Pada awalnya Dewan Wali Songo merekomendasikan hukuman kepada
Syekh Siti Jenar, dikarenakan adanya informasi bahwa Syekh Siti Jenar
mengajarkan ajaran kesesatan, lenceng dari tugas utamanya mengajarkan tauhid
(Sasyahidan), sementara ia menjadi salah satu tokoh ulama Dewan Wali Songo. Namun
setelah dilakukan berbagai penyelidikan dan investigasi, di mana Syekh Siti
Jenar juga selalu dimintai nasihat dalam investigasi tersebut, diketahui bahwa
terdapat tokoh lain yang mengaku dirinya sebagai Syekh Siti Jenar, dan kemudian
mengajarkan berbagai praktik ritual dan keyakinan mistik, yang sebenarnya
tidaklah diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Namun sang tokoh mengatakan bahwa
dirinya adalah Syekh Siti Jenar.
Maka setelah diketahui hal tersebut, vonis hukuman mati
dijatuhkan bukan kepada Syekh Siti Jenar, akan tetapi ditujukan kepada dua
orang tokoh yang mengaku dirinya sebagai Syekh Siti Jenar. Tokoh yang satu,
yakni San Ali Anshar yang mengaku sebagai Syekh Siti Jenar dihukum mati di
wilayah kekuasaan Demak. Sementara tokoh yang lain, yaitu Haasan Ali yang
mengaku sebagai Syekh Lemah Abang dihukum mati di Cirebon.
Hasan Ali adalah sosok yang berbadan pendek dan berkulit cokelat
kehitaman. Kepalanya lonjong dan menyukai memakai destar putih di kepalanya
yang selalu terlihat mendongak, sebagai tanda keangkuhan seorang berdarah “Biru”.
Alis matanya tebal, dengan bola mata yang selalu bergerak-gerak tidak pernah
tenang. Hidungnya kecil dan kurang begitu mancung, dengan kumis yang kaku.
Dagunya ditumbuhi beberapa janggut yang menjuntai. Ia sangat menyukai mistik,
dongeng dan kesaktian, utamanya ilmu sihir. Hasan Ali semula bernama Raden
Anggaraksa, putra Rsi Bungsu, yang semula memegang jabatan sebagai kuwu di
Cirebon. Ia adalah cucu dari Prabu Surawisesa, Yang Dipertuan Galuh Pakuan. Rsi
Bungsu sendiri sejak awal memang sudah memusuhi Syekh Siti Jenar, karena
menghkhawatirkan posisi dirinya yang kalah kedudukan dengan Syekh Siti Jenar.
Raden Anggaraksa menyatakan diri masuk Islam, namun ayahnya, Rsi
Bungsi tidak menyetujuinya, bahkan mengancam akan dibunuh. Karena pertentangan
dengan orang tuanya itulah maka Raden Anggaraksa melarikan diri ke Giri Amparan
Jati dan masuk Islam di tempat tersebut, dan namanya diganti dengan Hasan Ali
oleh Syekh Datuk Kahfi. Namun tidak berapa lama, Rsi Bungsi menculik anaknya
sendiri melalui orang-orang suruhan, dibawa kembali ke Pajajaran. Akhirnya
Hasan Ali berpetualang mencari pengetahuan kebatinan ke berbagai guru, yang
tidak semuanya memiliki ikatan tauhid Islam yang kuat, termasuk mendalami ilmu
sihir.
Ia sempat berguru ke pesantren Giri, namun ditolak karena
kegemarannya pada ilmu sihir dan ilmu terawangan (Saksono, 1995: 62-63). Di
pesantren Giri ia memakai nama Bango Samparan. Maka yang pernah datang
mempertunjukkan ilmu sihir bukanlah Syekh Siti Jenar, namun Hasan Ali, yang
kemudian memalsukan jati dirinya sebagai Syekh Siti Jenar, Syekh Siti Jenar
memang pernah berapa kali datang ke pesantren Giri, dan oleh Sunan Gunung Jati
diterima secara baik, baik sebagai santri atau sebagai teman sejawat sesama
anggota Wali Songo. Adapun guru yang paling berpengaruh atas Hasan Ali adalah
San Ali Anshar dari Persia, yang datang ke Jawa untuk membalas dendam
kesumatnya kepada Syekh Siti Jenar, yang dianggapnya sudah merampas
kesempatannya menjadi guru suci untuk menggantikan gurunya di Baghdad, Syekh
‘Abdul Malik.
