Saturday 30 April 2011

Cerita Rakyat :Sultan Maulana Hasanuddin Vs Prabu Pucuk Umun

MOHON MAAF, GAMBAR TELAH DIHAPUS

Cerita rakyat yang berhubungan dengan Islamisasi di Banten salah satunya adalah cerita Pucuk Umun. Pucuk Umun menghadapi Sultan Hasanuddin. Menurut ceritanya, kedua orang itu mengadakan adu ayam dengan ketentuan bila ayam Pucuk Umun kalah, Sultan Hasanuddin bebas menyebarkan Islam di derah Banten. Ternyata ayam Pucuk Umun Kalah dan setelah itu ia melepaskan daulatnya atas Banten dan kemudian bermukin di Ujung Kulon. Tempat pertarungan adu kesaktian antara Maulana Hasanuddin dengan Pucuk Umun pun telah disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu di lereng Gunung Karang. Satu tempat yang dianggap netral, karena kedua pihak tentu tidak ingin disebut jago kandang bila berhasil memenangkan pertandingan, yang tidak saja mempertaruhkan jabatan tapi juga kedaulatan atas Banten. Perlu dicatat disini, bahwa pertarungan ini bukanlah pertarungan ‘full-body contact’ langsung antara dua tokoh agama, tapi pertarungan dengan menggunakan perwakilan berupa ayam jago: satu milik Maulana Hasanuddin dan yang satu lagi milik Pucuk Umun. Penyelenggaraan pertarungan dahsyat ini adalah prakarsa dari Pucuk Umun sendiri yang langsung diterima oleh Maulana Hasanuddin. Pendekatan seperti ini dapat dipandang sebagai jalan tengah menuju penyelesaian damai terhadap konflik berkepanjangan antara dua pihak yang berbeda kepentingan. Pucuk Umun berkepentingan mempertahankan eksistensi ajaran Sunda Wiwitan (Hindu) di bawah naungan Negeri Pajajaran. Sedangkan Maulana Hasanuddin berkepentingan agar supaya kegiatan dakwah Islam di Banten dapat berjalan tanpa hambatan yang berarti.
Matahari pagi mulai memanasi Gunung Karang yang hijau ketika kumpulan orang-orang mulai memadati lapangan. Untuk menghadapi berbagai kemungkinan, masing-masing pihak melengkapi diri dengan senjata masing-masing. Dari kejauhan tertampak, selain ada golok di pinggangnya, Pucuk Umun juga memegang tombak. Sedangkan di pinggang Maulana Hasanuddin terselip sebilah keris pusaka warisan Wali Songo. Di tepi utara lapangan, Maulana Hasanuddin tampak mengenakan jubah putih dengan sorban di kepala. Sementara disisi selatan, Pucuk Umun berpakaian hitam-hitam, dengan rambut gondrong sampai leher, mengenakan ikat kepala.

Dua ekor ayam jago yang masing-masing masih dalam kandang anyaman bambu sudah berada di tengah lapangan. Ayam milik Pucuk Umun telah diberi ajian ‘otot kawat tulang besi’ dan dipasang keris berbisa pada kedua tajinya. Sedangkan pada ayam milik Maulana Hasanuddin tidak dipasang senjata apapun, tetapi dia telah dimandikan dengan air sumur Masjid Agung Banten. Pada saat dimandikan, dibacakan ayat-ayat Al-Quran, termasuk Surat Al-Fatihah, Surat Al-Ikhlas dan kalimat “La haula wala quata illa billahil aliyyil ‘adzim” masing-masing tiga kali.

Suasana di arena laga tampak menegangkan. Dari pihak Maulana Hasanuddin, telah hadir ratusan pengikutnya yang terdiri para ustad dan santri yang juga merangkap sebagai anggota pasukan keamanan. Mereka semua terbenam dalam doa memohon pertolongan Allah SWT. Adapun di pihak Pucuk Umun, telah hadir juga 800 ajar (sejenis pendeta) dan beberapa Punggawa (Panglima) Pajajaran, yang semuanya tampak komat kamit membaca jampi-jampi.

Dalam suasana yang mencekam itu, dua orang Punggawa yang mewakili kedua pihak maju ke tengah lapangan membacakan maklumat:
“Di hadapan yang mulia Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umun, perkenanlah kami membacakan maklumat sebagai berikut:
  • Sebagaimana yang telah disepakati antara yang mulia Maulana Hasanuddin dengan Prabu Pucuk Umun, bahwa apabila Prabu Pucuk Umun kalah maka pihak Maulana Hasanuddin akan diberi kebebasan menyebarkan Islam di Banten. Tetapi apabila ternyata Prabu Pucuk Umun yang menang, maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan kegiatan dakwahnya di Banten Tengah dan Selatan.
  • Pihak yang kalah harus menunjukkan tanda pengakuan kepada pihak yang menang dengan menyerahkan senjata kepada pihak yang menang.
  • Kepada semua yang hadir, agar dapat menahan diri dan menjaga ketertiban dengan tidak memasuki lapangan selama pertandingan berlangsung.
Demikianlah maklumat kami sampaikan.”

Riuh rendah suara penonton mulai membahana tatkala dua ekor ayam jago mulai dikeluarkan dari sangkarnya masing-masing. Kedua jago itu bergerak saling mendekati, berhadap-hadapan dalam jarak sekitar dua meter. Bagaikan dua jagoan di atas ring tinju, keduanya terus bergerak, menari-nari, dengan posisi siap menyerang dan diserang, sambil menatap mata lawan. Belum ada insiatif menyerang dari masing-masing jago. Karena, tampaknya, kedua jago ini mengharapkan serangan dimulai oleh lawan. Kemudian, tiba-tiba jago Pucuk Umun mengambil ancang-ancang, mundur setengah meter, lalu dengan kekuatan penuh, bergerak maju menyerang, mengarahkan kerisnya ke dada jago Maulana Hasanuddin yang siap menyambut serangan pertama itu. Gebraaaaak!! Suara keras terdengar sampai jarak satu kilometer. Benturan fisik pun terjadi antara dua jago yang sedang bertarung mempertaruhkan harga diri tuannya.

Kedua jago itu saling terpental kearah belakang masing-masing. Tidak ada tanda-tanda luka pada jago Maulana Hasanuddin, dan malahan ia kembali berusaha tenang setelah menerima serangan pertama. Mereka kembali berhadap-hadapan, siap menyerang dan diserang. Jago Pucuk Umum menjadi beringas, yang terlihat dari gerakan dan matanya yang memerah. Apakah pukulan jago Maulana Hasanuddin berhasil bersarang di dadanya saat hunjaman kerisnya gagal menggores dada lawan? Entahlah. Yang tampak ketika itu adalah suasana hening di pinggir lapangan. Semua mata mengarah kepada kedua jago itu. Rupanya, jago Pucuk Umun terpancing emosinya. Gerakannya semakin liar dan matanya merah. Lalu dia menyerang lagi dengan maksud merobek dada jago Maulana Hasanuddin. Kali ini, jago Maulana Hasanuddin berkelit kearah kiri menghindari keris berbisa jago Pucuk Umun, dan … Buk!!, tangan kanannya bersarang di rusuk kanan jago Pucuk Umun. Serangan jago Pucuk Umun gagal total, bahkan dia mendapat sebuah gebukan telak.

Jago Pucuk Umun tampak semakin kalap dan berniat melancarkan serangan mematikan kearah lawannya. Melihat gelagat lawannya itu, jago Maulana Hasanuddin menghindar. Tiba-tiba, dia melompat ke angkasa. Jago Pucuk Umun pun melompat tinggi menyusulnya. Semua mata terfokus pada kedua jago yang berada pada ketinggian sekitar 40 meter dari tanah. Tak terhindarkan lagi, sebuah pertarungan sengit terjadi di udara, disaksikan gunung karang yang tegak kokoh dengan sinar mentari yang berkilau di atas pepohonan hijau. Lalu tiba-tiba terdengar suara keras memekakkan telinga. Gebraaaak!!! Tubuh jago Pucuk Umun hancur berkeping-keping, jatuh ke tanah berlumuran darah. Para penonton, pendukung jago Maulana Hasanuddin bergemuruh sambil meneriakkan “Allahu Akbar! Hidup Maulana Hasanuddin! Hidup Syariat Islam!”

Demikianlah, akhirnya Maulana Hasanuddin memenangkan adu kesaktian melawan Pucuk Umun. Pucuk Umun mengaku kalah, melangkah mendekati Maulana Hasanuddin, memberi hormat dan menyerahkan golok dan tombak miliknya sebagai tanda pengakuan atas kemenangan Sang Maulana. Pucuk Umun undur pamit setelah mengaku kalah dan menyerahkan daulatnya atas Banten, dan kemudian bermukim di Ujung Kulon sampai akhir hayatnya. Adapun pengikutnya yang loyal, memutuskan untuk memisahkan diri dari masyarakat Islam. Mereka menetap di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak sampai sekarang sebagai satu komunitas yang melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.

Sementara itu, pada hari itu juga, 800 ajar dan dua orang Punggawa Pajajaran, Mas Jong dan Agus Jo, menyatakan diri masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan Sultan Maulana Hasanuddin. Dengan masuknya mereka ke dalam masyarakat muslim, maka semakin muluslah jalan bagi Sultan Maulana Hasanuddin untuk mewujudkan sebuah Negara Islam di Banten. Pusat Pemerintahan pun dipindahkan, pada tanggal 1 Muharram 933 H atau 8 Oktober 1526, dari Banten Girang (dekat Serang sekarang) ke daerah pesisir yang kemudian dikenal dengan nama Surosowan, yang sekarang disebut Banten Lama.

