Konon
menurut ramalan dari Joyoboyo (raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun
1135-1157), bakal pemimpin negeri ini adalah memiliki initial nama “notonegoro”
atau “no-to-no-go-ro”, bila diartikan secara sederhana menunjukan bahwa yang
bakal menjadi presiden itu “harus” orang Jawa.
Hal ini
nampaknya tidak berlebihan bila ternyata yang jadi presiden sebagai pemenang
pemilu adalah: “soekarno”, “soeharto” dan “yudoyono”, adapun habibie, gusdur dan
megawati, adalah presiden yang dipilih akibat dari peralihan saja.
Namun
demikian hampir dari semuanya mereka adalah berasal dari orang Jawa, hal ini
tentunya tidak berlebihan karena menurut data statistik pun jumlah penduduk
Indonesia itu hampir separuhnya lebih adalah suku Jawa, sehingga peluang /
probabilitasnya sangat besar dibandingkan yg lainnya, apalagi sekarang dipilih
secara langsung oleh rakyat.
Di balik
itu semua, bila melihat kembali ke Sejarah Bangsa nampaknya hampir seluruh
Pemimpin Bangsa ini cara kepemimpinannya merujuk kepada falsafah dari Gadjah
Mada, yang terkenal dengan “Sumpah Palapa” nya (tahun 1331), dan gaya
kepemimpinannya pun nampaknya tidak lebihnya adalah merupakan ‘reinkarnasi’
dari cara kepemimpinan seorang Patih Gadjah Mada.
Bila
dilihat secara garis besar, kaidah kepemimpinan Gadjah Mada dapat
diklasifikasikan menjadi tiga dimensi, yaitu: Spiritual, Moral, dan Manajerial.
Dimensi Spiritual terdiri dari tiga prinsip, yaitu:
Dimensi Spiritual terdiri dari tiga prinsip, yaitu:
1.
Wijaya: tenang, sabar, bijaksana;
2.
Masihi Samasta Bhuwana: mencintai
alam semesta; dan
3.
Prasaja: hidup sederhana.
Dimensi Moral terdiri dari
enam prinsip, yaitu:
1.
Mantriwira: berani membela dan menegakkan
kebenaran dan keadilan;
2.
SarJawa Upasama: rendah hati;
3.
Tan Satrsna: tidak pilih kasih;
4.
Sumantri: tegas, jujur, bersih,
berwibawa;
5.
Sih Samasta Bhuwana: dicintai
segenap lapisan masyarakat dan mencintai rakyat;
6.
Nagara Gineng Pratijna:
mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, golongan, dan
keluarga.
Dimensi Manajerial terdiri
dari sembilan prinsip, yaitu:
1.
Natangguan: Mendapat dan menjaga
kepercayaan dari masyarakat;
2.
Satya Bhakti Prabhu: loyal dan
setia kepada nusa dan bangsa;
3.
Wagmiwag: pandai bicara dengan
sopan;
4.
Wicaksaneng Naya: pandai
diplomasi, strategi, dan siasat;
5.
Dhirotsaha: rajin dan tekun
bekerja dan mengabdi untuk kepentingan umum;
6.
Dibyacitta: lapang dada dan
bersedia menerima pendapat orang lain;
7.
Nayaken Musuh: menguasai musuh
dari dalam dan dari luar;
8.
Ambek Paramartha: pandai menentukan
prioritas yang penting;
9.
Waspada Purwartha: selalu waspada
dan introspeksi untuk melakukan perbaikan.
Prinsip-prinsip
tersebut dijadikan sebagai sumber dari filsafat dan way of life yang
diyakininya, dan mencerminkan spiritualitas Jawa yang bersifat holistic
spirituality, yang memberikan inspirasi pandangan hidup pada Gadjah Mada.
Kenapa Orang Tatar Sunda
Tidak Mau dibilang Jawa ?
Ketika orang Bandung bepergian keluar negara dari Indonesia, atau
bahkan pergi keluar pulau Jawa seperti ke Bali, Sumatera atau Kalimantan, orang
akan memanggil saya sebagai orang Jawa. Itu dikarenakan memiliki KTP Bandung
yang memang terletak di Pulau Jawa.
Padahal,
bagi masyarakat di pulau Jawa bagian Barat atau lebih dikenal dengan propinsi
Jawa Barat, mereka tidak bisa disebut sebagai ‘orang Jawa’ atau berasal dari
‘suku Jawa’. Penduduk di provinsi ini lebih dikenal dengan sebutan ‘orang
Sunda’ atau ‘suku Sunda’, sementara daerahnya sering terkenal dengan sebutan
‘Tatar Sunda’, PaSundan, atau ‘Bumi Parahyangan’ dengan Bandung sebagai
pusatnya.
Kultur Budaya
Suku Sunda
atau masyarakat Sunda merupakan mayoritas penduduk Jawa Barat. Dalam catatan
sejarah, pada tahun 1851 suku Sunda sudah merupakan penduduk terbesar di Jawa
Barat yang berjumlah 786.000 jiwa. Pada tahun 2008, suku Sunda diperkirakan
berjumlah lebih kurang 34 juta jiwa.
