Thursday 14 July 2011

Fithrah Seorang Wanita



Setelah kita menyadari pentingnya kembali kepada fitrah, lantas bagaimana sesungguhnya fitrah wanita itu? Apakah fitrah itu sesuatu yang biasa dikerjakan manusia? Ataukah suatu budaya yang telah berlangsung secara turun temurun?

Bukan, fitrah adalah ketetapan yang Allah Subhanahu Wata'ala gariskan bagi para makhluknya. Allah yang menciptakan hambaNya sehingga Allah Subhanahu Wata'ala yang paling mengetahui apa-apa yang baik bagi hambaNya dan apa yang buruk bagi hambaNya. Lalu Allah Subhanahu Wata'ala memberikan tugas kepada masing-masing makhluk serta memberikan perangkat dan alat sesuai dengan tugasnya di dunia. Ketika satu diantara mereka menyerobot tugas yang bukan menjadi tugasnya, maka akan ada suatu pekerjaan yang tidak tertangani dan semakin banyak pekerjaan yang tumpang tindih dan semrawut akan semakin besar pula kekacauan yang timbul. 

Allah Subhanahu Wata'ala menggariskan bagi kaum laki-laki untuk memimpin wanita karena memang Allah Subhanahu Wata'ala mengkaruniai suatu alat bagi laki-laki untuk memimpin yang tidak dikaruniakan kepada wanita. Demikian pula Allah Subhanahu Wata'ala mempercayakan seorang bayi kepada kaum wanita lantaran Allah Subhanahu Wata'ala telah memberikan piranti kepadanya sesuatu yang tidak dimiliki oleh kaum laki-laki.

Contoh lain, Allah Subhanahu Wata'ala menetapkan bagi wanita separuh dari bagian laki-laki dalam hak waris, karena Allah Subhanahu Wata'ala melebihkan suatu beban bagi kaum laki-laki dengan apa yang tidak dibebankan dengan kaum wanita, yakni memberikan nafkah bagi keluarga. Begitulah, Allah Subhanahu Wata'ala memberikan sarana kepada makhluknya dengan apa yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Jika demikian pantaskah kita sambut seruan “persamaan gender” dalam hak-hak secara keseluruhan?

Jika kaum wanita hari ini yang menuntut persamaan hak mendapatkan jatah kursi, persamaan hak untuk mendapatkan jatah warisan dan barang murahan lainnya, maka lihatlah apa yang menjadi tuntutan para shahabiyat yang seharusnya menjadi teladan kita?

Suatu ketika Asma’ bin Yazid bin Sakan menghadap Rasulullah Shallallahu a'alaihi wasallam dan berkata, “wahai Rasulullah Shallallahu a'alaihi wasallam, sesungguhnya aku adalah utusan para wanita yang berada dibelakangku, mereka sepakat dengan apa yang aku katakan dan sependapat dengan pendapatku… sesungguhnya Allah Subhanahu Wata'ala mengutus Anda kepada laki-laki dan juga kepada para wanita. Kamipun beriman kepada Anda dan mengikuti Anda sedangkan kami para wanita terbatas gerak-geriknya, kami mengurus rumah tangga dan menjadi tempat menumpahkan syahwat bagi suami-suami kami, kamilah yang mengandung anak-anak mereka. Namun Allah Subhanahu Wata'ala memberikan keutamaan kepada kaum laki-laki dengan shalat jama’ah, mengantar jenazah, dan berjihad. Jika mereka keluar untuk berjihad, kamilah yang menjaga hartanya dan memelihara anak-anaknya, maka apakah kami mendapatkan pahala sebagaimana yang mereka dapatkan?”

Mendengar tuntutan Asma’ tersebut, nabi menoleh kepada para shahabat seraya bersabda, “pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang agamanya yang lebih bagus dari pertanyaan ini?” kemudian Beliau bersabda, “pergilah wahai Asma’ dan beritahukan kepada para wanita dibelakangmu bahwa perlakuan baik kalian terhadap suami dan upaya kalian mendapat ridho darinya serta keta’atan kalian kepadanya, pahalanya sama dengan apa yang engkau sebutkan tentang pahala laki-laki.“

Maka perhatikanlah, adakah sama tuntutan hak para shahabiyat dengan kebanyakan muslimah hari ini?.

sumber : milis daarut tauhid at yahoo dot com

0 comments:

Post a Comment