Kenikmatan Iman dan ilmu ini tidak bisa dimanfaatkan kecuali orang yang
telah mengetahui dirinya, lalu mengetahui batasnya dan berhenti disitu, lalu
tidak melewati batas terhadap apa yang diluar kemampuannya, dan tidak berkata;
ini milikku, tetapi berkeyakinan ini adalah milik Allah, dari Allah dan dengan
Allah. Ia merasa mendapatkan kenikmatan ini bukan dari suatu sebab, dan tidak
merasa memilikinya lalu nikmat-nikmat itu membuat dirinya bertambah merendah
seolah orang yang tidak merasa dirinya memiliki kebaikan, dan sesungguhnya
kebaikannya hanya dimiliki oleh Allah, dan daripada-Nya dan dengan-Nya, lalu ia
berbiacara dengan kenikmatan tersebut dengan penuh merendah.
Apabila nikmat baru datang kepada seorang hamba, maka ia
bertambah bersyukur, lalu merendah, khusu’, cinta, takut, dan berharap. Ini
karena dilandasi dua ilmu yang mulia; ilmu tentang Rabbnya, kesempurnaan-Nya,
kebaikan-Nya, kecukupan-Nya, kelomaan-Nya, dan rahmat-Nya, dan sesungguhnya
kebaikan disisi-Nya, dan ia milik-Nya dan akan diberikan kepada orang yang
dikehendaki. Ialah yang memiliki pujaan atas ini dan inilah pujaan yang
termulia dan paling sempurna. Lantas
ilmunya tentang dirinya (ia kenal akan kedudukan dirinya) lalu berhenti pada
batasnya, dan mengerti bahwa dirinya penuh dengan kedzaliman dan kebodohan.
Ia merasa bahwa dirinya belum memiliki kebaikan sama
sekali, kebaikan yang menjadi miliknya tidak ada, atau daripadanya juga tidak. Jadi
ia merasa dirinya tidak ada, begitu juga sifat dan kesempurnaannya dianggap
tiada, tiada sesuatu yang lebih hina atau lebih memiliki kekurangan
daripadanya, jadi kebaikan yang ada
hanya tumbuh dari dirinya belaka bukan atas usahanya.
Apabila dua ilmu itu telah menjadi karakter bukan
sekedar di lidah, maka ia akan mengetahui bahwa pujaan secara keseluruhan
adalah dimiliki oleh Allah, dan sesungguhnya seluruh persoalan milik-Nya, dan
seluruh kebaikan di sisi-Nya dan ialah yang berhak terhadap pujaan bukan
dirinya dan dirinya ini layak mendapat celaan. Barangsiapa yang tidak tahkik
dalam hal ini atau dengan dua ilmu ini, maka perkataan dan perbuatan atau
keadaannya akan bermacam-macam, lalu jatuh kesuatu kesesatan dan tidak bisa
mendapat jalan perunjuk ke yang bisa mengantarkan kepada Allah.
Jadi seorang hamba bisa usul kalau telah mentahkik dua
ilmu itu dan hubungan akan terputus dengan Allah bila tidak mengerti dua ilmu
itu. Dan inilah perkataan mereka; Barangsiapa yang mengenali dirinya akan
mengenal kepada Rabbnya.
Sesungguhnya barangsiapa yang mengetahui dirinya
dengan kebodohan, penganiayaan, aib, kekurangan, kebutuhan, kehinaan,
kemiskinan, dan tiada, maka akan mengenal Rabbnya dengan sifat lawannya, lalu
ia bisa membatasi dirinya dan tidak akan melewati batas, lalu memuji kepada
Rabbnya, lalu akan timbul cinta, takut, harapan dan selalu kembali kepada-Nya,
dan bertawakal kepada-Nya. Lantas Allah akan dijakdikan sebagai Rabb yang
paling disenangi paling ditakuti, dan
diharapkan, dan inilah hakikat ubudiyah.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.Memetik Manfaat Al-Qur’an. Daar Al Yaqiin li An Nasyar wa At
Tauzii’, Mesir, Al Manshur.2000.
0 comments:
Post a Comment