Monday 13 February 2012

Perkembangan Sains Dan Teknologi Dalam Sejarah Islam




Pada abad ke-6 hingga abad ke-14 M, peradaban Islam menghasilkan banyak karya ilmiah di bidang sains dan teknologi. 


Untuk menggambarkan kegemilangan itu, seorang sejarawan sains terkemuka, George Sarton, menuliskan dalam jilid pertama bukunya yang terkenal di bidang ini, Introduction to the History of Science.
 

''Cukuplah kita menyebut nama-nama besar yang tak tertandingi di masa itu oleh seorang pun di Barat: Jabir bin Hayyan, Al-Kindi, Al-Khawarizmi, Ar-Razi, Al-Farabi, At-Tabhari, Al-Biruni, Ibnu Sina, dan Umar Khayam. Jika seorang mengatakan kepada Anda bahwa Abad Pertengahan sama sekali steril dari kegiatan ilmiah, kutiplah nama-nama ilmuwan di atas. Mereka semua hidup dan berkarya dalam periode yang amat singkat, dari 750 hingga 1100 M,'' tulis Sarton.


Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, disebutkan bahwa perkembangan sains dan teknologi dalam sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dari tiga landasan, yakni landasan agama, landasan filsafat dan landasan kelembagaan.

Landasan Agama


Pengembangan sains dalam sejarah Islam sejalan dengan perintah Alquran untuk mengamati alam dan menggunakan akal, dua dasar metodologis sains. Alquran sendiri merupakan sumber pertama ilmu, seperti yang dinyatakan dalam Surat An-Nisa' ayat 82, ''Maka apakah mereka tidak memerhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.''


Perintah penggunaan akal sebagai dasar kerasionalan ilmu dengan perintah mengamati alam sebagai dasar keempirikan ilmu selalu berjalan seiring, misalnya dalam Surat Ar-Rum ayat 22, Al-Baqarah ayat 164, Ali Imran ayat 190-191, Yunus ayat 5, dan Al-An'am ayat 97. Firman Allah SWT juga sering disertai pertanyaan afala ta'qilun (mengapa tidak kau gunakan akalmu) dan afala tatafakkarun (mengapa tak kau pikirkan).


Perintah Alquran itu diperkukuh oleh hadits-hadits Nabi SAW yang mewajibkan umat Islam untuk menuntut ilmu. ''Menuntut ilmu itu wajib bagi kaum muslimin laki-laki dan perempuan.'' (HR Bukhari dan Muslim) dan ''Tuntutlah ilmu semenjak dari ayunan sampai ke liang lahat.'' (HR Bukhari). 


Kedudukan para ilmuwan dalam Islam dipandang utama, seperti dinyatakan Rasulullah SAW dalam hadits, ''Manusia yang mulia adalah seorang Mukmin yang berilmu.'' (HR Bukhari). Ini sesuai dengan pernyataan Allah SWT dalam Surat Al-Mujadalah ayat 11, ''Allah tinggikan beberapa derajat kedudukan orang yang beriman dan berilmu.'' Bahkan Rasulullah SAW menegaskan bahwa, ''Manusia yang paling dekat derajatnya dengan derajat para nabi adalah orang-orang yang berilmu dan berjuang.'' (HR Bukhari).

Landasan Filsafat


Perintah menuntut ilmu dalam Alquran dan hadits tersebut mendorong kaum Muslim pada abad-abad pertama Hijriyah untuk menerjemahkan berbagai buku dari bahasa Yunani, Persia, India, dan Cina ke dalam bahasa Arab. Kemudian oleh para filsuf Muslim, ilmu-ilmu itu diklasifikasikan secara sistematis. Klasifikasi ini yang menjadi dasar bagi para ilmuwan Muslim untuk mengembangkan sains, teutama ilmu pengetahuan alam dan ilmu alatnya, yaitu matematika dan logika.


Filsuf Islam yang pertama, Al-Farabi (257 H/870 M-339 H/950 M) mengklasifikasi ilmu menjadi lima, yaitu ilmu-ilmu bahasa, ilmu logika, ilmu-ilmu persiapan, ilmu-ilmu kealaman, dan ilmu-ilmu masyarakat. 