Mungkin karena memang namanya hampir mirip dengan nama asli
Syekh Siti Jenar (Hasan Ali dengan San Ali), dan karena sama-sama berasal dari
Giri Amparan Jati di Cirebon, sehingga banyak kalangan masyarakat yang
terkelabui. Kepopulerannya mudah menyebar karena ajarannya tentang kerohanian
bagi orang banyak sangat mudah, dengan mengandalkan berbagai teknik pernafasan
yang diiringi dengan berbagai doa yang berfungsi sebagai mantra, sehingga tidak
perlu untuk dipahami.
Doa-doa yang diajarkan Hasan Ali pada umumnya berkaitan dengan
ilmu Kanuragan, ilmu pengobatan, dan
ilmu sihir yang bercampur aduk dengan ajaran kebatinan. Para murid yang belum memiliki
dasar-dasar keislaman, menjadi tidak bisa membedakan mana ilmu pengetahuan
rohani yang menuju jalan “Kebenaran” dan mana pengetahuan perdukunan yang
menuju pada pemenuhan pamrih pribadi yang diselimuti oleh gerakan nafsu dalam
jiwa. Begitu hasrat terpenuhi, mereka merasa bahwa itu merupakan bentuk ridha
Allah dan perkenannya, dan mereka semakin merasa sebagai orang yang
berkedudukan sebagai kekasih Allah.
Hasan Ali mengacaukan ajaran Syekh Siti Jenar dengan cara
membangun berbagai pedukuhan Lemah Abang, dengan mengambil lokasi yang sudah
dibangu oleh Syekh Siti Jenar sebelumnya. Hasan Ali menyatakan dirinya sebagai
guru suci dan Wali suci bergelar Syekh Lemah Abang, dan menyatakan ajarannya
sebagai ajaran “Jalan Kebenaran”. Dengan ajaran yang menurut banyak orang
gampang dan instan, maka pada waktu yang singkat, berhasil mendapatkan pengikut
yang melimpah. Para penduduk awam dari kalangan petani, tukang, pengrajin, pedagang
kecil, penambang kecil, penyadap enau, dan para kuli geladag serta buruh berduyun-duyun
menyatakan berbaiat menjadi murid Hasan Ali.
Terdapat beberapa perbedaan mendasar antara ajaran Hasan Ali
dengan ajaran Syekh Siti Jenar, dalam hal meniti jalan rohani menuju Kebenaran
Sejati (al-Haqq). Pertama-tama, dalam memaknai “Aku” dan “Aku” di dalam konteks
Kebenaran Sejati. Syekh Siti Jenar mengajarkan bahwa untuk mencapai “Aku”, yang
wajib dinafikan dari keberadaan seorang adalah “Aku”. Selama “Aku” masih
mengaku ada, maka “Aku” tidak akan mengakuinya. Sehingga selamanya “Aku”
terhijab dari “Aku”, maka yang wajib teguhkan adalah “Aku” sebagai keberadaan
seseorang.
Syekh Datuk Abdul Jalil mengajarkan bahwa lamunan kosong (al-umniyyah) yang membentuk angan-angan
kosong (al-wahm) harus dihindari oleh
para Salik karena akan membawa kepada
kesesatan al-mumtani’ yang terbit
dari al-ghayr. Hasan Ali sebaliknya, dia
justru mengajarkan tentang betapa pentingnya al-umniyyah dan al-wahm
sebagai piranti untuk mencapai Kebenaran Sejati. Menurutnya, tanpa menguatkan
angan-angan khayalan menjadi Allah maka manusida tidak akan bisa menyatu dan
menjadi Allah. Oleh karenanya, menurut Hasan Ali, manusia yang ingin menyatu
dengan Allah harus menguatkan daya khayalnya bahwa dirinya adalah Allah
sendiri. Aku manusia tidak lain adalah Aku Allah. Demikian menurut Hasan Ali
dalam meyakinkan murid-muridnya.