Secara
fisik sulit dibedakan antara orang Sunda dan orang Jawa yang sama-sama mendiami
Pulau Jawa. Perbedaan yang nampak sebagai penduduk Pulau Jawa, akan tampak
jelas ditinjau dari segi kebudayaannya, termasuk bahasa, jenis makanan yang disukai
dan kesenian yang dimiliki.
Berbeda
dengan ‘suku Jawa’ yang mayoritas hidup di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta dan
Jawa Timur, suku Sunda tidak menggunakan bahasa Jawa tetapi bahasa ‘Sunda’.
Bahasa
Jawa dan bahasa Sunda jelas memiliki perbedaan yang signifikan. Selain memang
mempunyai perbedaan ejaan, pengucapan dan arti, bahasa Jawa lebih dominant
dengan penggunaan vocal ‘O’ diakhir sebuah kata baik itu dalam pemberian nama
orang atau nama tempat, seperti Sukarno, Suharto, Yudhoyono, Purwokerto, Solo
dan Ponorogo. Sementara bahasa Sunda lebih dominant berakhiran huruf ‘A’
seperti Nana Sutresna, Wiranata, Iskandar Dinata, Purwakarta dan Majalaya.
Bagi
masyarakat Indonesia pada umumnya, suku Sunda dikenal sebagai masyarakat yang
senang memakan sayuran atau daun-daunan sebagai ‘lalaban’ (sayuran yang dimakan
mentah-mentah dengan sambal). Bagi orang Sunda, dedaunan dan sambal merupakan
salah satu menu utama setiap makan selain tentunya lauk pauk lain seperti ikan
dan daging.
Selain
kebudayaan dan makanan, salah satu karakteristik orang Sunda adalah terkenal
dengan karakternya yang lembut, tidak ngotot dan tidak keras. Mereka bersikap
baik terhadap kaum pendatang atau dalam bahasa Sunda ‘someaah hade ka semah’.
Karena
sifat inilah tak heran kalau penetrasi agam Islam ke daerah Sunda ketika
pertama kali Islam datang, sangat mudah diterima oleh suku ini. Sebagaimana
mayoritas penduduk Indonesia, Islam merupakan agama mayoritas orang Sunda. Yang
membedakannya, kelekatan (attachment) orang Sunda terhadap Islam dipandang
lebih kuat dibanding dengan orang Jawa pada umumnya. Meskipun tentunya tidak
sekuat orang Madura dan Bugis di Makassar.
Karena
karakternya yang lembut banyak orang berasumsi bahwa orang Sunda ‘kurang
fight’, kurang berambisi dalam menggapai jabatan. Mereka mempunyai sifat
‘mengalah’ daripada harus bersaing dalam memperebutkan suatu jabatan. Tidak
heran kalau dalam sejarah Indonesia, kurang sekali tokoh-tokoh Sunda yang
menjadi pemimpin di tingkat Nasional dibandingkan dengan Orang Jawa.
Contohnya,
tidak ada satupun presiden Indonesia yang berasal dari suku Sunda, bahkan dari
sembilan orang wakil presiden yang pernah menjabat sejak zaman Presiden pertama
Soekarno sampai sekarang Presiden Yudhoyono, hanya seorang yang berasal dari
suku Sunda yaitu Umar Wirahadikusuma yang pernah menjabat sebagai wakil presiden
di zaman Presiden Soeharto.
Bila
dilihat dari unsur sosial dan budaya seperti tersebut di atas, orang dari tatar
Sunda memang tidak sama dengan Jawa, sehingga dengan demikian walaupun tinggal
di satu pulau, tetap saja tidak bisa disamakan. Namun nampaknya faktor alam
yang “lohjinawi” itulah yang membentuk karakter dan kepribadian seperti itu,
sehingga membentuk kultur budaya dan perilaku yang membedakan dengan orang
Jawa.
Sumber :
Kaskus
Salah, presiden indonesia yang kedua adalah orang sunda, (Mr. Syafruddin, Presiden PDRI)
ReplyDeleteSalah , presiden indonesia yang ke dua soehartoo. Kalau anda mengelak rubah buku buku sejarah atau buku yang lainya yang menyatakan presiden indonesia ke 2 soehartoo
ReplyDeleteDi istana negara terpampang fhoto presiden, dari
Yang ke 1 soekarno sampai yang terakhir sekarang ini 2015. Tidak ada fhoto mr syafruddin
alangkah babaiknya, jika anda mengusulkan kepada pemerintah sekarang, agar fhoto mr syafruddin di pasang di istana negara.
Benar kata penulis urang sunda mah tidak haus / lapar jabatan. Justru di islam nabi muhammad melarang mengangkat orang yang menawarkan diri untuk menduduki suatu jabatan. Kalau tidak seperti sekarang inilah indonesia.....
Heuheu kami mah salaku urang sunda, siapa aja persidennya yang penting agama islam supaya agama kami gemah ripah. Buat kami jadi pemimpin itu berat ketika tidak adil kepada rahayatna,di dunia ini kita bisa mengélak. Tapi nanti di ahirat kami tidak bisa mengélak lagi. Heuheu tetep kami urang sunda bukan orang jawa heuheu
ReplyDelete