Sunday 13 October 2013

Daerah Galuh Pra Islam : Kepercayaan Masyarakat Galuh

          


           Para raja dan masyarakat kerajaan Galuh, sebelum kedatangan Islam adalah pemeluk agama Hindu. Di antara bukti untuk hal tersebut adalah ditemukannya situs-situs purbakala yang merupakan tempat suci atau tempat-tempat peribadatan penganut agama Hindu. Salah satu peninggalan tersebut adalah Candi Cangkuang di desa Cangkuang, Leles-Garut yang diperkirakan dari abad VIII M. situs Batu Kalde di Pananjung, Pangandaran Ciamis yang diduga bahwa situs tersebut telah berdiri bangunan suci agama Hindu-Saiva. Di desa Sukajaya, Pamarican, Ciamis terdapat sebuah candi yang disebut Candi Ronggeng. Masih diwilayah Ciamis, tepatnya di daerah Mulyasari, Pataruman, Kotip Banjar, terdapat reruntuhan bangunan kuno yang disebut dengan Candi Rajegwesi. Situs lain yang tergolong luas terletak di tepi pertemuan dua sungai, yaitu sungai Citanduy dan Cimuntur di desa Karangkamulian, Cisaga, Ciamis. Oleh penduduk setempat situs tersebut dihubungkan dengan cerita rakyat Ciung Wanara. 

          Ada pula suatu komplek kepurbakalaan yang cukup luas yang terdapat di Kawali, Ciamis. Situs ini disebut Astana Gede. Di lingkungan kompleks yang terbagi ke dalam beberapa halaman yang bertingkat ini terdapat enam prasasti baru. Prasati-prasasti tersebut ditemukan pada halaman tertinggi dan relative berada di pusat kompleks. Prasasti-prasasti Kawali menyebutkan bahwa tokoh raja yang berkedudukan di Kadatuan Surawisesa yang bernama Prabu Raja Wastu yang memerintah kerajaan dalam keadaan aman sejahtera dan dalam kurun waktu yang cukup lama. Astana Gede di masa silam mungkin merupakan kompleks bangunan suci yang ditata dengan halaman yang bertingkat-tingkat. Peninggalan lainnya ialah situs Eyang Depok di desa Banjarharja, Kalipucang, Ciamis, yang berupa lahan bertingkat dengan struktur bangunan dari tumpukan batu bekas reruntuhan sebuah candi. 

          Pada masa kerajaan Galuh, sekurang-kurangnnya terdapat empat jenis tempat yang disucikan oleh masyarakat Sunda Kuna, yaitu Dewa Sasana, Kawikuan, Kabuyutan dan Pertapaan. Dewa Sasana adalah tempat yang dikeramatkan karena dipercaya sebagai tempat persemayaman para dewa yang di dalamnya terdapat pula bangunan suci untuk pemujaan dewa. Kawikuan adalah tempat bermukimnya para wiku. Wiku dalam Bahasa Sunda Kuna berarti pendeta atau dalam pengertian yang luas adalah kaum agamawan yang telah mengundurkan diri dari dunia ramai dan menyepi untuk memperdalam ilmu agama. Kawikuan merupakan bentuk pemukiman khusus yang relative luas, oleh karena itu tidaklah heran apabila disebut dengan lurah kawikuan. Adapun Kabuyutan adalah suatu tempat suci yang dikeramatkan dan dijadikan pusaka masyarakat. Tentu saja ditempat itu pun bermukim para pendeta, namun tidak sebanyak di Kawikuan. Kabuyutan Galunggung mereupakan kabuyutan yang paling penting milik bersama masyarakat dan menjadi pusaka kerajaan. Adapun pertapaan adalah tempat orang-orang melakukan tapa atau semedi. 

          Kepercayaan masyakarat Galuh juga dapat dibaca dan ditelaah lewat naskah-naskah seperti Sewakadarma, Jatiniskala, Kawih Paningkes dan Sanghyang Siksa Kanda Karesyan. Naskah-naskah tersebut sudah ditransliterasi dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh para filolog maupun para ahli tentang kesundaan. Untuk mengetahui isi naskah-naskah tertentu dengan adanya sejumlah naskah yang sudah diterjemahkan. 

          Salah satu naskah yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Galuh adalah naskah Sewakadarma “pengabdian atau kebaktian terhadap darma” disusun oleh seorang petapa perempuan bernama Buyut Ni Dawit yang bertapa di pertapaan Ni Teja Puru Bancana di Gunung Kumbang. Oleh karena itu tidak mengherankan jika naskah itu memberikan uraian tentang sebuah gisa “lesung” dengan istilah-istilah yang khas untuk perempuan, seperti dikayasan, dyangiran, dan dipesekan. Demikian juga uraian mengenai pakaian bidadari. 