Salah satu cara Hasan Ali untuk membuktikan kebenaran ajarannya,
ia memberikan amalan-amalan doa yang salah satunya disebut Sindung Kraton yang
sangat populer, yaitu doa aneh yang ucapannya:
Eh..
eh., eh. Ya aku sindung liwang liwung, ya aku wis ana kene, ya aku Ratu Agung,
Ratu Sugih, Ratu Wasesa, Ratu Kuasa, Ratu Binatara, Ratu Sampuma. Jumeneng neng
Pulo Kencana, angratoni sekehe rasa kabeh. Rohku iki rohe manungsa, rohe geni, rohe
banyu, rohe angin, rohe bumi, rohe kewan, rohe watu, rohe kayu, rohe wesi, rohe
nabi, rohe Wali, rohe mukmin, rohe malaikat, rohe jin, rohe setan, rohe
banaspati, rohe ilo-ilo, rohe demit, rohe jin priprayangan, rohe gendruwo, rohe
sak buwana kabeh. Teko kerut teka manut, idepa kang dumadi kabeh, ojo ana kang
keri. Pakumpulane Nabi Wali Mukmin ya ing dadane manungsa, Lajalaluhu la ilaha
illallah, La jamaluhu la ilaha illallah, La Kamaluhu la ilaha illallah, La
Qaharuhu la ilaha illallah. Ya kau Ratu Agung, kang ngratoni sakjerone pager
bata wasesa, lawangku Ratu Sugih, neb-nebku Watu Agung, lawang bet bisa meneb
mengo dewe, leh.. leh.. leh.
Jika dipaparkan maknanya kira-kira begini: Eh... eh... eh.
Akulah Sindung liwang-liwung / Aku sudah Ada di sini / Aku Ratu Agung / Aku
Kayaraya / Ratu Yang Berkuasa / Ratu Yang Didewakan / Ratu Sempurna Yang
tinggal di Pulau Kencana / Yang Merajai seluruh rasa // Ruh-Ku adalah ruh
manusia / ruh api / ruh air / ruh angin / ruh bumi / ruh batu / ruh kayu / ruh
besi / ruh Nabi / ruh Wali / ruh orang beriman / ruh malaikat / ruh jin / ruh
setan / ruh banaspati / ruh ilu-ilu / ruh demit / ruh perayangan / ruh gandarwa
/ ruh makhluk sejagat // datag hanut datang terseret kepada seluruh ciptaan /
jangan ada yang tertinggal / perkumpulan Nabi Wali orang beriman / berkumpul pada
Aku / Akulah Ratu Maulana Agung yang merajai dada manusia / ... / Akulah Ratu
Agung yang merajai di dalam pagar batu kuasa / pintu-Ku Ratu Kekayaan /
tutup-Ku Batu Agung / pintu rumah yang bisa menutup dan membuka sendiri/ leh
... leh ... leh/
Jika diperhatikan secara seksama, doa Sindung Keraton tersebut
secara jelas memuat gagasan-gagasan ajaran majusi (Magi Zoroaster) yang terkait
dengan pemujaan atas Dewa Ormuzd. Hasan Ali meyakinkan murid-muridnya bahwa dia
Sindung Kraton selain dapat mengukuhkan keyakinan diri bahwa manusia sejatinya
adalah jelmaan Tuhan, juga dapat membuka pintu kekuasaan dan harta benda.
Bahkan, kepada murid-murid yang dianggap sudah mendekati makrifat diajarkan
doa-doa tambahan yang disebut Sindu Serapah, yang juga memuat gagasan doa
bernuansa Majusi.
Eh
eh eh. Ya aku sindung Liwang Liwung, Ya aku wis ana kene, segara rame alas
suwung, ehak ehek, sing aku dewek.
Maknanya: Eh eh eh. Aku Sindung Liwang Liwung / Aku sudah Ada di
sini / lautan ramai / hutan kosong / ehek.. ehek.. yang ada aku sendiri //.
Dengan adanya anasir Zoroastrian dalam ajaran Hasan Ali
tersebut, maka secara sepintas tampak sekali bahwa Hasan Ali memiliki kaitan
erat dengan San Ali Anshar al-Isfahani, yang ternyata bahwa Hasan Ali adalah
murid dari San Ali Anshar.
