Saturday 9 July 2011

Anatomi Jiwa Ulama



Rasa takut kepada Allah dan kemuliaan akhlaq kepada semua makhluk merupakan kekayaan utama para ulama. Lalu mengapa ada ulama jahat? Di masa Rasulullah belum ada orang yang disebut ulama, walaupun para sahabat Baginda Nabi Muhammad Salallaahu 'alaihi wa salam banyak yang faqih di bidang agama. Ali bin Abi Thalib, misalnya adalah seorang yang sangat 'alim, yang karena ketinggian ilmunya disebut-sebut Rasulullah sebagai baabul 'ilmi, pintunya ilmu setelah menyebut dirinya sebagai gudangnya ilmu. 
 
Ibnu Mas'ud adalah seorang ahli tafsir. Ia sangat faham isi al-Qur'an. Bahkan pada masa Rasulullah masih hidup, ia sering diminta untuk membacakan ayat al-Qur'an agar diengar oleh Rasulullah. Suaranya yang merdu dan penghayatannya yang mantap, menjadikan Rasulullah menangis hingga meleleh air matanya membasahi pipinya. 
 
Ibnu Abbas juga demikian. Meskipun ia sangat belia ketika bersama Rasulullah, tapi kecerdasannya sudah diakui. Bakat keulamaannya sudah dilihat, bahkan disampaikan Rasulullah kepada sahabat lainnya. Meskipun demikian, mereka semua tidak pernah disebut-sebut sebagai ulama, karena sebutan "sahabat Rasulullah" itu jauh lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan sebutan ulama. 
 
Menyadari arti pentingnya ulama, sejak awal Rasulullah telah menyiapkan lembaga pendidikan khusus buat mereka. Mereka ditempatnya di serambi masjid yang setiap saat bisa mendengarkan langsung khutbah, ceramah, dan dialog-dialog Rasulullah yang lebih banyak dilakukan di mesjid. Rasulullah secara khusus juga mengajar mereka.

Adalah Abu Hurairah, seorang sahabat yang bergabung dalam barisan Islam hampir pada masa-masa akhir kehidupan Rasulullah. Akan tetapi karena intensitasnya bertemu dengan Rasulullah di masjid dan dalam pertemuan-pertemuan lainnya, maka dari dirinya terkumpul ribuan hadits. Ia adalah perawi hadits yang sangat produktif. Hal itu sangat dimungkinkan karena setelah keislamannya, Abu Hurairah mengabdikan sepenuhnya pada ilmu dengan cara hidup di serambi masjid Nabawi sebagai ahlus-suffah. 
 
Jika pada masa sahabat sudah banyak orang yang layak disebut sebagai ulama, meskipun tak pernah menyandang gelar ulama, maka pada masa tabi'in lebih banyak lagi orang yang alim di bidang agama. Demikian juga pada masa tabi't-tabi'in, jumlah orang yang alim menjadi belipat ganda. Mereka itulah yang kemudian dikenal dalam khazanah islam sebagai ulama salaf, sedangkan para ulama yang terlahir setelah priode-priode awal itu disebut sebagai ulama khalaf. Sebutan salaf dan khalaf tidak lebih dari sekadar istilah yang membedakan mereka dari segi waktu saja. 
 
Meskipun demikian, karena kedekatannya dengan masa Rasulullah, perbedaan waktu itu akhirnya juga menjadi sangat penting. Yang berarti bahwa ulama salaf lebih memiliki otoritas dibandingkan dengan ulama khalaf. 
 
Para ulama, baik yang salaf maupun yang khalaf mempunyai kedudukan khusus di masyarakat. Meskipun mereka tidak memiliki otoritas dalam kekuasaan tapi pengaruh mereka sangat kuat. Bisa dikatakan bahwa mereka adalah pemimpin informal, bahkan pada saat-saat tertentu mereka disebut sebagai penguasa bayangan. 
 
Posisi strategis ulama inilah yang seringkali menjadi ajang perebutan. Para penguasa di segala zaman selalu menarik ulama mendekati kekuasaan. Ada yang berhasil direkrut dan dijadikan alat kekuasaan. Tapi tidak sedikit di antara mereka yang lebih berhati-hati dengan cara mengambil jarak dengan kekuasaan. Sebagian lagi lebih suka menjadi oposan, yang selalu mengambil jalan yang berseberangan dengan kekuasaan. 
 
Ketiga kelompok itu mempunyai alasan masing-masing, sebab jauh dekatnya mereka dari kekuasaan bukan hal yang subtantif. Yang subtansif adalah, apakah mereka, baik yang mengambil jalan mendekat atau menjauh dengan kekuasaan itu telah menjalankan fungsinya sebagai ulama? Apakah dengan kedekatan atau kejauhan mereka itu bisa menjalankan missinya sebagai ulama? 
 
