjungi orang. Lihatlah, misalnya, lembaga ESQ yang mempunyai members jutaan orang dari kelas menengah. Lihat pula pengajian rutin tasawuf setiap Senin dan Rabu di Masjid Agung Sunda Kelapa yang menyedot jamaah kelas menengah.
Fenomena yang sama juga terjadi di sejumlah kota besar di Indonesia seperti di Surabaya, Bandung, Makassar, dan Medan. Kajian tasawuf menarik karena dalam substansi dan ajaran tasawuf mereka menemukan sesuatu yang klop dengan kegelisahan dan kegersangan hati mereka.
Mereka juga merasakan rasionalitas dunia tasawuf, yang menekankan aspek humanity seperti mengedepankan persamaan, bukannya perbedaan. Selain itu, tasawuf mengedepankan kesatuan bukannya perpecahan, serta mengedepankan kelembutan dan femininity bukannya kekerasan dan masculinity.
Melalui tasawuf, mereka mendapatkan penjelasan bahwa Tuhan itu imanen bukannya transenden seperti banyak dikesankan dunia fikih.

Haruskah bertasawuf?
Tasawuf dalam arti jalan hidup spiritual secara perorangan, tidak mesti. Namun, tasawuf sebagai ajaran yang mengajarkan kesalehan individual dan sosial, itu mesti karena hal itu merupakan substansi ajaran Islam. Dunia fikih dan tasawuf tidak mesti dipertentangkan.
Kedua hal tersebut ibarat dua sisi dari satu mata uang, sebagaimana disebutkan Imam Malik dalam pernyataan di atas. Tidaklah substansial jika seseorang menjelek-jelekkan tasawuf apalagi menganggap tasawuf itu bid'ah. Sebaliknya, tidak tepat mengatakan tasawuf itu wajib.
Seolah-olah mereka yang tidak menjalani praktik tasawuf, kelasnya masih awam atau di bawah. Yang ideal, pengamalan syariat sebaiknya dikukuhkan dengan nilai spiritual yang menukik ke dalam perasaan. Mungkin yang perlu dicermati adalah tasawuf yang menafikan kehidupan duniawi, rasionalitas intelektual, dan menghindari dunia peradaban modern.
Hal yang tak kalah penting, jangan sampai jatuh di dalam praktik tasawuf yang menyimpang dari pokok ajaran Islam, sebagaimana tertera di dalam Alquran dan hadits.

Sumber : Prof. Dr. Nasaruddin Umar

Hukum Membongkar Kuburan atau Makam




Membongkar kuburan atau makam? Bagi masyarakat pedesaan pada umumnya masih sangat tabu karena dianggap sakral. Kasus pembongkaran ulang kuburan di daerah-daerah bisa dihitung jari, malahan nyaris sulit ditemukan.

Tetapi, lain ceritanya jika di wilayah perkotaan. Bongkar-membongkar kuburan tampaknya tak lagi canggung dan sudah biasa. Alasan pembongkaran pun bisa beragam, mulai dari penggusuran tanah pemakaman ataupun untuk kepentingan otopsi guna penyelidikan kasus-kasus tertentu.

Apa pun dalihnya, fenomena pembongkaran makam pernah terjadi sepanjang sejarah Islam. Hal ini terlihat dari munculnya bermacam reaksi pendapat menyikapi hal itu. Mulai dari yang memperbolehkan dengan syarat ataupun melarangnya mutlak. 

Dalam Kitab Al- Fiqh 'Ala al-Madzahib Al-Khamsah karangan Muhammad Jawwad Mughniyyah disebutkan, semua ulama mazhab sepakat bahwa membongkar kuburan itu adalah haram, baik mayat tersebut masih anak kecil ataupun orang dewasa, gila maupun berakal, kecuali untuk mengetahui ada tidaknya, dan telah jadi tanah, atau penggalian ulang itu bertujuan untuk kemaslahatan mayat.

