Pada abad ke-6 hingga abad ke-14 M, peradaban Islam menghasilkan
banyak karya ilmiah di bidang sains dan teknologi.
Untuk menggambarkan kegemilangan itu, seorang sejarawan sains
terkemuka, George Sarton, menuliskan dalam jilid pertama bukunya yang terkenal
di bidang ini, Introduction
to the History of Science.
''Cukuplah kita menyebut nama-nama besar yang tak tertandingi di
masa itu oleh seorang pun di Barat: Jabir bin Hayyan, Al-Kindi, Al-Khawarizmi, Ar-Razi,
Al-Farabi, At-Tabhari, Al-Biruni, Ibnu Sina, dan Umar Khayam. Jika seorang
mengatakan kepada Anda bahwa Abad Pertengahan sama sekali steril dari kegiatan
ilmiah, kutiplah nama-nama ilmuwan di atas. Mereka semua hidup dan berkarya
dalam periode yang amat singkat, dari 750 hingga 1100 M,'' tulis Sarton.
Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban,
disebutkan bahwa perkembangan sains dan teknologi dalam sejarah Islam tidak
bisa dilepaskan dari tiga landasan, yakni landasan agama, landasan filsafat dan
landasan kelembagaan.
Landasan Agama
Pengembangan sains dalam sejarah Islam sejalan dengan perintah
Alquran untuk mengamati alam dan menggunakan akal, dua dasar metodologis sains.
Alquran sendiri merupakan sumber pertama ilmu, seperti yang dinyatakan dalam
Surat An-Nisa' ayat 82, ''Maka
apakah mereka tidak memerhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari
sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.''
Perintah penggunaan akal sebagai dasar kerasionalan ilmu dengan
perintah mengamati alam sebagai dasar keempirikan ilmu selalu berjalan seiring,
misalnya dalam Surat Ar-Rum ayat 22, Al-Baqarah ayat 164, Ali Imran ayat
190-191, Yunus ayat 5, dan Al-An'am ayat 97. Firman Allah SWT juga sering
disertai pertanyaan afala
ta'qilun (mengapa tidak kau gunakan akalmu) dan afala tatafakkarun (mengapa
tak kau pikirkan).
Perintah Alquran itu diperkukuh oleh hadits-hadits Nabi SAW yang
mewajibkan umat Islam untuk menuntut ilmu.
''Menuntut ilmu itu wajib bagi kaum muslimin laki-laki dan perempuan.''
(HR Bukhari dan Muslim) dan ''Tuntutlah
ilmu semenjak dari ayunan sampai ke liang lahat.'' (HR Bukhari).
Kedudukan para ilmuwan dalam Islam dipandang utama, seperti
dinyatakan Rasulullah SAW dalam hadits, ''Manusia
yang mulia adalah seorang Mukmin yang berilmu.'' (HR Bukhari). Ini
sesuai dengan pernyataan Allah SWT dalam Surat Al-Mujadalah ayat 11, ''Allah tinggikan beberapa
derajat kedudukan orang yang beriman dan berilmu.'' Bahkan
Rasulullah SAW menegaskan bahwa, ''Manusia
yang paling dekat derajatnya dengan derajat para nabi adalah orang-orang yang
berilmu dan berjuang.'' (HR Bukhari).
Landasan Filsafat
Perintah menuntut ilmu dalam Alquran dan hadits tersebut
mendorong kaum Muslim pada abad-abad pertama Hijriyah untuk menerjemahkan
berbagai buku dari bahasa Yunani, Persia, India, dan Cina ke dalam bahasa Arab.
Kemudian oleh para filsuf Muslim, ilmu-ilmu itu diklasifikasikan secara
sistematis. Klasifikasi ini yang menjadi dasar bagi para ilmuwan Muslim untuk
mengembangkan sains, teutama ilmu pengetahuan alam dan ilmu alatnya, yaitu
matematika dan logika.
Filsuf Islam yang pertama, Al-Farabi (257 H/870 M-339 H/950 M)
mengklasifikasi ilmu menjadi lima, yaitu ilmu-ilmu bahasa, ilmu logika,
ilmu-ilmu persiapan, ilmu-ilmu kealaman, dan ilmu-ilmu masyarakat.
