Tuesday, 1 March 2016

Wajah manusia Saat Digiring Menuju Padang Mahsyar


Setelah semua makhluk hidup dibangkitkan dari alam kubur, mereka digiring ke sebuah tempat pengumpulan. Tempat inilah yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Al-Mahsyar atau Padang Mahsyar, sebuah tanah datar berwarna putih yang tidak ada tanda sedikitpun padanya, tidak ada gundukan semacam gunung atau cekungan seperti danau kering, semuanya rata. Ditempat inilah seluruh manusia akan dikumpulkan, setiap oranghanya menempati wilayah hanya memadai untuk kedua telapak kakinya.


“Dari Tsauban pembantu Rasulullah, ia berkata, Saya pernah berdiri di dekat Rasulullah, tiba-tiba datanglah seorang pendeta Yahudi berkata, “Assalamu’alaika wahai Muhammad.” (Tsauban menyebutkan hadits secara keseluruhan, dan didalamnya disebutkan). Lalu pendeta itu bertanya, “Di mana manusia berada pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain, dan (demikian pula) langit”. (QS. Ibrahim: 48). Maka Rasulullah bersabda, “Mereka berada di dalam kegelapan sebekum melaukan penyeberangan Shirath”. (HR. Muslim No 473)


Maksudnya, sesungguhnya pada saat itu bumi dan tujuh langit telah diganti dan dihilangkan, dan Allah akan menciptakan bumi yang lain. Manusia akan berada di bumi yang baru tersebut setelah keberadaan mereka di atas Shirath. Bumi yang baru tersebut dengan kekuasaan Allah, bisa dimakan oleh calon-calon penghuni surge selama masa mereka menunggu keputusan Allah di Padang Mahsyar. Saat para calon penghuni surge tersebut merasakan lapar di padang Mahsyar, mereka bisa mengambil tanah yang mereka pijak untuk mereka makan, karena ia bagaikan sepotong roti di genggaman tangan mereka.


Sebagaimana dijelaskan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim yang artinya: “Dari Abu Sa’id Al-Khudriyi bahwasanya Nabi bersabda, ‘pada hari kiamat, bumi adalah sekerat roti yang dibolak-balikkan oleh tangan Allah Yang Maha Perkasa, sebagaimana salah seorang di antara kalian membolak-balikkan roti yang ia buat sebagai bekal dalam perjalanan jauh. Allah menjadikannya sebagai roti sebagai makanan bagi calon penduduk surga.”


Keadaan manusia pada saat dikumpulkan adalah seperti saat pertama kali mereka diciptakan, yaitu tanpa selembar kain pun yang menempel di badan, tanpa alas kaki, dan dalam keadaan belum dikhitan. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang shahih: Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata: Rasulullah menyampaikan khutbah dengan berdiri. Beliau bersabda, “Sesungguhnya kalian akan dikumpulkan tanpa alas kaki, tanpa memakai selembar kain pun dan dalam keadaan belum dikhitan. Sebagaimana firman Allah ‘Sebagaimana Kami memulainya pada kali pertama penciptaan, demikian pula Kami akan mengembalikannya’ (QS. Al-Anbiya: 104). Dan sesungguhnya manusia yang pertama kali akan diberi pakaian pada kiamat kelak adalah Ibrahim.”


Meski demikian, tidak ada seorang pun yang mem[punyai keinginan dan kesempatan untuk melihat aurat orang lain, karena masing-masing orang sibuk menghadapi urusannya sendiri. Setiap orang sibuk untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatannya di hadapan allah. Sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah: “Setuiap orang pada hari itu menghadapi urusan yang menyibukkan dirinya.” (QS. ‘Abasa: 37)


Di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan: Aisyah berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Pada kiamat, umat manusia akan dikumpulkan di Padang Mahsyar tanpa alas kaki, tanpa mengenakan pakaian dan tidak dikhitan.’ Aku bertanya kepada beliau, ”ya Rasulullah, apakah laki-laki dan perempuan akan bercampur baur dan saling melihat aurat satu sama lainnya?” Rasulullah bersabda, “Hai aisyah, urusan meraka pada hari itu jauh lebih besar daripada keinginan untuk saling melihat.”

Keadaan manusia saat dikumpulkan di padang Mahsyar sangatlah beragam, bergantung tingkat keimanan dana mal shaleh mereka semasa hidup di dunia. Allah akan mengumpulkan orang-orang yang bertakwa dengan penuh kemuliaan. Mereka akan diperlakukan seperti seorang utusan raja. Sebagaimana dijelaskan ioleh fiorman Allah:


“(Ingatlah) hari (ketika) Kami mengumpulkan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat.” (QS. Maryam: 85)


Menurut Ali bin Abi Thalib, mereka tidak dikumpulkan dengan berjalan kaki, dan tidak dengan dihalau secara kasar. Mereka dikumpulkan dengan mengendarai kendaraan terbagus yang belum pernah dilihat keindahan seperti itu sebelumnya, dihiasi oleh hiasan-hiasan emas permata yang indah berkilau.