Pangeran Pande Gelang Dan Putri Cadasari

DI tengah sebidang kebun manggis, seorang putri yang cantik jelita duduk termenung. Sorot matanya kosong, bibirnya terkatup rapat menandakan dia sedang bermuram durja
Tidak jauh dari  tempat sang Putri duduk, melintaslah seorang lelaki paruh baya dengan karung di pundaknya. Lelaki itu tertegun sesaat manakala melihat sang Putri. Wajah lelaki itu tampak penuh kekhawatiran.
"Sampurasun," sapanya.
Sang Putri tak menyahut. Dia benar-benar larut dalam kesedihannya, sehingga tidak menyadari kehadiran lelaki itu.
"Sampurasun," Lelaki itu mengulang sapa.
"Ra... rampes," Sang Putri terkejut. "Si... siapa?"
"Maaf jika saya telah mengejutkan Tuan Putri," kata lelaki itu seraya menundukkan kepalanya.
Sang Putri tidak segera menjawab. Dia memperhatikan penuh seksama lelaki yang berdiri di hadapannya. Wajah lelaki itu tidaklah tampan, kulitnya pun legam. Namun Putri merasa yakin, lelaki itu adalah lelaki baik. Seumpama buah manggis: hitam dan pahit kulitnya, tapi putih dan manis buahnya.
"Sedari tadi tadi saya perhatikan, Tuan Putri tampak gundah gulana. Ada apa gerangan?"
"Saya kira tak ada guna menceritakan masalah yang saya hadapi kepada orang lain."
"Kalau begitu, maafkan saya telah mengganggu Tuan Putri. Saya berharap Tuan Putri berkenan melupakan pertanyaan saya tadi," ujar lelaki itu seraya hendak berlalu.
"Tunggu, Kisanak. Jangan pergi dulu!" Sang Putri mencegah.
Lelaki itu mengurungkan niatnya. Sejenak dia melirik sang Putri.
"Sekali lagi maafkan saya," pinta sang Putri. "Bukan maksud saya menyinggung perasaan Kisanak, apalagi menganggap rendah."
Beberapa saat sang Putri terdiam. Kemudian tiba-tiba saja matanya membasah. Sang Putri menangis.
Lelaki itu duduk di dekat sang Putri. Hatinya diliputi keingintahuan yang besar tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Siapa nama Kisanak?" tanya sang Putri.
"Saya... saya pembuat gelang. Pande gelang. Orang-orang sering memanggil saya dengan sebutan Ki Pande."
"Baiklah, Ki Pande. Saya akan bercenta, mudah-mudahan cerita saya akan menghilangkan penasaran Ki Pande. Selama ini saya tidak pernah menceritakan masalah ini kepada orang lain karena saya merasa hanya akan sia-sia belaka. Tidak akan ada seorang pun yang bisa membantu saya," jelas sang Putri dengan mata berkaca-kaca.
"Tapi mengapa Tuan Putri mau menceritakannya kepada saya?"
"Saya hanya ingin menghilangkan penasaran Ki Pande,"
Ki Pande tidak berkata-kata lagi. Dia hanya menundukkan kepala dengan hati dipenuhi rasa iba.
"Nama saya Putri Arum ...." sang Putri memulai centanya.
Menurut Putri Arum, dirinya sedang mendapat tekanan dari seorang pangeran bernama Pangeran Cunihin. Meskipun tampan, Pangeran Cunihin sangatlah bengis dan kejam. Selain itu, Pangeran Cunihin pun sangat berkuasa dan sakti mandraguna. Apa pun yang diinginkannya harus terpenuhi. Semua titah tak bisa berbantah.
"Saya sangat sedih, Ki, karena dia akan menjadikan saya sebagai istrinya," Putri Arum mengakhiri ceritanya.
"Saya ikut bersedih," Ki Pande tak kuasa menahan airmata. "Maafkan saya, karena tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk membantu Putri."
"Saya mengerti, Ki. Tidak ada seorang pun yang bisa mengakhiri angkara Pangeran Cunihin," ujar Putri Arum lirih. "Tadinya saya mengira wangsit yang saya terima benar adanya."
"Wangsit?" tanya Ki Pande.
"Ya. Menurut wangsit, saya harus menenangkan diri di bukit manggis ini. Kelak katanya akan ada seorang pangeran yang baik hati, manis budi pekertinya, dan sakti mandraguna, yang datang menolong saya. Namun penantian ini hampir sia-sia. Tiga hari lagi Pangeran Cunihin akan datang dan memaksa saya kawin dengannya. Barangkali ini sudah suratan takdir saya, Ki, sebab setelah sekian lama, dewa penolong yang hatinya seputih dan semanis buah manggis itu ternyata tak kunjung tiba," tutur Putri Arum menghiba.
Mendengar hal tersebut, KI Pande mengenyitkan dahi, seolah ada yang tengah dipikirkannya.
"Oh, tadi Aki mengatakan bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan untuk membantu saya?" tanya Putri Arum, teringat kata-kata Ki Pande.
"Benar," jawab Ki Pande.
"Itu berarti, meskipun sedikit ada yang bisa Aki lakukan untuk saya!" seru Putri Arum, penuh harap.
"Barangkali itu tidaklah berarti," kata Ki Pande.
"Katakan saja, Ki," Putri Arum penasaran.
"Saya hanya ingin menyumbang saran. Terima saja keinginan Pangeran Cunihin itu."
"Apa Aki sudah gila? Bagaimana saya mau dipersunting lelaki yang sangat saya benci?" sergah Putri Arum dengan wajah memerah.
Ki Pande sangat terkejut dengan perubahan itu, tapi dia berusaha tetap tenang. "Maksud saya, terima saja keinginan dia tapi dengan syarat."
"Dengan syarat?" tanya Putri Arum setengah bergumam.
"Ya, dengan syarat yang sangat susah dipenuhi."
"Hal apa yang tidak bisa dilakukan Pangeran Cunihin? Dia sangat sakti mandraguna. Laut saja bisa dikeringkannya!"
"Yakinlah, Tuan Putri. Tidak semua orang akan jaya selamanya," Ki Pande berusaha meyakinkan Putri Arum.
"Kalau begitu, apa syarat yang Aki maksudkan?"
"Pangeran Cunihin harus melubangi batu keramat supaya bisa dilalui manusia. Kemudian batu tersebut harus diletakkan di pesisir pantai. Semuanya harus dikerjakan tidak lebih dan tiga hari," Ki Pande menjelaskan.
"Bukankah syarat itu sangat mudah dilakukan oleh Pangeran Cunihin?"
"Tapi tidak semua orang mau melakukannya. Sebab dengan melubangi batu keramat, setengah dari kemampuan orang tersebut akan hilang."
"Setelah itu"" tanya Putri Arum.
"Serahkan semuanya kepada saya!"
Mendengar seluruh penjelasan Ki Pande, akhirnya Putri Arum menyetujui. Ki Pande kemudian mengajak Putri Arum ke tempat tinggalnya, sambil membawa karung yang berisi alat-alat membuat gelang.
Perjalanan menuju tempat tinggal Ki Pande sangat melelahkan Putri Arum. Sudah hampir setengah hari perjalanan, mereka belum juga sampai. Putri Arum pun jatuh pingsan di atas sebuah batu cadas. Orang-orang kampung membantu Ki Pande rnembawa Putn Arum ke rumah salah seorang penduduk dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Salah seorang tetua kampung mengatakan bahwa Putri Arum bisa segera pulih jika minum air gunung yang memancar melalui batu cadas.
Beberapa orang kampung bergegas mencari sumber mata air batu cadas. Dan keajaiban pun terjadi, Putri Arum kembali sehat setelah meminum air yang berasal dari batu cadas itu. Penduduk kampung lalu memanggil Putri Arum dengan sebutan baru yaitu Putri Cadasari.
Sementara itu, Ki Pande tengah menyiapkan rencana baru. Dia membuat gelang yang sangat besar, yang bisa dilalui manusia. Menurut Ki Pande, gelang tersebut akan dipasang pada lingkaran lubang batu keramat yang dibuat Pangeran Cunihin.
Waktu yang ditentukan Pangeran Cunihin pun tiba. Dia datang menemui Putri Cadasari dan menagih jawaban. Putri Cadasan pun mengajukan syarat kepada Pangeran Cunihin.
"Hahaha, itu syarat yang sangat gampang, Tuan Putri. Tapi apa maksud dari syarat itu?" tanya Pangeran Cunihin.
Putri Cadasari terkejut mendapat pertanyaan seperti Itu. Tapi dia segera menyembunyian keterkejutannya. "Saya hanya ingin agar bulan madu kita tidak terganggu, Pangeran. Duduk di atas batu sambil menikmati birunya laut, bukankah itu sangat menyenangkan, Pangeran?" jelas Putri Cadasari.
"Wah, Tuan Putri memang sangat romantis!" puji Pangeran Cunihin, pula.
Tak sampai tiga hari dan tanpa halangan yang berarti, Pangeran Cunihin berhasil menemukan batu keramat yang disyaratkan. Batu keramat itu kemudian dibawanya ke sebuah pesisir yang sangat indah. Ki Pande dan Putri Cadasari diam-diam mengkuti dari kejauhan. Di tempat yang terlindung mereka bersembunyi, menyaksikan apa yang dilakukan Pangeran Cunihin.
Pangeran Cunihin tampak duduk bersila di hadapan batu keramat. Dengan konsentrasi penuh, Pangeran Cunihin menempelkan dua telapak tangannya ke batu keramat. Tiba-tiba tangan Pangeran Cunihin bergetar. Sesaat kemudian batu keramat itu pun retak dan berjatuhan. Sungguh ajaib, sebuah lubang yang sangat besar tercipta di tengah batu keramat itu.
"Hahaha, aku berhasil. Tuan Putri akan segera menjadi milikku!" Pangeran Cunihin mengangkat kedua tangannya seraya berlari mencari Putri Cadasari.
Kesempatan itu tak disia-siakan Ki Pande untuk memasang gelang besar pada batu keramat yang telah berlubang Itu. Setelah itu dia kembali hendak bersembunyi, tapi didengarnya sebuah bentakan keras.
"Heh tua bangka, sedang apa kau di sini?!"
Ternyata Pangeran Cunihin telah berada kembali di situ, bersama Putri Cadasari.
"0, aku tahu. Rupanya kau sedang mengagumi mahakaryaku. Bukankah aku pernah mengatakan kepadamu bahwa kau tidak pantas menjadi pemenang. Kau hanya pantas menjadi pecundang! Hahaha!" Pangeran Cunihin tertawa puas. "Lihatlah, sang Putri telah menjadi milikku. Kau tidak bisa lagi memilikinya!"
Putri Cadasari terkejut heran mendengar omongan Pangeran Cunihin, seolah telah mengenal Ki Pande sebelumnya. Namun belum lagi keheranan itu terjawab, Pangeran Cunihin telah menarik tangan Putri Cadasari untuk melihat batu keramat yang telah berlubang itu.
"Tuan putri, lihatlah! Keinginan Tuan Putri telah terwujud. Sebuah batu besar berlubang di pesisir pantai. Sungguh sebuah tempat yang indah dan romantis," kata Pangeran Cunihin.
Putri Cadasari berusaha bersikap tenang dan mencoba menunjukkan kegembiraan, w alau di dalam hatinya dia merasa sangat takut impian buruknya menjadi pendamping Pangeran Cunihin akan menjadi kenyataan.
"Apa karena terlalu gembira saya seakan tidak bisa melihat bahwa batu ini telah berlubang?" kata Putri Cadasan.
"Hm, baiklah. Jika Tuan Putri tidak percaya, saya akan melewati batu ini untuk membuktikannya," jawab Pangeran Cunihin.
Tanpa berpikir panjang, Pangeran Cunihin kemudian berjalan melewati lubang batu keramat itu. Tapi tiba-tiba Pangeran Cunihin merasakan tubuhnya sakit luar biasa. Dia berteriak-teriak sekuat tenaga. Suaranya memecah angkasa. Lalu seluruh kekuatannya pun menghilang. Dia terduduk lemah, tak kuasa berdiri. Perlahan, Pangeran Cunihin berubah menjadi seorang tua renta tanpa daya, seolah telah melewati lorong waktu. Sementara itu, KI Pande pun berubah menjadi seorang pemuda tampan.
"Bagaimana semua ini bisa terjadi?" Putri Cadasari tidak mengerti menyaksikan keanehan-keanehan itu.
"Sebenarnya ini semua akibat perbuatan Pangeran Cunihin. Dulu kami berteman. Tapi setelah mendapat kesaktian dari  guru, dia mencuri seluruh ilmu dan kesaktian saya, lalu menjadikan saya sebagai seorang yang sudah tua. Saya kemudian mencari kesaktian untuk mengembalikan keadaan saya. Ternyata hanya satu yang bisa mengembalikan keadaan itu, yakni Jika Pangeran Cunihin melewati gelang-gelang buatan saya," terang Ki Pande seraya menatap ke arah Pangeran Cunihin yang terkulai tak berdaya.
"Kini saya telah kembali seperti sedia kala. Ini semua karena jasa Tuan Putri. Untuk itu saya menghaturkan terima kasih," ujar Pangeran Pande Gelang, menggenggam tangan Putri Cadasari.
"Ah, sayalah yang seharusnya berterima kasih, Pangeran. Ternyata wangsit yang saya terima itu memang benar."
Akhirnya, keduanya meninggalkan batu keramat berlubang itu. Beberapa waktu kemudian mereka pun menikah dan hidup berbahagia sampai akhir hayatnya.
Tempat mengambil batu keramat tersebut kemudian dikenal dengan kampung Kramatwatu, dan batu besar berlubang di pesisir pantai kini dikenal dengan nama Karang Bolong. Sedangkan tempat sang Putri melaksanakan wangsit di bukit manggis, kini orang mengenalnya dengan kampung Pasir Manggu. Manggis dalam bahasa Sunda berarti Manggu dan pasir berarti bukit. Sementara tempat Putri disembuhkan dari sakitnya sampai kini bernama Cadasari di daerah Pandeglang, tempat Pangeran Pande Gelang membuat gelang.

