Seperti
Batu Licin
Al-qur’an menganalogikan orang yang riya’ dalam beramal adalah seperti
batu licin yang diatasnya terdapat tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat
hingga permukaannya menjadi licin karena tanah yang ada disitu hanyut tak
tersisa sedikitpun. Sebagaimana tela dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya :
“Orang-orang
yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan ia tidak beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin
yang diatasnya ada tanah kemudian batu it ditimpa hujan lebat, lalu dia bersih
(tidak bertanah).”
(QS. Al-Baqarah : 264)
Tamsil al-qur’an diatas menunjukkan bahwa seluruh amaliyah yang
didasari dengan riya’ akan sia-sia belaka, tidak akan memperoleh pahala
sdikitpun dari Allah. Yang bisa diperoleh hanyalah sanjungan dan pujian dari
manusia, itupun kalau mereka memuji dan menyanjungnya. Kalau tidak, pasti
dirinya akan mengalami kerugian, baik di dunia maupun di akhirat.
Embrio dari sfat riya’ adalah kurang bersihnya hati dan lemahnya
aqidah hingga ia memerlukan orang lain untuk melihat amaliah dan kebaikannya. Orang
yang sudah terjangkiti sifat buruk ini selalu bertingkah laku over acting, semuanya
serba dipermak dan dimakeup, lebih-lebih bila dirinya berada di hadapan orang
banyak. Semua tingkah lakunya senantiasa dipermak sedemikian rupa sehingga
tampak menarik dan menimbulkan rasa kagum dari orang yang melihatnya. Shalatnya
dibuat lama agar dianggap orang yang khusyu’, wiridnya dibuat keras agar
dinilai sebagai sufi, sedekahnya diumumkan pada khalayak ramai, agar ia
dikatakan sebagai dermawan, dan kalau berbicara tidak lepas dari dalil
al-qur’an dan hadis tanpa memandang siapa yang diajak berbicara itu. Hal ini
dilakukan agar ia dikatakan sebagai orang yang luas ilmu agamanya. Tetapi bila
ia berada jauh dari pandangan manusia, maka akan tampak watak aslinya yang
tidak pernah sempurna shalatnya, fasiq, bakhil, dan durhaka, bahkan dia tidak
segan-segan menentang perintah Allah dan menerjang larangan-Nya. Orang seperti
ini tidak ubahnya seekor kucing, bila di dekat tuannya ia tampak kalem dan
tenang. Tetapi bila sang tuan pergi si kucing akan tampak ganas, buas dan
menerjang apa saja yang ia maui dengan senantiasa memperturutkan kehendak hawa
nafsu. Itulah tabiat orang yang riya’.
Jika kita melihat realitas kehidupan masyarakat maka kita akan
saksikan betapa sesungguhnya terlalu banyak amal-amal yang dikerjakan oleh
manusia tetapi motivasinya bukan mencari ridha Allah akan tetapi didorong oleh
perasaan riya’. Padahak perbuatan riya’ itu dapat menghapus seluruh amal
kebajikan, sebagaimana keterangan yang terdapat dalam hadis: “Di hari kiamat
nanti ada orang yang mati karena berjuang membela agama Allah, tetapi ia
diperintahkan oleh Allah untuk masuk neraka. Lalu orang itu bertanya kepada
Allah: “Wahai tuhanku, aku ini telah mati syahid dalam berjuang membela
agama-Mu (kenapa harus dimasukkan ke dalam neraka)?” Maka Allah menjawab: “Kamu
berdusta, dalam berjuang kamu hanya ingin mendapatkan pujian dari orang lain, agar
dirimu dikatakan sebagai orang yang pemberani. Dan bila pujian itu telah
dikatakan oleh mereka, maka itulah sebagai balasan dari perjuanganmu.”