Klasifikasi Al-Farabi ini diteruskan dan disempurnakan pada abad
berikutnya oleh Ibnu Sina dalam Kitab
Asy-Syifa dan oleh Ikhwan As-Safa dalam Ar-Rasa'il.
Penyempurnaan klasifikasi ini berpuncak pada klasifikasi Ibnu
Khaldun, seorang sejarawan dan Bapak Sosiologi Islam, yang dengan tegas membagi
ilmu menjadi dua golongan besar; ilmu-ilmu
aqli atau ilmu-ilmu intelektual dan ilmu-ilmu naqli atau ilmu-ilmu
tekstual. Ilmu-ilmu aqli meliputi logika, fisika, metafisika, dan matematika.
Adapun ilmu-ilmu naqli meliputi ilmu Alquran, hadits, fiqih, kalam, tasawuf,
dan ilmu-ilmu kebahasaan.
Sementara Al-Gazali (450 H/1058 M-505 H/1111 M) memberikan empat
macam klasifikasi ilmu berdasarkan berbagai kriteria. Berdasarkan praktiknya,
ilmu dapat dibagi menjadi ilmu teoritis dan ilmu praktis. Berdasarkan cara
mendapatkannya, Al-Gazali membagi ilmu menjadi ilmu huduri yang didapat secara
langsung dan ilmu
husuli yang diperoleh melalui panca indera.
Pengelompokan yang ketiga berdasarkan kaitannya dengan agama.
Dia membedakan ilmu-ilmu syar'iyah dan ilmu-ilmu aqliyyah. Klasifikasi
Al-Ghazali yang terakhir berdasarkan hukumnya, yaitu ilmu-ilmu yang fardhu ain dan
ilmu-ilmu yang fardhu
kifayah. Berdasarkan klasifikasi Al-Gazali ini, sains bersifat husuli,
aqliyyah, dan fardhu kifayah.
Landasan Kelembagaan
Ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami perkembangan pesat di
masa kejayaan Islam. Kemajuan pesat itu tidak terlepas dari keberadaan
lembaga-lembaga ilmiah dan pendidikan. Lembaga ilmiah pertama didirikan oleh
Khalifah Al-Ma'mun (813-833 M) di Baghdad, yaitu Baitul Hikmah. Lembaga kedua
adalah Darul Hikmah, yang didirikan oleh penguasa Fatimiyah di Kairo, Mesir,
Al-Hakim, pada 1004 M.
Di Baghdad juga terdapat Al-Hamiyah, yang didirikan pada 1076 M
oleh Nizam Al-Mulk, seorang menteri dari Persia. Pada 1243 M sekolah itu
diperluas menjadi Madrasah Al-Muntasiriah yang dilengkapi dengan rumah sakit.
Di Suriah terdapat pula sekolah-sekolah sejenis, misalnya Ar-Rasyidah dan
Al-Aminiah. Adapun di Mesir terdapat An-Nasiriyah dan As-Salahiyah.
Sekolah-sekolah tinggi lainnya tersebar di Spanyol dan Asia Tengah.
Selain perpustakaan, observatorium merupakan pusat-pusat
penelitian keilmuan Islam yang paling maju. Observatorium yang pertama adalah
Syamasiah yang didirikan Khalifah Al-Ma'mun di Baghdad sekitar 829 M.
Pembangunan observatorium ini segera diikuti oleh pembangunan observatorium
Al-Battani di Ar-Raqqah dan observatorium Abdurrahman As-Sufi di Syiraz. Pada
abad-abad berikutnya sejumlah penguasa membangun observatorium lebih banyak
lagi, tersebar dari Spanyol di Barat hingga ke Asia Kecil di Timur.
Rumah-rumah sakit merupakan sarana pengembangan ilmu yang tak
dapat diabaikan, terutama kedokteran dan farmasi. Rumah sakit pertama dalam
peradaban Islam didirikan pada 707 M oleh Khalifah Walid bin Abdul Malik dari
Dinasti Umayyah di Damaskus. Para penguasa berikutnya tak mau ketinggalan dalam
pembangunan rumah sakit. Di Mesir didirikan rumah sakit Manshuri dan di Baghdad
didirikan rumah sakit An-Nuri.
Sumber : Republika.co.id
0 comments:
Post a Comment