Oleh Zaenul Muttaqien

Asal Muasal Batu Kuwung


DAHULU pernah hidup seorang saudagar kaya raya yang mempunyai hubungan sangat erat dengan kekuasaan Sultan Haji. anak dari Sultan Ageng Tirtayasa. Karena kedekatannya tersebut, sang Saudagar mendapat hak monopoli perdagangan beras dan lada dari Lampung. Tak ayal, usahanya pun maju pesat
Harnpir semua tanah pertanian di desa-desa yang berdekatan dengan tempat tinggal sang Saudagar menjadi miliknya. la membeli tanah-tanah tersebut dari para petani dengan harga yang rendah. Biasanva setelah petani-petani tersebut tidak mampu lagi mernbayar hutang dengan bunga yang beranak-pinak dan sudah habis jatuh tempo kepada sang Saudagar.
Selain itu, sang Saudagar diangkat menjadi seorang kepala desa di ternpat tinggalnya. Tetapi ia menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan dengan memungut pajak yang lebih tinggi dari tarif yang diharuskan. Karena kekayaan dari kekuasaannya itu, ia menjadi orang yang sangat sombong dan seringkali bertindak sewenang-sewenang.
Sang Saudagar juga sangat kikir. Apabila ada orang, lain tertimpa musibah dan membutuhkan pertolongan, ia sama sekali tidak mau memberikan bantuan. Bahkan saking pelitnya, ia tidak mau menikah meskipun umurnya telah berkepala empat. Baginya. menikah dan memiliki anak adalah suatu pemborosan.
la hidup bermewah-mewahan, sedangkan orang-orang di sekitarnya dirundung kemiskinan, sehingga sangat beralasan, jika hampir semua penduduk desa membencinya. Untuk melindungi harta dan nyawanya saja, ia memelihara beberapa orang pengawal pribadi.
Syahdan, suatu hari di desa tempat tinggal sang Saudagar kaya raya itu, lewatlah seorang sakti yang menyamar sebagai seorang pengemis lapar dengan kaki pincang. Sebelumnya, Orang Sakti ini sudah tahu mengenai perangai buruk sang Saudagar, dikarenakan keburukannya sudah jadi obrolan rutin penduduk, di pasar atau di warung-warung kopi. la datang ingin memberi pelajaran dan menyadarkan sang Saudagar yang sombong dan kikir tersebut.
Maka, si Pengemis berkaki pincang yang tidak lain adalah seorang sakti itu mampir menemui sang Saudagar di rumahnya yang besar dan mewah. Si Pengemis mengutarakan maksudnya menemui sang Saudagar untuk meminta sedikit makanan pengganjal perut dan sedikit kekayaan sebagai modal usaha.
Tetapi sang Saudagar memang sangat kikir. Bukannya memberi, ia malah memaki-maki si Pengemis berkaki pincang.
"Hal pengemis hina, apa kau pikir kekayaan yang kumiliki sekarang ini jatuh begitu saja dari  langit, heh?! Enak saja kau meminta-minta kepadaku, dasar pemalas!" hardik Sang Saudagar seraya mendorong tubuh si Pengemis berkaki pincang, hingga jatuh tersungkur mencium tanah.
Mendapat perlakuan seperti itu, si Pengemis berkaki pincang pun murka. la memperingatkan bahwa sang Saudagar akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya.
"Hai Saudagar yang sombong dan kikir, kau pun harus merasakan betapa lapar dan menderitanya aku!" ujar si Pengemis berkaki pincang. Setelah berkata demikian, segera si Pengemis berkaki pincang raib dari pandangan mata. Melihat kejadian tersebut sang Saudagar terkejut bukan main.
Benar saja. Esok hari ketika sang Saudagar bangun dari tidur, ia tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Dengan sekuat tenaga ia berusaha menggerakkan kakinya, tetapi tetap saja tidak bisa. Sang Saudagar pun panik. la bertenak-teriak histeris. Para pengawal pribadinya segera berdatangan mendengar teriakan sang Saudagar tersebut.
Jadilah sang Saudagar menderita kelumpuhan pada kedua kakinya. la memerintahkan kepada pengawal pribadinya mencari tabib-tabib sakti untuk mengobati kakinya yang lumpuh. Ia menjanjikan imbalan yang sangat tinggi bagi slapa saja yang dapat menyembuhkannya.
Namun, meski sudah banyak tabib berusaha mengobati, tak satu pun yang berhasil. Oleh sebab itu ia pun berjanji akan memberikan setengah dari harta kekayaannya bagi siapa saja yang dapat menyembuhkannya dari kelumpuhan.
Si Pengemis berkaki pincang mendengar janji tersebut. Maka ia pun datang menemui sang Saudagar dan menjelaskan apa yang sebenarnya menjadi sebab kelumpuhan kaki sang Saudagar.
"Semua ini adalah ganjalan atas sifatmu yang kikir dan sombong. Agar kakimu sembuh dari kelumpuhan kau harus melaksanakan tiga hal. Pertama, kau harus bisa merubah sifat sombong dan kikirmu itu.
Kedua, kau harus pergi ke kaki Gunung Karang dan carilah sebuah Batu Cekung. Lalu bertapalah kau selama tujuh hari tujuh malam di atas Batu Cekung tersebut, tanpa makan dan minum. Dan ingat, apa pun yang akan terjadi jangan sampai kau membatalkan pertapaan yang kau jalani.
Ketiga, apabila kakimu sudah sembuh seperti biasa, kau harus memenuhi janjimu untuk merelakan setengah dari harta kekayaan tersebut kepada orang-orang miskin di tempat tinggalmu". Setelah berkata demikian, lagi-lagi si Pengemis berkaki pincang tersebut raib begitu saja dari pandangan mata. Sang Saudagar pun sadar bahwa si Pengemis berkaki pincang tersebut bukan orang sembarangan.
Kemudian berangkatlah sang Saudagar dengan menggunakan tandu yang digotong oleh dua orang pengawal pribadinya, menuju ke kaki gunung Gunung Karang. Setelah berhari-hari melakukan perjalanan melewati jalan setapak yang dikelilingi semak belukar dan pepohonan yang lebat, akhirnya sang Saudagar tiba di kaki Gunung Karang dan melihat sebuah Batu Cekung yang dimaksud si Pengemis berkaki pincang.
Karena perjalanan yang sangat melelahkan dan dilakukan tanpa istirahat, kedua orang pengawal pribadi sang Saudagar jatuh pingsan. Padahal Batu Cekung tersebut tinggal beberapa puluh langkah lagi jaraknya.
Terpaksa, dengan bersusah payah sang Saudagar merayap di tanah untuk mencapai Batu Cekung tersebut. Lalu ia pun segera bertapa di atasnya. Selama tujuh hari tujuh malam ia menahan rasa lapar dan haus karena tidak makan dan minum, juga bertahan dari bermacam-macam godaan lainnya, seperti binatang-binatang liar dan makhluk-makhluk halus yang datang mengganggu.
Pada hari terakhir pertapaan, keajaiban pun terjadi. Dari pusat Batu Cekung tersebut menyemburlah sumber mata air panas. Sang Saudagar menyudahi tapanya, lalu bersegera mandi dengan sumber mata air panas dari  Batu Cekung tersebut. Keajaiban terjadi lagi, kedua kakinya yang semula lumpuh kini dapat ia gerakkan kembali.
Seperti janjinya semula, maka sang Saudagar membagi-bagikan setengah dari harta kekayaannya kepada orang-orang miskin di sekitar tempat tinggalnya. Para petani di desanya diberikan tanah pertanian sendin untuk digarap. la juga kemudian menikahi seorang gadis cantik anak seorang petani miskin, yang menarik hatinya. Penduduk desa pun tidak lagi membencinya, ia kemudian dikenal sebagai seorang saudagar yang dermawan.
Apabila ada orang bertamu ke rurnahnya, sang Saudagar kerap kali bercerita, perihal keajaiban sumber mata air panas Batu Cekung di kaki Gunung Karang yang dapat menyembuhkan kelumpuhan kakinya. Lambat laun cerita dari mulut ke mulut itu pun tersebar luas. Banyak orang yang tertarik untuk mendatanginya. Konon, beberapa macam penyakit lain dapat sembuh apabila mandi dengan sumber mata air panas Batu Cekung tersebut.
Kini, orang-orang mengenalnya sebagai objek wisata sumber mata air panas "Batu Kuwung" (yang berarti batu cekung). Objek wisata yang belum dikelola secara profesional ini, masuk ke dalam wilayah Kecamatan Padarincang, Ciomas, berlatar belakang kaki Gunung Karang.

 Oleh Endang Rukmana

Friday 29 April 2011

Dua Jalan, Dua Tujuan, Namun Teman yang Seperti Apa?

Bukankah kami telah memberinya sepasang mata...dan menunjukkan kepadanya dua jalan.(QS. Al-Balad, (90):8,10)

Semua manusia mencari teman sejati. Mereka mencari orang untuk berbagi kebahagiaandengan mereka, orang yangbersediamembantu di saat mereka mengalami kesulitan, yang menunjukkan jalan keluar pada merekaketika mereka tidak sanggup menemukan apapun,yang bersedia mencintai mereka di setiap keadaan, yang setia, melindungi,menyikapikesalahan-kesalahan yang mereka perbuat dengan lemah lembut, danyang tidak akan meninggalkan mereka baik ketika mereka sedangsakit,sehat maupun ketika telah mencapai usia tua.
 
Akan tetapi, terdapat dua jalan yang dapat dipilih seseorang dalam mendapatkan teman yang demikian. Yang pertama adalah jalan dari Yang Pengasih, sebuah ketetapan nilai moral (akhlâq) Al-Qur’ân yang dipilih oleh mmu’minkarena ridhâ Allah. Sedangkan jalan yanglainadalah cara berteman yang didasari pada kepentingan dan keuntungan duniawi. Dalam artikel ini, kita akan melihat alasan-alasan yang mendasari dua kepentingan tersebut, menjelaskan perbedaan-perbedaan antara ikatan pertemanan yang kuat diantara mu’mindan non mu’minyang hanya didasarkan pada kepentingan duniawi.

Pertemanan yang menambatkan kepentingan pada nilai moral: agar menjadi teman yang sejati, seseorang harus mencintai orang lain semata-matademi nilai moral yang sepantasnya. Inilah sebuah bentuk ketakutan dan kecintaan, keyakinan, keikhlasan, dan ketaqwaan seseorang kepada Allah. Di atas nilai luhur inilah pertemanan itu kekal dan akan mencapai karakter yang kuat.

Pertemanan yang abadi: tak dapat dipungkiri bahwa teman sejatidimana setiap orangmerasa membutuhkan dan mencarinya merupakan sebuahanugrah yang sangat besar. Teman sejati adalah seseorang yang akan hadir baik disaatsenangmaupun susah, yang mengharapkan hal yang sama untuk temannya sebagaimana yang ia harapkan untuk dirinya, yang menginginkan temannya merasa bahagiaseperti halnya yang ia inginkan untuk dirinya. Dialah orang yang menghindari perasaan-perasaanseperti iri; intoleran; dan permusuhan;yang mencintai orang lain dengan tulus dan selalu menginginkan yang terbaik untuknya.

Pertemanan yang diarahkan pada hari akhirat: prasyarat menjadi teman yang sejati adalah dengan mengarahkan kebahagiaan orang lain di dunia maupun di akhirat. Satu sifat penting dari pertemanan ini adalah berkata dengan jujur dan terbuka, memberitahu kekeliruan keyakinan orang lain, dan dengan penuh kasih sayang menunjukkan cara untuk memperbaikinya. Hanya teman sejati yang benar-benar mencintai orang lainlah yang dapat melakukan ini.

Pertemanan yang didasari rasa cinta dan hormat: di sebuah lingkungan di mana orang hidup dengan moralitas Qur’âni, serta takut dan yakin pada Allah adalah nilai-nilai yang dengannya orang dapat benar-benar merasakan cinta dan hormat terhadap sesama. Cinta, kepercayaan dan kesetiaan yang dirasakan orang mu’min terhadap sesama dibentuk sepenuhnya menurut ikhtiar yang mereka lakukan di jalan Allah. Seorang mu’min yang menggunakan apa yang dimilikinya untuk kebaikan hanya karena ridha Allah dan menjalankannya dengan teguh, maka ia akan mendapatkan cinta saudara-saudara Muslim dan ia telah membuat contoh yang baik bagi saudara-saudaranya. Kesetiaan yang kuat di antara mereka akan meningkatkan cinta, pengabdian, dan kepercayaan yangmereka rasakansatu sama lain. Oleh karena itu, jika pertemanan dan kedekatan itu dibangun diatas ketakutan dan keyakinan orang pada Allah dan berada pada moral yang tepat, maka perubahan fisik–yang disebabkan oleh penyakit atau usiatidak akan mempengaruhinya. Sebaliknya, justru kasih dan sayangyang lebih besarlah yang akan dirasakan orang mu’min.

Pertemanan yang didasari kejujuran: kejujuran yang disertai ketulusan dan keikhlasan bermakna apa yang ada di luar diri seseorang (zhâhir) sama seperti apa yang ada di dalam dirinya (bâthin), sebuah cerminan dari apa yang ia rasakan dan alami di dalam hatinya. Maksudnya adalah berlaku ikhlas, terbuka dan jujur, mengungkapkan karakter seseorang yang sesungguhnya tanpa menyembunyikan pikiran dan perasaan yang sebenarnya, tidak menghitung apa yang telah diperbuat, atau mencoba tampil beda dari apa yang sebelumnya. Menurut nilai moral Al-Qur’ân, seseorang itu bernilai karena upaya untuk meningkatkan kejujurannya, dan teman serta orang-orang tercintanya mencintainya karena mereka tahu bahwa ia ia tulus terhadap mereka.
“Temanmu (penolongmu) hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman, yang melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, seraya tunduk (pada Allah).” (QS. Al-Mâ’idah, (5):55)

Pertemanan yang diganjari kesendirian: hal ini terjadi pada orang-orang karena mereka gagal memetik nilai moral dalam Al-Qur’ân atau pedoman mereka, sehingga–meskipun mereka merindukannya–mereka tidak pernah dapat menemukan teman sejati. Itulah sebabnya seringkali mereka berkata “saya sangat kesepian,” “saya tidak memiliki teman di dunia ini,” atau “mereka telah meninggalkanku sendiri, jadi mereka hanyalah teman sesaat.”