Demikian juga, jawaban tersebut akan disampaikan Allah kepada
orang alim, orang yang pernah melakukan ibadah haji, orang yang ahli membaca
al-qur’an, termasuk orang yang melakukan amal kebajikan lainnya, tetapi
semuanya dilandasi oleh semangat riya’, maka mereka semua akan dilemparkan ke
dalam neraka, bila mereka melakukan protes terhadap Allah maka Allah akan
menjawabnya sebagaimana jawaban di atas.
Cukup tragis bila saat ini sampai bercokol dalam hati seseorang.
Kehinaannya tidak hanya di dunia, melainkan di akhirat justru lebih pedih
siksanya. Sebab orang yang riya’ itu sama halnya dirinya beranggapan ada
kekuatan lain selain yang datangnya dari Allah. Dengan demikian, secara tidak
langsung ia berkeyakinan bahwa beramal di hadapan orang lain itu lebih utama
daripada beramal karena Allah. Sehingga meskipun secara lahiriyah ia beribadah kepada
Allah, tetapi secara batiniah ia justru merendahkan Allah dan mengingkari-Nya.
Terbukti hatinya ingin dipuji dan disanjung oleh orang yang melihat amaliah dan
ubudiyahnya. Oleh karena itu, riya’ merpuakan manifestasi syirik yang
tersembunyi. Seperti yang dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
“Barangsiapa
mengharapkan berjumpa dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
shalih dan janganlah ia mempersekutuka seseorangpun dalam beribadah kepada
Tuhannya.”
(QS. Al-Kahfi : 110)
Artinya janganlah kamu mendemonstrasikan amalmu kepada seseorang
karena ingin disanjung dan dipuji.
Nabi Saw, pernah bersabda: “Takutlah kamu kepada syirik kecil”.
Lalu para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksudkan dengan
syirik kecil itu?” Rasulullah saw menjawab: “Yaitu riya’.” Kelak pada hari
pembalasan amal umat manusia Allah swt akan berfirman: “Pergilah kamu kepada
neraka dimana kamu pernah memperlihatkan amalmu kepada mereka semasa di dunia, lihatlah
apakah kamu memperoleh imbalan pahala dari mereka?”
Rasulullah saw bersabda: “Allah swt berfirman: “Barangsiapa
beramal, lalu dalam amalnya itu ia menyekutukan Allah dengan selain-Ku, maka ia
adalah orang yang musyrik dan Aku berlepas tangan dari dirinya. Artinya tidak
menganpuni segala dosanya dan ia akan mendapatkan siksa yang amat pedih.
Diterangkan dari sahabat Abu Hurairah ra, bahwa sesungguhnya
Nabi saw pernah bersabda: “Banyak orang puasa yang tidak memperoleh dari
puasanya itu, kecuali lapar dan dahaga, dan banyak pula orang yang melakukan
shalat malam yang tidak memperoleh apa-apa kecuali rasa kantuk akibat tidak
tidur semalaman.
Setiap amalan yang disertai perasaan riya’, maka amalan tersebut
menjadi sia-sia, tidak akan memperoleh pahala sedikitpun dari Allah. Oleh
karena itu, perumpamaan yang disajikan al-qur’an sangat tepat dalam
menggambarkan orang yang riya’, yakni seperti batu licin yang di atasnya
terdapat pasir, lalu batu tersebut dihuyur hujan lebat dari langit yang
mengakibatkan lenyapnya pasir yang ada di atasnya.
Sirnanya pasir dari permukaan batu licin tadi adalah merupakan
gambaran dari lenyapnya pahala dari seluruh amaliyah yang pernah dilakukan.
Sedangkan hujan di sini oleh al-qur’an dijadikan gambaran dari sifat riya’.
Kemudian Allah swt berfirman:
“Dan
kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang berterbangan.”
(QS. Al-Furqan : 23)
Artinya, amal yang dilakukan tidak karena Allah, maka pahalanya
menjadi sirna. Dan Allah menjadikan amal itu bagaikan debu yang dihamburkan
pada terik matahari.