          Berdasarkan isinya, naskah Sewakadarma dapat dianggap sebagai salah satu bukti mengenai pernah berkembangnya aliran Tantrayana di wilayah budaya Sunda pada masa silam. Ajarannya menampilkan campuran aliran Siwa Sidhanta yang menganggap semua dewa sebagai penjelmaan Siwa dengan agama Budha Mahayana. Capuran kedua agama itu masih terjadil dengan “agama pribumi” mengingat ternyata unsure hyang tetap dibedakan dari dewata walaupun tempat kediaman keduanya sama-sama disebut kahiyangan.

          Naskah Sewakadarma berisi uraian mengenai kalopasan “kelepasan moksa” yang menekankan kepada penggunaan bayu “tenaga”, sabda “ucapan” dan hedap “tekad” yang sesuai dengan tuntutan dan petunjuk darma. Uarian mengenai hal itu secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi ajaran yang menguraikan cara persiapan jiwa untuk menghadapi maut sebagai gerbang peralihan ke dunia gaib. Di situ dilukiskan peristiwa maut secara indah dan mengesankan karena maut merupakan “pintu gerbang kelepasan” bagi jiwa. Bagian kedua melukiskan perjalanan jiwa sesudah meninggalkan “penjaranya” yang berupa jasad dan kehidupan duniawi.

          Ada pandangan yang berbeda tentang moksa sebagaimana yang tersurat dalam naskah Sewakadarma yang khas bersifat keagamaan. Perbedaan itu terdiri dari : Pertama, naskah itu membicarakan kesejahteraan hidup manusia di dunia dengan memahami darmanya masing-masing. Kedua, bila tuntutan darma terpenuhi dengan sempurna, tercapailah kreta “kesejahteraan dunia”. Ketiga, keberhasilan dalam darma akan membuka kesempatan untuk moksa bagi siapa pun tanpa harus menjadi “pendeta” dulu. 

          Ada pula naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesyan yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama disebut Dasakreta sebagai kundangon urang reya “pegangan orang banyak”, sedangkan bagian kedua yang disebut Darma pitutur berisi hal-hal yang berkenaan dengan pengetahuan yang seyogyanya dimiliki oleh setiap orang agar dapat hidup berguna di dunia. Uraian naskah itu nampak sekali didasarkan pada kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan bernegara.

          Walaupun naskah itu menyebutkan dirinya karesyan, isinya tidak hanya berkenaan dengan kehidupan kaum agamawan. Bahkan lebih banyak yang berkaitan dengan kearifan dan kewaspadaan hidup menurut ajaran darma. Ditinjau dari isinya, kata siksa kandang karesyan mungkin dapat diartikan “aturan atau ajaran tentang hidup arif berdasarkan darma”. 

          Naskah Jatiniskala mengandung informasi mengenai ajaran keagamaan yang memperlihatkan berbaurnya ajaran Hindu dengan ajaran pribumi. Bahkan dalam naskah itu, nama-nama pribumi itu jauh lebih banyak, dan mereka yang memperoleh derajat sebagai apsari “makhluk kayangan, pendamping dewa”

          Naskah Kawih Paningkes memuat ajaran keagamaan yang memperlihatkan bercampurnya ajaran Hindu dengan ajaran pribumi. Nama-nama dewa dan istilah yang dikenal dalam ajaran Hindu seperti dewa, dewata, sri, mahayoga, dan moksa, misalnya ditemukan bersamaan dengan nama puhaci dan istilah yang dikenal dalam kebudayaan asli Sunda : wirumananggay, kahyangan, sanghyang, dan puhun.

          Dari naskah-naskah lama berbahasa Sunda dapat diketahui bahwa orang sunda di masa lampau sangat mengutamakan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan keagamaan, kebudayaan, dan akhlak. Hampir semua naskah menitikberatkan uraiannya kepada segi kerohanian, bukan kepada hal-hal yang lebih bersifat jasmani. Dalam empat buah naskah, yaitu naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesyan, naskah Sewakadarma, naskah Kawih Paningkes, dan naskah Jatiniskala, misalnya membicarakan tentang segi-segi rohani itu sangat menonjol, sedangkah yang bersifat jasmani disampaikan hanya sekedarnya sebagai pengetahuan umum.

Sumber :
Apipudin. Penyebaran Islam Di Daerah Galuh Sampai Dengan Abad Ke-17. Badan Litbang dan Diktat Kementerian Agama RI. 2010

0 comments:

Post a Comment