Thursday, 17 October 2013

Kisah Arya Kuningan dengan Arya Gumiringsing

Ilustrasi Gambar

          Kisah ini berkenaan dengan Pertempuran antara Cirebon dan Galuh. Cirebon pada mulanya adalah bagian dari wilayah Galuh Pakuan. Setelah pengaruh Cirebon semakin besar, Galuh merasa khawatir dan mengirim utusan agar Cirebon tetap mengaku sebagai bawahan Galuh. Permintaan ini ditolah sehingga timbul pertempuran. Dalam babad ini diceritakan bahwa dalam pertempuran tersebut Galuh dibawah pimpinan Arya Gumiringsing, dibantu oleh Dalem Kiban dari Palimanan, Sanghyang Gempol, Sanghyang Igel, Dalem Rajapolah, Sunan Talaga, Dalem Sindangkasih, Dalem Cianom dan Dalem Sarakarsa. Pada akhirnya pertempuran ini dimenangkan oleh Cirebon dan berakhirlah kekuasaan sisa-sisa kerajaan Galuh. Menurut Sejarah Cirebon, pertempuran ini terjadi pada tahun 1528.
          Dalam Sejarah Wali naskah Mertasinga dikisahkan sebagai berikut : Arya Kuningan setiap bulan datang menghadap Syarif Hidayatullah. Arya Kuningan pun kemudian mendapat karomah dari Syarif Hidayatullah. Pada suatu hari, Arya Kuningan harus berhadapan dengan seorang musuh yang bernama Arya Gumiringsing, penguasa dari Palimanan. Arya Gumiringsing menantang perang kepada Sinuhun Purba. Mendengan tantangan itu, Pangeran Kuningan minta izin kepada Syarif Hidayatullah untuk menghadapi Arya Gumiringsing. Dihadapannya, bala tentara Kuningan disiagakan untuk maju berperang. Syarif Hidayatullah berkata kepada mereka: “Bukan begitu caranya berperang. Kalian memang dapat diandalkan untuk mengatasi kesukaran yang terjadi disini. Orang yang sempurna akan berperang tanpa senjata dan tanpa tentara. Mereka berperang hanya berbekal satu, yaitu tawakal kepada Allah swt.”
          Tidak lama kemudian datanglah Arya Gumiringsing dengan bala tentaranya ke medan pertempuran. Arya kuningan meninggalkan tempatnya dan memutuskan untuk tidak mau menghadapi Arya Gumiringsing. Bukan karena lebih rendah ilmunya tetapi karena kemuliaan Syarif Hidayatullah yang memberikan pilihan kepada orang Kuningan. Pasukan Kuningan pun banyak yang menghindar dan menanggalkan sejata tetapi Arya Gumiringsing dan pasukannya terus menyerbu dengan gegap gepita. Melihat keadaan seperti itu, Arya Kuningan pun memutuskan untuk kembali ke tempat pertempuran.
          Dalem Kiban melihat Arya Kuningan datang dengan gagah berani sambil berteriak, “Hadapi aku kalau kamu berani, jangan bertanding dengan yang lain”. Mendengar teriakan itu Arya Kiban pun berteriak kepada Syarif Hidayatullah, “Kalau benar kamu orang yang hebat, datanglah kesini dan hadapilah aku”.
          Arya Kuningan sangat marah mendengar tantangan Dalem Kiban itu. Dia berkata, “Aku lah yang akan menandingimu. Belum pantas kamu menghadapi Sinuhun Syarif Hidayatullah”. Arya kuningan segera memacu kudanya, menyerang Arya Kiban. Arya Kiban dapat mengelak dan merubah  dirinya menjadi seekor gajah. Dengan belalainya, dia melilit kuda Arya Kuningan sehingga tidak bisa bergerak.
          Dalem Kiban berkata. “Jangan banyak bicara karena nyawamu akan kuambil dan kulitmu akan kubuat tambur”. Arya Kuningan melemparkan tombaknya, hingga Dalem Kiban jatuh dan terlempar jauh. Dalem Kiban bangun lagi dan kembali menangkap Arya Kuningan. Keduanya bergumul, saling tendang saling beradu kekuatan, yang satu menjatuhkan yang lainnya, mereka saling memukul, akan tetapi keduanya sama kuat. Keduanya bertarung dari pagi hingga malam. Arya Kuningan akhirnya dapat dikalahkan oleh Arya Kiban.
          Dikisahkan Arya Tandamuhi datang menghadap Syarif Hidayatullah untuk menyerahkan tawanannya yaitu Dalem Rajagaluh dan Sanghyang Gempol. Syarif Hidayatullah berkata kepadanya, “Arya Tandamuhi, apa yang telah terjadi tadi sehingga Arya Pandelegan dikalahkan dalam peperangan”. Arya Tandamuhi menjawab, “tidak melupakan kehendak gusti, hamba tidak mampu selain gusti Sinuhun Syarif Hidayatullah, yang bertindak rendah hati dalam pertempuran”. Pada kesempatan itu Rajagaluh atau Sanghyang Gempol dan para pengikutnya masuk agama Islam. Arya Rajagaluh diberi nama Ki Demang Itikan.
          Dalam Sejararah Wali naskah Mertasinga dikisahkan bahwa ketika Sinuhun Jati sedang membaca al-qur’an bersama sanak keluarganya. Sunan Kalijaga, Syekh Magribi, Syekh Benthong, Syekh Majagung, Syekh Badiman, Lebe Juriman, Kuwu Embat Embat, Tuan Bumi, Tuan Putri, Tuan Jopak, Syekh Hatim, Syekh Agung Rimang. Tiba-tiba pengajian itu terganggu oleh datangnya kuda Arya Kuningan yang bernama Sawindu, masuk ke dalam puri dan kemudian terduduk seolah-olah sujud dihadapan Sinuhun Aulia Syarif Hidayatullah. Melihat itu, syekh Badiman berolok-olok, “Kuda ini datang sendirian, pantasnya penunggangnya telah kalah dalam peperangan. Ini buktinya, kuda ini pulang sendirian”. Tak lama kemudian datang dengan takzim seorang tamu yaitu Dalem Indramayu kehadapan Sinuhun Jati. Dalem Indramayu, Arya Wiralodra, menyampaikan keinginannya untuk berguru, belajar dua kalimat syahadat. Dengan disaksikan oleh para wali, Dalem Indramayu telah diakui menjadi murid Sinuhun Aulia.
          Sementara itu para santri yang hadir masih bertanya-tanya mengenai keberadaan Arya Kuningan yang kudanya telah kembali tanpa tuannya. Akan tetapi tidak lama kemudian Arya Kuningan tiba. Betapa terkejutnya Arya Kuningan ketika melihat bahwa yang akan diperanginya, Dalem Indramayu, sudah berada di sana. Arya Kuningan melihat kepada Sinuhun Jati, dia malu akan perbuatannya dan segera Arya Kuningan mohon ampun.