Rasulullah ketika meninggal dunia tidak mewariskan apa-apa, kecuali ilmu kepada ummatnya. Para ulama, yaitu orang-orang yang banyak memperoleh ilmu yang diajarkan Rasulullah, disebut sebagai pewaris nabi. Hadits nabi juga menyebutnya demikian, "al-'Ulama'u waratsatul anbiyaa, para ulama itu adalah pewaris para nabi." 
 
Kekayaan Jiwa 
 
Ulama tidak identik dengan orang yang pandai di bidang agama. Memang penguasaan ilmu menjadi syarat mutlak bagi seorang ulama, namun demikian integritas dan moralitas justru menjadi hal yang paling utama. Ada dua karakter kejiwaan yang mutlak dimiliki seseorang yang menjadi pewaris Nabi. Pertama, rasa takutnya yang hanya kepada Allah melebihi rasa takut yang dimiliki kaumnya. Kedua, keluhuran akhlaq ulama kepada makhluk Allah melebihi siapapun di antara kaumnya. 
 
Seperti diketahui bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Ilmu harus diamalkan, dan bagi ulama setiap amal itu disertai dengan perasaan takut kepada Allah swt. 
 
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-Nya hanyalah para ulama." (Faathir: 28) 
 
Rasa takut itu membuat ketaatan para ulama, kecintaannya, serta ketekunannya menjalankan perintah Allah dan semangat menjauhi larangan-Nya melebihi yang dimiliki kaumnya. 
 
Selain mewarisi ilmunya, ulama juga mewarisi tugas utamanya. Dalam kaitan ini Rasulullah pernah bersabda: 
 
"Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia." (HR Al-Bazzar) 
 
Tugas utamanya para nabi adalah menyempurnakan akhlaq. Bagaimana seorang ulama bisa menjalankan tugas ini jika mereka sendiri tidak sempurna akhlaqnya? Di sini persoalan integritas dan moralitas menjadi sesuatu yang paling utama. Bagi seorang ulama, antara penguasaan ilmu dan akhlaq tidak bisa dipisahkan. 
 
Merupakan musibah yang teramat besar jika ummat Islam mengangkat atau memposisikan seseorang sebagai ulama, sementara integritas dan moralitasnya masih dipertanyakan. Seleksi pertama para Ulama adalah moralitasnya, karena posisinya sebagai suluh dan obor masyarakat. 
 
Para pengikut agama samawi (Yahudi dan Nasrani) terdahulu menolak Islam bukan karena kebodohan mereka, bukan pula karena rusaknya akal pikiran. Mereka tidak menerima ajaran Islam semata-mata karena kejahatan para ulama ahlul kitab. Mereka menyembunyikan kebenaran untuk memperoleh sedikit keuntungan duniawi, baik berupa materi, pengaruh, atau kepentingan sesaaat lainnya.

Kejahatan para ulama ahlul kitab itu dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur'an:
"Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang diberi al-Kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarkannya dengan harga yang sedikit. Amat buruklah tukaran yang mereka terima." (Ali Imraan: 187) 
 
Pada ayat yang lain Allah berfirman: 
 
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menantang api neraka." (al-Baqarah: 174 - 175) 
 
Bagi Allah, dunia dan segala isinya itu tidak ada harganya. Artinya, biarkan seseorang memperoleh dunia dan segala isinya dengan cara menjual agama, tetap akan dikatakan menjual agama dengan harga sedikit. Apalagi jika yang diperolehnya itu sekedar lembaran rupiah atau jabatan tertentu dalam sebuah struktur kekuasaan. Sungguh tak bernilai apa-apa di sisi Allah. Perhatikan hadits berikut ini: 
 
"Perbandingan dunia dengan akhirat itu seperti seorang yang mencelupkan jari tangannya ke permukaan laut lalu diangkatnya dan dilihatnya apa yang diperolehnya." (HR Muslim dan Ibnu Majah) 
 
Dalam hadits lain disebutkan bahwa seandainya di sisi Allah dunia dan seisinya itu lebih bernilai dari seekor lalat, maka kaum kafir tidak akan mendapatkan bagian sedikitpun dari dunia. Hal ini berarti bahwa imbalan dunia sebesar apapun tak bisa ditukarkan dengan agama. Penukaran itu bernilai sangat murah. Hanya orang-orang yang bodoh saja yang mau menukarkan ayat-ayat Allah dengan dunia.

Sumber : Suara Hidayatullah

0 comments:

Post a Comment