Pertemanan yang berdasarkan pada kedudukan dan martabat: pertemanan yang dibangun di atas nilai-nilai seperti kekayaan, keindahan penampilan, martabat, dan kedudukan atau status sosial tidak akan pernah bertahan lama. Karena kelak terdapat perubahan pada nilai-nilai tersebut, sehingga pertemanan pun berakhir. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki cara pandang demikian, kemudian ia mau berteman dengan seseorang karena ia begitu menarik dan mengesankan, secepatnya akan kehilangan hal tersebut ketika mereka–misalnya–cacat sehingga tak dapat dikenal, miskin, dan tak berdaya karena sebuah musibah.

Pertemanan yang didasari persaingan: orang yang memandang orang lain sebagai pesaing atau musuh, biasanya hanya mengatakan kesalahan-kesalahan orang lain. Karena biasanya mereka tidak ingin orang lain lebih baik dari dirinya, atau bahkan jika melihat ada kekurangan, mereka akan bersikap tidak jujur, tanpa khawatir hal ini akan merusak pertemanan, dan berkata, seperti, “kau orang yang sangat baik,” atau “kami mencintaimu apa adanya.”

Pertemanan yang didasari kepentingan diri sendiri: orang yang hidup mengikuti kepentingan diri sendiri banyak mengalami fluktuasi psikologis selama masa hidupnya. Ia mungkin akan memudarkan keatraktifannya, jiwa mudanya, kesehatannya, dan kekayaannya. Ia melihat bahwa orang-orang yang pernah dibayangkan menjadi temannya ternyata tidak begitu memberikan arti ketika ia mulai lemah dan menua. Mereka, yang semula begitu dekat dan janji saling setia di saat-saat senang, menjadi begitu jauh sehingga tidak ingin lagi saling bicara atau bahkan mengenal satu sama lain. Mereka menganggap tidak ada lagi yang perlu dibagi, yang harus memberi nasihat, yang dapat dijadikan tempat untuk meminta pertolongan atau menaruh kepercayaan. Ia baru menyadari bahwa mereka yang ia anggap sebagai teman terdekat saya, ternyata meletakkan kepentingan pribadi di atas kepentingan pertemanan mereka.

Pertemanan yang dikuasai oleh kegelisahan: mustahil bagi orang yang tidak hidup di atas nilai moral (akhlâq) Al-Qur’ân dapat merasakan cinta sejati, hormat atau percaya terhadap sesama–yang di saat bersamaan–merisaukan kekurangan atau kelemahan moral masing-masing. Mustahil dapat benar-benar mencintai dan menghormati seseorang apabila ia mengetahui bahwa mereka itu berbohong dan munafik, memanfaatkan orang lain demi kepentingan mereka sendiri. Seseorang akan sadar bahwa meskipun ia berkata dialah teman terdekat mereka, ia sebenarnya bersikap dengan cara yang sama terhadapnya juga.
“Dan (ingatlah) hari ketika orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: “wahai kiranya dulu aku mengambil jalan bersama-sama Rasul! Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari al-Qur’ân setelah al-Qur’ân itu datang padaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia.”(QS. Al-Furqan, (25):27-29)

Sumber : Harun Yahya

Bagaimana Imam Al-Mahdi (as) Menerima Bahwa Ia Adalah Mahdi ?

Kutipan Wawancara Live dari Bpk. Adnan Oktar di Kanal Avrupa dan Cay TV tanggal
10 Oktober 2010

ADNAN OKTAR:Assalamu ‘alaikum wa rohmatullahi wa barokatuh. "Ustadzku yang terhormat, kami telah mencoba untuk mengikuti semua program TV Anda insya Allah. Abdulrahim Ilan dari Mardin" Dia seorang saudara kita yang sangat mengasihi kita. Dia adalah seorang sufi. Orang yang diberkati, Sheikh dia, adalah orang suci, pribadi yang tercerahkan dan individu yang berharga. Mereka juga memiliki masha'Allah semacam itikad baik pada saya dan mereka memiliki cinta yang besar. Dan kita juga mencintai kedua saudara kita dan juga Sheikh gurunya. Salam untuk semua saudara-saudara kami di Mardin, untuk Urfa, Siirt untuk mereka semua, untuk semua saudara-saudara kami di tenggara.
Saudaraku bertanya lagi tentang sistem Al Mahdi. Apa yang dikatakan? "Anda mengatakan bahwa Imam Mahdi (as) tidak akan menerima bahwa ia adalah Al Mahdi. Dan Rasulullah (saw) mengatakan demikian." Mereka akan membuat dia menerima dengan pemaksaan ". Dalam situasi ini bagaimana orang berjanji setia kepada dia? Saya sangat ingin tahu tentang respon dari pertanyaan ini. "
Mereka akan berkata "Tuan, Anda adalah orang yang sangat berbakat. Artinya, karena semua orang juga menyadari, Anda sudah sangat berpengaruh. Dan kami telah melihat di dalam dunia dan melalui keyakinan tulus kami, kami telah menganggap Anda tepat untuk mengemban tugas ini. Jadilah pemimpin Muslim di dunia. " "Kami telah mengadakan konsultasi dan memutuskan hal ini di antara kami," kata mereka. Itu adalah sistem Al Mahdi. Maksud saya tidak ada yang mengatakan, "Saya telah jelas memutuskan bahwa Anda adalah Imam Mahdi (as), Anda Imam Mahdi (as)." Mereka merasakan hal ini dalam hati mereka dan nurani mereka dan bukan lewat suara tetapi percaya sebagai keyakinan mereka bersama. Imam Mahdi (as) akan menjadi keyakinan umum kaum Muslim pula. Bediuzzaman mengatakan ini dan di atas segalanya Nabi kita (saw) mengatakan demikian. Maksud saya akan akan satu kesepakatan bahwa setiap orang akan secara tulus meyakininya. Orang-orang akan mengatakan bahwa ia akan sangat pantas, bahwa ia akan baik untuk keselamatan, maksud saya akan baik untuk mengangkat dia sebagai pemimpin. Dan orang-orang Muslim akan membawa keyakinan itu juga. Mereka semua akan berkumpul dalam kesatuan di bawah komandonya, begitulah..