Sementara itu di Jawa bagian Tengah dan Timur, juga muncul tokoh
yang menyatakan diri sebagai Syekh Siti Jenar, dan memiliki nama asli San Ali
Anshar al-Isfahani. Sebagainaba Hasan Ali, San Ali Anshar mendirikan pedukuhan
Syekh Siti Jenar, Kajenar, dan Kamuning tidak jauh dari dukuh-dukuh yang pernah
didirikan oleh Syekh Datuk Abdul Jalil. Di dukuh-dukuh itulah dia mengajarkan
tarekat ganjil yang bercampur-aduk dengan ilmu ketabiban, ilmu sihir, ilmu kanuragan, dan terutama ilmu gendam
(ilmu yang dipergunakan dalam memperngaruhi dan menaklukan akal kesadaran orang
lain) yang salah satunya dikenal sebagai ilmu gendam Smaradahana.
San Ali Anshar al-Tabrizi al-Isfahani, demikian nama lengkapnya,
awalnya adalah perantau di Baghdad asal Isfahan (Persia/Iran). Ia adalah orang
yang cerdas, dan memiliki pengetahuan luas, utamanya dalam hal filsafat dan
kebatinan. Ia adalah tipe orang yang haus pengetahuan, sehingga bacaan menjadi
kebutuhan utama baginya. Selain itu, ia sangat fasih dalam berbicara, sehingga
mudah membuat orang lain takjub dan mengikuti apa yang dikatakannya. Namun
dalam banyak hal, Syekh Siti Jenar sejak perkenalan pertamanya sudah tidak
cocok dengan jalan pikiran dan ambisinya akan ilmu pengetahuan.
Tidak jauh berbeda dengan ajaran Hasan Ali, hampir semua ajaran
yang disampaikan San Ali Anshar sangat bertolak belakang dengan ajaran Syekh
Datuk Abdul Jalil. Kalau Syekh Datuk Abdul Jalil mengajarkan “Sasyahidan”
kepada para murid yang menduduki maqam ahli
Kasyaf dan “penemu” (ahl al-kasyf wa al-wujud) agar di dalam
pendakian rohani mampu mencapai maqam Kesatuan
Penyaksian (wahdat asy-syubud), maka
San Ali Anshar justru mengajarkan kepada murid-muridnya yang paling baru
sekalipun tentang Kesatuan Wujud (wahdal
al-wujud).
Dia sangat terbuka membakar Kesatuan Wujud. Dalam konteks serat
dan babad Jawa, perilaku ini yang sering disebut sebagai “miyak warana”, yang
menyebabkan Syekh Siti Jenar dibenci para Wali. Tentu penuturan Serat dan Babad
tersebut perlu dikaji ulang karena yang diberitakan bukan Syekh Siti Jenar,
tetapi San Ali Anshar.
Selama membeberkan rahasia Kesatuan Wujud itu, jelas sekali dia
hanya ingin memamerkan kehebatan nalar dan pemahaman filosofinya. Sebab, secara
Kasyaf dan mata batin, San Ali Anshar
hanya mengajarkan ilmu secara ilmiah, dalam arti berdasar dari apa yang sekedar
dibaca, bukan berdasar apa yang dialaminya secara rohani. Pengalaman rohaninya
sangat rendah dan dangkal, karena selalu diliputi pamrih duniawi. Untuk
mendukung ajarannya agar meyakinkan, San Ali Anshar menunjukkan aneka keajaiban
dan keganjilan-keganjilan perbuatan ajaib yang dipertontonkan kepada khalayak, dengan
kemampuan sihirnya.
Ajaran kerohanian dan tasawufnya tidak jelas. Ia mengajarkan
bahwa manusia adalah jelmaan Tuhan sehingga saat diciptakan, para malaikat
disuruh bersujud. Ia mengajarkan juga bahwa di dalam diri para rasul terdapat
sifat Ilahiyyah yang merintis dari satu rasul ke rasul yang lain. San Ali
Anshar mengaku keturunan Nabi Muhammad saw, sehingga ia menyatakan dirinya telah
mewarisi sifat Ilahiyyah Nabi Muhammad saw.
