Seperti
Penggembala yang Menyeru Binatang
Orang yang mengajak beriman kepada orang-orang kafir ibarat
seorang penggembala yang memanggil binatang piaraanya yang tidak mendengar juga
tidak bisa memahami arti panggilan tersebut. Hal ini disebabkan mereka itu
tuli, bisu dan buta terhadap kebenaran Al-Qur’an sehingga mereka tidak mengerti
ajakan keimanan itu. Tamsil seperti ini telah dijelaskan oleh Allah dalam
firman-Nya:
“Dan
perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala
yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka
tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.”
(QS. Al-Baqarah : 171)
Mereka tidak bisa memahami arti kebenaran yang hakiki
dikarenakan kebekuan hati oleh kezhaliman dan kekufuran sehingga hati mereka
tidak bisa menerima cahaya kebenaran yang datang dari Al-Qur’an. Pada akhirnya
ia menjadi buta terhadap kebenaran, tuli dari nasihat-nasihat Al-Qur’an, dan
bisu tidak bisa mengatakan yang haq adalah haq dan yang batil adalah batil. Orang
seperi ini tidak ada bedanya dengan binatang piaraan, yang seluruh hidupnya
hanya diproyeksikan untuk makan dan minum serta memperturutkan hawa nafsu, tidak
mengenal kehidupan akhirat. Yang ada dalam benaknya adalah hanyalah kehausan
untuk mereguk kenikmatan duniawi sepuas-puasnya. Itulah kehidupan yang
dimaninkan oleh orang-orang kafir dan orang-orang yang tenggelam dalam lumpur
kemaksiatan.
Hati adalah ibarat cermin. Jika bersih maka ia bisa menerima
cahaya dan mamantulkan kembali cahaya tersebut ke arah yang diingini. Akan
tetapi jika hati telah kotor dan buram, maka sinar yang terang tak lagi bisa
ditangkap, apalagi dipantulkannya.
Orang-orang yang ingkar kepada Allah disebut kafir, karena
mereka menolak dan menutup kebenaran yang paling hakiki. Mereka tidak mau
menerima kebenaran karena telah menutup diri, bisa jadi akalnya menerima tetapi
hatinya tertutup, maka tetap saja mereka menolak keberanan itu. Sebagaimana
yang dilakukan oleh Abu Jahal dan Abu Lahab serta antek-anteknya, umumnya
mereka mengerti dan membenarkan apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw, akan
tetapi karena hati mereka telah diselimuti oleh rasa hasud, dengki dan dendang
terhadap Rasulullah saw maka mereka tidak mau mengakui kebenaran itu.
Pada dasarnya manusia itu dapat dibedakan dalam dua kelompok. Pertama, mereka yang memahami dan
mengerti kebenaran, akan tetapi pengertiannya itu tidak berpengaruh. Kedua, mereka yang mengerti, dimana
pengertiannya itu sampai menembus lubuk hatinya. Jika otak kedua kelompok ini
dibelah, maka kita menjumpai ilmu pada otak mereka masing-masing. Dan apabila
kia buka relung hati mereka, maka akan kita dapati bahwa dalam kelompok pertama
terdapat penolakan dan pengingkaran terhadap kebenaran, sedangkan pada kelompok
kedua, kita akan jumpai penerimaan dan respon positif. Dari sini dapat ditarik
kesimpulan bahwa peranan hati dalam mencari kebenaran itu sangat mendasar
sekali, dan sahnya imanpun ditentukan sikap hatinya.
Ilmu yang tersimpan dalam otak dan akal manusia itu tidak banyak
memberikan manfaat bagi pemiliknya, jika ilmu tersebut belum berlabuh dalam
hatinya. Apabila ia mengerti dan menerima suatu kebenaran yang didasarkan pada
pertimbangan batin atau hati nuraninya, maka pengertian tersebut tidak berarti.
Ia hanya berupa ilmu yang bisa jadi malah dikuasai oleh hawa nafsu. Kalau ilmu
sudah dikuasai hawa nafsu, maka segala tindak tanduknya cenderung mengarah pada
kemungkaran dan kedurhakaan kepada Allah.
Manusia-manusia seperti inilah yang digambarkan oleh Al-Qur’an
sebagai manusia yang buta sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
“Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta tetapi yang buta ialah hati yang di
dalam dada.”
(QS. Al-Hajj: 46)
Bagaimana caranya menjadikan hati bisa melek dan mendengar? Hati
yang suci dan aktif tidak mungkin dimiliki oleh manusia yang tidak pernah
mendidik jiwanya juga tidak pernah mensucikan hatinya dengan sungguh-sungguh. Orang
yang hatinya terjangkit virus egois dan materialis tak akan mungkin bisa
menerima kebenaran. Bagi orang egois dan materialisits yang penting adalah
keuntungan pribadinya. Ia tertarik pada kebenaran, jika kebenaran itu dapat
menguntungkan dirinya atau ambisi pribadinya dapat tercapai. Jadi penerimaannya
terhadap kebenaran itu dititikberakan pada orientasi materi dan ambisi, bukan
atas dasar panggilan hati nuraninya. Manusia seperti ini tak bisa menerima
kebenaran hakiki yang datang dari Al-Qur’an.
Mereka inilah manusia yang buta dan tuli. Bagaimana mungkin
menunjukkan bukti suatu kebenaran yang nyata terhadap orang yang buta, meskipun
bukti itu ada di depan matanya. Bagaimana bisa menjelaskan nasehat terhadap
orang yang tuli, meskipun nasehat itu didengungkan di dekat telinganya. Demikian
pula tidak mungkin menunjukkan suatu kebenaran terhadap orang yang hatinya
sudah tertutup dan berkarat. Bahkan Allah telah berfirman:
“Adakah
orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu
benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang
dapat mengambil pelajaran.”
(ar-Ra’d: 19)
Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang buta
hatinya itu tidak dapat menerima kebenaran dari Al-Qur’an. Seperti inilah
keadaan hati orang-orang kafir dan orang-orang yang zhalim. Meskipun mereka
mendengar peringatan dan nasehat, tetapi hatinya tetap beku tidak bergeming
sedikitpun. Karena itu tepat sekali bila Al-Qur’an menggambarkan orang yang
menyeru keimanan kepada orang kafir itu seperti penggembala yang memanggil
binatang piaraannya, maka binatang itu tidak bsia memahami arti panggilan
tersebut, selain seruan saja. Hal ini dikarenakan mereka tuli, bisu dan buta
sehingga tidak bisa mengambil pelajaran sedikitpun dari bukti-bukti kebenaran
yang ada di depan pelupuk mata.
Semoga Allah membuka hati kita dan menyucikan nurani kita
sehingga kita bisa menerima nasehat dan peringatan yang datang dari Al-Qur’an,
agar kita bisa selamat di dunia dan akhirat.
Fuad Kauma. Tamsil
Al-Qur’an. Mitra Pustaka: Yogyakarta. 2000.
0 comments:
Post a Comment