Sumber : Harun Yahya

Legenda Prasasti Munjul

Perairan Ujung Kulon
SEBUAH perahu nelayan berpenumpang tiga orang tampak melaju pelan membelah pantai yang berair tenang. Siang itu matahari bersinar tak terlalu terik sehingga angin yang bertiup pun terasa tak terlalu menyengat.
"Dengan hasil tangkapan sebanyak ini, kita bisa istiraltat satu dua hari di darat." Salah seorang nelayan mengungkapkan kegembiraan hatinya sambil menimang-nimang ikan hasil tangkapan mereka, senyumnya tampak begitu cerah.
"Ya," jawab kawan yang ada di sebelahnya, "Ini kesempatanku untuk bisa lebih lama berkumpul dengan isteriku."
"Tiap pulang, aku merasa istriku kian cantik saja dibanding ikan apa pun!" sambut nelayan pertama lagi. Sementara Itu. lelaki pendayung yang berada di belakang kedua temannya tampak menguping perbincangan kedua temannya itu. Wajahnya tampak begitu polos dan dengan lugunya dia mengajukan pertanyaan menyela pembicaraan kedua orang itu.
"Apa sih yang kalian bicarakan?"
Kedua temannya mendengar jelas pertanyaan dari lelaki pendayung namun mereka menganggapnya sepi dan terus saja melanjutkan pembicaraan mereka.
"Kau tahu? Aku bahkan sudah menyiapkan kuda laut!" kata orang kedua. Dan disambut dengan penuh minat oleh orang pertama.
"Wah? Kau menangkapnya? Boleh minta satu?"
Belum sempat orang kedua menjawab pertanyaan itu, lelaki pendayung yang merasa tak diacuhkan dengan tampang tak bersalah kembali mengajukan pertanyaan.
"Apa ada hubungannya antara ikan dengan istri kalian?"
Pertanyaan lelaki pendayung kali ini mendapat reaksi, bahkan lebih dari yang dia bayangkan. Kedua temannya memandang ke arahnya sambil bersama-sama berkata-kata dengan suara keras. "Diam kau, Perjaka!"
Kedua temannya memandang lelaki pendayung dengan alis berkerut, tampaknya mereka sudah merasa terganggu dengan pertanyaan lelaki pendayung. Adapun halnya dengan lelaki pendayung sendiri, demi melihat reaksi kedua temannya yang demikian itu, dia hanya bisa merungkut gugup sambil menggigit batang dayung. Dia hanya berkata-kata dalam hati dengan penuh ketidakmengertian. "Kenapa mereka marah" Rasanya tak ada yang salah dengan perkataanku."
Kedua teman lelaki pendayung lalu kembali melanjutkan perbincangan mereka dan membelakanginya. Dengan wajah kesal lelaki pendayung membuang muka dan mengumpat dalam hati. "Sombong! Mentang-mentang aku belum punya isteri"
Pantai berpasir putih tempat mereka menyandarkan perahu sudah terlihat. Perahu mereka kini melaju meyusuri sepanjang tepian pantai sebelum akhirnya tiba di tempat tujuan. Namun saat mereka tiba di sebuah tikungan pantai yang terlindung oleh pepohonan lebat, muncul sebuah perahu lain dari balik tikungan itu. Mula-mula hanya bagian depan kapal yang terlihat dan lama kelamaan terlihatlah seluruh bagian kapal itu. Kapal itu tidak terlalu besar namun bila dibanding dengan perahu ketiga orang orang itu, ukurannya tiga kali lebih besar, lengkap dengan tiang layar dan empat dayung di masing-masing sisinya.
Kapal yang muncul tiba-tiba itu seketika mengagetkan kedua teman lelaki pendayung. Jarak mereka terlalu dekat dan mungkin sekali akan terjadi tabrakan bila tidak segera dibelokkan arahnya. Keduanya berseru kaget. "I... itu! "
Dengan tergagap, mereka berteriak pada lelaki pendayung. "Belokkan perahu! Belokkan perahu!"
Adapun lelaki pendayung, kejadian tadi masih membuatnya kesal. Dengan acuh tak acuh dia berpura-pura tak mendengar teriakan gugup temannya. Sambil memandang ke lain arah dan memejamkan mata, dia asyik bersiul-siul. Lelaki pendayung bermaksud hanya ingin membalas sikap kedua temannya tadi yang tidak mengacuhkannya, namun balasannya ini tampak terlalu berlebihan, seharusnya dia mendengar dan bisa membedakan antara perkataan biasa dengan teriakan-teriakan gugup. Dan mungkin apabila dia melihat apa yang sebenarnya tengah terjadi, sikapnya itu pasti akan sangat disesalinya kelak.
Tabrakan akan segera terjadi, kedua teman lelaki pendayung sudah tak sempat lagi untuk berteriak-teriak kepada lelaki pendayung atau pun melakukan perbuatan lain. Bahkan untuk menghindar dan menyelamatkan diri saja mereka sudah tak ingat. Mereka merungkutkan badan dan menanti dengan pasrah segala yang akan terjadi. Namun di saat-saat genting itu, kapal yang ada di depan mereka tiba-tiba membelokkan perahunya dan tabrakan pun terhindar. Kapal itu melaju searah dan berdampingan dengan perahu ketiga nelayan itu. Dan sebelum ketiga nelayan itu menyadari, beberapa utas tali melayang dari arah kapal itu. Lelaki pendayung masih asyik bersiul-siul dan tak menyadari kalau seutas tali telah melayang di dekatnya. Tali itu tiba-tiba mendarat di tubuhnya dan berputar ke arah leher. Lelaki pendayung terkejut dan melihat apa yang tengah menjalar di lehernya, namun dia tak sempat berbuat apa-apa. Karena saat dia sadar dan tahu apa yang melilit lehernya, tali yang pada ujungnya diikatkan sebuah pemberat dari kayu itu tiba-tiba ditarik dengan kencang ke atas. Lelaki pendayung tercekik dan tubuhnya terangkat mengikuti arah tarikan tali. Sementara itu, tali-tali yang lain tampak melilit dan mengikat di beberapa bagian perahu. Perahu tertarik ke samping dan membuat posisinya agak miring. Kedua teman lelaki pendayung tahu dan sadar apa yang tengah terjadi pada perahu mereka namun mereka belum mengerti apa maksud dari semua itu. Mereka lalu memandang ke arah kapal di samping perahu mereka dan mencari-cari kalau-kalau ada seseorang yang dapat ditanyakan.
Pencarian mereka segera terjawab. Di sana, di atas kapal, di bawah sorotan matahari siang, sesosok tubuh tampak berdiri santai dan tampak tengah mengawasi mereka. Kedua nelayan mengangkat tangan untuk menghalangi silaunya sinar matahari saat mereka memandang ke atas, ke arah kapal tempat sosok tubuh itu berada. Saat itu terdengar sosok itu berkata-kata kepada mereka.
"Banyak juga tangkapan kalian! Kalian pasti tengah memikirkan kesenangan sehingga tak menyadari kehadiran kami!"
Sambil memicingkan mata, salah satu nelayan memberanikan diri mengajukan pertanyaan."Siapa kalian dan mau apa?"
Sosok itu menjawab sambil berkacak pinggang dan menepuk dada. "Kami adalah perompak! Dan kami senang sekali mengganggu kesenangan orang!" Saat itu sosok itu merendahkan dan memajukan tubuhnya sehingga wajahnya kini dapat terlihat oleh para nelayan. Sosok yang mengaku perompak itu bertubuh tinggi besar. Dia mengenakan baju sebatas pangkal lengan, baju itu terbuka dan tak menutupi dadanya yang bidang dan berotot dengan bulu-bulu lebat, sementara sebuah kalung besar berwarna kuning emas tampak menggantung di depan dadanya. Di bagian bawah, dia hanya mengenakan selembar kain sebatas pertengahan paha.
Wajahnya yang ditumbuhi kumis tebal melintang dan jenggot lebat tak terurus tampak bengis saat berkata-kata. Dengan rambut panjang sebahu dan sebelah anting besar berwarna kuning emas juga, dilengkapi secarik kain ikat kepala melilit keningnya dengan salah satu bagian menutup mata sebelah kiri.
"Serahkan milik kalian kalau ingin selamat!"
Dua nelayan tak bisa berkata-kata, tapi tiba-tiba saja terdengar suara lantang menyambut ucapan perompak itu. "Enak saja! Susah payah kami mencari ikan di laut lalu kalian ingin memintanya begitu saja? Huu!"
Semua mereka menoleh ke arah suara. Tampak lelaki pendayung dengan wajah kesal memandang ke arah perompak itu. Dia tampak terlentang dengan leher terikat tali. Dengan geram dia menarik-narik tali itu dengan tangan dan kakinya membuat tubuhnya yang kurus itu tertekuk sedemikian rupa dan malah jadi terlihat lucu. Perompak itu memicingkan mata. Dia lalu membuang muka ke arah lain dengan acuhnya.
"Kalau begitu, kembalilah ke laut dan bersusah payahlah lagi!"
Usai berkata begitu, dengan tenang perompak bertubuh katai itu menyentakkan tali yang mengikat lelaki pendayung. Lelaki pendayung kontan melotot dengan leher terjulur karena tercekik. Tubuhnya terangkat dari perahu dan melayang ke depan lalu masuk ke dalam air.
Seorang perompak bertubuh katai melongok dari dinding kapal. "Ooh! Mungkin ini artinya `berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian, bersakit-sakit dahulu lalu berenang mati-matian', yaaa?!"
Sementara itu, tanpa membuang waktu, perompak bertampang seram tadi segera memberi perintah kepada perompak-perompak lainnya. "Ayo pindahkan ikan-ikan mereka ke kapal kita!"
Para perompak segera bergerak mengikuti perintah itu. Seorang perompak bertubuh jangkung dan kurus menggamit lengan perompak bertubuh katai."Ayo!"
Dengan lagak angkuh, si perompak bertubuh katai mengacungkan telunjuknya di depan wajah. "Diamlah! Kalau itu, aku sudah tahu artinya!"
Tapi mendadak, seorang perompak yang berada di bagian belakang kapal bertenak-teriak sambil menunjuk-nunjuk ke satu arah. "Ketua! Lihat di sebelah sana!"
Semua menoleh ke arah yang ditunjukan oleh orang itu, dan di kejauhan, tampaklah sebuah perahu yang berukuran dua kali lebih besar dari kapal itu tengah melaju tenang berlawanan arah dengan kapal mereka. Seketika, perompak bertampang bengis yang dipanggil ketua itu melonjak-lonjak sambil menari kegirangan.
"Wah! Ini baru tangkapan besar!"
Perompak katai menyilangkan tangan di depan dadanya sambil berkata angkuh. "Tak masalah bagiku!"
Dengan penuh semangat, ketua memberi perintah baru kepada anak buahnya sambil menunjuk ke arah kapal besar tadi. "Marl kita rusak kesenangan mereka!"
Seorang perompak bertubuh gemuk menarik tali yang tadi mengikat si pendayung. "Maaf, yah! Jangan marah! Talinya kami ambil kembali!" Dia menyentakkan tali itu dan seketika leher si pendayung terbebas sudah dari jeratan tali itu. Sambil berenang, lelaki pendayung menarik nafas lega. Dia segera menuju perahunya dan berpegangan di tepi perahu. Namun seketika itu juga, kedua temannya segera mengambil kesempatan untuk kabur. "Cepat kita pergi!" Tanpa menunggu lelaki pendayung naik kembali ke perahu, mereka segera mendayung perahu itu dengan cepat sementara yang satunya lagi mendayung dengan menggunakan kedua tangannya. Lelaki pendayung dengan kelabakan berteriak-teriak kepada teman-temannya. Dia memegang tepi perahu dengan kencang saat perahu mulai melaju. Air laut bercipratan ke wajah lelaki pendayung.
Sementara itu, di kapal besar yang berbendera dengan lambang naga, seorang pria bertubuh agak gemuk dengan pakaian bangsawan kerajaan keluar dari bagian dalam kapal. Saat itu seorang pria lain tampak menghampiri sambil menundukan tubuhnya.
"Ada apa, Laksamana?" tanya bangsawan itu. Yang ditanya menjura dulu sebelum akhirnya menjawab. "Ada dua perahu di depan kita, Sang Menteri!"
Sang Menteri meninggikan kepalanya memandang ke depan. Lalu katanya lagi. "Biarkan saja! Tapi bila mereka berbuat sesuatu yang mencurigakan, kau tahu apa yang harus dilakukan!" Laksamana menjura lagi. "Hamba, sang Menteri"' Sang Menteri mengangguk lalu memandang lagi ke depan, kemudian dia berjalan masuk kembali ke bagian dalam kapal.
Beberapa lama kemudian, kedua perahu saling berdekatan dan berpapasan. Para perompak berdiri di sisi kapal mereka. Para pendayung yang berada di kapal besar melongok ke rah mereka sambil mengangguk ramah. Salah seorang pendayung tampak berbisik kepada temannya. "Tampang mereka aneh-aneh, yah?" Temannya mengangguk dan melongok pula. Sambil mengangkat tangan dengan senyum lebar, dia menyapa perompak itu. "Hai, para nelayan! Apa kabar?"
Baru saja habis berkata-kata, seutas tali tiba-tiba melayang ke arah lehemya. Belum sempat dia menyadan hal Itu, tali sudah ditarik orang dan dan membelit ke arah leher dan kemudian disentakan. Seketika si pendayung ini tercekik dengan lidah terjulur dan tubuhnyan tertarik pula ke depan. Lelaki pendayung tercebur ke dalam laut. Yang menarik tali itu adalah perompak bertubuh gemuk. Saat berhasil menceburkan lelaki pendayung, perompak katai bertanya padanya. "Apa itu artinya: tak ada basa-basi bagi perompak?"
Yang ditanya mengangguk sambil mengacungkan ibu jari. "Betul!"
Laksamana bertanya marah kepada perompak itu. "Hei! Apa yang kalian lakukan?"
Ketua perompak menjawab. "Kami adalah perompak yang menguasai perairan ini. Disambut oleh perompak bertubuh katai. "Betul!"
Laksamana berkata lagi. "Tahukah kalian? Kapal ini adalah milik kerajaan Tarumanegara! Dan di dalamnya ada seorang menteri Kerajaan!"
Ketua perompak membuang muka sambil berkata acuh. "Tidak peduli!"
Disambut kembali oleh si katai. "Itu artinya: kami akan tetap merampok kapal kalian!"
Baru habis kata-kata itu, si ketua perompak memberi perintah kepada anak buahnya. "Seraaaaaang!"
Melihat hal itu, sang Laksamana mencabut kerisnya dan memberi perintah pula kepada para awak kapalnya. "Pertahankan kapal dan lindungi sang Menteri sampai titik darah terakhir!"

Beberapa minggu kemudian.
Tampak dua orang tengah memancing di tepi pantai. Keduanya mengenakan pakaian seperti umumnya orang-orang pada masa itu, yaitu sehelai kain polos yang diikatkan di pinggang dan hanya menutupi tubuh bagian bawah. Orang yang bertubuh tinggi besar dan berparas cakap dengan rambut tergerai sebatas pundak tampak menyentakan pancingnya. "Dapat lagi!" katanya. Tak jauh di sampingnya temannya yang bertubuh jauh lebih kecil dan jauh lebih pendek dengan rambut digelung ke atas hanya bisa memandang dengan kesal. "Huh!" Tapi mendadak wajahnya berubah cerah. Dia merasa pancingnya ditarik. "Nah! Setelah sekian lama. akhirnya kau makan juga umpanku!" Dia bersiap-siap untuk menarik pancingnya. Temannya yang bernama Bhimaparakrama atau biasa dipanggil Bhima, mendekat dan bertanya.
"Ada apa, Wamana? Ada yang memakan umpanmu?"
Yang ditanya menjawab sombong. "Tentu! Kau kira cuma kau saja?"
Wamana lalu mulai menarik. Tapi dirasanya keras. Wamana menariknya lebih kencang namun tak juga berhasil. Dengan mengerahkan tenaganya lebih keras lagi pancing itu ditariknya, tapi hasilnya tetap sama. Bhima mendekat dan bertanya lagi. "Kenapa? Ada masalah?"
Wamana terus menarik pancingnya. "Berisik! Lihat saja, tangkapanku pasti jauh lebih besar dari semua yang sudah kau dapat!" Wamana lalu menyentakkan pancingnya. Kali ini dia berhasil. Tapi tiba-tiba Bhima menutup mulutnya sambil menahan tertawa.
"Pantas saja keras sekali! ternyata memang besar! Hahaha!"
Wamana kesal sekali karena sikap temannya itu, lalu dia melihat ke mata pancingnya dan seketika dia terkejut. Seekor kepiting tampak menggantung di sana. Bukan ikan seperti apa yang dikiranya. "Hah?"
Dengan geram, Wamana mengangkat dan memutar-mutar pancingnya. Tak puas dengan itu, dia lalu membanting pancingnya dan berjalan mendekat ke arah Bhima. Lalu tanpa basa-basi lagi dia segera mengangkat pancing Bhima untuk kemudian dihempas-hempaskannya ke air. Melihat ulah Wamana, Bhima hanya bisa berteriak-teriak melarang. "Hei! Hei! Jangan ganggu kailku!"
Pada saat itu, Bhima mendengar air berkecipak. Dia mencan-cari sumber suara itu, dan tak berapa jauh dari tepi pantai, terlihat sesuatu terombang-ambing mengapung di atas air. Dia menajamkan pandangannya, lalu setelah yakin kalau yang terombang-ambing bukan hanya sekedar kayu atau onggokan benda tak berarti lainnya, dia menggapai ke arah Wamana. "Wamana! Berhenti! Lihat di sana!"
Wamana tidak perduli. "Masa bodoh! Tidak maul"
"Tampaknya ada orang hanyut! Aku mau menolongnya!" kata Bhima sambil berjalan ke arah pantai sementara Wamana melanjutkan marahnya. Bhima turun ke air dan menghampiri benda yang terapung itu. Begitu dekat, ternyata dugaannya tepat. Seseorang tampak tertelungkup di atas tameng kayu. "Benar! Orang hanyut! Masih hidup atau ...."
Bhima mengangkat kepala orang itu. Dia merasakan kalau orang tersebut masih menghembuskan nafas. "Dia masih hidup!"
Bhima mengangkat orang itu untuk segera memberi pertolongan, namun dia melihat tameng yang dipakai orang hanyut itu. Seketika dia terkejut. Bhima berubah pikiran, dia meletakan tubuh orang ke atas tameng. Lalu dengan tenaga yang luar biasa, dia mengangkat orang itu lagi berikut tamengnya dengan menggunakan sebelah tangan.
Wamana melihat temannya menghampiri namun dia tetap acuh tak acuh sambil duduk di pinggir pantai. Lalu didengarnya Bhima berkata. "Ini prajunt kerajaan Tarumanegara, Wamana! Kita harus membawanya ke istana!"
Wamana menutup wajahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Bagus! Sempurnalah sudah kesialanku!"

