Monday, 9 April 2012

Perumpamaan Menyeru Keimanan kepada Orang Kafir




Seperti Penggembala yang Menyeru Binatang
Orang yang mengajak beriman kepada orang-orang kafir ibarat seorang penggembala yang memanggil binatang piaraanya yang tidak mendengar juga tidak bisa memahami arti panggilan tersebut. Hal ini disebabkan mereka itu tuli, bisu dan buta terhadap kebenaran Al-Qur’an sehingga mereka tidak mengerti ajakan keimanan itu. Tamsil seperti ini telah dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:


“Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.”
(QS. Al-Baqarah : 171)


Mereka tidak bisa memahami arti kebenaran yang hakiki dikarenakan kebekuan hati oleh kezhaliman dan kekufuran sehingga hati mereka tidak bisa menerima cahaya kebenaran yang datang dari Al-Qur’an. Pada akhirnya ia menjadi buta terhadap kebenaran, tuli dari nasihat-nasihat Al-Qur’an, dan bisu tidak bisa mengatakan yang haq adalah haq dan yang batil adalah batil. Orang seperi ini tidak ada bedanya dengan binatang piaraan, yang seluruh hidupnya hanya diproyeksikan untuk makan dan minum serta memperturutkan hawa nafsu, tidak mengenal kehidupan akhirat. Yang ada dalam benaknya adalah hanyalah kehausan untuk mereguk kenikmatan duniawi sepuas-puasnya. Itulah kehidupan yang dimaninkan oleh orang-orang kafir dan orang-orang yang tenggelam dalam lumpur kemaksiatan. 


Hati adalah ibarat cermin. Jika bersih maka ia bisa menerima cahaya dan mamantulkan kembali cahaya tersebut ke arah yang diingini. Akan tetapi jika hati telah kotor dan buram, maka sinar yang terang tak lagi bisa ditangkap, apalagi dipantulkannya. 


Orang-orang yang ingkar kepada Allah disebut kafir, karena mereka menolak dan menutup kebenaran yang paling hakiki. Mereka tidak mau menerima kebenaran karena telah menutup diri, bisa jadi akalnya menerima tetapi hatinya tertutup, maka tetap saja mereka menolak keberanan itu. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Jahal dan Abu Lahab serta antek-anteknya, umumnya mereka mengerti dan membenarkan apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw, akan tetapi karena hati mereka telah diselimuti oleh rasa hasud, dengki dan dendang terhadap Rasulullah saw maka mereka tidak mau mengakui kebenaran itu. 


Pada dasarnya manusia itu dapat dibedakan dalam dua kelompok. Pertama, mereka yang memahami dan mengerti kebenaran, akan tetapi pengertiannya itu tidak berpengaruh. Kedua, mereka yang mengerti, dimana pengertiannya itu sampai menembus lubuk hatinya. Jika otak kedua kelompok ini dibelah, maka kita menjumpai ilmu pada otak mereka masing-masing. Dan apabila kia buka relung hati mereka, maka akan kita dapati bahwa dalam kelompok pertama terdapat penolakan dan pengingkaran terhadap kebenaran, sedangkan pada kelompok kedua, kita akan jumpai penerimaan dan respon positif. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa peranan hati dalam mencari kebenaran itu sangat mendasar sekali, dan sahnya imanpun ditentukan sikap hatinya. 


Ilmu yang tersimpan dalam otak dan akal manusia itu tidak banyak memberikan manfaat bagi pemiliknya, jika ilmu tersebut belum berlabuh dalam hatinya. Apabila ia mengerti dan menerima suatu kebenaran yang didasarkan pada pertimbangan batin atau hati nuraninya, maka pengertian tersebut tidak berarti. Ia hanya berupa ilmu yang bisa jadi malah dikuasai oleh hawa nafsu. Kalau ilmu sudah dikuasai hawa nafsu, maka segala tindak tanduknya cenderung mengarah pada kemungkaran dan kedurhakaan kepada Allah.


Manusia-manusia seperti inilah yang digambarkan oleh Al-Qur’an sebagai manusia yang buta sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:


“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.”
(QS. Al-Hajj: 46)


Bagaimana caranya menjadikan hati bisa melek dan mendengar? Hati yang suci dan aktif tidak mungkin dimiliki oleh manusia yang tidak pernah mendidik jiwanya juga tidak pernah mensucikan hatinya dengan sungguh-sungguh. Orang yang hatinya terjangkit virus egois dan materialis tak akan mungkin bisa menerima kebenaran. Bagi orang egois dan materialisits yang penting adalah keuntungan pribadinya. Ia tertarik pada kebenaran, jika kebenaran itu dapat menguntungkan dirinya atau ambisi pribadinya dapat tercapai. Jadi penerimaannya terhadap kebenaran itu dititikberakan pada orientasi materi dan ambisi, bukan atas dasar panggilan hati nuraninya. Manusia seperti ini tak bisa menerima kebenaran hakiki yang datang dari Al-Qur’an. 


Mereka inilah manusia yang buta dan tuli. Bagaimana mungkin menunjukkan bukti suatu kebenaran yang nyata terhadap orang yang buta, meskipun bukti itu ada di depan matanya. Bagaimana bisa menjelaskan nasehat terhadap orang yang tuli, meskipun nasehat itu didengungkan di dekat telinganya. Demikian pula tidak mungkin menunjukkan suatu kebenaran terhadap orang yang hatinya sudah tertutup dan berkarat. Bahkan Allah telah berfirman:


“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.”
(ar-Ra’d: 19)


Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang buta hatinya itu tidak dapat menerima kebenaran dari Al-Qur’an. Seperti inilah keadaan hati orang-orang kafir dan orang-orang yang zhalim. Meskipun mereka mendengar peringatan dan nasehat, tetapi hatinya tetap beku tidak bergeming sedikitpun. Karena itu tepat sekali bila Al-Qur’an menggambarkan orang yang menyeru keimanan kepada orang kafir itu seperti penggembala yang memanggil binatang piaraannya, maka binatang itu tidak bsia memahami arti panggilan tersebut, selain seruan saja. Hal ini dikarenakan mereka tuli, bisu dan buta sehingga tidak bisa mengambil pelajaran sedikitpun dari bukti-bukti kebenaran yang ada di depan pelupuk mata. 


Semoga Allah membuka hati kita dan menyucikan nurani kita sehingga kita bisa menerima nasehat dan peringatan yang datang dari Al-Qur’an, agar kita bisa selamat di dunia dan akhirat.

Fuad Kauma. Tamsil Al-Qur’an. Mitra Pustaka: Yogyakarta. 2000.

0 comments:

Post a Comment