Ilustrasi Gambar
Kisah ini berkenaan dengan Pertempuran
antara Cirebon dan Galuh. Cirebon pada mulanya adalah bagian dari wilayah Galuh
Pakuan. Setelah pengaruh Cirebon semakin besar, Galuh merasa khawatir dan
mengirim utusan agar Cirebon tetap mengaku sebagai bawahan Galuh. Permintaan
ini ditolah sehingga timbul pertempuran. Dalam babad ini diceritakan bahwa
dalam pertempuran tersebut Galuh dibawah pimpinan Arya Gumiringsing, dibantu
oleh Dalem Kiban dari Palimanan, Sanghyang Gempol, Sanghyang Igel, Dalem
Rajapolah, Sunan Talaga, Dalem Sindangkasih, Dalem Cianom dan Dalem Sarakarsa. Pada
akhirnya pertempuran ini dimenangkan oleh Cirebon dan berakhirlah kekuasaan
sisa-sisa kerajaan Galuh. Menurut Sejarah Cirebon, pertempuran ini
terjadi pada tahun 1528.
Dalam Sejarah Wali naskah
Mertasinga dikisahkan sebagai berikut : Arya Kuningan setiap bulan datang
menghadap Syarif Hidayatullah. Arya Kuningan pun kemudian mendapat karomah dari
Syarif Hidayatullah. Pada suatu hari, Arya Kuningan harus berhadapan dengan
seorang musuh yang bernama Arya Gumiringsing, penguasa dari Palimanan. Arya
Gumiringsing menantang perang kepada Sinuhun Purba. Mendengan tantangan itu,
Pangeran Kuningan minta izin kepada Syarif Hidayatullah untuk menghadapi Arya
Gumiringsing. Dihadapannya, bala tentara Kuningan disiagakan untuk maju
berperang. Syarif Hidayatullah berkata kepada mereka: “Bukan begitu caranya
berperang. Kalian memang dapat diandalkan untuk mengatasi kesukaran yang
terjadi disini. Orang yang sempurna akan berperang tanpa senjata dan tanpa
tentara. Mereka berperang hanya berbekal satu, yaitu tawakal kepada Allah swt.”
Tidak lama kemudian datanglah Arya
Gumiringsing dengan bala tentaranya ke medan pertempuran. Arya kuningan
meninggalkan tempatnya dan memutuskan untuk tidak mau menghadapi Arya
Gumiringsing. Bukan karena lebih rendah ilmunya tetapi karena kemuliaan Syarif
Hidayatullah yang memberikan pilihan kepada orang Kuningan. Pasukan Kuningan
pun banyak yang menghindar dan menanggalkan sejata tetapi Arya Gumiringsing dan
pasukannya terus menyerbu dengan gegap gepita. Melihat keadaan seperti itu,
Arya Kuningan pun memutuskan untuk kembali ke tempat pertempuran.
Dalem Kiban melihat Arya Kuningan
datang dengan gagah berani sambil berteriak, “Hadapi aku kalau kamu berani,
jangan bertanding dengan yang lain”. Mendengar teriakan itu Arya Kiban pun
berteriak kepada Syarif Hidayatullah, “Kalau benar kamu orang yang hebat,
datanglah kesini dan hadapilah aku”.
Arya Kuningan sangat marah mendengar
tantangan Dalem Kiban itu. Dia berkata, “Aku lah yang akan menandingimu. Belum
pantas kamu menghadapi Sinuhun Syarif Hidayatullah”. Arya kuningan segera
memacu kudanya, menyerang Arya Kiban. Arya Kiban dapat mengelak dan merubah dirinya menjadi seekor gajah. Dengan
belalainya, dia melilit kuda Arya Kuningan sehingga tidak bisa bergerak.
Dalem Kiban berkata. “Jangan banyak
bicara karena nyawamu akan kuambil dan kulitmu akan kubuat tambur”. Arya
Kuningan melemparkan tombaknya, hingga Dalem Kiban jatuh dan terlempar jauh.
Dalem Kiban bangun lagi dan kembali menangkap Arya Kuningan. Keduanya bergumul,
saling tendang saling beradu kekuatan, yang satu menjatuhkan yang lainnya,
mereka saling memukul, akan tetapi keduanya sama kuat. Keduanya bertarung dari
pagi hingga malam. Arya Kuningan akhirnya dapat dikalahkan oleh Arya Kiban.
Dikisahkan Arya Tandamuhi datang
menghadap Syarif Hidayatullah untuk menyerahkan tawanannya yaitu Dalem
Rajagaluh dan Sanghyang Gempol. Syarif Hidayatullah berkata kepadanya, “Arya
Tandamuhi, apa yang telah terjadi tadi sehingga Arya Pandelegan dikalahkan
dalam peperangan”. Arya Tandamuhi menjawab, “tidak melupakan kehendak gusti,
hamba tidak mampu selain gusti Sinuhun Syarif Hidayatullah, yang bertindak rendah
hati dalam pertempuran”. Pada kesempatan itu Rajagaluh atau Sanghyang Gempol
dan para pengikutnya masuk agama Islam. Arya Rajagaluh diberi nama Ki Demang
Itikan.
Dalam Sejararah Wali naskah
Mertasinga dikisahkan bahwa ketika Sinuhun Jati sedang membaca al-qur’an
bersama sanak keluarganya. Sunan Kalijaga, Syekh Magribi, Syekh Benthong, Syekh
Majagung, Syekh Badiman, Lebe Juriman, Kuwu Embat Embat, Tuan Bumi, Tuan Putri,
Tuan Jopak, Syekh Hatim, Syekh Agung Rimang. Tiba-tiba pengajian itu terganggu
oleh datangnya kuda Arya Kuningan yang bernama Sawindu, masuk ke dalam puri dan
kemudian terduduk seolah-olah sujud dihadapan Sinuhun Aulia Syarif
Hidayatullah. Melihat itu, syekh Badiman berolok-olok, “Kuda ini datang
sendirian, pantasnya penunggangnya telah kalah dalam peperangan. Ini buktinya,
kuda ini pulang sendirian”. Tak lama kemudian datang dengan takzim seorang tamu
yaitu Dalem Indramayu kehadapan Sinuhun Jati. Dalem Indramayu, Arya Wiralodra,
menyampaikan keinginannya untuk berguru, belajar dua kalimat syahadat. Dengan
disaksikan oleh para wali, Dalem Indramayu telah diakui menjadi murid Sinuhun
Aulia.
Sementara itu para santri yang hadir
masih bertanya-tanya mengenai keberadaan Arya Kuningan yang kudanya telah
kembali tanpa tuannya. Akan tetapi tidak lama kemudian Arya Kuningan tiba.
Betapa terkejutnya Arya Kuningan ketika melihat bahwa yang akan diperanginya,
Dalem Indramayu, sudah berada di sana. Arya Kuningan melihat kepada Sinuhun
Jati, dia malu akan perbuatannya dan segera Arya Kuningan mohon ampun.
Sumber
:
Apipudin.
Penyebaran Islam Di Daerah Galuh Sampai Abad Ke 17. Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI. 2010.
Atja.
Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan
Sejarah. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat. 1986.
Sulendraningrat,
Pangeran Sulaeman. Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka. 1985.
Wahyu,
Amman N. Sejarah Wali, Syekh Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati. Naskah
Kuningan. Bandung: Pustaka. 2007.