Istana Kerajaan Tarumanegara
Sang Purnawarman tampak duduk di singgasananya dihadapi para pembesar kerajaan saat menerima berita yang disampaikan oleh prajuntnya yang kini duduk di hadapannya didampingi Wamana dan Bhimaparakrama.
Wajah sang Purnawarman terlihat murung. "Betul-betul kejam dan biadab!" Berulang-ulang dia menarik napas resah sambil sekali-sekali mengguman. "Malang sekali nasib menteriku serta para pengawalnya!"
Seperti berkata pada diri sendiri, sang Purnawarman terus saja menggumam. "Padahal para perompak itu sudah diingatkan bahwa kapal itu adalah milik kerajaan. Tapi tetap tak diperdulikan dan mereka tetap merampoknya!"
Sang Purnawarman menggeleng-gelengkan kepalanya. Beberapa saat lamanya dia tenggelam dalam diam. Namun mendadak sekali wajahnya terlihat mengeras saat dia mengangkat kepalanya lagi sambil menepuk pangkal sandaran singgasana dengan agak keras.
"Baiklahl Aku harus melakukan tindakan tegas untuk masalah ini!"
Semua yang hadir menundukan kepala saat sang Purnawarman bangkit dari singgasana dan berdiri menyebar pandangan ke arah para bawahannya.
"Demi keamanan dan kelancaran perairan di wilayah kerajaan Tarumanegera ...."
Semua yang hadir kian dalam tertunduk saat sang Purnawarman melanjutkan kalimatnya dengan suara yang lebih lantang. Tangan kiri memegang dada sementara yang kanan direntangkan lebar.
"Dengan ini, aku nyatakan perang terhadap bajak laut! Dan aku sendiri yang akan mernimpin penyerangan
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 3 Bagian Gelap Bulan Maga (Januaril Februari) tahun 321 Caka (403 Masehi), sang Purnawarman melancarkan perang terhadap bajak laut yang merajalela di perairan barat dan utara.
Puluhan kapal perang kerajaan berbaris meninggalkan pelabuhan kerajaan Tarumanegara. Di bagian depan Kapal terbesar, dengan pakaian besinya, berdiri dengan gagahnya Sang Purnawarman didampingi sang Panglima Cakrawarman dan Sang Senopati Sarwajala, Nagawarman.