Orang-orang islam yang banyak berbuat dosa dan orang-orang kafir akan dikumpulkan dalam keadaan muka bermuram durja. Sebagaiman firman Allah:

“yaitu di hari (yang di waktu itu) ditiup sangkakala dan Kami akan mengumpulkan pada hari itu orang-orang yang berdosa dengan muka yang biru muram.” (QS. Thaha: 102)


Kondisi yang lebih mengenaskan akan dirasakan oleh orang-orang kafir. Mereka akan dikumpulkan dalam keadaan hina, berjalan dengan mukanya, dalam keadaan kehausan, buta, tuli, dan bisu. Sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah :

“Dan Kami akan menghalau orang-orang yang durhaka ke nereka Jahanam dalam keadaan dahaga.” (QS. Maryam: 86)

“Dan Kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat (diseret) atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu, dan tuli. Tempat kediaman mereka adalah neraka Jahanam.” (QS. Al-Isra: 97)

“Orang-orang yang dihimpunkan ke neraka Jahanam dengan diseret atas muka-muka mereka, mereka itulah orang yang paling buruk tempatnya dan paling sesat jalannya.” (QS Al-Furqan: 34)


Dalam hadits yang shahih disebutkan, Dari Anas bin Malik bahwasanya ada seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Nabi, bagaimana bisa orang kafir berjalan menuju Allah dengan wajahnya?” Rasulullah Menjawab, “Bukankah Allah yang membuatnya mampu berjalan di atas kedua kakinya. Dia juga mampu untuk membuatnya berjalan dengan mukanya pada hari kiamat kelak?” (HR. Bukhari & Muslim)



Sumber :

Abdur Rahman Al-Wasithi & Abu Fatiah Al-Adnani. 1001 Wajah Manusia di Padang Mahsyar: Ragam Bentuk dan Kondisi Manusia di Saat Langit dan Bumi Telah Berubah dalam Bentuk yang Baru. Jakarta: QultumMedia, 2008.

Sunday, 21 February 2016

Biografi Abu Hasan al-Syadzili r.a


Nasab Abu Hasan Al-Syadzili r.a

Nama Lengkap al-Syadzili adalah Abu Hasan al-Syadzili al-Hasani bin Abdullah Abdul Jabbar bin Tamim bin Hurmuz bin Hatim bin Qushay bin Yusuf bin Yusya’ bin Ward bin Baththal bin Ahmad bin Muhammad bin Isa bin Muhammad anak pemimpin pemuda ahli surge dan cucu sebaik-baik manusia: Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a dan bin Fatimah al-Zahra’ bin Rasulullah SAW.

Nama kecil Abu Hasan al-Syadzili adalah Ali, gelarnya adalah Taqiyuddin, julukannya adalah Abu Hasan. Dan, nama populernya adalah al-Syadzili.


Kelahiran Abu Hasan Al-Syadzili r.a

Sebagian besar sumber yang berbicara tentang sejarah al-Syadzili sepakat bahwa dia lahir di negeri Maghrib pada tahun 593 H (1179 M), di sebuah desa yang bernama Ghumarah, dekat kota Sabtah. Dia tumbuh di desa ini. Dia mengapal Al-Qur’an Al-Karim dan mulai mempelajari ilmu-ilmu syariat. Kemudian, dai pergi ke kota Tunis ketika masih sangat muda. Dia tinggal di sebuah desa yang bernama Syadzilah. Oleh karena itu, dia dinisbatkan kepada desa tersebut meskipun dia tidak berasal dari sana, sebagaimana dikatakan oleh penulis al-Qamus. Ada juga yang mengatakan bahwa dia dinisbatkan kepada desa tersebut karena dia tekun beribadah di sana.

Di sana al-Syadzili bertemu dengan para ulama untuk memuaskan dahaga ilmunya dan mereguk pengetahuan sebanyak yang Allah kehendaki baginya. Di sana dia belajar fikih berdasarkan mazhab Imam Malik, serta memperoleh ilmu naqli dan aqli yang bermacam-macam, sehingga dia mampu mengungguli pembesar-pembesar ulama pada masanya. Oleh karena itu, Imam Ibnu Atha’illah al-Sakarinda berkata, “Ia tidak memasuki jalan kaum sufi sebelum mempesiapkan diri untuk berdebat tentang ilmu-ilmu zahir.”

Kemasyhuran al-Syadzili tersebar keseluruh penjuru. Para syekh datang kepadanya untuk berguru. Kadang sebagian orang ingin berdebat dengannya untuk memastikan kedudukan ilmiyahnya, maka orang tersebut pun duduk di hadapannya. Dan tiba-tiba, si pendebat itu merasa bahwa dia berada di hadapan sebuah lautan yang menenggelamkannya, yang tidak mungkin didekati kecuali untuk menciduk sebagian dari limpahan ilmunya.


Ciri Fisik Abu Hasan Al-Syadzili r.a

Kulit al-Syadzili sawo matang, badannya kurus, perawakannya tinggi, pipinya tipis, jari-jari kedua tangannya panjang seakan-akan dia adalah orang Hijaz, lidahnya fasih, dan perkataannya manis.

Penampilannya menarik. Dia tidak terlalu membatasi diri dalam makan dan minum. Dia selalu mengenakan pakaiannya yang indah setiap kali memasuki masjid. Tidak pernah sekalipun ia terlihat memakai baju-baju yang penuh tambalan sebagaimana yang dipakai oleh sebagian sufi, bahkan dia selalu berhias dengan pakaian yang bagus. Dia menyakai kuda, memeliharanya, dan menungganginya selayaknya seorang penunggang kuda. Dia selalu menasihatkan untuk bersikap moderat. Dalam semua ini dia berpegang pada firman Allah swt, “Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik? Katakanlah semua itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” (QS. Al-A’raf: 32)



Sumber :

Muhammad Ibn Abi Qasim al-humairi.Jejak-jejak Wali Allah: Melangkah Menuju Gerbang Kewalian Bersama Syekh Abu Hasan Al-Syadzili. PT. Gelora Aksara Pratama