Monday 21 May 2012

Dua Tokoh Yang Mengaku Sebagai Syekh Siti Jenar



 Pada awalnya Dewan Wali Songo merekomendasikan hukuman kepada Syekh Siti Jenar, dikarenakan adanya informasi bahwa Syekh Siti Jenar mengajarkan ajaran kesesatan, lenceng dari tugas utamanya mengajarkan tauhid (Sasyahidan), sementara ia menjadi salah satu tokoh ulama Dewan Wali Songo. Namun setelah dilakukan berbagai penyelidikan dan investigasi, di mana Syekh Siti Jenar juga selalu dimintai nasihat dalam investigasi tersebut, diketahui bahwa terdapat tokoh lain yang mengaku dirinya sebagai Syekh Siti Jenar, dan kemudian mengajarkan berbagai praktik ritual dan keyakinan mistik, yang sebenarnya tidaklah diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Namun sang tokoh mengatakan bahwa dirinya adalah Syekh Siti Jenar. 

Maka setelah diketahui hal tersebut, vonis hukuman mati dijatuhkan bukan kepada Syekh Siti Jenar, akan tetapi ditujukan kepada dua orang tokoh yang mengaku dirinya sebagai Syekh Siti Jenar. Tokoh yang satu, yakni San Ali Anshar yang mengaku sebagai Syekh Siti Jenar dihukum mati di wilayah kekuasaan Demak. Sementara tokoh yang lain, yaitu Haasan Ali yang mengaku sebagai Syekh Lemah Abang dihukum mati di Cirebon. 

Hasan Ali adalah sosok yang berbadan pendek dan berkulit cokelat kehitaman. Kepalanya lonjong dan menyukai memakai destar putih di kepalanya yang selalu terlihat mendongak, sebagai tanda keangkuhan seorang berdarah “Biru”. Alis matanya tebal, dengan bola mata yang selalu bergerak-gerak tidak pernah tenang. Hidungnya kecil dan kurang begitu mancung, dengan kumis yang kaku. Dagunya ditumbuhi beberapa janggut yang menjuntai. Ia sangat menyukai mistik, dongeng dan kesaktian, utamanya ilmu sihir. Hasan Ali semula bernama Raden Anggaraksa, putra Rsi Bungsu, yang semula memegang jabatan sebagai kuwu di Cirebon. Ia adalah cucu dari Prabu Surawisesa, Yang Dipertuan Galuh Pakuan. Rsi Bungsu sendiri sejak awal memang sudah memusuhi Syekh Siti Jenar, karena menghkhawatirkan posisi dirinya yang kalah kedudukan dengan Syekh Siti Jenar. 

Raden Anggaraksa menyatakan diri masuk Islam, namun ayahnya, Rsi Bungsi tidak menyetujuinya, bahkan mengancam akan dibunuh. Karena pertentangan dengan orang tuanya itulah maka Raden Anggaraksa melarikan diri ke Giri Amparan Jati dan masuk Islam di tempat tersebut, dan namanya diganti dengan Hasan Ali oleh Syekh Datuk Kahfi. Namun tidak berapa lama, Rsi Bungsi menculik anaknya sendiri melalui orang-orang suruhan, dibawa kembali ke Pajajaran. Akhirnya Hasan Ali berpetualang mencari pengetahuan kebatinan ke berbagai guru, yang tidak semuanya memiliki ikatan tauhid Islam yang kuat, termasuk mendalami ilmu sihir. 

Ia sempat berguru ke pesantren Giri, namun ditolak karena kegemarannya pada ilmu sihir dan ilmu terawangan (Saksono, 1995: 62-63). Di pesantren Giri ia memakai nama Bango Samparan. Maka yang pernah datang mempertunjukkan ilmu sihir bukanlah Syekh Siti Jenar, namun Hasan Ali, yang kemudian memalsukan jati dirinya sebagai Syekh Siti Jenar, Syekh Siti Jenar memang pernah berapa kali datang ke pesantren Giri, dan oleh Sunan Gunung Jati diterima secara baik, baik sebagai santri atau sebagai teman sejawat sesama anggota Wali Songo. Adapun guru yang paling berpengaruh atas Hasan Ali adalah San Ali Anshar dari Persia, yang datang ke Jawa untuk membalas dendam kesumatnya kepada Syekh Siti Jenar, yang dianggapnya sudah merampas kesempatannya menjadi guru suci untuk menggantikan gurunya di Baghdad, Syekh ‘Abdul Malik. 