Misalnya, dalam kasus ketika lokasi kuburan berada di tempat mengalirnya air atau di tepi sungai atau dipendam di tempat yang haram, seperti lokasi pemakaman hasil penggelapan tanah.

Dalam Buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dijelaskan bahwasannya hukum memindahkan jenazah diperbolehkan jika memang sekiranya ada pertimbangan lain. Pertimbangan yang dimaksud tersebut tentunya ialah perkara yang diperbolehkan dalam syariat. Hal ini mengingat hukum memindahkan jenazah yang telah dimakamkan menurut sebagian besar ulama ialah diharamkan.

Adapun pendapat Imam Malik menyatakan bahwa pemindahan jenazah yang telah dimakamkan diperbolehkan dengan alasan kemaslahatan, di antaranya untuk memudahkan ziarah atau dimakamkan di tengah makam keluarga. MUI Juga pernah mengeluarkan fatwa bahwasannya penyelidikan ilmiah terhadap mayat, tidak dilarang oleh Islam, atau dengan kata lain diperbolehkan.

Terkait hukum menggali kembali kubur, Nahdlatul Ulama (NU) pernah mengeluarkan hasil kajian hukum. Dalam Kumpulan Keputusan Hasil Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (NU) 1924-2004, ditegaskan bahwa diharamkan menggali kubur sebelum mayat di dalamnya hancur sesuai dengan pendapat para pakar di daerah tersebut setelah mayat itu dikubur.

Sesuai dengan redaksi yang tertera dan dinukil dari Kitab Al-Umm, karya Imam Asy- Syafi'i, diterangkan jika mayat sudah dikubur, maka tidak seorang pun boleh menggali kembali kuburannya sampai berlalu suatu masa yang menurut pakar daerah tersebut mayat itu telah hilang atau hancur.

Dan ukuran berapa lamakah mayat dinyatakan hancur tersebut berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain. Biasanya, bisa setahun atau lebih.

Kepentingan menggali kubur itu salah satunya ialah menanam jenazah yang baru di lubang yang sama. Pada dasarnya, hukum menggali kubur yang telah lama, apabila telah ada tanda-tanda yang kuat, bahwa mayat itu sudah hancur, maka hukumnya boleh (jaiz).

Kemudian kalau menemukan tulang-tulang sebelum penggalian sempurna, maka harus pindah. Tetapi kalau menemukan tulang-tulang itu setelah penggalian sempurna maka tidak wajib pindah. Dan boleh menanam mayat baru dan semua tulang-tulang yang ditemukan, supaya ditanam kembali.

Soal hukum menanam dua jenazah atau lebih dalam satu lubang juga dihukumi boleh menurut Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dalam Buku Kumpulan Fatwa-Fatwa Tarjih dijelaskan, pada prinsipnya kalau ada seseorang meninggal dunia lazimnya dikubur dalam satu kuburan.

Namun, tidak ada larangan dalam keadaan yang sangat memerlukan untuk mengubur beberapa orang dalam satu kuburan, seperti yang terjadi pada waktu Perang Uhud. Penguburan jenazah kala itu tidak hanya satu, tetapi ada yang dua atau tiga dalam satu liang lahat.  

Muncul kembali pertanyaan, apa hukum memindahkan kompleks pemakaman? Masih mengutip Kumpulan Keputusan Hasil Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (NU), dijabarkan bahwa pemindahan kompleks makam dan makam individu, hukumnya tafshilatau terperinci.

Dalam pandangan ulama bermazhab Hanafi, hukumnya boleh. Menurut mazhab Syafi'i, haram hukumnya membongkar kembali mayat setelah dikuburkan sebelum mayat tersebut diyakini hancur sesuai dengan pendapat para pakar tentang tanahnya, untuk dipindahkan ataupun lainnya, kecuali karena darurat seperti dikuburkan tanpa disucikan, baik dimandikan atau tayamum. Sementara, mayat tersebut merupakan orang yang wajib disucikan.

