Baterai bekerja dengan mengubah energi kimia menjadi energi
listrik yang dikenal dengan proses discharge. Semua baterai memiliki
karakteristik yang mengalami kehilangan muatan (charge) secara perlahan dengan
berjalannya waktu (dikenal sebagai baterai seft-discharge). Komponen baterai
juga dapat mengalami deteriorasi (seperti korosi yang terjadi pada seng dalam
baterai seng-karbon) atau penguapan (misalnya kehilangan air karena penguapan).
Seperti juga reaksi-reaksi kimia lain, reaksi ini juga memiliki kecepatan
reaksi tertentu yang konstanta kecepatan reaksinya merupakan fungsi dari
temperatur. Jika seandainya mekanisme reaksinya melibatkan satu langkah penentu
kecepatan reaksi, maka konstanta kecepatan reaksi dari langkah elementernya
akan dapat dijelaskan berdasarkan hukum Arrhenius. Hukum ini secara kuantitatif
memberikan gambaran bagaimana hubungan antara kenaikan kecepatan suatu reaksi
dengan kenaikan temperatur. Secara umum, semakin tinggi temperatur penyimpanan
maka semakin besar kecepatan reaksinya. Sehingga untuk beberapa baterai, reaksi
discharge dan deteriorasi akan menjadi lambat jika disimpan pada temperatur
rendah. Baterai hidrida logam nikel (nikel metal hydrid, NiMH) memiliki
kecepatan self-discharge 0,8%/hari pada temperatur 20 oC, tetapi pada 45 oC
menjadi 6%/hari. Demikian juga untuk baterai biasa (nonrechargeable) seperti
sistem Zinc-carbon atau alkalin-mangan perbedaan umur penyimpanan akan sangat
besar bila disimpan pada temperatur rendah.
Penjelasan teoritiknya adalah sebagai berikut. Pada 1889 seorang
ahli kimia dari Swedia yang bernama Svante Arrhenius mengatakan bahwa suatu
reaksi kimia baru akan terjadi jika molekul-molekul yang bertabrakan memiliki
suatu energi kinetik minimum tertentu. Jika dua buah molekul bertabrakan dengan
energi kurang dari energi minimum ini maka molekul-molekul ini akan berbalik
tanpa mengalami perubahan kimia. Energi ini disebut energi aktivasi (Ea). Jika
reaksi diberi ‘energi’ sehingga melampaui energi kritis ini maka reaktan akan
berubah menjadi produk. Kenaikan temperatur akan memberikan energi pada reaksi
dan konstanta kecepatan reaksi menjadi naik. Hubungan antara konstanta
kecepatan reaksi dengan temperatur dalam Kelvin dan energi aktivasi adalah sebagai
berikut k=Ae-Ea/RT atau lnk= lnA -Ea/RT dengan A adalah faktor pre-eksponensial
atau faktor frekuensi. Semakin besar temperatur T maka konstanta kecepatan
reaksi k juga akan semakin besar, artinya reaksinya juga akan semakin cepat.
Profesor yang lain, Prof. Dr. Ir. Hamzah Berahim, MT, dosen
Teknik Elektro di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta menyebutkan bahwa baterai
akan mati (tidak bisa digunakan lagi) jika baterai digunakan terus menerus,
sehingga zat-zat kimia di dalamnya membeku.
Prof. Yessi Pratiwi menambahkan, agar dapat digunakan kembali,
tentu saja baterai harus dinaikkan lagi suhunya, yaitu dengan pemanasan. Masih
ingat nggak, waktu SMA, guru Kimia kita bilang bahwa baterai mengubah energi
kimia menjadi energi listrik. Nah, tenaga kimia yang akan diubah menjadi energi
listrik ini berasal dari zat-zat kimia yang ada di baterai, terdiri atas
zat-zat yang berperan sebagai katoda dan anoda, dimana terjadi reaksi
sedemikian rupa sehingga energi listrik dihasilkan dalam jumlah tertentu.
Yang jelas, energi listrik yang dihasilkan oleh baterai ini lah
yang kemudian menentukan waktu pakai baterai. Dan, jangan lupa, masa pakai
baterai juga tergantung dari benda dimana baterai itu dipakai. baterai yang
kita pakai untuk sebuah Walkman dengan senter tentu saja akan berbeda, karena
kebutuhan daya listriknya juga berbeda.
Sumber : Kaskus
0 comments:
Post a Comment