Monday 9 April 2012

Perumpamaan Orang Yang Riya’ dalam Beramal




Seperti Batu Licin
Al-qur’an menganalogikan orang yang riya’ dalam beramal adalah seperti batu licin yang diatasnya terdapat tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat hingga permukaannya menjadi licin karena tanah yang ada disitu hanyut tak tersisa sedikitpun. Sebagaimana tela dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya :

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan ia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang diatasnya ada tanah kemudian batu it ditimpa hujan lebat, lalu dia bersih (tidak bertanah).”
(QS. Al-Baqarah : 264)

Tamsil al-qur’an diatas menunjukkan bahwa seluruh amaliyah yang didasari dengan riya’ akan sia-sia belaka, tidak akan memperoleh pahala sdikitpun dari Allah. Yang bisa diperoleh hanyalah sanjungan dan pujian dari manusia, itupun kalau mereka memuji dan menyanjungnya. Kalau tidak, pasti dirinya akan mengalami kerugian, baik di dunia maupun di akhirat.

Embrio dari sfat riya’ adalah kurang bersihnya hati dan lemahnya aqidah hingga ia memerlukan orang lain untuk melihat amaliah dan kebaikannya. Orang yang sudah terjangkiti sifat buruk ini selalu bertingkah laku over acting, semuanya serba dipermak dan dimakeup, lebih-lebih bila dirinya berada di hadapan orang banyak. Semua tingkah lakunya senantiasa dipermak sedemikian rupa sehingga tampak menarik dan menimbulkan rasa kagum dari orang yang melihatnya. Shalatnya dibuat lama agar dianggap orang yang khusyu’, wiridnya dibuat keras agar dinilai sebagai sufi, sedekahnya diumumkan pada khalayak ramai, agar ia dikatakan sebagai dermawan, dan kalau berbicara tidak lepas dari dalil al-qur’an dan hadis tanpa memandang siapa yang diajak berbicara itu. Hal ini dilakukan agar ia dikatakan sebagai orang yang luas ilmu agamanya. Tetapi bila ia berada jauh dari pandangan manusia, maka akan tampak watak aslinya yang tidak pernah sempurna shalatnya, fasiq, bakhil, dan durhaka, bahkan dia tidak segan-segan menentang perintah Allah dan menerjang larangan-Nya. Orang seperti ini tidak ubahnya seekor kucing, bila di dekat tuannya ia tampak kalem dan tenang. Tetapi bila sang tuan pergi si kucing akan tampak ganas, buas dan menerjang apa saja yang ia maui dengan senantiasa memperturutkan kehendak hawa nafsu. Itulah tabiat orang yang riya’.

Jika kita melihat realitas kehidupan masyarakat maka kita akan saksikan betapa sesungguhnya terlalu banyak amal-amal yang dikerjakan oleh manusia tetapi motivasinya bukan mencari ridha Allah akan tetapi didorong oleh perasaan riya’. Padahak perbuatan riya’ itu dapat menghapus seluruh amal kebajikan, sebagaimana keterangan yang terdapat dalam hadis: “Di hari kiamat nanti ada orang yang mati karena berjuang membela agama Allah, tetapi ia diperintahkan oleh Allah untuk masuk neraka. Lalu orang itu bertanya kepada Allah: “Wahai tuhanku, aku ini telah mati syahid dalam berjuang membela agama-Mu (kenapa harus dimasukkan ke dalam neraka)?” Maka Allah menjawab: “Kamu berdusta, dalam berjuang kamu hanya ingin mendapatkan pujian dari orang lain, agar dirimu dikatakan sebagai orang yang pemberani. Dan bila pujian itu telah dikatakan oleh mereka, maka itulah sebagai balasan dari perjuanganmu.”

Demikian juga, jawaban tersebut akan disampaikan Allah kepada orang alim, orang yang pernah melakukan ibadah haji, orang yang ahli membaca al-qur’an, termasuk orang yang melakukan amal kebajikan lainnya, tetapi semuanya dilandasi oleh semangat riya’, maka mereka semua akan dilemparkan ke dalam neraka, bila mereka melakukan protes terhadap Allah maka Allah akan menjawabnya sebagaimana jawaban di atas.

Cukup tragis bila saat ini sampai bercokol dalam hati seseorang. Kehinaannya tidak hanya di dunia, melainkan di akhirat justru lebih pedih siksanya. Sebab orang yang riya’ itu sama halnya dirinya beranggapan ada kekuatan lain selain yang datangnya dari Allah. Dengan demikian, secara tidak langsung ia berkeyakinan bahwa beramal di hadapan orang lain itu lebih utama daripada beramal karena Allah. Sehingga meskipun secara lahiriyah ia beribadah kepada Allah, tetapi secara batiniah ia justru merendahkan Allah dan mengingkari-Nya. Terbukti hatinya ingin dipuji dan disanjung oleh orang yang melihat amaliah dan ubudiyahnya. Oleh karena itu, riya’ merpuakan manifestasi syirik yang tersembunyi. Seperti yang dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:

“Barangsiapa mengharapkan berjumpa dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutuka seseorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
(QS. Al-Kahfi : 110)

Artinya janganlah kamu mendemonstrasikan amalmu kepada seseorang karena ingin disanjung dan dipuji.

Nabi Saw, pernah bersabda: “Takutlah kamu kepada syirik kecil”. Lalu para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksudkan dengan syirik kecil itu?” Rasulullah saw menjawab: “Yaitu riya’.” Kelak pada hari pembalasan amal umat manusia Allah swt akan berfirman: “Pergilah kamu kepada neraka dimana kamu pernah memperlihatkan amalmu kepada mereka semasa di dunia, lihatlah apakah kamu memperoleh imbalan pahala dari mereka?”