Tetapi yang aneh, bersamaan dengan itu, ia mengajarkan pula
keyakinan tentang Avatar, yaitu
titisan Wisnu. Ia mengaku sebagai titisan Wisnu Wakil Tripurusa
(Brahma-Wisny-Syiwa) di dunia. Karena saat itu di Jawa banyak penganut
Waishnawa (kepercayaan yang menggabungkan kekuatan Wisnu, Brahma dan Syiwa). San
Ali Anshar berkali-kali mempertunjukkan kehebatan ilmu sihirnya, sehingga ia
diyakini oleh penganutnya sebagai titisan Wisnu. Sebab itu, dukuh Kajenar yang
dijadikannya tempat membabar ilmu batiniah itu dinamai dengan Wrendawana, yaitu
kediaman Wisnu bersama para pengikutnya. Ada yang menyebutnya sebagai alas
Krenda-sawa. Beberapa riwayat Serat dan Babad Jawa juga menyebutkan bahwa Syekh
Siti Jenar berasal dari Krendasawa, dan dihukum mati oleh Majelis Wali songo di
Demak adalah kekeliruan yang disebabkan oleh tokoh San Ali Anshar ini yang
mengaku sebagai Syekh Siti Jenar.
San Ali Anshar juga mengajarkan zikir berjamaah. Padahal Syekh
Siti Jenar tidak pernah mengajarkan awrad
seperti itu, karena hal tersebut berada dalam ranah fikih yang bukan
menjadi wilayah tugas dakwahnya. Zikir berjamaah yang diajarkan San Ali Anshar
dilakukan bersama-sama antara laki-laki dan perempuan. Semua berteriak-teriak
seperti orang kesurupan dan banyak yang pingsan. Zikir berjamaah tersebut
dilaksanakan di makam orang-orang yang dianggap suci seperti ritual yang
dilakukan oleh jamaah paham Syi’ah Rafidhah.
Dalam berbagai serat dan babad Jawa disebutkan bahwa salah satu
murid Syekh Siti Jenar, yakni Ki Ageng Lontang, setelah melaksanakan shalat
jum’at di masjid, begitu keluar dari masjid kemudian melakukan hubungan suami
sitri dengan istrinya di halaman masjid. Hal ini perlu diklarifikasi, bahwa ini
bukan ajaran asli Syekh Siti Jenar, namun termasuk dalam ajaran San Ali Anshar.
Demikian juga, sampai zaman sekarang, di beberapa tempat masih terdapat
kebiasaan ritual kungkum bersama
lelaki dan perempuan, yang mereka sebut sebagai penerus ajaran Syekh Siti
Jenar. Harus dinyatakan disini bahwa hal tersebut adalah warisan dari ajaran
San Ali Anshar.
Oleh karena berbagai ajaran Hasan Ali dan San Ali Anshar begitu
menyimpang dari ajaran Syekh Siti Jenar, maka oleh para Wali Songo ajaran jalan
rohani tersebut disebut dengan nama ejekan: Suluk Malang Sungsang, ajaran
perjalanan ruhani (tarekat) yang mengakibatkan sang Salik makin terhijab dan terjungkir kiblatnya dari Kebenaran Sejati
yang dituju. Ia justru semakin jauh dari tujuan yang sesungguhnya.
Melihat berbagai penyimpangan ajaran Syekh Siti Jenar oleh
berbagai kalangan yang memang sebenarnya memusuhi Syekh Siti Jenar itu, maka
tokoh-tokoh seperti Sunan Kalijaga, Raden Qasim, Sunan Drajat, dan Sunan Gunung
Jati bahu membahu menyadarkan para pengikut Syekh Siti Jenar tentang banyaknya
ajaran palsu yang tersebar di masyarakat. Perbaikan ditujukan ke dalam untuk
menghindari fitnah yang lebih besar. Sehingga perhatian ulama bukanlah
mengarahkan bagaimana upaya memberantas Hasan Ali, San Ali Anshar, dan gerakan
para dukun yang menaruh dendam kepada Syekh Siti Jenar. Justru para Wali
mengadakan aktivitas dakwah keliling memberikan pencerahan dan penyadaran
kepada umat tentang esensi ajaran kebenaran Syekh Siti Jenar, sambil diarahkan
agar belajar makrifat kepada mereka yang benar-benar dikenal memiliki sanad silsilah
kepada Syekh Siti Jenar dan para Wali. Hal ini juga bertujuan agar menjadi
jelas, tentang siapa mengajar siapa, dan apa yang diajarkan.
Setelah para Wali merasa bahwa sebagian besar masyarakat sudah
mengetahui titik kebenaran, serta mengetahui bahwa mereka menjadi korban ajaran
yang palsu, barulah para ulama dan Wali, melakukan gerakan yang diarahkan
kepada penyebar ajaran sesat tersebut, yakni Hasan Ali dan San Ali Anshar.
