Secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama
dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan
bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar
dibandingkan dengan yang lainnya.
Jika diteliti lebih mendalam, dalam intern umat beragama
tertentu dijumpai berbagai paham atau sekte keagamaan, seperti teologi
Kristen-Katolik, teologi Kristen-Protestan dan lain sebagainya. Dalam Islam
sendiri, secara tradisional, dapat dijumpai teologi Mu’tazilah, teologi
Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Dan sebelumnya terdapat pula teologi yang bernama
Khawarij dan Murji’ah. Menurut pengamatan Sayyed Hosein Nasr, dalam era
komtemporer ini ada 4 prototipe pemikiran keagamaan Islam, yaitu pemikiran
keagamaan fundamentalis, modernis,
mesianis, dan tradisionalis.
Keempat prototipe pemikiran keagamaan tersebut sudah barang tentu tidak mudah
disatukan dengan begitu saja. Masing-masing mempunyai “keyakinan” teologi yang
seringkali sulit untuk didamaikan. Mungkin kurang tepat menggunakan istilah
“teologi” di sini, tapi menunjuk pada gagasan pemikiran keagamaan yang
terinspirasi oleh paham ketuhanan dan pemahaman kitab suci serta penafsiran
ajaran agama tertentu adalah juga bentuk dari pemikiran teologi dalam bentuk
dan wajah yang baru.
Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan
teologi dalam pemahaman kagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk
forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau
simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar
sedangkan yang lainnya sebagai salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan
fanatik bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan paham lainnya salah, sehingga
memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian
pula paham yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itu pun menuduh bahwa lawannya
sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses
saling meng-kafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara
satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai.
Yang ada hanyalah keterpurukan (eksklusifisme),
sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak-kotak.
Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata
tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih
lagi kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi, pada dasarnya
memang tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau
kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Bercampur
aduknya doktrin teologi dengan historisitas institusi sosial kemasyarakatan
yang menyertai dan mendukungnnya menambah peliknya persoalan yang dihadapi umat
beragama. Tapi, justru keterlibatan institusi dan pranata sosial kemasyarakatan
dalam wilayah keberagamaan manusia itulah yang kemudian menjdai bahan subur
bagi peneliti agama. Dari situ, kemudian muncul terobosan baru untuk melihat
pemikiran teologi yang termanifestasikan dalam “budaya” tertentu secara lebih
objektif lewat pengamatan empirik faktual, serta pranata-prana sosial
kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya.
Berkenaan dengan hal diatas, saat ini muncul apa yang disebut
dengan istilah teologi masa kritis, yaitu suatu usaha manusia untuk memahami
penghayatan imannya atau penghayatan agamanya, suatu penafsiran atas sumber-sumber
aslinya dan tradisinya dalam konteks permasalahan masa kini, yaitu teologi yang
bergerak antara dua kutub: teks dan situasi; masa lampau dan masa kini. Hal
demikian mesti ada dalam setiap agama meskipun dalam bentuk dan fungsinya yang
berbeda-beda.
Salah satu ciri dari teologi masa kini adalah sifat kritisnya. Sikap
kritis ini ditujukan pertama-tama pada agamanya sendiri (agama sebagai
institusi sosial dan kemudian juga kepada situasi yang dihadapinya). Teologi
sebagai kritik agama berarti antara lain mengungkapkan berbagai kecenderungan
dalam institusi agama yang menghambat panggilannya; menyelamatkan manusia dan
kemanusiaan.
Teologi kritis bersikap kritis pula terhadap lingkungannya. Hal
ini hanya terjadi kalau agama terbuka juga terhadap ilmu-ilmu sosial dan
memanfaatkan ilmu tersebut bagi pengembangan teologinya. Teologi ini bukan
hanya berhenti pada pemahaman mengenai ajaran agama, tetapi mendorong
terjadinya transformasi sosial. Maka beberapa kalangan menyebut teologi
kepedulian sosial itu sebagai teologi transformatif.
Dengan memperhatikan uraian tersebut, terlihat bahwa pendekatan
teologi dalam memahami agama cenderung bersikap tertutup, tidak ada dialog, parsial,
saling menyalahkan, saling mengkafirkan, yang pada akhirnya terjadi
perkotakan-perkotakan umat, tidak ada kerjasama dan tidak terlihat adanya
kepedulian sosial. Dengan pendekatan demikian, agama cenderung hanya merupakan
keyakinan dan pembentuk sikap keras dan tampak asosial. Melalui pendekatan
teologi ini agama menjadi buta terhadap masalah-masalah sosial dan cenderung
menjadi lambang atau identitas yang tidak memiliki makna.
Uraian diatas bukan berarti kita tidak memerlukan pendekatan
teologi dalam memahami agama, karena tanpa adanya pendekatan teologi, keagamaan
seseorang akan mudah cair dan tidak jelas identitas dan pelembagaannya. Proses
pelembagaan perilaku keagamaan melalui mazhab-mazhab sebagaimana halnya yang
terdapat dalam teologi jelas diperlukan. Antara lain berfungsi untuk
mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi sebagai pembentukan karakter
pemeluknya dalam rangka membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama.
Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara
berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinan yang
diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan, sudah
pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu melainkan dimulai
dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi. Namun
pendekatan teologis ini menunjukkan adanya kekurangan antara lain berfiat
eksklusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain, dan sebagainya. Kekurangan
ini dapat diatasi dengan cara melengkapinya dengan pendekatan sosiologis.
Pendekatan teologis ini selanjutnya erat kaitannya dengan
pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi
ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat
penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis ini agama dilihat
sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan
tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat
cirinya yang khas. Untuk agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung
nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai
kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong menolong, tenggang rasa, persamaan
derajat dan sebagainya. Untuk bidang ekonomi, agama tampil menawarkan keadilan,
kebersamaan, kejujuran, dan saling menguntungkan. Untuk bidang ilmu
pengetahuan, agama tampil mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan
teknologi yang setinggi-tingginya, menguasai keterampilan, keahlian dan
sebagainya. Demikian pula untuk bidang kesehatan, lingkungan hidup, kebudayaan,
politik dan sebagainya agama tampil sangat ideal dan yang dibangun berdasarkan
dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan.
Sumber :
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
0 comments:
Post a Comment