Barang siapa bertasawuf tanpa berfikih maka dia zindiq
Barang siapa berfikih tanpa bertasawuf maka dia fasik
Barang siapa menggabung keduanya maka dia akan sampai pada
hakikat
(Imam Malik)
Fenomena kajian dan pengamalan tasawuf semakin menjadi tren di
sejumlah kota besar. Hal ini juga bukan hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga
menjadi fenomena global. Tak heran jiwa ilmuwan dan praktisi tasawuf semakin
mobile. Jaringan berbagai tarekat semakin mengglobal.
Pertanyaannya adalah haruskah manusia bertasawuf? Kalau itu harus,
mengapa kehidupan tasawuf dalam era permulaan Islam tidak begitu populer?
Mengapa kajian tasawuf menjadi fenomena kelas menengah? Apakah fenomena ini
hanya tren sesaat?
Apa itu tasawuf?
Tasawuf merupakan bagian dari upaya mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Imam Al-Junaidi mengartikannya berakhlak mulia dan meninggalkan
semua akhlak tercela. Zakaria Al-Anshari berpendapat, tasawuf merupakan ilmu
tentang kebersihan jiwa, perbaikan budi pekerti, serta pembangunan lahir dan
batin guna memperoleh kebahagiaan abadi.
Jika fikih bertujuan untuk memperbaiki amal, memelihara aturan
syar’i, dan menampakkan hikmah dari setiap hukum, maka tasawuf bertujuan
memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya kepada Allah SWT. Orang yang ahli
fikih disebut faqih,
jamaknya fiqha'.
Sedangkan ahli atau praktisi tasawuf biasa diartikan dengan sufi.
Tasawuf terkadang sulit dijelaskan kepada orang-orang yang
selalu mengedepankan logika dan pragmatisme. Tasawuf lebih merupakan ilmu
personal. Dalam arti, tasawuf sulit dikenal dan dipahami bagi orang yang tidak
mengalaminya. Dengan kata lain, ilmu ini harus dialami sendiri jika ingin
memahaminya. Ibarat mengajarkan manisnya gula, tidak mungkin memberikan
penjelasan tanpa mencicipinya.
Mengapa tasawuf tidak populer di masa awal Islam?
Pertanyaan ini dijawab oleh Dr Ahmad Al-Wasy. Menurut dia, tak
populernya tasawuf pada masa awal Islam yakni di masa sahabat dan tabi'in
karena pada kurun waktu itu hampir semua umat Islam ahli takwa, wara, dan ahli
ibadah. Jaraknya dengan Rasulullah yang menjalani kehidupan asketis dan
sufistik masih relatif dekat.
Sehingga, tidak diperlukan pembahasan secara khusus. Tidak perlu
diragukan juga nilai-nilai asketisme di masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat
sampai tabi'in. Banyak ilmu keislaman dikembangkan justru ketika sudah jauh
dari masa kehidupan Rasulullah. Tradisi penulisan Alquran, misalnya, populer
setelah Rasulullah wafat.
Pada abad ketiga dan keempat Hijriah, saat Islam mengalami
globalisasi dan perluasan wilayah serta mengalami puncak kejayaan, termasuk
puncak kekuasaan politik dan kebebasan ekspresi intelektual, tasawuf menjadi
alternatif dalam kehidupan kosmologi Islam.
Terutama pula setelah umat Islam mengalami kemunduran sebagai
akibat penaklukan pusat-pusat kekuasaan dan peradaban Islam di pengujung abad
ketiga dan keempat Hijriah. Pada saat itu, tasawuf mengalami perkembangan
pesat. Ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh tasawuf.
Sebut saja Abu Sulaiman Ad-Darimi (w. 215 H), Ahmad ibn
Al-Hawari Al-Damisqi (w. 230 H), Dzun Nun Al-Mishri (w. 261 H), Junaid
Al-Bagdadi (w. 298 H), Husain ibn Mansur Al-Khallaj (w. 309 H), Abu Bakar
Asy-Syibli (w. 334 H), dan Abu Nasr Sarraj At-Tusi (w. 378 H). Pada abad
kelima dan keenam, tasawuf kian berkembang.
Pada periode ini, lahir Imam Gazali (w. 505 H/1111 M) yang
ajarannya paling banyak berpengaruh di India dan termasuk di kepulauan
nusantara. Lalu muncul pertanyaan, apakah ada kaitan antara kemerosotan
peradaban dan intelektualitas dunia Islam dengan berkembangnya tasawuf? Masih
perlu kajian mendalam.