Jika semula tuduhan dari pihak Kesultanan Demak tentang ajaran
sesatnya berasal dari Syekh Siti Jenar sendiri, maka kemudian berabgai vonis
tuduhan, termasuk vonis ancaman hukuman pancung kepada Syekh Siti Jenar
dibatalkan. Namun hukuman serupa kemudian diarahkan kepada dua orang yang
mengaku diri sebagai Syekh Siti Jenar, yakni Hasan Ali yang mengaku sebagai
Syekh Lemah Abang, dan San Ali Anshar yang mengaku sebagai Syekh Siti Jenar.
Hasan Ali dijatuhi hukuman di wilayah Cirebon, yakni di Ndalem
Kanggaraksan, di rumah Hasan Ali sendiri. Pelaksana hukuman adalah Sunan Gunung
Jati dengan keris Kantanaga (dalam Carita Purwaka Caruban Nagari bagian ke-30
dan dalam Babad Tanah Sunda bagian ke-44, disebutkan bahwa yang melakukan
hukuman adalah Sunan Kudus dengan keris Kantanaga miliki Sunan Gunung Jati). Jadi
hukuman tidak dilaksanakan di Masjid Ciptarasa sebagaimana selama ini
diketahui. Sementara San Ali Anshar dihukum di wilayah Demak, yakni di lapangan
Pemantingan (Mantingan), bukan di masjdi Agung Demak, atau di alun-alun depan
masjid. Yang melaksanakan hukuman tersebut adalah Sunan Kalijaga.
Berita bahwa hukuman mati dilaksanakan di masjid, sengaja
disebarluaskan oleh orang-orang yang waktu itu masih sangat antipati terhadap
Islam. Kemudian disebarluaskan oleh para intelektual Belanda, yang kurang
simpatik terhadap Islam. Karena, menurut Sunan Kalijaga, masjid adalah tempat
manusia beribadah kepada Allah, tempat bersujud, sehingga sangatlah salah jika
masjid digunakan untuk mengadili dan membunuh manusia. Lebih bodoh lagi jika
sampai terjadi bangkai anjing dikubur di mihrab masjid.
Berita-berita negatif tersebut pada awalnya sengaja
disebarluaskan oleh para pengikut Hasan Ali dan San Ali Anshar untuk memuliakan
guru mereka, disamping untuk mendeskreditkan ulama Wali Songo. Sehingga
disebutkan bahwa anjing penjelmaan Hasan Ali atau San Ali Anshar disemayamkan
di mihrab Masjid Demak atau Masjid Ciptarasa.
Terkait dengan cerita tentang bangkai anjing dan Syekh Siti
Jenar, juga terkait juga dengan konteks politik saat itu. Cerita tentang
bangkai anjing adalah rekayasa alim ulama jahat yang mengabdi kepada Sultan
Trenggono. Mereka mengabsahkan titah pelarangan ajaran Syekh Siti Jenar oleh
Sultan Demak melalui cerita-cerita yang membodohkan umat. Untuk mengabsahkan
pelarangan itu, mereka menebar cerita bohong bahwa yang membunuh Syekh Lemah
Abang adalah Majelis Wali Songo. Yang harus dikemukakan bahwa Majelis Wali
Songo hanya memberikan fatwa tentang vonis hukuman. Namun pelaksanaan hukuman
diserahkan kepada individu Wali yang memiliki keterkaitan paling dekat dengan
permasalahan yang ada. Sebagaimana sudah dikemukakan bahwa yang menghukum San
Ali Anshar adalah Sunan Kalijaga sendirian, dan yang menghukum Hasan Ali adalah
Sunan Gunung Jati sendiri.