Sedangkan mazhab Maliki memperbolehkan memindahkan mayat sebelum dan sesudah dikubur dari satu tempat ke lokasi lain dengan syarat, yaitu tidak terjadi perusakan pada tubuh mayat, tidak menurunkan martabat mayat, dan pemindahan tersebut atas dasar maslahat.

Sumber : Republika.co.id

Saturday 25 February 2012

Arti Sahabat Bagiku




Bagiku sahabat adalah segalanya..
Sahabat juga merupakan sebahagian dari hidupku..
Tapi,,
Sahabat tidak akan pernah ada,,
Jika kita tidak mencarinya..
Sahabat adalah orang yang paling dekat dengan kita..
Dan sahabat tidak akan pernah menghianati kita,,
Jika kita sendiri tidak membuat dia benci kepada kita..
Persahabatan tercipta dalam hati..
Tak tertulis, tak terlukis, tak rapuh oleh perbedaan..
Tak pernah tergantikan oleh waktu..

Sahabat adalah anugerah yang terindah yang kau miliki..
Sahabatlah yang bisa membuat kita tersenyum hingga tertawa lepas..
Sahabat yang selalu membantu dan mendukung kita..
Walau kita memiliki kekasih,,
Tetapi tetap saja sahabat yang paling setia..
Walau kita memiliki harta yang berlimpah,,
Tetapi tetap saja sahabat yang paling berharga..
Jaga dan sayangilah dia..
Karena sahabat sejati tidak akan pernah terganti..

Friday 24 February 2012

Aku dan Cintaku



Sejak kejadian itu,,
Aku ingin cepat–cepat malam hari datang menjumpaiku..
Dan sang mentari lamalah untuk menyapaku kambali,, 
Aku tak ingin di sapa oleh kumbang manapun…
Dan aku juga tak ingin berjabat dengan uluran siapapun…
Aku selalu ingin memejamkan mata yang selalu di sentuh oleh dua lapisan itu..
Dan membiarkan dia menjatuhkan tangisnya di dataran pipiku..
Aku ingin saat aku membuka mata ku,,  dialah yang tersenyum dihadapanku..
Tapi semua itu hanya batasan khayalan saja..
Dia mungkin masih mencintaiku.. tapi dia telah pergi meninggalkan aku dan cintaku jauh–jauh..
Karna mungkin dia telah terluka oleh duri dalam tangkaiku..
Dan aku tak mampu menghentikan darah itu,,,
Aku hanya bisa memandanginya,, dengan kebodohanku akan cinta ku..
Dan dia menyesali akan hadirku dalam hidupnya..
Mungkin jika dia melihat aku lagi.. dia akan terbang jauh–jauh.. sampai aku tak mampu lagi melihatnya..
melihat dia dan cintanya..
Tak ada lontaran kata yang mampu memanggilnya kembali..
Selain kuucapkan “maafkan aku


Uranus – World on its Side



Uranus Data
Mass: 8.68 x 1025 kg or 14.5 times Earth’s
Equatorial diameter: 51 118 km or 4.0 times Earth’s
Surface gravity: 1.17 gees
Axial tilt: 97.9°
Mean surface temperature: -214 Celsius
Rotation period: 17.23 hours
Orbital period: 84.0 years
Inclination of orbit to ecliptic: 0.8°
Orbital eccentricity: 0.046
Distance from the Sun: 18.28–20.08 AU
Sunlight strength: 0.0024–0.0030 of Earth’s
Satellites:  >21
Largest satellite: Titania, diameter 1600 km

Once beyond Saturn, we must again journey nearly twice as far from the Sun to get to the next planet. There, 19 times further out than the Earth, we find Uranus – pale blue-green, remarkably featureless, and bitterly cold. Uranus is a mid-sized giant, roughly half the size of Saturn, a fluid blob of slushy ice with smaller quantities of rock and gas. Strangely, this planet rotates on its side, its spin axis lying almost in the plane in which it orbits. Its large array of satellites and rings, encircling the planet’s equator, are thus similarly inclined, their orbits virtually at right angles to the Solar System. It is almost as if a gigantic collision knocked Uranus sideways in a game of interplanetary billiards. Indeed, just such an event is astronomers’ favoured explanation for Uranus’ weird orientation. And it isn’t just Uranus that has su¤ered. The surfaces of some of its moons paint a similarly brutal history throughout the Uranian system.