Mungkin karena memang namanya hampir mirip dengan nama asli Syekh Siti Jenar (Hasan Ali dengan San Ali), dan karena sama-sama berasal dari Giri Amparan Jati di Cirebon, sehingga banyak kalangan masyarakat yang terkelabui. Kepopulerannya mudah menyebar karena ajarannya tentang kerohanian bagi orang banyak sangat mudah, dengan mengandalkan berbagai teknik pernafasan yang diiringi dengan berbagai doa yang berfungsi sebagai mantra, sehingga tidak perlu untuk dipahami. 

Doa-doa yang diajarkan Hasan Ali pada umumnya berkaitan dengan ilmu Kanuragan, ilmu pengobatan, dan ilmu sihir yang bercampur aduk dengan ajaran kebatinan. Para murid yang belum memiliki dasar-dasar keislaman, menjadi tidak bisa membedakan mana ilmu pengetahuan rohani yang menuju jalan “Kebenaran” dan mana pengetahuan perdukunan yang menuju pada pemenuhan pamrih pribadi yang diselimuti oleh gerakan nafsu dalam jiwa. Begitu hasrat terpenuhi, mereka merasa bahwa itu merupakan bentuk ridha Allah dan perkenannya, dan mereka semakin merasa sebagai orang yang berkedudukan sebagai kekasih Allah. 

Hasan Ali mengacaukan ajaran Syekh Siti Jenar dengan cara membangun berbagai pedukuhan Lemah Abang, dengan mengambil lokasi yang sudah dibangu oleh Syekh Siti Jenar sebelumnya. Hasan Ali menyatakan dirinya sebagai guru suci dan Wali suci bergelar Syekh Lemah Abang, dan menyatakan ajarannya sebagai ajaran “Jalan Kebenaran”. Dengan ajaran yang menurut banyak orang gampang dan instan, maka pada waktu yang singkat, berhasil mendapatkan pengikut yang melimpah. Para penduduk awam dari kalangan petani, tukang, pengrajin, pedagang kecil, penambang kecil, penyadap enau, dan para kuli geladag serta buruh berduyun-duyun menyatakan berbaiat menjadi murid Hasan Ali. 

Terdapat beberapa perbedaan mendasar antara ajaran Hasan Ali dengan ajaran Syekh Siti Jenar, dalam hal meniti jalan rohani menuju Kebenaran Sejati (al-Haqq). Pertama-tama, dalam memaknai “Aku” dan “Aku” di dalam konteks Kebenaran Sejati. Syekh Siti Jenar mengajarkan bahwa untuk mencapai “Aku”, yang wajib dinafikan dari keberadaan seorang adalah “Aku”. Selama “Aku” masih mengaku ada, maka “Aku” tidak akan mengakuinya. Sehingga selamanya “Aku” terhijab dari “Aku”, maka yang wajib teguhkan adalah “Aku” sebagai keberadaan seseorang. 

Syekh Datuk Abdul Jalil mengajarkan bahwa lamunan kosong (al-umniyyah) yang membentuk angan-angan kosong (al-wahm) harus dihindari oleh para Salik karena akan membawa kepada kesesatan al-mumtani’ yang terbit dari al-ghayr. Hasan Ali sebaliknya, dia justru mengajarkan tentang betapa pentingnya al-umniyyah dan al-wahm sebagai piranti untuk mencapai Kebenaran Sejati. Menurutnya, tanpa menguatkan angan-angan khayalan menjadi Allah maka manusida tidak akan bisa menyatu dan menjadi Allah. Oleh karenanya, menurut Hasan Ali, manusia yang ingin menyatu dengan Allah harus menguatkan daya khayalnya bahwa dirinya adalah Allah sendiri. Aku manusia tidak lain adalah Aku Allah. Demikian menurut Hasan Ali dalam meyakinkan murid-muridnya. 

Salah satu cara Hasan Ali untuk membuktikan kebenaran ajarannya, ia memberikan amalan-amalan doa yang salah satunya disebut Sindung Kraton yang sangat populer, yaitu doa aneh yang ucapannya:

Eh.. eh., eh. Ya aku sindung liwang liwung, ya aku wis ana kene, ya aku Ratu Agung, Ratu Sugih, Ratu Wasesa, Ratu Kuasa, Ratu Binatara, Ratu Sampuma. Jumeneng neng Pulo Kencana, angratoni sekehe rasa kabeh. Rohku iki rohe manungsa, rohe geni, rohe banyu, rohe angin, rohe bumi, rohe kewan, rohe watu, rohe kayu, rohe wesi, rohe nabi, rohe Wali, rohe mukmin, rohe malaikat, rohe jin, rohe setan, rohe banaspati, rohe ilo-ilo, rohe demit, rohe jin priprayangan, rohe gendruwo, rohe sak buwana kabeh. Teko kerut teka manut, idepa kang dumadi kabeh, ojo ana kang keri. Pakumpulane Nabi Wali Mukmin ya ing dadane manungsa, Lajalaluhu la ilaha illallah, La jamaluhu la ilaha illallah, La Kamaluhu la ilaha illallah, La Qaharuhu la ilaha illallah. Ya kau Ratu Agung, kang ngratoni sakjerone pager bata wasesa, lawangku Ratu Sugih, neb-nebku Watu Agung, lawang bet bisa meneb mengo dewe, leh.. leh.. leh. 

