Monday 12 March 2012

Perumpamaan Cahaya Allah




Seperti Sebuah Lubang yang Tak Tembus yang di dalamnya Ada Pelita Besar

Seluruh isi kosmos ini bila tanpa ad pencahayaan dari Allah ta’ala akan tampak gelap gulita, baik yang ada di langit maupun di bumi. Juga semua ekosistemnya akan berjalan tidak normal, bahkan bisa dikatakan mengalami stagnasi. Oleh karena itu, agar seluruh komponen yang ada di alam ini tetap survive maka Allah memberikan cahaya kepada langit dan bumi. 


Adapun cahaya Allah ini dianalogikan oleh al-qur’an seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Sebagaimana dijelaskan dalam surat an-Nuur ayat 35 yang artinya : “Allah (pemberi) cahaya (kepada) kepada langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hamir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”


Lafal yang artinya seperti lubang yang tak tembus memiliki maksud seperti lubang pada dinding rumah yang tidak tembus sampai ke sebelahnya. Biasanya lubang seperti ini dipergunakan untuk tempat lampu (lentera) atau barang-barang lainnya. 


Adapun lafal yang artinya pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya) mengandung pengertian bahwasanya Allah Ta’ala itu telah menciptakan nur (cahaya) di langit yang berupa matahari, bulan, bintang-bintang, planet-planet, Arasy dan para malaikat. Sedangkan cahaya yang diciptakan oleh Allah di bumi ini meliputi lentera, lampu, (sinar) lilin, para Nabi, para Ulama dan orang-orang saleh. 


Ada sebagian mufassir yang berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan nur (cahaya) adalah terlihatnya sesuatu dari tiada kepada ada (wujud). 


Berkatalah Ibnu Athaillah mengenai hukum alam: Pada dasarnya segala sesuatu itu asalnya gelap lalu ia disinari sebab terlihatnya perkara yang haq yang ada di dalamnya. Wujudnya alam ini disebabkan adanya wujud Allah. Jika Allah tidak wujud maka Allah tidak ada sesuatupun yang wujud di alam ini. 


Menurut sebagian mufassir, Allah menjadikan para Nabi, para ulama dan orang-orang saleh sebagai cahaya atau lentera di bumi ini bukan dalam arti hakiki melainkan dalam arti majaziy. Karena dengan keberadaannya itu pandangan hati manusia menjadi jelas dan terang, sehingga mereka bisa membedakan, mana jalan yang sesat dan mana jalan yang benar, mana barang yang halal dan mana barang yang haram, mana barang yang haq dan mana barang yang batil, mana perbuatan yang tercela dan mana perbuatan yang baik. Jika di dunia ini tidak pernah ada nabi, tidak ada ulama, juga tidak ada orang-orang yang saleh maka suasana dunia ini akan gelap gulita karena orang-orang tidak bisa membedakan antara perbuatan munkar dengan ma’ruf, tidak bisa membedakan yang haq dengan yang batil, akibatnya mereka terjerumus ke dalam perbuatan nista dan dosa, berperilaku seperti binatang, karena martabat kemanusiaannya sudah tidak dipedulikan lagi. Selama tidak ada lentera yang bisa menerangi hati mereka, mereka akan tetap hidup dalam kegelapan dan kezhaliman. 


Karena itu, tepat sekali bila cahaya Allah itu ditamsilkan seperti pelita yang terdapat dalam lubang dinding yang mampu menerangi seluruh ruangan. Bila tidak ada lentera maka ruangan pun akan menjadi gelap. Dan cahaya Allah itu hanya diberikan kepada orang yang Ia kehendaki. Sehingga bisa saja ada seseorang yang tampaknya berperilaku baik tetapi karena ia tidak memperoleh cahaya Allah maka ia tetap berada dalam kesesatan. 


Diketengahkannya tamsil ini dalam al-qur’an adalah agar dapat menjadi pelajaran bagi manusia, supaya mereka menyadari akan hakikat hidupnya. Mudah-mudahan Allah senantiasa menunjukkan ke jalan yang benar serta kita selalu diterangkan oleh cahaya-Nya.

Fuad Kauma. Tamsil Al-Qur’an. Mitra Pustaka: Yogyakarta. 2000.


0 comments:

Post a Comment