Sebagian anak manusia terlahir dengan
memiliki kelainan fisik. Salah satunya berkelamin ganda. Dalam istilah fikih
disebut khuntsa atau bencong dalam bahasa sehari-hari.
Terminologi bencong, menurut kajian
hukum Islam, bukanlah sosok lelaki yang berperilaku dan berpenampilan layaknya
perempuan. Atau sebaliknya, seorang wanita yang berperangai dan tampil
menyerupai pria.
Kelainan itu terkadang menimbulkan
keraguan dan pertanyaan dari segi hukum Islam. Memilih salah satu jenis kelamin
yang dimiliki, memunculkan konsekuensi hukum masing-masing.
Lantas, apa pandangan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dalam menyikapi fenomena ini? Dalam konteks kasus di atas,
bolehkah yang bersangkutan menyempurnakan atau memilih menjadi pria atau wanita
sesuai dengan kondisi dominan yang dialaminya?
Dalam Himpunan Keputusan Musyawarah
Nasional VIII MUI, terdapat fatwa sebagai respons atas kasus tersebut. Ada dua
kasus yang berbeda dalam konteks ini, yaitu mengubah dan mengganti alat kelamin
dan yang kedua ialah penyempurnaan alat kelamin.
Pada kasus yang pertama, yaitu
penggantian alat kelamin laki-laki ke perempuan atau sebaliknya dengan sengaja,
maka hukumnya haram. Hukum yang sama juga berlaku bagi jasa operasi penggantian
alat kelamin, yaitu haram. Karena itu, bila operasi tetap dilakukan maka status
jenis kelaminnya tidak berubah. Ia tetap dihukumi dengan status awal sebelum
operasi.
Ketetapan ini berbeda dengan hukum
penyempurnaan kelamin sebagaimana kasus khuntsa. Menyempurnakan alat kelamin
bagi seorang khuntsa yang fungsi alat kelamin
laki-lakinya lebih dominan atau sebaliknya melalui operasi, hukumnya boleh.
Demikian halnya dengan jasa operasi, hukumnya diperbolehkan.
Fatwa juga menggarisbawahi, hendaknya
pelaksanaan operasi penyempurnaan tersebut didasarkan atas pertimbangan medis,
bukan hanya pertimbangan psikis semata. Sedangkan, terkait penetapan keabsahan
status jenis kelamin akibat operasi ini dibolehkan sehingga memiliki implikasi
hukum.
Bagaimana dengan status jenis
kelaminnya? Fatwa ini menjelaskan kedudukan hukum jenis kelamin orang yang
telah melakukan operasi penyempurnaan itu adalah sesuai dengan jenis kelamin
setelah operasi. Sekalipun yang bersangkutan belum memperoleh penetapan
pengadilan terkait perubahan status tersebut.
Fatwa ini merujuk ke sejumlah dalil
utama dalam syariah. Di antaranya, pertama ayat ke-119 Surah An-Nisa. Ayat
tersebut menegaskan bahwa tindakan mengubah alat kelamin dengan sengaja adalah
bentuk penyesatan oleh setan. Karena itu, hukumnya dilarang.
“Dan aku benar-benar akan menyesatkan
mereka dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh
mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar
memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu
benar-benar mereka mengubahnya. Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi
pelindung selain Allah maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.”
Ayat lain juga menyebutkan bah wa
tiap manusia terlahir dengan membawa fitrah. Fitrah itu termasuk jenis kelamin
yang dimilikinya. Dengan demikian, tidak boleh mengubah fitrah tersebut.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Ar-Ruum: 30).
Sedangkan dalil yang berasal dari
hadis, salah satunya ialah hadis riwayat Abdullah bin Mas’ud. Dalam hadis itu
Rasulullah menegaskan bahwa Allah melaknat orang-orang perempuan yang membuat
tato dan yang meminta membuat tato, memendekkan rambut, serta yang berupaya
merenggangkan gigi supaya kelihatan bagus dan yang mengubah ciptaan Allah. (HR
Bukhari).
Hadis lain juga menguatkan fatwa ini.
Riwayat Abdullah bin Abbas, misalnya. Hadis itu menegaskan laknat Allah bagi
pria yang menyerupai perempuan, juga kaum perempuan yang menyerupai laki-laki.
(Bukhari, Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah).
Rekomendasi
Rekomendasi
Ada beberapa rekomendasi yang
disampaikan fatwa ini. Misalnya, rekomendasi untuk Kementerian Kesehatan agar
membuat regulasi pelarangan operasi penggantian alat kelamin. Termasuk juga
pengaturan pelaksanaan operasi penyempurnaan alat kelamin.
Rekomendasi lain juga disampaikan
kepada Mahkamah Agung (MA). MA diminta membuat surat edaran kepada hakim untuk
tidak menetapkan permohonan penggantian jenis kelamin dari hasil operasi ganti
alat kelamin yang diharamkan.
Sumber : Republika.co.id
0 comments:
Post a Comment