Monday, 27 February 2012

Baterai Akan Tahan Lama Jika Disimpan Dalam Lemari Es





Baterai bekerja dengan mengubah energi kimia menjadi energi listrik yang dikenal dengan proses discharge. Semua baterai memiliki karakteristik yang mengalami kehilangan muatan (charge) secara perlahan dengan berjalannya waktu (dikenal sebagai baterai seft-discharge). Komponen baterai juga dapat mengalami deteriorasi (seperti korosi yang terjadi pada seng dalam baterai seng-karbon) atau penguapan (misalnya kehilangan air karena penguapan). Seperti juga reaksi-reaksi kimia lain, reaksi ini juga memiliki kecepatan reaksi tertentu yang konstanta kecepatan reaksinya merupakan fungsi dari temperatur. Jika seandainya mekanisme reaksinya melibatkan satu langkah penentu kecepatan reaksi, maka konstanta kecepatan reaksi dari langkah elementernya akan dapat dijelaskan berdasarkan hukum Arrhenius. Hukum ini secara kuantitatif memberikan gambaran bagaimana hubungan antara kenaikan kecepatan suatu reaksi dengan kenaikan temperatur. Secara umum, semakin tinggi temperatur penyimpanan maka semakin besar kecepatan reaksinya. Sehingga untuk beberapa baterai, reaksi discharge dan deteriorasi akan menjadi lambat jika disimpan pada temperatur rendah. Baterai hidrida logam nikel (nikel metal hydrid, NiMH) memiliki kecepatan self-discharge 0,8%/hari pada temperatur 20 oC, tetapi pada 45 oC menjadi 6%/hari. Demikian juga untuk baterai biasa (nonrechargeable) seperti sistem Zinc-carbon atau alkalin-mangan perbedaan umur penyimpanan akan sangat besar bila disimpan pada temperatur rendah.
Penjelasan teoritiknya adalah sebagai berikut. Pada 1889 seorang ahli kimia dari Swedia yang bernama Svante Arrhenius mengatakan bahwa suatu reaksi kimia baru akan terjadi jika molekul-molekul yang bertabrakan memiliki suatu energi kinetik minimum tertentu. Jika dua buah molekul bertabrakan dengan energi kurang dari energi minimum ini maka molekul-molekul ini akan berbalik tanpa mengalami perubahan kimia. Energi ini disebut energi aktivasi (Ea). Jika reaksi diberi ‘energi’ sehingga melampaui energi kritis ini maka reaktan akan berubah menjadi produk. Kenaikan temperatur akan memberikan energi pada reaksi dan konstanta kecepatan reaksi menjadi naik. Hubungan antara konstanta kecepatan reaksi dengan temperatur dalam Kelvin dan energi aktivasi adalah sebagai berikut k=Ae-Ea/RT atau lnk= lnA -Ea/RT dengan A adalah faktor pre-eksponensial atau faktor frekuensi. Semakin besar temperatur T maka konstanta kecepatan reaksi k juga akan semakin besar, artinya reaksinya juga akan semakin cepat.
Profesor yang lain, Prof. Dr. Ir. Hamzah Berahim, MT, dosen Teknik Elektro di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta menyebutkan bahwa baterai akan mati (tidak bisa digunakan lagi) jika baterai digunakan terus menerus, sehingga zat-zat kimia di dalamnya membeku.
Prof. Yessi Pratiwi menambahkan, agar dapat digunakan kembali, tentu saja baterai harus dinaikkan lagi suhunya, yaitu dengan pemanasan. Masih ingat nggak, waktu SMA, guru Kimia kita bilang bahwa baterai mengubah energi kimia menjadi energi listrik. Nah, tenaga kimia yang akan diubah menjadi energi listrik ini berasal dari zat-zat kimia yang ada di baterai, terdiri atas zat-zat yang berperan sebagai katoda dan anoda, dimana terjadi reaksi sedemikian rupa sehingga energi listrik dihasilkan dalam jumlah tertentu.
Yang jelas, energi listrik yang dihasilkan oleh baterai ini lah yang kemudian menentukan waktu pakai baterai. Dan, jangan lupa, masa pakai baterai juga tergantung dari benda dimana baterai itu dipakai. baterai yang kita pakai untuk sebuah Walkman dengan senter tentu saja akan berbeda, karena kebutuhan daya listriknya juga berbeda.

Sumber : Kaskus

0 comments:

Post a Comment