Jika dipaparkan maknanya kira-kira begini: Eh... eh... eh. Akulah Sindung liwang-liwung / Aku sudah Ada di sini / Aku Ratu Agung / Aku Kayaraya / Ratu Yang Berkuasa / Ratu Yang Didewakan / Ratu Sempurna Yang tinggal di Pulau Kencana / Yang Merajai seluruh rasa // Ruh-Ku adalah ruh manusia / ruh api / ruh air / ruh angin / ruh bumi / ruh batu / ruh kayu / ruh besi / ruh Nabi / ruh Wali / ruh orang beriman / ruh malaikat / ruh jin / ruh setan / ruh banaspati / ruh ilu-ilu / ruh demit / ruh perayangan / ruh gandarwa / ruh makhluk sejagat // datag hanut datang terseret kepada seluruh ciptaan / jangan ada yang tertinggal / perkumpulan Nabi Wali orang beriman / berkumpul pada Aku / Akulah Ratu Maulana Agung yang merajai dada manusia / ... / Akulah Ratu Agung yang merajai di dalam pagar batu kuasa / pintu-Ku Ratu Kekayaan / tutup-Ku Batu Agung / pintu rumah yang bisa menutup dan membuka sendiri/ leh ... leh ... leh/

Jika diperhatikan secara seksama, doa Sindung Keraton tersebut secara jelas memuat gagasan-gagasan ajaran majusi (Magi Zoroaster) yang terkait dengan pemujaan atas Dewa Ormuzd. Hasan Ali meyakinkan murid-muridnya bahwa dia Sindung Kraton selain dapat mengukuhkan keyakinan diri bahwa manusia sejatinya adalah jelmaan Tuhan, juga dapat membuka pintu kekuasaan dan harta benda. Bahkan, kepada murid-murid yang dianggap sudah mendekati makrifat diajarkan doa-doa tambahan yang disebut Sindu Serapah, yang juga memuat gagasan doa bernuansa Majusi. 

Eh eh eh. Ya aku sindung Liwang Liwung, Ya aku wis ana kene, segara rame alas suwung, ehak ehek, sing aku dewek.

Maknanya: Eh eh eh. Aku Sindung Liwang Liwung / Aku sudah Ada di sini / lautan ramai / hutan kosong / ehek.. ehek.. yang ada aku sendiri //. 

Dengan adanya anasir Zoroastrian dalam ajaran Hasan Ali tersebut, maka secara sepintas tampak sekali bahwa Hasan Ali memiliki kaitan erat dengan San Ali Anshar al-Isfahani, yang ternyata bahwa Hasan Ali adalah murid dari San Ali Anshar. 

Sementara itu di Jawa bagian Tengah dan Timur, juga muncul tokoh yang menyatakan diri sebagai Syekh Siti Jenar, dan memiliki nama asli San Ali Anshar al-Isfahani. Sebagainaba Hasan Ali, San Ali Anshar mendirikan pedukuhan Syekh Siti Jenar, Kajenar, dan Kamuning tidak jauh dari dukuh-dukuh yang pernah didirikan oleh Syekh Datuk Abdul Jalil. Di dukuh-dukuh itulah dia mengajarkan tarekat ganjil yang bercampur-aduk dengan ilmu ketabiban, ilmu sihir, ilmu kanuragan, dan terutama ilmu gendam (ilmu yang dipergunakan dalam memperngaruhi dan menaklukan akal kesadaran orang lain) yang salah satunya dikenal sebagai ilmu gendam Smaradahana. 

San Ali Anshar al-Tabrizi al-Isfahani, demikian nama lengkapnya, awalnya adalah perantau di Baghdad asal Isfahan (Persia/Iran). Ia adalah orang yang cerdas, dan memiliki pengetahuan luas, utamanya dalam hal filsafat dan kebatinan. Ia adalah tipe orang yang haus pengetahuan, sehingga bacaan menjadi kebutuhan utama baginya. Selain itu, ia sangat fasih dalam berbicara, sehingga mudah membuat orang lain takjub dan mengikuti apa yang dikatakannya. Namun dalam banyak hal, Syekh Siti Jenar sejak perkenalan pertamanya sudah tidak cocok dengan jalan pikiran dan ambisinya akan ilmu pengetahuan. 