Tegasnya, Majelis Wali Songo tidak pernah bersidang di Masjid
Agung Demak untuk mengadili Hasan Ali maupun San Ali Anshar. Itu semua kabar
bohong yang dibuat alim ualma pengabdi Sultan Trenggono. Akan tetapi semua itu ada
hikmah terbesarnya, yakni agar posisi Syekh Siti Jenar--juga yang dikenal
sebagai Syekh Lemah Abang, Syekh Sitibrit, Syekh Jabarantas, Susuhunan Binang, Pangeran
Kajenar, Syekh Nurjati, Pangeran Panjunan dan Sunan Sasmita (Babad Cirebon; S.Z. Hadisutjipto, pada
pupuh ke-16 dan ke-31)--sebagai “sang awang”, benar-benar telah jatuh sebagai
tanah yang diinjak-injak, dan direndahkan manusia sesuai kehendak dan keinginan
Syekh Siti Jenar sendiri. Terkait dengan hal yang dialami oleh Syekh Siti Jenar
ini, sebenarnya bukanlah persoalan yang aneh dalam tasawuf. Karena Syekh Siti
Jenar hanya sekedar melaksasanakan salah satu nasihat sufi, yang pernak
dikemukakan oleh Syekh Ibn ‘Athaillah al-Sakandari dalam kitab Al-Hikmah: “Tanamlah wujud dirimu di kedalaman bumi
paling dalam. Karena benih mana pun yang tidak ditanam berselimut bumi, pertumbuhannya
pasti tidak akan sempurna”.
Dengan segala kerendahan, caci maki, fitnah dan berbagai tuduhan
serta perendahan yang selalu diterima Syekh Siti Jenar, hal ini justru semakin
menumbuhsuburkan kebaikannya di sisi Allah swt.
Hukuman yang dijatuhkan kepada Hasan Ali dan San Ali Anshar,
sebenarnya bukanlah murni karena ajarannya yang dianggap menyimpang atau
menyeleweng. Karena tidak ada hak manusia satu menghakimi manusia lain dalam
masalah amaliah agama. Sedangkal apapun orang menafsirkan ajaran agama, tidaklah
ada hak bagi orang lain untuk menyatakan ini sesat itu bid’ah dan kemudian
membunuhnya. Satu-satunya kesalahan berat yang dilakukan San Ali Anshar adalah ia
secara sengaja telah menggunakan nama orang lain, yaitu Syekh Siti Jenar dengan
tujuan membuat fitnah dan kerusakan. Dengan sengaja pula ia mengajarkan ilmu
sihir, zikir berjamaah laki-laki dan perempuan, mengaku Tuhan titisan Wisnu,
menghujat sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw sebagai kafir, dan menjadikan
perempuan sebagai barang yang bsia dimiliki bersama.
San Ali Anshar telah merusak tatanan hidup dan moral manusia
berdalih agama. Semua tiu dia nisbahkan kepada nama Syekh Siti Jenar. Selain
alasan-alasan hukuman tersebut, Sunan Kalijaga juga memiliki alasan lain, yakni
dalam rangka menuntut hukum qishash (hukum
balas bunuh) utang darah yang dilakukan San Ali Anshar terhadap keluarga kakek
dari istri Sunan Kalijaga, khususnya Syekh Abdul Qahhar al-Baghdady, paman
istri Sunan Kalijaga yang dibunuh oleh orang-orang suruhan San Ali Anshar.
Abdul Qahhar adalah adik Abdul Qadir putra Syekh Abdul Malik di
Baghdad, yang menjadi salah satu guru dari Syekh Siti Jenar, sekaligus guru San
Ali Anshar. Namun karena kekecewaan tempat istimewa sebagai murid terdekat
beralih kepada Syekh Siti Jenar, San Ali Anshar melancarkan penghianatan yang
membuat keluarga Syekh Abdul Malik dimusuhi dan diburu oleh penguasa, karena
tuduhan mengikuti madzhab Syi’ah yang sesat. Akibatnya Abdul Qahhar meninggal
oleh “kaki tangan” San Ali Anshar. Akibat fitnah San Ali Anshar pula, maka
Syekh Siti Jenar mendapatkan “stempel” penganut madzhab Syi’ah Rafidhah.
Padahal sewaktu di Baghdad justru San Ali Ansharlah yang memperkenalkan Syekh
Siti Jenar kepada beberapa orang ulama Syi’ah Muntadzar, walaupun Syekh Siti
Jenar tidak penganut paham tersebut.