Hal yang sudah jelas, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam
yang sudah mengalami degradasi politik dan intelektual. Akan tetapi, ini
mungkin ada hikmahnya. Islam sufistis yang masuk ke Indonesia lebih mudah
beradaptasi dan berpenetrasi, sehingga tak menimbulkan resistensi. Seperti
masuknya Islam ke Spanyol dan daratan Eropa lainnya.
Mengapa Tasawuf banyak digemari kelas menengah?
Fenomena kelas menengah baru Indonesia sesungguhnya adalah
fenomena kelas menengah santri. Mereka berlatar belakang keagamaan Islam yang
relatif taat meskipun sebatas formal. Kelas menengah di sini meliputi kelas
menengah dalam dunia bisnis dan perekonomian, akademisi, militer, dan dunia
LSM.
Secara ekonomi mereka sudah berada pada post basic-needs. Mereka
sudah mempunyai kecukupan untuk melengkapi kehidupannya dengan aksesoris
kebutuhan sekunder. Mereka ini kebanyakan berdiam di kota-kota besar. Karena,
mereka kebanyakan dari latar belakang santri, maka mereka tahu peta jalan
keagamaan.
Mereka sadar, kebahagiaan mempunyai banyak sisi, termasuk
kebahagiaan melalui jalur agama. Mereka ini lebih tertarik untuk memahami agama
lebih dari sekadar hal formalistis, yang memang sudah tertanam dari dalam
lingkungan keluarganya. Mereka ingin memahami sisi-sisi lain dari agama.
Di antara sisi yang mengasyikkan itu adalah kajian spiritual
atau tasawuf. Kajian tasawuf menjadi sesuatu yang dibutuhkan mereka yang setiap
hari bergelimang dunia materi yang lebih dari cukup. Mereka sangat percaya
dunia eskatologis, kehidupan setelah mati.
Namun, mereka tidak lagi cukup memahami agama dari sudut fikih
yang dinilainya terlalu dogmatis, normatif, rutin, deduktif, dan terkesan
kering. Mereka menginginkan sesuatu yang bersifat mencerahkan, menyejukkan, dan
menyentuh aspek paling dalam di dalam batin mereka.
Ternyata, kajian yang seperti ini mereka temukan dalam kajian
tasawuf. Maka itu, wajar kalau kajian-kajian spiritual-tasawuf semakin ramai
dikunjungi orang. Lihatlah, misalnya, lembaga ESQ yang mempunyai members jutaan
orang dari kelas menengah. Lihat pula pengajian rutin tasawuf setiap Senin dan
Rabu di Masjid Agung Sunda Kelapa yang menyedot jamaah kelas menengah.
Fenomena yang sama juga terjadi di sejumlah kota besar di
Indonesia seperti di Surabaya, Bandung, Makassar, dan Medan. Kajian tasawuf
menarik karena dalam substansi dan ajaran tasawuf mereka menemukan sesuatu yang
klop dengan kegelisahan dan kegersangan hati mereka.
Mereka juga merasakan rasionalitas dunia tasawuf, yang
menekankan aspek humanity
seperti mengedepankan persamaan, bukannya perbedaan. Selain itu, tasawuf
mengedepankan kesatuan bukannya perpecahan, serta mengedepankan kelembutan dan femininity bukannya
kekerasan dan masculinity.
Melalui tasawuf, mereka mendapatkan penjelasan bahwa Tuhan itu
imanen bukannya transenden seperti banyak dikesankan dunia fikih.
Haruskah bertasawuf?
Tasawuf dalam arti jalan hidup spiritual secara perorangan,
tidak mesti. Namun, tasawuf sebagai ajaran yang mengajarkan kesalehan
individual dan sosial, itu mesti karena hal itu merupakan substansi ajaran
Islam. Dunia fikih dan tasawuf tidak mesti dipertentangkan.
Kedua hal tersebut ibarat dua sisi dari satu mata uang,
sebagaimana disebutkan Imam Malik dalam pernyataan di atas. Tidaklah
substansial jika seseorang menjelek-jelekkan tasawuf apalagi menganggap tasawuf
itu bid'ah. Sebaliknya, tidak tepat mengatakan tasawuf itu wajib.
Seolah-olah mereka yang tidak menjalani praktik tasawuf,
kelasnya masih awam atau di bawah. Yang ideal, pengamalan syariat sebaiknya
dikukuhkan dengan nilai spiritual yang menukik ke dalam perasaan. Mungkin yang
perlu dicermati adalah tasawuf yang menafikan kehidupan duniawi, rasionalitas
intelektual, dan menghindari dunia peradaban modern.
Hal yang tak kalah penting, jangan sampai jatuh di dalam praktik
tasawuf yang menyimpang dari pokok ajaran Islam, sebagaimana tertera di dalam
Alquran dan hadits.
Sumber : Prof. Dr. Nasaruddin Umar