Sumber :
Apipudin. Penyebaran Islam Di Daerah Galuh Sampai Abad Ke 17. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. 2010.
Atja. Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat. 1986.
Sulendraningrat, Pangeran Sulaeman. Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka. 1985.
Wahyu, Amman N. Sejarah Wali, Syekh Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati. Naskah Kuningan. Bandung: Pustaka. 2007.

Wednesday, 16 October 2013

Mantap !! Gambar 3D

Gambar Macan dan Burung Hantu








Sunday, 13 October 2013

Daerah Galuh Pra Islam : Kepercayaan Masyarakat Galuh

          


           Para raja dan masyarakat kerajaan Galuh, sebelum kedatangan Islam adalah pemeluk agama Hindu. Di antara bukti untuk hal tersebut adalah ditemukannya situs-situs purbakala yang merupakan tempat suci atau tempat-tempat peribadatan penganut agama Hindu. Salah satu peninggalan tersebut adalah Candi Cangkuang di desa Cangkuang, Leles-Garut yang diperkirakan dari abad VIII M. situs Batu Kalde di Pananjung, Pangandaran Ciamis yang diduga bahwa situs tersebut telah berdiri bangunan suci agama Hindu-Saiva. Di desa Sukajaya, Pamarican, Ciamis terdapat sebuah candi yang disebut Candi Ronggeng. Masih diwilayah Ciamis, tepatnya di daerah Mulyasari, Pataruman, Kotip Banjar, terdapat reruntuhan bangunan kuno yang disebut dengan Candi Rajegwesi. Situs lain yang tergolong luas terletak di tepi pertemuan dua sungai, yaitu sungai Citanduy dan Cimuntur di desa Karangkamulian, Cisaga, Ciamis. Oleh penduduk setempat situs tersebut dihubungkan dengan cerita rakyat Ciung Wanara. 