Beberapa penulis di Indonesia juga menyatakan bahwa Syekh Siti
Jenar adalah seorang ulama penganut madzhab Syi’ah yang ditantang oleh para
Wali yang bermadzhab Sunni (Rahimsah, t.t., 121-124; Simon, 2004: 368-371). Hal
ini perlu dikoreksi, karena persentuhan Syekh Siti Jenar dengan para ulama
Syi’ah hanyalah dalam konteks silaturahmi dan mudzakarah. Walaupun analisis ilmiah dan pemikirannya sangat filosofis,
namun dalam bidang fikih ia bermadzhab Ghazali. Paham Ahlussunnah Waljama’ah
Syekh Siti Jenar ditunjukkan dalam pernyataan Babad Tanah Jawa Poerwaredja yang dikutip Rinkes (1910: VI/115),
bahwa Syekh Siti Jenar termasuk Wali Songo yang berlandaskan pada Ijma, Qiyas,
Dalil, dan Hadits.
Perbedaan pendapat antara Syekh Siti Jenar dengan para ulama
Wali Songo adalah dalam konteks perbedaan apresiasi politik, aplikasi fikih, dan
filosofi ketuhanan, bukan dikotomi Sunni-Syi’ah. Sehingga membawa perbedaan
pandangan tersebut dengan menariknya pada dimensi dikotomi Sunni-Syi’ah menjadi
tidak tepat, apalagi petunjuk ke arah sana tidak mendapatkan landasan referensi
yang jelas. Umumnya hal ini terjadi karena bercampur aduknya kisah San Ali
Syekh Siti Jenar, Hasan Ali dan San Ali Anshar. Tiga orang tokoh yang berbeda
pemahaman keagamaan, namun dalam penulisan sejarah dan kisah para Wali di
Indonesia dianggap sebagai satu tokoh. Hal ini memunculkan banyak
kesalahpahaman dalam penulisan sejarah dan kisah tentang para Wali Songo, utamanya
Syekh Siti Jenar. Lebih parah lagi, sebagian penulis memberikan tuduhan bahwa
maraknya penulisan Syekh Siti Jenar terkait dengan gerakan politik PKI dan
zending Kristenisasi (misalnya Hasanu Simon, 2004: 381-383, 428-429). Tentu
tuduhan ini menjadi suatu tindakan fitnah keji atas sejarah, dan sangat jauh
dari kenyataan yang ada.
Sedangkan Hasan Ali, tak jauh kesalahannya dengan gurunya. Dia
telah menggunakan nama Syekh Lemah Abang dengan membuat fitnah dan kerusakan. Dia
dibunuh di Cirebon karena secara terang-terangan membangun dukuh Lemah Abang di
selaran dukuh Lemah Abang yang didirikan Syekh Datuk Abdul Jalil. Dia
mengajarkan ajaran sesat seperti gurunya.
Dia tidak sadar bahwa para sesepuh Cirebon sangat kenal siapa
Syekh Datuk Abdul Jalil atau Syekh Siti Jenar dan siapa Hasan Ali putera Rsi
Bungsu. Kesalahannya yang tersebar, dia memerintahkan pengikut-pengikutnya
untuk membunuh Pangeran Bratakelana, putera Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati. Dia sangat membenci Syarif Hidayatullah yang dianggapnya merampas
haknya sebagai pelanjut Pesantren Giri Amparan Jati yang didirikan oleh Syekh
Datuk Kahfi, suami dari bibinya. Dia menganggap dirinya lebih berhak menjadi
guru suci di Giri Amparan Jati dibanding Syarif Hidayatullah.
Dia tidak pernah tahu jika yang mengangkat Syarif Hidayatullah
sebagai pelanjut Syekh Datuk Kahfi adalah Syekh Datuk Abdul Jalil, yaitu santri
terkasih dan saudara sepupu yang diamanti Syekh Datuk Kahfi mengemban pesantren
tersebut. Bahkan Syekh Datuk Bayanullah, adik kandung Syekh Datuk Kahfi tidak
sedikitpun mempersoalkan masalah tersebut.
Jadi dapat dipahami, bahwa banyak motif yang menyebabkan kedua
tokoh jahat tersebut kemudian dijatuhi hukuman mati yang dilaksanakan oleh
Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati, bukan semata-mata karena ajarannya yang
sesat. Tentu alasan yang paling mendasar adalah upaya makar (bughat, pemberontakan) terhadap para
ulama dan Sultan sebagai penguasa sah di Kesultanan Demak dan Cirebon.
Sumber :
K.H. Muhammad Sholikhin. Ternyata
Syekh Siti Jenar Tidak Dieksekusi Wali Songo. Erlangga. Boyolali: 2008.
0 comments:
Post a Comment