Kejang pada anak atau orang dewasa tidak bisa dianggap enteng. Apalagi jika disertai sakit kepala hebat yang tak kunjung sembuh atau kelumpuhan tiba-tiba. Bisa jadi itu adalah gejala malformasi pembuluh darah arteri-vena pada otak.
Masyarakat awam menyebut
kejang sebagai ayan. Ayan (epilepsi) dapat disebabkan kelainan listrik dalam
sel otak, yang disebut epilepsi primer, atau akibat kelainan dalam otak, yang
disebut epilepsi sekunder. Kelainan otak pemicu epilepsi sekunder itu dapat
berupa kelainan pembentukan pembuluh darah penghubung pembuluh darah arteri dan
vena di otak (arteriovenous malformation) atau karena tumor.
Dokter spesialis bedah
saraf dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum dr
Soetomo, Asra Al Fauzi, seusai seminar ”Neurovascular Update” di Manado,
pertengahan September lalu, mengatakan, malformasi arteri-vena merupakan kasus
jarang, hanya 5 persen dari kasus kelainan otak yang ditemukan. Namun, jika
muncul, hal itu bisa menyebabkan kelumpuhan hingga kematian.
Meski kelainan terjadi
sejak lahir, banyak gejalanya baru tampak ketika anak menginjak remaja atau
dewasa.
Eka J Wahjoepramono, Ketua
Tim Bedah Saraf Rumah Sakit Siloam yang juga Guru Besar Ilmu Bedah Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan, mengatakan, malformasi
arteri-vena terjadi karena kelainan pada pembuluh kapiler yang menghubungkan
pembuluh darah nadi (arteri) dan vena. Di pembuluh kapiler ini terjadi transfer
oksigen dan nutrisi yang berguna bagi otak.
Sebenarnya kelainan ini
dapat terjadi di bagian tubuh mana pun selama ada pembuluh darah arteri dan
vena. Namun, malformasi pada pembuluh darah otak dan sumsum tulang belakang berdampak
lebih fatal.
Dalam kondisi normal,
jantung memompa darah yang kaya oksigen dan nutrisi ke otak melalui arteri.
Darah lalu masuk pembuluh kapiler. Di sini, aliran darah melambat sehingga
memungkinkan pelepasan oksigen ke jaringan sekitarnya. Selanjutnya, darah yang
kandungan oksigennya berkurang dikirim ke jantung melalui vena.
Tanpa pembuluh kapiler
Pada penderita malformasi
arteri-vena, darah dari arteri di otak langsung menuju vena tanpa melalui
pembuluh kapiler. Peran pembuluh kapiler digantikan pembuluh darah abnormal
yang disebut fistula. Pembuluh ini berukuran lebih besar dari pembuluh kapiler.
Di fistula, aliran darah
menjadi sangat cepat. Ini berbahaya karena pelepasan oksigen jadi lebih sulit
dilakukan. Aliran darah yang cepat juga membuat tekanan pada dinding pembuluh
menjadi tinggi sehingga bisa menyebabkan pembuluh darah pecah dan timbul
pendarahan.
Pecahnya pembuluh darah
dikenal sebagai stroke. Umumnya stroke dipicu hipertensi. Namun, pendarahan
pada otak juga bisa dipicu malformasi arteri-vena.
Pendarahan bisa merusak
sel-sel otak. Tingkat kerusakan bergantung pada lokasi terjadinya malformasi
arteri-vena.
Menurut Eka, diperkirakan
2 dari 100.000 orang menderita malformasi arteri-vena setiap tahun. Kelainan
bawaan ini diyakini berlangsung sejak berkembangnya janin dalam kandungan.
Penyebab terjadinya malformasi belum diketahui secara pasti.
”Ibu yang menderita
malformasi arteri-vena akan menurunkan 18 persen risiko malformasi kepada
anaknya,” kata Asra. Namun, jumlah kasus malformasi arteri-vena yang terungkap
sangat sedikit. Rendahnya pemahaman masyarakat dan sulitnya proses deteksi
membuat banyak penderita malformasi tak mendapat perawatan semestinya.
Pengenalan gejala
malformasi arteri-vena perlu dilakukan. Meski demikian, mereka yang memiliki
gejala malformasi arteri-vena, seperti kejang, pendarahan dalam tulang
tengkorak, atau sakit kepala tak kunjung sembuh meski sudah diobati, tidak
perlu langsung khawatir. Diperlukan pemeriksaan detail oleh dokter untuk memastikan
penyebab gejala itu.
Deteksi malformasi yang
sering dilakukan adalah menggunakan magnetic resonance imaging (MRI).
Terapi
Untuk mencegah agar tidak
terjadi stroke dan meningkatkan kualitas hidup penderita, setidaknya ada tiga
pilihan tindakan, yaitu bedah mikro, embolisasi endovaskular, dan radiasi pisau
gamma.
Bedah mikro cocok
digunakan untuk mengangkat jaringan tak normal berukuran lebih dari 4
sentimeter (cm) dan posisinya berada di permukaan otak.
Jika diameter jaringan tak
normal kurang dari 4 cm dan posisinya di dalam otak atau di antara belahan
otak, pengangkatan sebaiknya dilakukan dengan radiasi pisau gamma. Teknik ini
dilakukan dengan memasukkan radioaktif cobalt pada jaringan yang tidak normal.
Pengobatan lain adalah
embolisasi endovaskular. Teknik ini dilakukan dengan memasukkan
partikel-partikel embolan, mirip dengan lem, yang akan membeku saat masuk
pembuluh darah. Partikel embolan dimasukkan menggunakan kateter hingga
mendekati posisi jaringan yang tak normal.
Embolisasi endovaskular
dipilih jika jaringan tak normal tersebar luas, bahkan mencapai separuh otak.
Terapi ini tak menyembuhkan, tetapi dapat mengurangi risiko. Penyumbatan dengan
embolan akan mengurangi risiko pendarahan otak.
Eka menyatakan, teknik
yang digunakan untuk mencegah stroke terkadang merupakan kombinasi dari dua
teknik berbeda. Pada penggunaan pisau gamma, jaringan tak normal yang diradiasi
baru hilang setelah 3-4 tahun sejak dilakukan penyinaran. Untuk mencegah
pecahnya pembuluh darah pada selang waktu itu, dokter biasanya juga melakukan
embolisasi.
Makin dini malformasi
arteri-vena pada otak dideteksi, makin tinggi tingkat keberhasilan
penanganannya. Harapan bagi penderita untuk hidup normal pun terbuka lebar.
0 comments:
Post a Comment