Sekurang-kurangnnya ada tiga alasan yang melatarbelakangi
perlunya manusia terhadap agama. Ketiga alasan tersebut secara singkat dapat
dikemukakan sebagai berikut.
1.
Latar Belakang Fitrah Manusia
Kenyataan manusia memiliki fitrah keagamaan pertama kali
ditegaskan dalam ajaran Islam, yakni bahwa agama adalah kebutuhan fitri
manusia. Sebelumnya, manusia belum mengenal kenyataan ini. Baru di masa
akhir-akhir ini, muncul beberapa orang yang menyerukan dan mempopulerkannya. Fitrah
keagamaan yang ada dalam diri manusia inilah yang melatarbelakangi perlunya
manusia pada agama. Oleh karenanya, ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru
manusia agar beragama, maka seruan tersebut memang amat sejalan dengan
fitrahnya itu. Dalam konteks ini kita dapat melihat ayat al-qur’an surat
Ar-Ruum ayat 30 yang artinya: “Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah; tetaplaj atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan
fitrah itu”.
Adanya potensi fitrah beragama yang terdapat pada manusia
tersebut dapat pula dianalisis dari istilah insan
yang digunakan Al-qur’an untuk menunjukkan manusia. Musa Asy’ari menyatakan
bahwa manusia (insan) adalah manusia
yang menerima pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya. Manusia
(insan) secara kodrati sebagai
ciptaan Tuhan yang sempurna bentuknya dibandingkan dengan ciptaan Tuhan lainnya
sudah dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan memahami kebenaran dan kebaikan
yang terpancar dari ciptaan-Nya. Lebih lanjut, pengertian manusia yang disebut insan, yang dalam al-qur’an dipakai
untuk menunjukkan lapangan kegiatan manusia yang amat luas adalah terletak pada
kemampuan menggunakan akalnya dan mewujudkan pengetahuan konseptualnya dalam
kehidupan konkret. Hal demikian berbeda dengan kata basyar yang digunakan al-qur’an untuk menyebut manusia dalam
pengertian lahiriahnya yang membutuhkan makan, minum, pakaian, tempat tinggal,
hidup dan kemudian mati.
Informasi mengenai potensi beragama yang dimiliki manusia itu
dapat pula dijumpai dalam al-qur’an surat Al-A’raf ayat 172 yang artinya: “Dan
(ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
Bukanlah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan).”
Berdasarkan informasi tersebut terlihat dengan jelas bahwa
manusia secara fitri merupakan makhluk yang memiliki kemampuan untuk beragama. Hal
demikian sejalan dengan petunjuk nabi dalam salah satu hadisnya yang mengatakan
bawha setiap anak yang dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama), maka
kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani
atau Majusi.
Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi
beragama ini dapat dilihat melalui bukti historis dan antropologis. Melalui
bukti-bukti historis dan antropologis kita mengetahui bahwa pada manusia
primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi mengenai Tuhan, ternyata
mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguhpun Tuhan yang mereka percayai itu
terbatas pada daya khayalnya. Misalnya saja, mereka mempertuhankan benda-benda
alam yang menimbulkan kesan misterius dan mengagumkan serta memiliki kekuatan
yang selanjutnya mereka jadikan Tuhan, kemudian kepercayaan ini disebut dengan
dinamisme. Selanjutnya, kekuatan misterius tersebut mereka ganti istilahnya
dengan ruh atau jiwa yang memiliki karakter dan kecenderungan baik dan buruk
yang selanjutnya mereka beri nama agama animisme. Roh dan jiwa itu selanjutnya
mereka personifikasikan dalam bentuk dewa yang jumlahnya banyak dan selanjutnya
disebut agama politeisme. Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia memiliki
potensi bertuhan. Namun karena potensi tersebut tidak diarahkan, maka mengambil
bentuk bermacam-macam yang keadaanya serba relatif. Dalam keadaan demikian
itulah para nabi diutus kepada mereka untuk menginformasikan bahwa Tuhan yang
mereka cari itu adalah Allah yang memiliki sifat-sifat sebagaimana juga
dinyatakan dalam agama yang disampaikan para nabi. Dengan demikian, sebutan
Allah bagi Tuhan bukanlah hasil khayalan manusia dan bukan pula hasil seminar,
penelitian, dan sebagainya. Sebutan atau nama Allah bagi Tuhan adalah
disampaikan oleh Tuhan sendiri.
Ketika kita mengkaji paham hulul
dari Al-Hallaj (858-922 M). Misalnya kita jumpai pendapatnya bahwa pada diri
manusia terdapat sifat dasar ke-Tuhanan yang disebut lahut, dan sifat dasar kemanusiaan yang disebut nasut. Demikian pula pada diri Tuhan pun
terdapat sifat lahut dan nasut. Sifat lahut Tuhan mengacu pada dzat-Nya, sedangkan sifat nasut Tuhan mengacu pada sifat-Nya. Sementara
itu sifat nasut manusia mengacu
kepada unsur lahiriah dan fisik manusia, sedangkan sifat lahut manusia mengacu kepada unsur batiniah dan Ilahiah. Jika
manusia mampu meredam sifat nasutnya
maka yang tampak adalah sifat lahutnya.
Dalam keadaan demikian terjadilah pertemuan anatara nasut Tuhan dengan lahut manusia,
dan inilah yang dinamakan hulul.
2.
Kelemahan Dan Kekurangan Manusia
Faktor lain yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adala
karena di samping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki
kekurangan. Hal ini antara lain diungkapkan oleh kata an-nafs. Menurut Quraish Shihab, bahwa dalam pandangan al-qur’an, nafs diciptakan Allah dalam keadaan
sempurna yang berfungsi menampung serta
mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam
manusia inilah yang oleh al-qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian lebih
besar. Seperti yang tertera dalam al-qur’an surat Al-Syams ayat 7-8 yang
artinya: “Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya
kefasikan dan ketakwaan.”
Menurut Quraish Shihab bahwa kata mengilhamkan berarti potensi
agar manusia melalui nafs menangkap
makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan
keburukan. Tetapi kata nafs dalam
pandangan kaum sufi merupakan sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan periaku
buruk. Pengertian kaum sufi tentang nafs ini sama dengan yag terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indoneisa yang antara
lain menjelaskan bahwa nafs adalah
dorongan hati yang kuat untuk berbuat yang kurang baik. Selanjutnya, Quraish
Shihab mengatakan, walaupun al-qur’an menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif, namun doperoleh pula isyarat
bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat daripada daya tarik
negatifnya, hanya aja daya tarik keburukan lebih kuat daripada daya tarik
kebaikan. Untuk menjaga kesucian nafs ini
manusia harus selalu mendekatkan diri pada Tuhan dengan bimbingan agama, dan di
sinilah letaknya kebutuhan manusia terhadap agama.
3.
Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah
karena manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan,
baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa
dorongan hawa nafsu dan bisikan setan, sedangkan tantangan dari luar dapat berupa
rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya
ingin memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan biaya,
tenaga, dan pikiran yang
dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang di dalamnya mengandung
misi menjauhkan manusia dari Tuhan. Seperti yang tertera dalam al-qur’an surat
Al-anfal ayat 36 yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu
menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah.”
Untuk itu, upaya mengatasi dan membentengi manusia adalah dengan
mengajar mereka agar taat menjalankan agama. Godaan dan tantangan hidup
demikian itu, saat ini semakin meningkat, sehinga upaya mengagamakan masyarakat
menjadi penting.
Sumber :
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
0 comments:
Post a Comment