Diriwayatkan
dalam sebuah hadits, sesungguhnya Malaikat Maut ketika menghendaki untuk
mencabut nyawa orang mukmin, maka ruhnya akan berkata, “Aku tidak akan patuh kepadamu selama engkau
belum diperintahkan untuk itu.” Menanggapi kejadian seperti itu, Malaikat Maut
berkata, “Aku diperintahkan untuk mencabutmu.” Ruh itu tetap belum percaya ,
dan meminta agar Malaikat Maut menunjukkan buktinya, dan berkata, “Sesungguhnya
Tuhanku telah menciptakanku dan memasukkanku ke dalam jasadku, sedangkan engkau
tidak ada di sana ketika kejadian itu. Sekarang engkau menghendaki untuk
mengambilku?” Merasa dirinya terpojokkan, Malaikat Maut kembali menghadap
Allah. Allah bertanya kepada Malaikat Maut, “Apakah engkau sudah mencabut nyawa
hamba-Ku?” Malaikat Maut menjawab pertanyaan itu dengan hormat, “Ya Tuhanku,
sesungguhnya hamba-Mu telah berkata demikian …, dan demikian …, dia meminta
suatu bukti dariku.” Allah pun berfirman, “Benar, ruh hamba-Ku itu. Hai
Malaikat Maut, pergilah ke surga dan ambillah buah apel. Di atas buah apel itu
ada tanda-Ku, lalu tunjukkan kepadanya.”
Malaikat Maut segera pergi ke surga dan memetik satu buah
apel yang bertuliskan bismillahirrahmanirrahiim.
Ia membawanya turun ke bumi. Tatkala Malaikat Maut menunjukkan buah apel
tersebut kepada ruh itu, maka keluarlah ruh itu dengan cepat, dan terasa nikmat
serta sangat bahagia tanpa rasa sakit karena keindahan dan aroma surga yang
telah terpampang diwajahnya.
Di dalam firman Allah disebutkan betapa remehnya di dunia
dalam at-Taubah ayat 38 yang artinya “Hai
orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu,
‘Berangkatlah untuk berperang pada jalan Allah,’ kamu merasa berat dan ingin
tinggal ditempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia ini
(dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.”
Bukankah dunia
akan terlihat hina dank arena dunia memang hina ketika kita sudah mampu
menggapai kehidupan surga? Dunia memang tidak akan pernah sebanding dengan surga.
Apa pun yang terindah di dunia, tidak akan pernah mampu mengimbangi dengan apa
yang ada di surga. Dan, cara penggapaiannya pun sangatlah berbeda. Jika kita
ingin menggapai dunia, maka semakin kita kejar, dunia akan semakin jauh
meninggalkan kita, dan itu hanya bersifat fana atau sementara saja. Sedangkan
jika kita menginginkan menggapai surga, semakin kita mengejarnya,dia malah akan
bertambah mendekati kita, dan dengan sifatnya yang kekal selamanya. Sekarang,
terserah kita, menjadikan dunia yang kita miliki untuk semakin menjauhkan kita
dari surga, atau menjadikan dunia sebagai kendaraan untuk mengejar surga.
Bukankah memang semua itu selalu ada cara untuk menemukan dari apa yang kita
damba?
Sebuah peringatan Allah kepada hamba-hamba-Nya agar
mereka tidak terlalu mencintai dan menggandrungi dunia. Allah berfirman, “Hai cucu Adam, barangsiapa yang sedih karena
perkara dunia, maka ia semakin jauh dari Allah. Sedangkan dia di dunia semakin
payah bekerja, dan akhirnya di akhirat bertambah pula kesukarannya. Dan, Allah
akan menempatkan tekad yang tak putus-putus di dalam hatinya, pada kesibukan
yang tidak menyisakan kekosongan waktu selamanya, juga kemiskinan yang jauh
dari kekayaan, dan angan-angan yang selalu menyibukkan. Hai cucu Adam, kau
tidak tahu umurmu semakin berkurang, setiap hari Aku bawakan rezekimu, tetapi
kamu tidak bersyukur dengan memuji-Ku. Aku tidak mereasa cukup pada yang
sedikit. Pada yang banyak kau tidak merasa terpuaskan. Hai cucu Adam, tidaklah
terlewat hari kecuali rezeki datang dari-Ku. Tidak terlewat malam, kecuali
malaikat membawa amal burukmu. Engkau memakan rezeki-Ku, tetapi kemudian engkau
bermaksiat kepada-Ku. Engkau berdoa, Aku kabulkan. Kebaikan-Ku telah turun
kepadamu, dan juga kejelakanmu telah sampai kepada-Ku. Sebaik-baik pelindungmu
adalah Aku, sejelek-jelek hamba adalah kamu. Engkau menyembunyikan apa yang Aku
beri, padahal aku telah menutupi kejelekanmu. Aku malu kepadamu, tetapi engkau
tidak. Engkau melupakan-Ku, dan ingat pada selaik-Ku. Engkau takut kepada sesama
manusia, tapi merasa aman dari-Ku. Engkau takut kebencian mereka kepadamu,
tetapi merasa aman dari kemurkaan-Ku.”
Sumber :
Imam Abdurrahman bin
Ahmad al-Qadhi. Daqaiqul Akhbar. DIVA Press. Yogyakarta. 2009.