Physical Overview
For almost 200 years, little was known about faraway Uranus. But, in 1986, NASA’s probe Voyager 2 arrived at the massive green planet. For the first time, astronomers saw Uranus not as a speck of light visible only to the keenest naked eye; they viewed it as a whole new world.

Uranus is another giant, fully four times larger than the Earth. But it is less than half the size of the gas giants and consequently very different. Uranus is relatively dense, so the materials that make it up must be somewhat heavier than the lightweight hydrogen found throughout Jupiter and Saturn. Most of the planet is almost certainly composed of ices – water, methane and ammonia. Because of the internal pressure and temperature, the ices are not solid. Instead, they surround a suspected rocky core in a deep, slushy ocean that occupies two-thirds of the planet’s interior. Thus, like Jupiter and Saturn, Uranus is a fluid world; but it is an ice giant, not a gas giant. Pure hydrogen (not that locked up in water, methane or ammonia) and helium make up only 15 per cent of its mass, compared with 80 per cent in Jupiter. And unlike on that world, where the hydrogen is almost ubiquitous, in Uranus it exists only in the atmosphere or in a comparatively thin ‘mantle’ region between the icy slush and the atmosphere. The atmosphere, meanwhile, is strikingly bland – a featureless green. The grandiose colours and bands that typify the gas giants are absent. The reason for this is the low temperature. Uranus, twice as far from the Sun as Saturn, is unbearably cold, so frigid that its clouds condense very low down in its atmosphere, where it is warmer. The clouds are so deep that other atmospheric layers hide them. The green colour, meanwhile, comes from a layer of methane high in Uranus’ atmosphere. This gas absorbs red light and reflects primarily blue and green.

Perhaps Uranus’ oddest aspect is its axial inclination. While the Earth is tilted with respect to its orbital plane, the ecliptic, by 23.5 degrees, Uranus lies at an angle of nearly 98 degrees. During summer in the north, the northern hemisphere is pointed within only 8 degrees of the Sun. The south-polar regions then endure a bitter, sunless night that lasts for almost 21 years. After that time, when the planet has completed one-quarter of its 84-year orbit, its equatorial regions then face the Sun as they do on a ‘normal’ planet. Then, 21 years later, the north pole is plunged into darkness while the south pole enjoys its long summer – if you can call it that. Only Pluto matches Uranus for these bizarre seasonal variations. And it is because of Uranus’ strange tilt that the planet resembles – with its system of rings – a vast target in space.

Ring System
Uranus’s rings are different from those of the gas giants, which are in turn different from each other. Its most substantial rings are the so-called ‘classical’ ones – the nine that were discovered from Earth in 1977. The fragments that make up these rings are typically metre-sized boulders, a little larger in size than the inhabitants of Saturn’s great accoutrements. But in stark contrast to the bright, icy particles in Saturn’s rings, those that populate the Uranian versions have exceptionally dim surfaces. They reflect only 4–5 per cent of incident sunlight and are thus about as dark as chunks of coal. In addition to and interspersed with the nine main rings, Uranus has a whole range of others, too transparent to be seen from Earth. These are just as dark as the classical rings but they are made up of far smaller particles – dust grains, like those in the rings of Jupiter.

All of these rings, including the classical ones, are extremely narrow. Most are no more than 10 kilometres in radial extent, and even the widest spans only 100 kilometres – 0.2 per cent of the diameter of the planet. They are kept so narrow because Uranus, like Saturn, plays host to a series of socalled shepherd satellites – tiny moons, mere tens of kilometres across, whose gravitational influences herd the ring particles and prevent the rings from spreading out.