Klasifikasi Al-Farabi ini diteruskan dan disempurnakan pada abad berikutnya oleh Ibnu Sina dalam Kitab Asy-Syifa dan oleh Ikhwan As-Safa dalam Ar-Rasa'il.


Penyempurnaan klasifikasi ini berpuncak pada klasifikasi Ibnu Khaldun, seorang sejarawan dan Bapak Sosiologi Islam, yang dengan tegas membagi ilmu menjadi dua golongan besar; ilmu-ilmu aqli atau ilmu-ilmu intelektual dan ilmu-ilmu naqli atau ilmu-ilmu tekstual. Ilmu-ilmu aqli meliputi logika, fisika, metafisika, dan matematika. Adapun ilmu-ilmu naqli meliputi ilmu Alquran, hadits, fiqih, kalam, tasawuf, dan ilmu-ilmu kebahasaan.


Sementara Al-Gazali (450 H/1058 M-505 H/1111 M) memberikan empat macam klasifikasi ilmu berdasarkan berbagai kriteria. Berdasarkan praktiknya, ilmu dapat dibagi menjadi ilmu teoritis dan ilmu praktis. Berdasarkan cara mendapatkannya, Al-Gazali membagi ilmu menjadi ilmu huduri yang didapat secara langsung dan ilmu husuli yang diperoleh melalui panca indera.


Pengelompokan yang ketiga berdasarkan kaitannya dengan agama. Dia membedakan ilmu-ilmu syar'iyah dan ilmu-ilmu aqliyyah. Klasifikasi Al-Ghazali yang terakhir berdasarkan hukumnya, yaitu ilmu-ilmu yang fardhu ain dan ilmu-ilmu yang fardhu kifayah. Berdasarkan klasifikasi Al-Gazali ini, sains bersifat husuli, aqliyyah, dan fardhu kifayah.

Landasan Kelembagaan


Ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami perkembangan pesat di masa kejayaan Islam. Kemajuan pesat itu tidak terlepas dari keberadaan lembaga-lembaga ilmiah dan pendidikan. Lembaga ilmiah pertama didirikan oleh Khalifah Al-Ma'mun (813-833 M) di Baghdad, yaitu Baitul Hikmah. Lembaga kedua adalah Darul Hikmah, yang didirikan oleh penguasa Fatimiyah di Kairo, Mesir, Al-Hakim, pada 1004 M.


Di Baghdad juga terdapat Al-Hamiyah, yang didirikan pada 1076 M oleh Nizam Al-Mulk, seorang menteri dari Persia. Pada 1243 M sekolah itu diperluas menjadi Madrasah Al-Muntasiriah yang dilengkapi dengan rumah sakit. Di Suriah terdapat pula sekolah-sekolah sejenis, misalnya Ar-Rasyidah dan Al-Aminiah. Adapun di Mesir terdapat An-Nasiriyah dan As-Salahiyah. Sekolah-sekolah tinggi lainnya tersebar di Spanyol dan Asia Tengah.


Selain perpustakaan, observatorium merupakan pusat-pusat penelitian keilmuan Islam yang paling maju. Observatorium yang pertama adalah Syamasiah yang didirikan Khalifah Al-Ma'mun di Baghdad sekitar 829 M. Pembangunan observatorium ini segera diikuti oleh pembangunan observatorium Al-Battani di Ar-Raqqah dan observatorium Abdurrahman As-Sufi di Syiraz. Pada abad-abad berikutnya sejumlah penguasa membangun observatorium lebih banyak lagi, tersebar dari Spanyol di Barat hingga ke Asia Kecil di Timur.


Rumah-rumah sakit merupakan sarana pengembangan ilmu yang tak dapat diabaikan, terutama kedokteran dan farmasi. Rumah sakit pertama dalam peradaban Islam didirikan pada 707 M oleh Khalifah Walid bin Abdul Malik dari Dinasti Umayyah di Damaskus. Para penguasa berikutnya tak mau ketinggalan dalam pembangunan rumah sakit. Di Mesir didirikan rumah sakit Manshuri dan di Baghdad didirikan rumah sakit An-Nuri.

Sumber : Republika.co.id

0 comments:

Post a Comment