Tuesday, 24 April 2012

Pendekatan Sosiologis dalam Memahami Agama




Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia. Sementara itu, Soerjono Soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak menetapkan ke arah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut. Di dalam ilmu ini juga dibahas tentang proses-proses sosial mengingat bahwa pengetahuan perihal struktur masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama dari manusia. 

Dari dua definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.

Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam agama Islam dapat dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnya bisa jadi penguasa Mesir. Mengapa dalam melaksanakan tugasnya Nabi Musa harus dibantu oleh Nabi Harun, dan masih banyak lagi contoh yang lain. Beberapa peristiwa tersebut baru dapat dijawab dan sekaligus dapat ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial. Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa tersebut sulit dijelaskan dan sulit pula dipahami maksudnya. Di sinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran agama. 

Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama sebagaimana disebutkan di atas, dapat dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya. Dalam bukunya berjudul Islam Alternatif, Jalaluddin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut:

Pertama, dalam al-qur’an atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar keduan sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni dalam bukunya Ial-Hukumah al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahmat, dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus--untuk untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial),. Ciri-ciri orang mukmin sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Mukminun ayat 1-9 misalnya adalah orang yang shalatnya khusyu’, menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak bermanfaat, menjaga amanat dan janjinya dan dapat menjaga kehormatannya dari perbuatan maksiat. 

Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyatan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya. 

Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara berjama’ah dinilai lebih tinggi nilainya daripada shalat yang dikerjakan sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding duapuluh tujuh derajat. 

Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak empurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan misalnya, jalan keluarnya adalah dengan membayar fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin. Bila suami istri bercampur siang hari di bulan Ramadhan atau ketika istri dalam keadaan haid, tebusannya adalah memberi makan kepada orang miskin. Dalam hadis qudsi dinyatakan bahwa salah satu tanda orang yang diterima shalatnya adalah orang yang menyantuni orang-orang lemah, menyayangi orang miskin, anak yatim, janda dan yang mendapat musibah. 

Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran yang lebih besar daripada ibadah sunnah. Dalam hubungan ini kita misalnya membaca hadis yang artinya sebagai beriktu. 

“Orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang miskin, adalah seperti pejuang di jalan Allah (atau aku kira beliau berkata) dan seperti orang yang terus menerus salat malam dan terus menerus berpuasa”.
(HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis yang lain, Rasululla saw menyatakan sebagai berikut.

“Maukah kamu aku beritahukan derajat apa yang lebih utama daripada shalat, puasa dan sadaqah (sahabat menjawab), tentu. Yaitu mendamaikan dua pihak yang bertengkar”.
(HR. Abu Daud, Turmudzi dan Ibn Hibban)

Melalui pendekatan sosiologis agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-qur’an misalnya kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa, dan sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan.

Sumber :
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.


0 comments:

Post a Comment