Diriwayatkan oleh ‘Adiy bin Hatim al-Atha’iy ra, bahwa ia pernah
mendengan Rasulullah saw bersabda: “Pada hari kiamat nanti ada segolongan
manusia diperintahkan menuju ke surga. Ketika mereka telah sampai di dekat
surga dan bisa mencium bau surga, serta dapat melihat-istana-istana yang ada
didalamnya, yang disediakan oleh Allah untuk para kekasih-Nya kemudian mereka
dibelokkan dari arah surga (menuju ke arah neraka). Akhirnya mereka tidak
memperoleh bagian sedikitpun dari surga. Mereka kembali dengan bersedih dan
menyesali diri, orang-orang yang dahulu dan yang terakhir juga kembali seperti
mereka. Mereka lalu berkata: “Wahai Tuhan kami, mestinya Engaku memasukkan kami
ke dalam neraka sebelum melihat apa yang baru saja kami lihat dari berbagai
pahala yang telah Engkau sediakan untuk para kekasih-Mu. Sungguh keadaan
seperti ini lebih hina bagi kami.” Kemudian Allah berfirman: “Aku tidak
menghendaki kamu demikian, tetapi kamu pada saat berada di tempat yang sepi
(jauh dari pandangan orang) kamu berani melakukan dosa besar terhadap-Ku, sedangkan
pada saat kamu bertemu orang, kamu bersifat khusyu’ dan merendahkan diri dengan
seluruh amal kebajikanmu dihadapan mereka. Hal ini bertentangan dengan apa yang
kamu berikan kepada-Ku dari dalam hatimu. Kamu punya rasa hormat kepada
manusia, tetapi tidak punya rasa hormat terhadap diri-Ku, kamu mengagungkan
manusia tetapi tidak mengagungkan diri-Ku, kamu meninggalkan kemaksiatan karena
manusia, tidak karena diri-Ku. Maka pada hari ini kamu akan merasakan
siksaan-Ku yang amat pedih dan Aku mengharamkan seluruh pahala-Ku kepadamu.
Oleh karena itu, hendaklah kita senantiasa berupaya sejauh
kemampuan yang kita miliki untuk membersihkan hati kita dari sifat tercela ini,
menanamkan keyakinan yang kuat bahwa segala gerak-gerik hati kita tidak lepas
dari pemantauan Allah.
Disamping itu, beribadah maupun beramal secara demonstratif
sudah menunjukkan tentang kedangkalan ilmu dan kotornya hati pelakunya. Bukankah
Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui segala rahasia yang tersembunyi, meski
tanpa diucapkan? Allah Maha Mengetahui semua keghaiban yang tersembunyi dan apa
yang terlintas di dalam hati. Kalau tafakkur kita sampai ke tingkat ini, kita
akan senantiasa mencuci hati dengan air keikhlasan, menjauhkan diri dari segala
noda kehinaan yang menyeret ke dalam lembah kesesatan.
Orang yang bersih hatinya, ikhlas amal perbuatannya dan teguh
keyakinannya, akan senantiasa menyembunyikan seluruh amaliahnya, sebagaimana ia
menyembunyikan keburukan di hadapan orang lain. Dia takut bila amaliah dan
ibadahnya itu dilihat orang, sebab hal ini akan menambah keruhnya hati, yang
mengakibatkan mudah bercokolnya sifat riya’ di dalamnya. Sebab riya’ adalah
ibarat virus ganas yang bisa menggerogoti amal kebajikan yang pernah dilakukan,
sekaligus menjerumuskan yang bersangkutan ke dalam pedihnya siksa neraka, sebagaimana
telah diilustrasikan dalam firman Allah tersebut.
Fuad Kauma. Tamsil
Al-Qur’an. Mitra Pustaka: Yogyakarta. 2000.
0 comments:
Post a Comment