Rasulullah saw bersabda: “Allah swt berfirman: “Barangsiapa beramal, lalu dalam amalnya itu ia menyekutukan Allah dengan selain-Ku, maka ia adalah orang yang musyrik dan Aku berlepas tangan dari dirinya. Artinya tidak menganpuni segala dosanya dan ia akan mendapatkan siksa yang amat pedih.

Diterangkan dari sahabat Abu Hurairah ra, bahwa sesungguhnya Nabi saw pernah bersabda: “Banyak orang puasa yang tidak memperoleh dari puasanya itu, kecuali lapar dan dahaga, dan banyak pula orang yang melakukan shalat malam yang tidak memperoleh apa-apa kecuali rasa kantuk akibat tidak tidur semalaman.

Setiap amalan yang disertai perasaan riya’, maka amalan tersebut menjadi sia-sia, tidak akan memperoleh pahala sedikitpun dari Allah. Oleh karena itu, perumpamaan yang disajikan al-qur’an sangat tepat dalam menggambarkan orang yang riya’, yakni seperti batu licin yang di atasnya terdapat pasir, lalu batu tersebut dihuyur hujan lebat dari langit yang mengakibatkan lenyapnya pasir yang ada di atasnya.

Sirnanya pasir dari permukaan batu licin tadi adalah merupakan gambaran dari lenyapnya pahala dari seluruh amaliyah yang pernah dilakukan. Sedangkan hujan di sini oleh al-qur’an dijadikan gambaran dari sifat riya’.

Kemudian Allah swt berfirman:
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”
(QS. Al-Furqan : 23)

Artinya, amal yang dilakukan tidak karena Allah, maka pahalanya menjadi sirna. Dan Allah menjadikan amal itu bagaikan debu yang dihamburkan pada terik matahari.

Diriwayatkan oleh ‘Adiy bin Hatim al-Atha’iy ra, bahwa ia pernah mendengan Rasulullah saw bersabda: “Pada hari kiamat nanti ada segolongan manusia diperintahkan menuju ke surga. Ketika mereka telah sampai di dekat surga dan bisa mencium bau surga, serta dapat melihat-istana-istana yang ada didalamnya, yang disediakan oleh Allah untuk para kekasih-Nya kemudian mereka dibelokkan dari arah surga (menuju ke arah neraka). Akhirnya mereka tidak memperoleh bagian sedikitpun dari surga. Mereka kembali dengan bersedih dan menyesali diri, orang-orang yang dahulu dan yang terakhir juga kembali seperti mereka. Mereka lalu berkata: “Wahai Tuhan kami, mestinya Engaku memasukkan kami ke dalam neraka sebelum melihat apa yang baru saja kami lihat dari berbagai pahala yang telah Engkau sediakan untuk para kekasih-Mu. Sungguh keadaan seperti ini lebih hina bagi kami.” Kemudian Allah berfirman: “Aku tidak menghendaki kamu demikian, tetapi kamu pada saat berada di tempat yang sepi (jauh dari pandangan orang) kamu berani melakukan dosa besar terhadap-Ku, sedangkan pada saat kamu bertemu orang, kamu bersifat khusyu’ dan merendahkan diri dengan seluruh amal kebajikanmu dihadapan mereka. Hal ini bertentangan dengan apa yang kamu berikan kepada-Ku dari dalam hatimu. Kamu punya rasa hormat kepada manusia, tetapi tidak punya rasa hormat terhadap diri-Ku, kamu mengagungkan manusia tetapi tidak mengagungkan diri-Ku, kamu meninggalkan kemaksiatan karena manusia, tidak karena diri-Ku. Maka pada hari ini kamu akan merasakan siksaan-Ku yang amat pedih dan Aku mengharamkan seluruh pahala-Ku kepadamu. 


Oleh karena itu, hendaklah kita senantiasa berupaya sejauh kemampuan yang kita miliki untuk membersihkan hati kita dari sifat tercela ini, menanamkan keyakinan yang kuat bahwa segala gerak-gerik hati kita tidak lepas dari pemantauan Allah. 


Disamping itu, beribadah maupun beramal secara demonstratif sudah menunjukkan tentang kedangkalan ilmu dan kotornya hati pelakunya. Bukankah Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui segala rahasia yang tersembunyi, meski tanpa diucapkan? Allah Maha Mengetahui semua keghaiban yang tersembunyi dan apa yang terlintas di dalam hati. Kalau tafakkur kita sampai ke tingkat ini, kita akan senantiasa mencuci hati dengan air keikhlasan, menjauhkan diri dari segala noda kehinaan yang menyeret ke dalam lembah kesesatan. 


Orang yang bersih hatinya, ikhlas amal perbuatannya dan teguh keyakinannya, akan senantiasa menyembunyikan seluruh amaliahnya, sebagaimana ia menyembunyikan keburukan di hadapan orang lain. Dia takut bila amaliah dan ibadahnya itu dilihat orang, sebab hal ini akan menambah keruhnya hati, yang mengakibatkan mudah bercokolnya sifat riya’ di dalamnya. Sebab riya’ adalah ibarat virus ganas yang bisa menggerogoti amal kebajikan yang pernah dilakukan, sekaligus menjerumuskan yang bersangkutan ke dalam pedihnya siksa neraka, sebagaimana telah diilustrasikan dalam firman Allah tersebut.

Fuad Kauma. Tamsil Al-Qur’an. Mitra Pustaka: Yogyakarta. 2000.

0 comments:

Post a Comment