Beberapa hari kemudian, di tengah lautan.
Malam telah lama melewati puncaknya. Langit gelap tanpa bi ntang dan tanpa cahaya rembulan. Yang ada hanyalah kegelapan yang pekat dan mencekam. Namun di kejauhan, seperti hampir sejajar dengan garis cakrawala, tampak dua buah titik cahaya kecil yang terayun-ayun di tengah lautan. Kiranya cahaya itu berasal dari dua buah kapal yang agak besar yang tengah melempar sauh. Dilihat dari dekat, hanya satu dari dua kapal itu yang masih menandakan adanya kegiatan. Dan dari kapal itu, sayup-sayup sampai terdengar suara orang berkata-kata dibawa angin yang berhembus timbul tenggelam.
"Kalah lagi! Sudahlah! Lebih baik aku tidur saja."
Dari sekian banyak awak kapal, hanya tiga orang yang masih terbangun. Mereka berkumpul membentuk setengah lingkaran di antara puluhan orang lain yang berbaring di sana-sini. Di bawah penerangan sinar lampu damar yang samar, mereka menghadapi selembar kulit bergambar beberapa jenis hewan laut yang dihamparkan di lantai kapal. Salah seorang dari mereka memegang sebuah cangkang kelapa yang dibentuk sedemikian rupa menyerupai mangkuk yang sudah dihaluskan. Perangkat seperti itu merupakan sebuah alat untuk permainan judi pada masa itu. Di dekatnya, di depan masing-masing orang, berceceran sejenis mata uang logam yang digunakan untuk memasang taruhan.
Saat itu, lelaki yang memegang cangkang kelapa tampak berkata pada temannya. "Jangan marah begitu! Ayo pasang sekali lagi! Kali ini pasti dapat! Udang? Kepiting? Keong?"
Yang diajak bicara malah melongok keluar jendela.
"Sejak sore tadi kau bilang begitu! Dan ini sudah hampir pagi!"
"Siapa tahu kalau sekarang saat kemujuranmu tiba?" sahutnya lagi.
Tapi orang yang satu itu malah merebahkan diri sambil sebelumnya berkata dengan suara yang agak keras. `Maimah sendiri."
Tiba-tiba, kawan-kawan mereka yang tengah tertidur mendadak terjaga dan muka kesal mereka semua serempak berteriak kepada mereka yang masih terjaga. "Berisik! Kalian mau kami rampok?"
Mereka yang bermain seketika merungkut. Tapi mendadak mereka dikagetkan oleh suara-suara desingan yang begitu ramai. Dan sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, dinding kapal tempat di mana mereka saat itu berada, tiba-tiba ditembus oleh mata tombak-mata tombak yang menyembul masuk hingga ke bagian dalam. Para perompak itu kaget setengah mati. Salah seorang dari mereka bertindak cepat dan melompat ke arah jendela untuk melihat keluar dan mencari tahu apa yang tengah terjadi, mendadak, dia tersurut.
Beberapa puluh meter dari kedua kapal bajak laut, terlihat lampu-lampu yang berjejer membentuk lingkaran mengelilingi kedua kapal itu. Sekilas, memang terlihat indah. Tapi yang membuat salah seorang bajak laut itu tersurut adalah bukan karena keindahan itu, melainkan karena setelah dia mengawasi lebih jelas dan menyadari bahwa lampu-lampu itu berasal dari kapal-kapal kerajaan. Dan kini kapal-kapal itu telah mengepung mereka dengan rapat. Dengan wajah pucat dan gemetaran, salah seorang bajak laut Itu berkata lemas pada teman-temannya.
"Kita -- telah-dikepung"'
Sementara itu, di salah satu kapal terbesar dari armada kapal kerajaan yang saat itu memang telah mengepung dua kapal bajak laut. Sang Purnawarman, Sang Senopati Sarwajala dan Sang Panglima Cakrawarman tengah menanyai salah seorang prajurit dari pasukan pengintai.
"Prajurit. betulkah ini kapal-kapal bajak laut itu?"
Prajurit itu menjura.
"Betul. Sang Senopat'!"
Sang Purnawarman mengangguk-angguk.
"Kalau begiitu, beri aba-aba untuk menyerang, Paman Senopati!"
"Baik. Sang Prabu!"
Senopatt Sarwajala memberi aba-aba kepada peniup terompet untuk segera membunyikannya sebagai tanda untuk mengawali penyerangan. Peniup terompet menjura lalu mulai meniup.
Nguuungggg!
Suara terompet menggema di tengah lautan, para pemimpin pasukan di tiap-tiap kapal segera memberi perintah kepada pasukannya.
"Tembak!"
Seketika, ratusan tombak dan panah dilepaskan. Kilauan mata tombak dan panah dalam kegelapan tampak begitu menggidikkan saat meluncur cepat mencari sasaran. Suara-suara kayu hancur dan jeritan orang-orang yang terkena tombak dan panah itu tumpang tindih berbaur menjadi satu saling atas mengatasi membuat suasana yang tadinya sepi dan tenang berubah menjadi hiruk pikuk. Tak ada perlawanan yang berarti. Sebelum matahari muncul di ufuk timur, gerombolan bajak laut itu sudah dapat ditaklukan. Mereka yang menyerah dijadikan tawanan oleh pasukan kerajaan Tarumanegara.
Saat itu, Wamana bersama Bhima dan para prajurit lain tengah berada di kapal bekas milik para bajak laut untuk mencari sisa-sisa gerombolan yang mungkin masih bersembunyi. Setelah lama mencari dan tak bertemu, mereka akhirnya mengakhiri pencarian. Saat akan meninggalkan kapal bajak laut itu untuk kembali ke kapal mereka masing-masing, tiba-tiba telinga Wamana menangkap sebuah suara yang mencurigakan.
Wamana menghentikan langkahnya. Suara itu terdengar begitu samar dan hanya terdengar sekali saja, tapi Wamana terasa begitu yakin kalau itu bukamah suara gesekan kayu atau semacamnya. Wamana berniat hendak memanggil Bhima, tapi Bhima terlihat sudah berada agak jauh darinya. Dengan penasaran, Wamana masuk kembali ke bagian dalam kapal sambil mengendap-endap. Dalam keremangan cahaya lampu yang bersinar lemah, Wamana menajamkan pandangannya dan mencari. Namun walau bagaimanapun telitinya Wamana mencari, tetap saja dia tak menemukan apa yang dicarinya, jangankan manusia, kecoa pun tak tampak di sana. Dengan kecewa, Wamana melangkah keluar dari ruangan itu. Tapi mendadak, suara itu terdengar lagi. Tak terlalu keras memang, tapi itu sudah cukup memberi petunjuk kepada Wamana untuk mengetahui arah dari ruangan itu. Wamana merebahkan tubuhnya sejajar dengan lantai ruangan, dengan cermat dia mulai meraba. Dan wajah Wamana mendadak berubah cerah saat tangannya merasakan ada celah tipis pada lantai yang tampaknya rata itu. Suara engsel yang lama tak diberi pelumas segera terdengar saat Wamana mengangkat dan mencongkel celah tipis yang berfungsi sebagai penutup itu dengan menggunakan ujung pedangnya. Cahaya lemah menembus ke dalam lubang yang menganga di bawahnya. Wamana terdiam sebentar. Dia berpikrr dan menimbang-nimbang.
"Apakah aku harus masuk ke sana.' Tapi sendirian? Amankah? Atau..."
Terdengar suara desiran pelan dari balik kegelapan lubang yang menganga itu. Wamana membentak.
"Siapa itu?"
Tak ada jawaban. Wamana mengulang pertanyaannya.
"Siapa itu? Jawab atau kupanggilkan para prajurit lain!"
Mehdadak sekali, seraut wajah muncul di ambang lubang. Wamana terkejut dan jatuh terduduk, tapi dia segera menguasai dirinya.
"Siapa kau? Apakah kau anggota gerombolan bajak laut itu`'"
"Bukan! Aku adalah prajurit kerajaan!"
"Apa yang kau lakukan di dalam sana? Aku tak percaya! Naiklah ke sini agar aku bisa melihatmu dengan jelas! Dan awas, jangan mencoba untuk berbuat macam-macam!"
"Aku sedang buang air kecil! Tunggulah sebentar, aku akan naik!"
Wamana mengerenyitkan kening. "Apa tidak salah?"
Orang itu naik. Wamana melihat orang tersebut memang berseragam prajurit kerajaan Tarumanegara. Namun tiba-tiba Wamana mundur sambil menutup hidung. Prajurit itu melihat reaksi Wamana tapi dia terus melangkah mendekati. Wamana terus mundur hingga akhirnya punggungnya membentur dinding.
Wamana mengangkat tangannya. "Cukup! Jangan maju lagi! Kau amis sekali!"
Prajurit itu tersenyum dan terus maju, tetapi begitu dekat dengan Wamana, dia tiba-tiba membelokkan arahnya ke pintu keluar. Wamana mengintip melalui sela jari-jarinya dan dia menarik napas lega. Tapi itu hanya sesaat, karena selanjutnya dia melihat prajurit itu berjalan ke tepi kapal dan langsung terjun ke dalam air. Wamana berteriak memanggil. "Hei, jangan!"
Terlambat. Karena beberapa detik kemudian dari bawah kapal terdengar suara sesuatu yang masuk ke dalam air. Wamana berlari mengejar dan memanggil-manggil dengan perasaan bersalah. "Prajurit! Jangan marah! Aku tak bermaksud menghinamu! Keluarlah dari dalam air dan naiklah! Aku tak tahu kalau kau begitu cepat putus asa!"
Saat itu, Bhima dan beberapa prajurit yang juga mendengar suara tadi sudah tiba di sisi Wamana. "Ada apa, Wamana? Suara apa tadi? Apa ada yang tercebur?"
Wamana mengangguk sedih. "lya. Seorang prajurit!"
Tanpa banyak berkata lagi, Bhima langsung meloncat terjun ke dalam air. Beberapa saat lamanya Bhima menyelam mencari-cari, tapi dia tak menemukan seorang pun di bawah sana. Karena penasaran, Bhima mencari hingga dasar samudera namun hasilnya tetap nihil. Akhirnya Bhima muncul kembali ke permukaan. "Tak ada seorang pun di bawah sana!".
Wamana tersengguk dan mulai menangis. Beberapa prajurit yang ada di sampingnya berusaha membujuknya.
Sementara itu, Sang Purnawarman beserta para panglima tengah menanyai satu dari sekian bajak laut yang berhasil ditawan. "Mana pimpinan kalian?"
Yang ditanya menggeleng. "Kami tak tahu."
Panglima Cakrawarman mendekati bajak laut. "Kau tahu tengah berhadapan dengan siapa?"
Bajak laut itu menjura dengan penuh ketakutan. "Tapi kami memang benar-benar tidak tahu!"
Sang Purnawarman berkata lagi. "Baiklah. Bila benar pemimpinmu itu tak ada di sini. Tapi, untuk memastikan apakah pemimpinmu itu masih hidup atau sudah mati, aku ingin kau katakan bagaimana ciri-cirinya!"
Seketika dan tanpa berpikir panjang lagi, bajak laut itu menjawab.
"Dia berbau amis dan berpenyakit asma!"
Panglima Cakrawarman membentak."Jangan main-main! Kau kira dia itu ikan? Yang kami maksud ciri-ciri itu adalah bagaimana sosok pemimpinmu sebenarnya!"
Dengan ketakutan, bajak laut menjawab. "Susah untuk mengatakannya. Dia selalu berganti rupa sehingga sulit untuk menjelaskan ciri dari sosoknya!"
Sang Panglima membentak lagi. "Cukup! Kau telah mempermainkan Sang Prabu dan akan mendapat hukuman yang setimpal karenanya!"
Bajak laut merungkut ketakutan. "Tapi memang itulah yang sebenarnya!"
Sang Panglima memberi isyarat agar bajak laut itu segera dibawa pergi. Bajak laut berusaha meyakinkan agar kata-katanya dapat dipercaya, tapi dua prajurit segera menghampiri dan membawanya pergi. "Ampun, Sang Prabu! Kami tidak berbohong! Itulah yang sebenarnya! Ampuni kami!"
Selanjutnya dari 80 orang bajak laut, sebagian terbunuh dalam penyerangan oleh armada Kerajaan Tarumanegara sedangkan sisanya sebanyak 52 orang dapat ditawan. Lalu, seorang demi seorang, bajak laut yang ditawan itu dibunuh dengan berbagai cara dan semua mayatnya dibuang ke tengah laut.
Matahari baru saja muncul. Sinar keemasan mewarnai angkasa. Suasana yang teduh dan sejuk mengiringi armada kapal kerajaan Tarumanegara yang telah tiba di Pantai Teluk Lada. Kapal-kapal ini melaju menyusuri aliran sungai Cidangiang dan masuk ke pedalaman. Penduduk bersorak menyambut kedatangan pasukan kerajaan yang baru saja berhasil menumpas gerombolan perompak yang biasa menghantui dan berkeliaran mengganggu keamanan penduduk setempat.
Sang Purnawarman dan para panglimanya turun dan kapal dan disambut oleh tetua kampung setempat sedangkan para prajurit diizinkan turun ke darat untuk sekedar melepas lelah dan beristirahat setelah sekian lama berada di lautan dan berperang semalaman. Bhima dan Wamana tampak bergabung dengan penduduk setempat. Mereka berbincang-bincang dan saling bertukar cerita. Saat itu, Wamana yang sedang tertawa-tawa, tiba-tiba terdiam. Matanya mendelik dan cuping hidungnya bergerak-gerak. Lalu dia berdiri dengan tiba-tiba sambil menoleh ke sana kemari. Bhima dan yang lainnya menjadi heran melihat perubahan sikap Wamana itu. Wamana berjalan ke sana kemari sambil bertingkah seperti mencium-cium ke segala arah.
Beberapa orang yang melihatnya saling berpandangan dengan heran. Saat kembali ke tempat semula, Wamana seperti tampak tengah berpikir keras. Alisnya berkerut tajam sementara kepalanya digeleng-gelengkan sambil menggumam. "Aneh!"
Bhima tak dapat menahan rasa ingin tahunya. "Ada apa denganmu, Wamana?"
Wamana masih saja bertingkah sama. "Aneh!"
"Apanya yang aneh, hei?" Tanya Bhima lagi sambil mencolek lengan Wamana.
"Aku seperti mencium bau yang sama."
"Bau? Bau apa?"
"Bau prajurit yang tadi malam kulihat tercebur ke laut!"
Kali ini Bhima ikut mengerutkan kening. "Jangan bercanda, Wamana. Kau maksud prajurit yang tadi malam tenggelam itu?"
Wamana mengangguk cepat. "Iya"
"Bukankah kau lihat sendiri, aku tak dapat menemukannya walaupun sudah kucari hingga ke dasar laut. Apa mungkin dia selamat? Mungkinkah dia sudah lebih dulu naik ke kapal tanpa kita mengetahuinya?"
"Mungkin. Tapi saat kucari-cari aku tak melihat seorang pun yang bahkan mirip dengannya, apalagi dirinya."
"Kau tidak melihatnya, tapi kau dapat mencium baunya. Apa kau pikir yang datang tadi itu adalah hantunya" Mana mungkin, ini sudah siang, banyak orang lagi!"
"Lalu, bau apa atau siapa yang tadi kucium? Sayang, bau itu sudah keburu hilang sebelum aku sempat berbuat lebih banyak!"
"Bau ini, Wamana. Bau seperti apakah yang kau cium?"
"Amis"
Bhima mulai tcrsenyum. "Amis? Maksudmu seperti bau ikan" Bukankah itu wajar mengingat tempat ini adalah tepian pantai dan juga perkampungan nelayan?"
Wamana dengan mimik serius tetap mempertahankan keyakinannya.
"Bukan, Bhima. Aku kenal betul bau ini!"
Saat itu, Sang Senopati Sarwajala berdiri di tengah-tengah kampung dan memanggil para prajurit untuk berkumpul karena ada pengumuman yang hendak disampaikannya. Setelah itu, dia pun mulai angkat bicara.
"Segenap penduduk dan prajurit Tarumanegara. Ada hal penting yang akan kami sampaikan atas perintah Sang Prabu Purnawarman. Dari hasil pembicaraan antara Sang Prabu dan Tetua Kampung ini, maka terciptalah suatu rencana untuk mengabadikan peristiwa keberhasilan membasmi gerombolan perompak yang selama ini telah mengusik keamanan di perairan ini dan juga sebagai ungkapan terima kasih dari Sang Prabu atas kesediaan masyarakat di sekitar sungai Cidangiang untuk bersama-sama saling membantu menjaga ketentraman di perairan ini demi kepentingan bersama-sama Juga. Sudah sepantasnya kerajaan dan masyarakatnya saling bahu membahu demi kemajuan negara. Dan akhirnya, semua keberhasilan ini tidak akan terjadi tanpa dukungan dan bantuan serta kerjasama antara kerajaan dengan masyarakat".
Kalimat sang Senopati itu disambut dengan tempik sorak dari segenap prajurit dan penduduk. Kemudian, diperintahkan para prajurit serta penduduk setempat untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Sementara para lelakinya bekerja, para wanita memasak makanan untuk dihidangkan nanti. Suasana di kampung itu menjadi begitu ramai. Puluhan kerbau dikumpulkan di tengah tanah lapang untuk disembelih dan sebagian lagi untuk dihadiahkan kepada penduduk.
