Secara umum masyarakat jahiliyah mempercayai adanya makhluk yangbernama jin, yang mereka yakini sebagai makhluk yang memiliki kekuatan tersembunyi. Menurut kepercayaan mereka, jin mampu mengakibatkan gangguan, di samping dapat juga memberi manfaat. Karena itu, Alquran mengungkapkan, "Sebagian mereka menyembah jin." (Saba': 41), bahkan dalam surah Ash-Shafaat ayat 158 ditegaskan bahwa, "Mereka mengadakan hubungan nasab antara Allah dan antara jin," dan bahwa orang-orang musyrik "menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah yang menciptakan jin-jin itu." (Al-An'am: 100).
Dari sini pula tidak jarang sebagian mereka meminta bantuan jin dan perlindungannya sebagaimana tercantum dalam surah Al-Jin ayat 6. Tetapi, seperti bunyi ayat selanjutnya, "... jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan/kesulitan."
Kepercayaan masarakat jahiliyah tentang kemampuan jin memberi gangguan mengantar mereka menyembelih binatang sebagai sesaji kepada jin pada saat mereka menghuni rumah baru, atau menggali sumur, dan sebagainya. Sementara, suku masyarakat jahiliyah mengadakan perjanjian kerja sama dalam bidang pertahanan dengan jin, bahkan konon terjalin hubungan perkawinan antara mereka.
Keyakinan masyarakat jahiliyah menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada makhluk halus masih bertahan dalam benak sebagian umat Islam hingga kini. Pakar hadis Badruddin al-Adin al-Sybli dalam bukunya Akaam al-Marjaan mengemukakan riwayat bahwa Ibnu al-Qayyim mengatakan kepadanya bahwa imam kelompok mazhab Hanafi di Mekah menceritakan kepadanya bahwa ketika ia menyaksikan sendiri penggalian sumur di Mekah, tiba-tiba salah seorang penggali sumur itu kesurupan dan terdengar darinya suara yang berkata, "Wahai kaum muslimin, tidak halal bagi kalian menganiaya kami.
Maka sang imam berkata, 'Apakah penganiayaan kami atas kalian?' Dia menjawab, 'Kami penghuni wilayah ini. Tidak seorang muslim pun kecuali saya; yang lain kini telah terbelenggu. Kalau kalian melanjutkan penggalian, pasti kalian akan mendapat gangguan dari mereka. Aku diutus untuk menyampaikan bahwa kalian tidak akan dibiarkan lewat, kecuali kalau membayar hak kami.' 'Apakah hak kalian?' tanya sang imam. 'Kalian mengambil seekor kerbau dan menghiasinya dengan hiasan sebaik-baiknya, kemudian mengantarnya kemari dan menyembelihnya, lalu kalian meningalkan kaki, tangan, dan kepalanya di sumur Abdussamad. Adapun selebihnya maka itu urusan kalian. Setelah semua itu dilakukan, maka penggali yang kesurupan tadi sembuh.
Ibnu al-Qayyim yang dikutip oleh Al-Sybli di atas selanjutnya berkata, "Ini sama dengan adat mereka sebelum Islam, menghiasi wanita cantik kemudian melemparnya ke Sungai Nil agar Sungan Nil melimpah. Tetapi, kebiasaan ini terhenti melalui Umar Ibnu al-Khattab. Sebenarnya kejadian seperti di atas tidak perlu terjadi jika ada orang semacam umar, burung kecil pun tidak perlu disembelih apalagi yang lebih besar."
Kejadian seperti yang diceritakan di atas tidak berbeda dengan kejadian-kejadian yang sering kita dengar dari para penduduk pedesaan di tanah air kita. Banyak kejadian-kejadian yang aneh terhadap suatu kegiatan-kegiatan penting masyarakat, seperti membangun rumah, membuat sumur, menebang pohon besar, pindahan rumah, acara hajatan, dan kegiatan-kegitan penting lainnya. Kejadian yang aneh itu seperti misalnya, seorang yang sedang mengadakan hajatan mengalami kesurupan dan kemudian mengatakan agar membuat ini, itu untuk disimpan di suatu tempat (sesajen).
Ada juga yang melalui mimpi, yaitu orang yang sedang hajatan itu bermimpi untuk membuat sesajen, dll. Kejadian-kejadian seperti itu tidak kita pungkiri bahwa hal itu memang terjadi secara nyata. Itulah sebabnya di berbagai tempat di tanah air, warga masyarakatnya sulit untuk melepas kepercayaan ini. Yang paling terkenal dari kepercayaan ini adalah seperti yang diadakan oleh pihak keraton, baik di Yogyakarta maupun di Surakarta. Setiap waktu tertentu mereka mengadakan acara sesajenan, dan sebagiannya ada yang dilemparkan ke laut, yaitu "Laut Kidul". Mereka mengharapkan berkah dan keselamatan dari diadakannya acara tersebut.
Ada juga beberapa desa di tanah Jawa yang setiap tahunnya harus mengadakan acara yang disebut "sedekah bumi". Acara ini diadakan, menurut kepercayaan mereka, agar warga desa setempat mendapat berkah dan tidak ada gangguan di dalam bercocok tanam. Dengan diadakannya acara-acara semacam itu, akhirnya memang mereka tidak mengalami gangguan.
Apabila kejadian-kejadian tersebut di atas kita pahami dengan saksama, tentu kita akan membenarkan apa yang telah difirmankan oleh Allah SWT, "Sebagian mereka menyembah jin," "... menjadikan jin itu sekutu bagi Allah." Kejadian-kejadian seperti tersebut di atas adalah salah satu dari berbagai bentuk perbuatan jin terhadap umat manusia. Karena, tidak semua jin itu beriman kepada Allah, tetapi sebagian besar dari mereka adalah golongan yang musyrik dan kafir.
Bagi yang memegang erat kepercayaan tersebut di atas beranggapan bahwa mereka tetap percaya kepada Allah, bukan menyembah bangsa lelembut, tetapi ketakutan mereka jika tidak mengadakan acara-acara tersebut tidak dapat dipungkiri sebagai suatu jawaban yang menyanggah pendapat mereka. Dengan demikian, sesungguhnya mereka lebih takut kepada apa yang ada di depan mata mereka dari pada takut kepada ancaman Allah kelak di akhirat, yang hal ini masih bersifat kabar, yang bagi mereka belum bisa meyakinkan dengan yakin. Inilah permasalahan mendasar yang sesungguhnya para ulama dituntut untuk mampu mencari jalan keluar, sebagaimana yang telah dilakukan Umar bin Khattab r.a. di atas. Ulama dituntut untuk mampu memecahkan permasalahan-permasalahan seperti di atas, tidak hanya berkutat pada masalah fikih dan khilafiyah.
Di samping itu, sangat populer pula di kalangan masyarakat jahiliyah kerja sama antara para penyair manusia dengan para penyair jin. Menurut kepercayaan mereka, syair-syair indah merupakan hasil kerja sama itu. Adanya kepercayaan itulah agaknya yang menjadikan Alquran menegaskan keunggulan dengan menantang manusia dan jin untuk membuat semacam Alquran.
"Katakanlah (hai Muhammad) seandainya menusia dan jin berkumpul untuk membuat semacam Alquran ini, mereka tidak akan mampu membuatnya walaupun sebagian mereka membantu sebagian yang lain." (Al-Isra': 88).
Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.
ReplyDelete