Uranian Satellites
Unlike Jupiter, Saturn and – as we shall see – Neptune, Uranus has no very massive satellites. Its largest five measure between just 480 kilometres and 1600 kilometres across, much smaller than the Earth’s Moon. From the innermost outwards, they are Oberon, Titania, Umbriel, Ariel and Miranda. Umbriel and Oberon are both heavily cratered, and their surfaces appear to have been flooded by icy ‘lava’ long ago in the past. Titania and Ariel are cratered too, but their surfaces are also riddled with vast cracks and faults, evidence of past tectonic activity perhaps brought about by tidal heating, as on the Galilean satellites. Lastly, Miranda, the smallest, has very likely the strangest surface in the entire Solar System. Put simply, it looks like a patchwork. Adjacent areas, separated by sharp boundaries, seem to belong to different worlds. One possible explanation for its jumbled appearance is that Miranda suffered a collision so devastating that the moon shattered and re-formed in orbit. Alternatively its appearance could also have been caused by internal melting. Miranda and its four cousins all have fairly low densities, yet they are a bit denser than Saturn’s moons. They have a bit more rock than ice. But their surfaces are fairly dark because of dirt spread by aeons of impacts.

Aside from these classical satellites Uranus has at least 16 others. Eleven of them are located between Miranda and the rings, and they are regular – that is, they orbit in a similar plane and in the same direction in which the planet rotates. These moonlets truly are puny, between 13 kilometres and 77 kilometres across. They have dark surfaces, and compositions of ice and rock like their large cousins. Meanwhile, Uranus also has five irregular satellites. They orbit the planet at extreme inclinations, in different directions, and are very far from it – many millions of kilometres away. These moons, all of them again small, are all probably captured comets or icy planetesimals, and thus have different compositions from the regular satellites.

History of the Uranian System
As with Saturn and Jupiter, it is not easy to deduce Uranus’ past because the planet has no solid surface, and thus no way of recording the events that may have shaped its evolution. Instead, astronomers rely on their models of the formation of the planets to deduce how Uranus formed and evolved.

The arrangement of Uranus’ regular satellites – those which orbit in the planet’s equatorial plane – hint that the Uranian system formed from a disc of material like the Solar Nebula in miniature, as did Jupiter and Saturn. However, if the Uranian system did form from a disc, how is it that it is now so tilted relative to the plane of the Solar Nebula defined by the orbits of the planets? Nobody has been able to answer this satisfactorily. But the most likely explanation is that Uranus – like Mercury, Venus and the Earth – suffered a shocking cataclysm, very early in its history. So the explanation goes, the icy planetesimal that would one day become Uranus was hit by another planetesimal in its neighbourhood. The crash knocked the Uranus planetesimal on its side, and the debris from the collision formed a disc around the tipped-up planetesimal. Later, when the planetesimal started to suck in gases from the Solar Nebula, these gases joined the sideways disc, and Uranus began to grow at the centre while its regular satellites coalesced in the disc’s outer regions. Its remaining moons were captured at a later date. Uranus was unable to grow as massive as Jupiter because the Solar Nebula, as we have seen, was very sparse at this time. The planet has also lost some of its original hydrogen since it formed, because it has a weaker gravity than Jupiter.

The surfaces of the Uranian moons reveal that, even this far from the Sun, impacts were frequent – and often destructive. These impacts may also have helped to maintain the rings as they do with Jupiter, supplying the rings with dust-sized debris blasted off the moons’ surfaces. The largest ring fragments, meanwhile, could be the remains of moons that got torn apart by Uranus’ gravity. They might be cometary debris instead, but if this is the case then some process in the Uranian system must have darkened their surfaces.

Source :
Mark A. Garlick. The Story Of The Solar System. University Press: Cambridge. 2002.