Saat tiba waktu makan siang, para lelaki yang bekerja beristirahat dan mencari tempat yang teduh untuk bernaung dan melepas lelah. Anak-anak penduduk berlarian rnembawakan air minum di dalam kendi-kendi tanah dan potongan-potongan barnbu. Tak lama kemudian. para wanita datang membawakan santapan untuk makan siang. Para pekerja langsung menyambut dan mulimkan dengan lahap.
Di pondok kediaman sang Tetua kmpung dimana para panglima dan sang Purnawarman berada, hidangan telah pula diantarkan oleh para wanita. Di dekat anak tangga pondok sang Tetua kampung, tampak Bhim dan Wamana berbaur dengan para pekerja lainnya dan tengah menyantap hidangan. Wamana tampak makan dengan lahap hingga remah-remah makanan bertempelan di sekitar mulut dan pipinya. Dari barisan para wanita yang membawakan hidangan ke pondok Tetua kampung, tampak seorang gadis muda cantik di antrian paling belakang. Dengan lenggang lenggoknya yang gemulai, dia melemparkan senyum manisnya kepada para pekerja sambil mengapit dua buah kendi air di tangan kanan-kirinya. Tiba di tangga pondok, gadis itu melirik sekilas pada Wamana yang masih sibuk dengan makanannya. Tapi beberapa saat setelah gadis itu melewati tangga, Wamana tiba-tiba terhenyak. Dia menghentikan suapan ke mulut dan berhenti mengunyah. Kepalanya terangkat dan matanya terbuka lebar. Beberapa helaan napas Wamana terpaku, cuping hidungnya bergerak kembang-kempis. Bhima yang melihat sikap Wamana itu bertanya.
"Ada apa Wamana? Kau tersedak? Makanya, kalau makan jangan terlalu lahap!" Wamana seperti tak mendengar pertanyaan Bhima. Dia malah memegang lengan Bhima dengan kencang.
"Bhima, kau cium bau itu?"
"Bau apa?" tanya Bhima sambil menajamkan penciumannya. ",Aku tak mencium bau apa-apa selain bau daging yang kita makan, dan bau keringatmu!"
Wamana tiba-tiba meletakkan makanannya dan bangkit berdiri sambil bercelingukan dia bertanya kepada Bhima dengan terburu-buru.
"Siapa orang yang terakhir lewat dekat kita?"
Bhima mengangkat bahu sambil menoleh ke sekeliling. "Kau lihat sendiri, mereka semua sedang makan. Sama seperti kita. Kecuali..."
"Kecuali siapa?" desak Wamana dengan bernafsu.
"Para wanita yang mengantarkan hidangan ke dalam Pondok ini. T api kenapa?"
Tanpa rnenghiraukan pertanyaan Bhima lagi, Wamana segera bergerak cept ke dalam pondok. Dia melompati anak tangga dengan langkah-langkah lebar.
'Mau apa" dia masuk ke dalam? Bisa-bisa dia akan mengganggu selera makan orang-orang yang ada dI sana!"
Berpikir demikian, Bhima segera bangkit menyusul Wamana.
Di dalam pondok, para wanita yang membawakan makanan telah mulai keluar satu per satu. Mereka berpapasan dengan Wamana. Dan mereka kaget karena Wamana memandang mereka dengan tajam sambil mendekatkan wajahnya ke tubuh para wanita itu. Para wanita memandang heran sambil melanjutkan keluar dari dalam pondok. Wamana masuk ke bagian dalam ruangan di mana Tetua kampung, Sang Purnawarman dan para Panglima tengah berkumpul dan bersiap-siap untuk menyantap makanan yang telah dihidangkan. Di sana dia melihat hanya tinggal satu orang wanita yang tengah menaruh kendi air di atas lantai. Semua yang ada di dalam, kecuali si wanita, melihat kedatangan Wamana. Tapi Wamana malah menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya. Dengan berjingkat dia berjalan mendekati si wanita dari belakang. Sang Purnawarman serta para Panglima yang telah mengenal Warnana dan sudah tahu bagaimana sifatnya, hanya terdiam sambil tersenyum melihat tingkah Wamana itu.
Tepat pada saat si wanita selesai meletakkan kendi dan bangkit berdiri, Warnana melompat dan menerkam tubuh si wanita. Tubuh wanita itu terdorong dan terjerembab ke depan karena tertindih oleh tubuh Wamana. Dengan bemafsu Wamana berseru sambil menekan kepala si wanita ke lantai. "Kena kau sekarang!"
Lalu kaki Wamana bergerak menendang dua kendi air yang tadi dibawa si gadis dengan keras sehingga terpental dan pecah. "Air itu telah dicampur racun!"
Tetua kampung hanya terbengong melihat kejadian itu. Sang Panglima Cakrawarman menegur Wamana. "Wamana, apa yang kau lakukan? Apa kau tak memandang Sang Prabu dengan berbuat keributan seperti ini? Kali ini, leluconmu tidaklah lucu!"
Dengan masih sambil menekan kepala si gadis, Wamana menjawab ucapan Sang Panglima.
"Memang tidak lucu, karena hamba memang tak bermaksud bercanda. Tapi apakah Yang Mulia semua tidak merasa terganggu dengan bau amis ini?"
Seketika yang ada di dalam ruangan mengendus-ngendus.
"Bau amis? Aku memang baru membauinya. Tapi kukira itu hanyalah aroma dari masakan ini saja. Lalu kenapa?" tanya Sang Purnawarman.
Wamana tidak segera menjawab. Tapi dia malah memukul punggung gadis itu dengan keras hingga si gadis terbatuk-batuk dengan payah dan nafas tersengal-sengal.
"Bagaimana pula dengan ini?" tanya Wamana lagi.
Semuanya saling berpandangan tak mengerti akan apa yang dimaksud Wamana.
"Mengapa kau memukulnya sekeras itu? Apa salahnya sehingga kau begitu kasar pada seorang wanita?"
Pada saat itu Bhima pun masuk ke dalam ruangan. Dia menjura saat Sang Purnawarman dan para Panglima menoleh ke arahnya.
"Ampun, Sang Prabu. Maafkan sikap hamba dan kawan hamba ini bila telah berbuat lancang di hadapan Sang Prabu!"
Sang Purnawarman mengangguk. "Aku tak mengerti. Apa yang terjadi dengan Wamana, Bhima. Dia seperti kehilangan kendali."
"Ampun, Sang Prabu. Hamba pun tidak tahu. Tapi izinkamah hamba mengurusnya."
Sang Purnawarman mengangkat tangan mempersilahkan. Bhima kemudian menghampiri Wamana. Tapi baru beberapa langkah, Wamana berseru kepada Bhima.
"Diam di tempatmu, Bhima!"
Langkah Bhima seketika terhenti. "Tapi kau telah lancang di hadapan sang Prabu, Wamana. Ayolah, mari kita keluar saja dan lepaskan gadis yang tidak bersalah itu!"
"Bhima, kau ingat kejadian di kapal tadi malam saat kau menyelami laut untuk mencari seorang prajurit yang tenggelam?" Bhima mengangguk. "Kau masih ingat tadi pagi dan barusan saat kukatakan kalau aku mencium bau amis?" Bhima mengangguk lagi.
"Bagus," kata Wamana. "Sekarang, mendekatlah kemari!"
Bhima menurut saja. Dia melangkah perlahan menghampiri Wamana. Tapi beberapa jengkal dari Wamana, Bhima menghentikan langkahnya sambil menahan nafas. Wamana tersenyum karenanya.
"Nah, bau apa yang barusan kau cium?"
Bhima mengerutkan kening. "Amis!"
"Tepat!" kata Wamana. Lalu katanya lagi kepada Sang Prabu. "Hamba dan Bhima memang tidak hadir saat Sang Prabu menanyai salah seorang bajak laut tadi malam. Tapi dari cerita yang hamba dengar dari salah seorang prajurit yang hadir pada saat itu, bukankah si bajak laut mengatakan ciri-ciri dari pemimpin mereka" Ciri-ciri yang benar-benar tepat, walaupun tidak dipercayai dan dianggap mengada-ada!"
Saat Itu, Sang Purnawarman serta para Panglima tersentak. Mereka semua memandang pada gadis yang ada di bawah tubuh Wamana. "Aku ingat itu. Tapi apakah mungkin gadis seperti dia dapat memimpin gerombolan perampok yang kejam itu"?
Wamana menggeleng cepat. "Ciri-ciri itu juga dikatakan oleh bajak laut itu. Bukankah katanya pemimpinnya itu pun seringkali berganti-ganti rupa?"
Sang Prabu mengangguk- angguk mengerti.
"Kalau begitu, mari kita hukum dia! Tak peduli bagaimana pun wujud dia yang sebenarnya!" kata Sang Panglima.
Tapi tiba-tiba, Wamana merasakan tubuhnya terangkat dan kulit wanita yang tadinya mulus kini berubah kasar dalam genggamannya. Seketika Wamana menoleh ke bawah. Dan dia terkejut saat melihat bagaimana tubuh wanita yang tadi ditindihnya telah hilang dan kini berubah menjadi sosok yang besar, jauh lebih besar bahkan dari tubuhnya sendiri. Belum sempat Wamana berbuat sesuatu, sosok itu tiba-tiba meronta dengan keras. Wamana yang bertubuh kecil tak dapat bertahan. Pegangannya terlepas dan tubuhnya terlempar ke belakang. Sang Prabu dan para Panglima yang juga melihat perubahan-perubahan itu segera bangkit dari duduknya karena terkejut, begitu juga dengan Bhima. Sosok tinggi besar itu kini bangkit sambil menggeram marah. Kini terlihatlah sosok pemimpin bajak laut itu yang sebenamya. Dia memandang marah pada orang-orang di sekelilingnya. Melihat itu, dengan ketakutan Wamana melompat mundur ke arah pintu keluar dan berlindung di balik tubuh Bhima. "Bhima! Tolong aku!"
Para Panglima segera bergerak mengelilingi Sang Prabu untuk menjaga segala kemungkinan buruk yang dapat mengancam keselamatan Sang Prabu.
"Kau tidak akan bisa keluar dari sini, Perompak! Menyerahlah!" Sang Senopati membentak.
"Dan membuat kalian senang dengan merighukumku?" tanya si pemimpin. "Tidak!" jawabnya lagi sambil menggeleng-geleng. "Tapi kalian semua telah mengganggu kesenanganku. padahal kalian tahu kalau aku ini adalah perompak yang bekerja untuk mengganggu kesenangan orang! Aku ingatkan kalian kalau kalian belum sadar, itu terbalik, tahu?"
"Kau tahu apa kesalahan terbesarmu?" tanya Sang Purnawarman.
"Apa ya ?" Si perompak menggelengkan kepala.
"Kau telah merampok dan membunuh salah seorang menteri dari kerajaan Tarumanegara! Itu adalah kesalahan tak terampuni!" kata sang Purnawarman lagi sambil menuding ke arah perompak.
"Aku tak butuh ampunan dari siapapun! Dan bila aku ingin merampok, jangankan seorang menteri, seorang raja sekalipun akan tetap kurampok bila aku memang menginginkan!" Kalimat terakhir diucapkan perompak dengan sangat bersemangat. Karenanya, tiba-tiba memegang dadanya sambil berusaha menarik napas dengan payah. Melihat hal itu, Sang Senopati mengira kalau perompak itu lengah. Maka dengan segera dia melompat menyerang si perompak. Tapi dugaan sang Senopati salah, karena si perompak justru dapat dengan mudah menghindari serangan itu dan bahkan membalasnya. Terjadi pertempuran sengit di dalam pondok tetua kampung. Para penduduk dan prajurit telah mendengar keributan di dalam pondok dan mereka semua datang berkerumun di sekeliling tempat itu. Beberapa saat kemudian, rupanya perompak itu lebih tangguh dibanding sang Senopati. Pertempuran sengit kembali terjadi. Namun kembali terbukti bahwa si perompak memang benar-benar tangguh. Sang Panglima pun kembali terdesak hebat hingga akhirnya dia mundur menjauhi si perompak. Demi melihat kedua panglimanya tak berdaya menghadapi perompak itu, Sang Purnawarman sendiri akhirnya turun tangan. Tapi para panglimanya mengllalangi.
"Jangan, Sang Prabu! Lebih baik kita menyingkir dari sini! Dia terlalu tangguh buat kami! Kami tak ingin keselamatan Sang Prabu terancam!"
Perompak tertawa terkekeh-kekeh melihat hal tersebut. Kesombongannya pun timbul.
"Tak usah berebut, Kalau mau, kalian semua boleh majumenyerangku! Aku senang-senang saja"
Sungguh sangat meremehkan kalimat si perompak itu. Sang Purnawarman merasa dihina dan ditantang. Lalu dia menepis tangan para panglima yang melindunginya. Tapi kemudian terdengar suara seseorang berkata:
“Izinkan hamba menghadapinya. Sang Prabu tak perlu turun tangan!”
Sang Purnawarman menoleh danmelihat Bhima tengah menjura kepadanya. Seperti orang baru sadar dri suatu lamunan, Sang Purnawarman tersentak lalu tersenyum gembira.
"Ah. Bhima. Aku begitu termakan oleh kesombongan perompak ini sampai-sampai tak menyadari keberadaanmu di sini!"
"Dia memang sakti, Sang Prabu. Tapi kesombongannya justru seperti melebihi kemampuannya itu sendiri. Dengan izin dan restu dari Sang Prabu serta para Panglima semua, hamba akan mencoba melawannya!"
"Dengan senang hati, Bhima. Mungkin hanya kaulah yang mampu menghadapinya. Semoga berhasil!"
Bhima lalu melangkah tenang mendekati si perompak yang masih dengan sambil tertawa-tawa mencibirkan mulutnya ke arah Bhima.
"Heli, rupanya Tarumanegara sudah kehabisan Panglima andalannva sehingga harus menyerahkan tanggung jawab kepada bocah bongsor ini!"
Bhima terus mendekat.
"Bocah, jangan karena kau merasa tubuhmu tinggi besar lalu kau mengira akan dapat mengalahkanku! Lebih baik kau mundur dan biarkan aku menghabisi rajamu, maka kau akan kubiarkan hidup!"
Bhima tak menjawab ejekan si perompak. Dia terus saja melangkah menghampiri si perompak yang menjadi heran karena sikap Bhima itu. Tepat pada saat Bhima tinggal beberapa depa lagi darinya, si perompak dengan kesal menyerang Bhima. Pukulan si perompak tepat menghantam dada Bhima. Bhima tak bergeming lalu dengan secepat kilat Bhima mengulurkan tangan ke arah si perompak. Tahu-tahu, leher si perompak telah dicekik oleh tangan Bhima yang kokoh. Si perompak meronta-ronta sambil memukul dan menendangi tubuh Bhima, Bhima malah mengangkat tangannya ke atas sehingga tubuh si perompak ikut terangkat pula ke atas. Si perompak mulai tercekik pernapasannya, matanya melotot sementara tangan dan kakinya terus saja memukuli dan menendangi Bhima. Dari mulutnya dia mengeluarkan suara serak tak jelas apa yang dikatakannya. Wajah si perompak kian memerah. Perlahan-lahan gerakannya yang meronta-ronta mulai mengendur. Saat itu Bhima menurunkan tubuh si perompak dan melepaskan cekikannya. Tubuh si perompak meluruk ke lantai dengan lemah, dia memegangi lehemya dengan wajah kesakitan sambil terbatuk-batuk. Pada saat itu, Sang Panglima melambai pada beberapa orang prajurit yang tengah menyaksikan kejadian itu.
"Ringkus dial"
Para prajurit segera melakukan perintah itu. Mereka menghampiri si perompak dan mengamankannya, kali ini dia tak lagi melawan. Begitu juga saat para prajurit membawanya pergi dari pondok itu. Dia hanya bisa memandang heran dan tak mengerti pada Bhima. Untuk kesekian kalinya, Sang Purnawarman dan Para Panglima menghaturkan terimakasih kepada Bhima dan Wamana atas jasa mereka yang telah menghindarkan Sang Purnawarman beserta para Panglimanya dari bahaya yang mengancam mereka.
Tak lama kemudian, Sang Purnawarman memerintahkan agar perompak itu dibawa ke tengah laut untuk menerima hukuman seperti yang diterima oleh para anak buahnya sebelumnya. Kini sempurnalah sudah penumpasan mereka terhadap para bajak laut yang selama ini menjadi momok yang menakutkan bagi para pelaut.
Sementara itu, acara pengabadian keberhasilan penumpasan gerombolan bajak laut segera dimulai. Bentuk pengabadian itu diwujudkan dalam sebuah prasasti yang terletak di tepi sungai Cidangiang, Sang Purnawarman rnenuliskannya dalam aksara Pallawa bahasa Sansekerta yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
Vikrantayam vanipateh
Prabbhuh satyaparakramah
Narendraddhvajabutena crimatah
Purnnavarmmanah

((Ini tanda) penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala raja, yang termasyur Purnawarman)

Prasasti itu berada di tepi sungai Cidangiang, di desa Lebak Kecamatan Munjul Kabupaten Pandeglang sekarang.

Oleh Malvin Dwi Ruda