          Ada pula suatu komplek kepurbakalaan yang cukup luas yang terdapat di Kawali, Ciamis. Situs ini disebut Astana Gede. Di lingkungan kompleks yang terbagi ke dalam beberapa halaman yang bertingkat ini terdapat enam prasasti baru. Prasati-prasasti tersebut ditemukan pada halaman tertinggi dan relative berada di pusat kompleks. Prasasti-prasasti Kawali menyebutkan bahwa tokoh raja yang berkedudukan di Kadatuan Surawisesa yang bernama Prabu Raja Wastu yang memerintah kerajaan dalam keadaan aman sejahtera dan dalam kurun waktu yang cukup lama. Astana Gede di masa silam mungkin merupakan kompleks bangunan suci yang ditata dengan halaman yang bertingkat-tingkat. Peninggalan lainnya ialah situs Eyang Depok di desa Banjarharja, Kalipucang, Ciamis, yang berupa lahan bertingkat dengan struktur bangunan dari tumpukan batu bekas reruntuhan sebuah candi. 

          Pada masa kerajaan Galuh, sekurang-kurangnnya terdapat empat jenis tempat yang disucikan oleh masyarakat Sunda Kuna, yaitu Dewa Sasana, Kawikuan, Kabuyutan dan Pertapaan. Dewa Sasana adalah tempat yang dikeramatkan karena dipercaya sebagai tempat persemayaman para dewa yang di dalamnya terdapat pula bangunan suci untuk pemujaan dewa. Kawikuan adalah tempat bermukimnya para wiku. Wiku dalam Bahasa Sunda Kuna berarti pendeta atau dalam pengertian yang luas adalah kaum agamawan yang telah mengundurkan diri dari dunia ramai dan menyepi untuk memperdalam ilmu agama. Kawikuan merupakan bentuk pemukiman khusus yang relative luas, oleh karena itu tidaklah heran apabila disebut dengan lurah kawikuan. Adapun Kabuyutan adalah suatu tempat suci yang dikeramatkan dan dijadikan pusaka masyarakat. Tentu saja ditempat itu pun bermukim para pendeta, namun tidak sebanyak di Kawikuan. Kabuyutan Galunggung mereupakan kabuyutan yang paling penting milik bersama masyarakat dan menjadi pusaka kerajaan. Adapun pertapaan adalah tempat orang-orang melakukan tapa atau semedi. 

          Kepercayaan masyakarat Galuh juga dapat dibaca dan ditelaah lewat naskah-naskah seperti Sewakadarma, Jatiniskala, Kawih Paningkes dan Sanghyang Siksa Kanda Karesyan. Naskah-naskah tersebut sudah ditransliterasi dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh para filolog maupun para ahli tentang kesundaan. Untuk mengetahui isi naskah-naskah tertentu dengan adanya sejumlah naskah yang sudah diterjemahkan. 

          Salah satu naskah yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Galuh adalah naskah Sewakadarma “pengabdian atau kebaktian terhadap darma” disusun oleh seorang petapa perempuan bernama Buyut Ni Dawit yang bertapa di pertapaan Ni Teja Puru Bancana di Gunung Kumbang. Oleh karena itu tidak mengherankan jika naskah itu memberikan uraian tentang sebuah gisa “lesung” dengan istilah-istilah yang khas untuk perempuan, seperti dikayasan, dyangiran, dan dipesekan. Demikian juga uraian mengenai pakaian bidadari. 

          Berdasarkan isinya, naskah Sewakadarma dapat dianggap sebagai salah satu bukti mengenai pernah berkembangnya aliran Tantrayana di wilayah budaya Sunda pada masa silam. Ajarannya menampilkan campuran aliran Siwa Sidhanta yang menganggap semua dewa sebagai penjelmaan Siwa dengan agama Budha Mahayana. Capuran kedua agama itu masih terjadil dengan “agama pribumi” mengingat ternyata unsure hyang tetap dibedakan dari dewata walaupun tempat kediaman keduanya sama-sama disebut kahiyangan.

          Naskah Sewakadarma berisi uraian mengenai kalopasan “kelepasan moksa” yang menekankan kepada penggunaan bayu “tenaga”, sabda “ucapan” dan hedap “tekad” yang sesuai dengan tuntutan dan petunjuk darma. Uarian mengenai hal itu secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi ajaran yang menguraikan cara persiapan jiwa untuk menghadapi maut sebagai gerbang peralihan ke dunia gaib. Di situ dilukiskan peristiwa maut secara indah dan mengesankan karena maut merupakan “pintu gerbang kelepasan” bagi jiwa. Bagian kedua melukiskan perjalanan jiwa sesudah meninggalkan “penjaranya” yang berupa jasad dan kehidupan duniawi.

