Thursday 5 July 2012

Hukum Operasi penggantian serta Penyempurnaan Kelamin


Sebagian anak manusia terlahir dengan memiliki kelainan fisik. Salah satunya berkelamin ganda. Dalam istilah fikih disebut khuntsa atau bencong dalam bahasa sehari-hari.
Terminologi bencong, menurut kajian hukum Islam, bukanlah sosok lelaki yang berperilaku dan berpenampilan layaknya perempuan. Atau sebaliknya, seorang wanita yang berperangai dan tampil menyerupai pria.
Kelainan itu terkadang menimbulkan keraguan dan pertanyaan dari segi hukum Islam. Memilih salah satu jenis kelamin yang dimiliki, memunculkan konsekuensi hukum masing-masing.
Lantas, apa pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menyikapi fenomena ini? Dalam konteks kasus di atas, bolehkah yang bersangkutan menyempurnakan atau memilih menjadi pria atau wanita sesuai dengan kondisi dominan yang dialaminya?
Dalam Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VIII MUI, terdapat fatwa sebagai respons atas kasus tersebut. Ada dua kasus yang berbeda dalam konteks ini, yaitu mengubah dan mengganti alat kelamin dan yang kedua ialah penyempurnaan alat kelamin.
Pada kasus yang pertama, yaitu penggantian alat kelamin laki-laki ke perempuan atau sebaliknya dengan sengaja, maka hukumnya haram. Hukum yang sama juga berlaku bagi jasa operasi penggantian alat kelamin, yaitu haram. Karena itu, bila operasi tetap dilakukan maka status jenis kelaminnya tidak berubah. Ia tetap dihukumi dengan status awal sebelum operasi.
Ketetapan ini berbeda dengan hukum penyempurnaan kelamin sebagaimana kasus khuntsa. Menyempurnakan alat kelamin bagi seorang khuntsa yang fungsi alat kelamin laki-lakinya lebih dominan atau sebaliknya melalui operasi, hukumnya boleh. Demikian halnya dengan jasa operasi, hukumnya diperbolehkan.

Fatwa juga menggarisbawahi, hendaknya pelaksanaan operasi penyempurnaan tersebut didasarkan atas pertimbangan medis, bukan hanya pertimbangan psikis semata. Sedangkan, terkait penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi ini dibolehkan sehingga memiliki implikasi hukum.
Bagaimana dengan status jenis kelaminnya? Fatwa ini menjelaskan kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi penyempurnaan itu adalah sesuai dengan jenis kelamin setelah operasi. Sekalipun yang bersangkutan belum memperoleh penetapan pengadilan terkait perubahan status tersebut.
Fatwa ini merujuk ke sejumlah dalil utama dalam syariah. Di antaranya, pertama ayat ke-119 Surah An-Nisa. Ayat tersebut menegaskan bahwa tindakan mengubah alat kelamin dengan sengaja adalah bentuk penyesatan oleh setan. Karena itu, hukumnya dilarang.
“Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.”
Ayat lain juga menyebutkan bah wa tiap manusia terlahir dengan membawa fitrah. Fitrah itu termasuk jenis kelamin yang dimilikinya. Dengan demikian, tidak boleh mengubah fitrah tersebut.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Ar-Ruum: 30).
Sedangkan dalil yang berasal dari hadis, salah satunya ialah hadis riwayat Abdullah bin Mas’ud. Dalam hadis itu Rasulullah menegaskan bahwa Allah melaknat orang-orang perempuan yang membuat tato dan yang meminta membuat tato, memendekkan rambut, serta yang berupaya merenggangkan gigi supaya kelihatan bagus dan yang mengubah ciptaan Allah. (HR Bukhari).
Hadis lain juga menguatkan fatwa ini. Riwayat Abdullah bin Abbas, misalnya. Hadis itu menegaskan laknat Allah bagi pria yang menyerupai perempuan, juga kaum perempuan yang menyerupai laki-laki. (Bukhari, Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah).

Rekomendasi
Ada beberapa rekomendasi yang disampaikan fatwa ini. Misalnya, rekomendasi untuk Kementerian Kesehatan agar membuat regulasi pelarangan operasi penggantian alat kelamin. Termasuk juga pengaturan pelaksanaan operasi penyempurnaan alat kelamin.
Rekomendasi lain juga disampaikan kepada Mahkamah Agung (MA). MA diminta membuat surat edaran kepada hakim untuk tidak menetapkan permohonan penggantian jenis kelamin dari hasil operasi ganti alat kelamin yang diharamkan.

Sumber : Republika.co.id

0 comments:

Post a Comment