Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan
sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik
keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini
agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan
berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa
cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis dalam melihat suatu
masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini
sebagaimana dikatakan Dewam Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung,
bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang
sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan
dalam pengamatan sosiologis. Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa
berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari
kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana
yang dilakukan di bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan
model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian
historis.
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai
penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara
kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang
kurang mampu dan golongan miskin pada umumnya, lebih tertarik pada
gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan
tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan orang kaya lebih cenderung
untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi
lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya. Karl Marx (1818-1883), sebagai
contoh, melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga
mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang biasa disebut denga
teori pertentangan kelas. Menurutnya, agama bisa disalahfungsikan oleh kalangan
tertentu untuk melestarikan status quo peran
tokoh-tokoh agama yang mendukung sisten kapitalisme di Eropa yang beragama
Kristen. Lain halnya dengan Max Weber (1964-1920). Dia melihat adanya korelasi
positif antara ajaran Protestan dengan munculnya semangat kapitalisme modern. Etika
Protestan dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja masyarakat industri modern
yang kapitalistik.
Melalui pendekatan antropologis di atas, kita melihat bahwa
agama berkolerasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatau masyarakat.
Dalam hubungan ini, jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja
seseorang, maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaannya.
Selanjutnya, melalui pendekatan antropologis ini, kita dapat
melihat gama dalam hubungannya dengan mekanisme pengorganisasian (social organization) juga tidak kalah
menarik untuk diketahui oleh para peneliti sosial keagamaan.
Melalui pendekatan antropologis fenomenologis ini kita juga
dapat melihat hubungan antara agama dan negara (state and religion). Topik ini juga tidak pernah kering dikupas
oleh para peneliti. Akan selalu menarik melihat fenomena negara agama, seperti
Vatikan dalam bandingannya dengan negara-negara sekuler di sekelilingnya di
Eropa Barat. Juga melihat kenyataan negara Turki modern yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, tetapi konstitusi negaranya menyebut sekularisme sebagai
prinsip dasar kenegaraan yang tidak dapat ditawar-tawar. Belum lagi meneliti
dan membandingkan Kerajaan Saudi Arabia dan negara Republik Iran yang
berdasarkan Islam. Orang akan bertanya apa sebenranya yang menyebabkan kedua
sistem pemerintahan tersebut sangat berbeda, yaitu kerajaan dan republik,
tetapi sama-sama menyatakan Islam sebagai asas tunggalnya. Belum lagi jika
dibandingkan dengan negara kesatuan Republik Indonesia, yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, tetapi menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal.
Selanjutnya, melalui pendekatan antropologis ini juga dapat
ditemukan keterkaitan agama dengan psikoterapi. Sigmun Freud (1856-1939) pernah
mengaitkan agama dengan Oedis Complex, yakni
pengalaman infantil seorang anak yang tidak berdaya dihadapan kekuatan dan
kekuasaan bapaknya. Agama dinilainya sebagai neurosis. Dalam psikoanalisanya, dia mengungkapkan hubungan antara
id, ego dan superego. Meskipun hasil penelitian Freud berakhir dengan kurang
simpati terhadap realita keberagamaan manusia, tetapi temuannya ini cukup
memberi peringatan terhadap beberapa kasus keberagamaan tertentu yang lebih
terkait dengan patologi sosial maupun kejiwaan. Jika Freud oleh beberapa kalangan
dilihat terlalu minor melihat fenomena keberagamaan manusia, lain halnya dengan
psikoanalisis yang dikemukakan C.G. Jung malah menemukan hasil temuan
psikoanalisanya yang berbalik arah dari apa yang ditemukan oleh Freud.
Menurunya, ada korelasi yang sangat positif antara agama dan kesehatan mental.
Melalui pendekatan antropologis sebagaimana tersebut di atas
terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia,
dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai
fenomena kehidupan manusia.
Pendekatan antropologis seperti itu diperlukan adanya, sebab
banyak berbagai hal yang dibicarakan agama hanya bisa dijelaskan dengan tuntas
melalui pendekatan antropologis. Dalam Al-Qur’an, sebagai sumber utama ajaran
Islam misalnya kita memperoleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunung
Arafat, kisah Ashabul Kahfi yang dapat bertahan hidup dalam gua lebih dari tiga
ratus tahun lamanya. Di mana kira-kira bangkai kapal itu ; di mana kira-kira
gua itu; dan bagaimana pula bisa terjadi hal yang menakjubkan itu; ataukah hal
yang demikian merupakan kisah fiktif. Tentu masih banyak lagi contoh lain yang
hanya dapat dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan arkeologi.
Dengan demikian, pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam
memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan
informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan
cabang-cabangnya.
Sumber :
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
0 comments:
Post a Comment