          Ada pandangan yang berbeda tentang moksa sebagaimana yang tersurat dalam naskah Sewakadarma yang khas bersifat keagamaan. Perbedaan itu terdiri dari : Pertama, naskah itu membicarakan kesejahteraan hidup manusia di dunia dengan memahami darmanya masing-masing. Kedua, bila tuntutan darma terpenuhi dengan sempurna, tercapailah kreta “kesejahteraan dunia”. Ketiga, keberhasilan dalam darma akan membuka kesempatan untuk moksa bagi siapa pun tanpa harus menjadi “pendeta” dulu. 

          Ada pula naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesyan yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama disebut Dasakreta sebagai kundangon urang reya “pegangan orang banyak”, sedangkan bagian kedua yang disebut Darma pitutur berisi hal-hal yang berkenaan dengan pengetahuan yang seyogyanya dimiliki oleh setiap orang agar dapat hidup berguna di dunia. Uraian naskah itu nampak sekali didasarkan pada kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan bernegara.

          Walaupun naskah itu menyebutkan dirinya karesyan, isinya tidak hanya berkenaan dengan kehidupan kaum agamawan. Bahkan lebih banyak yang berkaitan dengan kearifan dan kewaspadaan hidup menurut ajaran darma. Ditinjau dari isinya, kata siksa kandang karesyan mungkin dapat diartikan “aturan atau ajaran tentang hidup arif berdasarkan darma”. 

          Naskah Jatiniskala mengandung informasi mengenai ajaran keagamaan yang memperlihatkan berbaurnya ajaran Hindu dengan ajaran pribumi. Bahkan dalam naskah itu, nama-nama pribumi itu jauh lebih banyak, dan mereka yang memperoleh derajat sebagai apsari “makhluk kayangan, pendamping dewa”

          Naskah Kawih Paningkes memuat ajaran keagamaan yang memperlihatkan bercampurnya ajaran Hindu dengan ajaran pribumi. Nama-nama dewa dan istilah yang dikenal dalam ajaran Hindu seperti dewa, dewata, sri, mahayoga, dan moksa, misalnya ditemukan bersamaan dengan nama puhaci dan istilah yang dikenal dalam kebudayaan asli Sunda : wirumananggay, kahyangan, sanghyang, dan puhun.

          Dari naskah-naskah lama berbahasa Sunda dapat diketahui bahwa orang sunda di masa lampau sangat mengutamakan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan keagamaan, kebudayaan, dan akhlak. Hampir semua naskah menitikberatkan uraiannya kepada segi kerohanian, bukan kepada hal-hal yang lebih bersifat jasmani. Dalam empat buah naskah, yaitu naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesyan, naskah Sewakadarma, naskah Kawih Paningkes, dan naskah Jatiniskala, misalnya membicarakan tentang segi-segi rohani itu sangat menonjol, sedangkah yang bersifat jasmani disampaikan hanya sekedarnya sebagai pengetahuan umum.

Sumber :
Apipudin. Penyebaran Islam Di Daerah Galuh Sampai Dengan Abad Ke-17. Badan Litbang dan Diktat Kementerian Agama RI. 2010

Thursday, 3 October 2013

Suatu Ketika




Suatu ketika ..
Saat aku tak tau siapa kamu,
Saat aku tak tau bagaimana kamu,
Aku mau tau siapa dan bagaimana kamu?

Suatu ketika..
Saat aku sudah tau siapa kamu,
Saat aku sudah tau bagaimana kamu,
Aku akan menyelusuri hidup kamu.

Suatu ketika..
Saat aku sudah mulai menyelusuri hidupmu,
Saat aku sudah mulai mengetahui semuanya,
Ada yang belum aku tau dan ingin aku tau lagi dari kamu ?
Yaitu isi hati dan perasaan kamu..

Suatu ketika..
Saat aku sudah tau isi hati kamu,
Saat aku sudah tau perasaan kamu,
Aku bertanya pada diri ku sendiri,
Apakah aku bisa membuat kamu jatuh cinta padaku?

Aku berusaha ,
Aku bersabar,
Aku bertahan,
Membuat kamu yakin akan perasaan ku ini.
Membuat kamu yakin akan adanya cinta dariku,
Membuat kamu yakin akan adanya sayang dariku.

Setiap waktu..
Aku selalu berdoa,
Semoga perasaanku dipertemukan dengan perasaanmu.
Aku selalu meminta,
Semoga aku bisa menjadi kekasihmu,
Aku selalu memohon,
Semoga aku bisa menjadi pilihan hatimu