Makhluk
ciptaan Allah SWT di alam syahadah ini, seperti apa yang dapat kita amati,
dapat digolongkan dalam jenis-jenis: batu-batuan/mineral, tumbuh-tumbuhan,
binatang dan manusia. Allah SWT sebagai ArRabb mengatur alam syahadah dengan
hukum-hukumNya untuk mengendalikan berjenis-jenis ciptaanNya itu. Allah sebagai
ArRabb (Maha Pengatur) mengendalikan alam semesta dengan hukum-hukumNya yang
hingga kini baru dikenal oleh manusia sebagai: medan gravitasi, medan elektromagnet,
gaya kuat dan gaya lemah.
Medan
gravitasi utamanya mengontrol makrokosmos, mengendalikan bintang-bintang.
Ketiga jenis yang lain mengontrol mikrokosmos. Medan elektromagnet mengontrol
pasangan proton (bermuatan +) dengan elektron (bermuatan -). Proton-proton
dalam inti atom yang saling tolak karena bermuatan sama, "direkat"
oleh gaya kuat. Sedangkan gaya lemah menyebabkan inti atom seperti misalnya
Thorium dan Uranium tidak stabil menjadi "lapuk" terbelah dengan
mengeluarkan sinar radioaktif, sehingga Thorium dan Uranium disebut pula zat
radioaktif.
Di samping
ke-4 jenis itu hukum Allah mengendalikan pula tumbuh-tumbuhan dengan kekuatan
bertumbuh dan berkembang biak; kekuatan bertumbuh itu dapat melawan kekuatan
gravitasi yaitu bertumbuh ke atas melawan tarikan gravitasi ke bawah. Adapun
pada binatang ditambah pula lagi dengan kekuatan naluri dengan perlengkapan
pancaindera. Dengan kekuatan naluri dan perlengkapan pancaindera itu binatang
dapat bergerak ke mana saja menurut kemauannya atas dorongan nalurinya.
Allah
meniupkan ruh ke dalam diri manusia, yang tidak diberikanNya kepada makhluq
bumi yang lain. Karena manusia mempunyai ruh, ia mempunyai kekuatan ruhaniyah
yaitu akal. Dengan akal itu manusia mempunyai kesadaran akan wujud dirinya.
Dengan otak sebagai mekanisme, akal manusia dapat berpikir dan dengan qalbu
(hati nurani) sebagai mekanisme akal manusia dapat merasa. Allah menciptakan
manusia dalam keadaan, "fiy ahsani taqwiym" (95:4), sebaik-baik
kejadian.
Kemampuan
akal untuk berpikir dan merasa bertumbuh sesuai dengan pertumbuhan diri
manusia. Agar manusia dapat mempergunakan akalnya untuk berpikir dan merasa, ia
perlu mendapatkan informasi dan pengalaman hidup. Mutu hasil pemikiran dan
renungan akal tergantung pada jumlah, mutu dan jenis informasi yang
didapatkannya dan dialaminya. Ilmu eksakta, non-eksakta, ilmu filsafat adalah
hasil olah akal dengan mekanisme otak. Kesenian dan ilmu tasawuf adalah hasil
olah akal dengan qalbu sebagai mekanisme.
Hasil
pemikiran dan renungan anak tammatan SMA lebih bermutu ketimbang hasil
pemikiran anak tammatan SD, karena anak tammatan SMA lebih besar jumlah, lebih
bermutu dan lebih beragam jenis informasi yang diperolehnya dan pengalaman yang
dialaminya. Jadi kemampuan akal manusia itu relatif sifatnya, baik dalam hal
evolusi pertumbuhan mekanisme otak dan qalbunya, maupun dalam hal jumlah, mutu
dan ragam informasi yang diperolehnya dan dialaminya. Dengan demikian akan
relatif juga, baik untuk memikirkan pemecahan masalah, maupun untuk merenung
baik buruknya sesuatu.
Oleh
karena akal manusia itu terbatas, Allah Yang Maha Pengatur (ArRabb) memberikan
pula sumber informasi berupa wahyu yang diturunkan kepada para Rasul yang
kemudian disebar luaskan kepada manusia. Nabi Muhammad RasuluLlah SAW adalah
nabi dan rasul yang terakhir. Setelah beliau, Allah tidak lagi menurunkan
wahyu. Dalam shalat kita minta kepada Allah: Ihdina shShira-tha lMustqiym
(1:6), tuntunlah kami ke jalan yang lurus. Maka Allah menjawab: Alif, Lam, Mim.
Dza-lika lKita-bu la- Rayba fiyhi Hudan lilMuttaqiyn (s. alBaqarah, 1-2),
inilah kitab tak ada keraguan dalamnya penuntun bagi Muttaqiyn (s. Sapi betina,
2:1-2). Al Quran yang tak ada keraguan dalamnya memberikan informasi kepada
manusia tentang perkara-perkara yang manusia tidak sanggup mendapatkannya
sendiri dengan kekuatan akalnya: 'Allama lInsa-na Ma-lam Ya'lam (s. al'Alaq,
5), (Allah) mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.
Kebenaran
mutlak (Al Haqq) tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia dengan kekuatan
akalnya. Kebenaran mutlak tidak mungkin diperoleh dengan upaya pemikiran
mekanisme otak yang berwujud filsafat. Juga kebenaran mutlak tidak dapat
dicapai manusia dengan upaya renungan mekanisme qalbu dalam wujud tasawuf. Al
Haqq tidak dapat dicapai melalui filsafat ataupun tasawuf. Al Haqqu min
rabbikum (s. alKahf, 29), artinya Al Haqq itu dari Rabb kamu (s. Gua 18:29).
Alam ghaib juga tidak mungkin diketahui manusia dengan kekuatan akalnya.
Filsafat dan tasawuf tidak mungkin dapat menyentuh alam ghaib.
Demikianlah
tolok ukur produk pemikiran dan renungan yang berupa filsafat dan tasawuf itu
adalah: "Dza-lika lKita-bu la- Rayba fiyhi Hudan lilMuttaqiyn".
Filsafat dan tasawuf harus dibingkai oleh Al Quran dan Hadits shahih, sebab
kalau tidak demikian, maka filsafat dan tasawuf itu menjadi liar.
Sungguh-sungguh suatu keniscayaan, para penganut dan pengamal filsafat dan
tasawuf tanpa kendali itu menjadi sesat. Terjadilah fenomena yang naif, lucu,
tetapi mengibakan, yaitu antara lain filosof itu berimajinasi tentang
pantheisme, sufi itu ber"kasyaf" terbuka hijab, merasa bersatu dengan
Allah. Adapun indikator penganut dan pengamal filsafat dan tasawuf tanpa
kendali itu, adalah upaya yang sia-sia untuk mempersatukan segala agama. Inilah
yang selalu kita mohonkan kepada Allah SAW setiap shalat, agar tidak terperosok
ke dalam golongan "Dha-lluwn", kaum sesat.
Hudan
lilMuttaqiyn", demikianlah wahyu itu menuntun akal para Muttaqiyn untuk
berolah akal, yaitu berpikir/berfilsafat dan merasa/bertasawuf. Akal harus
ditempatkan di bawah wahyu dan ilmu filsafat serta ilmu tasawuf harus
ditempatkan di bawah iman, singkatnya wahyu di atas akal dan iman di atas ilmu.
WaLlahu a'lamu bishshawab.
Sumber : H.Muh.Nur
Abdurrahman
0 comments:
Post a Comment