Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas
berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar
belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa
dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa
sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam
idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang
akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam
alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama,
karena agama itu sendri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan
dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini, Kuntowijoyo telah
melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut
pendekatan sejarah. Ketika ia memperlajari al-qur’an, ia sampai pada suatu
kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-qur’an itu terbagi menjadi dua
bagian. Bagian pertama, berisi
konsep-konsep dan bagian kedua, berisi
kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep, kita mendapati
banyak sekali istilah al-qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian
normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan
ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah atau singkatnya
pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah
dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu al-qur’an diturunkan atau bisa jadi
merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya
konsep-konsep religius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas, istilah-istilah
itu kemudian diintegrasikan dalam pandangan dunia al-qur’an, dan dengan
demikian lalu menjadi konsep-konsep yang otentik.
Dalam bagian pertama ini kita mengenal banyak sekali konsep,
baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah, konsep tentang
malaikat, tentang akhirat, tentang ma’ruf, munkar dan sebagainya aadalah
konsep-konsep yang abstark. Sementara
itu juga ditunjukkan konsep-konsep yang lebih menunjuk kepada fenomena konkret
dan dapat diamati (observable),
misalnya konsep tentang fuqara (orang-orang
fakir), dhu’afa (orang lemah), mustadl’afin (kelas tertindas), zhalimun (para tiran), aghniya (orang kaya), mustakbirun (penguasa), mufasidun (koruptor-koruptor), dan
sebagainya.
Selanjutnya, jika pada bagian yang berisi konsep-konsep al-qur’an
bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam,
maka pada bagian kedua yang berisi kisah-kisah dan perumpamaan, al-qur’an ingin
mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui kontemplasi
terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa historis dan juga melalui
kiasan-kiasan yang berisi hikmah tersembunyi, manusia dapat merenungkan hakikat
dan makna kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisi ajakan semacam ini, tersirat
maupun tersurat, baik menyangkut hikmah historis maupun menyangkut
simbol-simbol. Misalnya simbol tentang rapuhnya rumah laba-laba, tentang
luruhnya sehelai daun yang tak lepas dari pengamatan Tuhan atau tentang
keganasan samudera yang menyebabkan orang-orang kafir berdoa.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki
keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini,
maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena
pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang yang memahaminya. Seseorang yang
ingin memahami al-qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari
sejarah turunnya al-qur’an. Dengan ilmu asbabun nuzul ini seseorang akan dapat
mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum
tertentu dan ditujukan untuk memelihara syariat dari kekeliruan memahaminya.
Sumber :
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
0 comments:
Post a Comment