Tidak jauh berbeda dengan ajaran Hasan Ali, hampir semua ajaran yang disampaikan San Ali Anshar sangat bertolak belakang dengan ajaran Syekh Datuk Abdul Jalil. Kalau Syekh Datuk Abdul Jalil mengajarkan “Sasyahidan” kepada para murid yang menduduki maqam ahli Kasyaf dan “penemu” (ahl al-kasyf wa al-wujud) agar di dalam pendakian rohani mampu mencapai maqam Kesatuan Penyaksian (wahdat asy-syubud), maka San Ali Anshar justru mengajarkan kepada murid-muridnya yang paling baru sekalipun tentang Kesatuan Wujud (wahdal al-wujud). 

Dia sangat terbuka membakar Kesatuan Wujud. Dalam konteks serat dan babad Jawa, perilaku ini yang sering disebut sebagai “miyak warana”, yang menyebabkan Syekh Siti Jenar dibenci para Wali. Tentu penuturan Serat dan Babad tersebut perlu dikaji ulang karena yang diberitakan bukan Syekh Siti Jenar, tetapi San Ali Anshar. 

Selama membeberkan rahasia Kesatuan Wujud itu, jelas sekali dia hanya ingin memamerkan kehebatan nalar dan pemahaman filosofinya. Sebab, secara Kasyaf dan mata batin, San Ali Anshar hanya mengajarkan ilmu secara ilmiah, dalam arti berdasar dari apa yang sekedar dibaca, bukan berdasar apa yang dialaminya secara rohani. Pengalaman rohaninya sangat rendah dan dangkal, karena selalu diliputi pamrih duniawi. Untuk mendukung ajarannya agar meyakinkan, San Ali Anshar menunjukkan aneka keajaiban dan keganjilan-keganjilan perbuatan ajaib yang dipertontonkan kepada khalayak, dengan kemampuan sihirnya. 

Ajaran kerohanian dan tasawufnya tidak jelas. Ia mengajarkan bahwa manusia adalah jelmaan Tuhan sehingga saat diciptakan, para malaikat disuruh bersujud. Ia mengajarkan juga bahwa di dalam diri para rasul terdapat sifat Ilahiyyah yang merintis dari satu rasul ke rasul yang lain. San Ali Anshar mengaku keturunan Nabi Muhammad saw, sehingga ia menyatakan dirinya telah mewarisi sifat Ilahiyyah Nabi Muhammad saw. 

Tetapi yang aneh, bersamaan dengan itu, ia mengajarkan pula keyakinan tentang Avatar, yaitu titisan Wisnu. Ia mengaku sebagai titisan Wisnu Wakil Tripurusa (Brahma-Wisny-Syiwa) di dunia. Karena saat itu di Jawa banyak penganut Waishnawa (kepercayaan yang menggabungkan kekuatan Wisnu, Brahma dan Syiwa). San Ali Anshar berkali-kali mempertunjukkan kehebatan ilmu sihirnya, sehingga ia diyakini oleh penganutnya sebagai titisan Wisnu. Sebab itu, dukuh Kajenar yang dijadikannya tempat membabar ilmu batiniah itu dinamai dengan Wrendawana, yaitu kediaman Wisnu bersama para pengikutnya. Ada yang menyebutnya sebagai alas Krenda-sawa. Beberapa riwayat Serat dan Babad Jawa juga menyebutkan bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari Krendasawa, dan dihukum mati oleh Majelis Wali songo di Demak adalah kekeliruan yang disebabkan oleh tokoh San Ali Anshar ini yang mengaku sebagai Syekh Siti Jenar.

San Ali Anshar juga mengajarkan zikir berjamaah. Padahal Syekh Siti Jenar tidak pernah mengajarkan awrad seperti itu, karena hal tersebut berada dalam ranah fikih yang bukan menjadi wilayah tugas dakwahnya. Zikir berjamaah yang diajarkan San Ali Anshar dilakukan bersama-sama antara laki-laki dan perempuan. Semua berteriak-teriak seperti orang kesurupan dan banyak yang pingsan. Zikir berjamaah tersebut dilaksanakan di makam orang-orang yang dianggap suci seperti ritual yang dilakukan oleh jamaah paham Syi’ah Rafidhah. 

Dalam berbagai serat dan babad Jawa disebutkan bahwa salah satu murid Syekh Siti Jenar, yakni Ki Ageng Lontang, setelah melaksanakan shalat jum’at di masjid, begitu keluar dari masjid kemudian melakukan hubungan suami sitri dengan istrinya di halaman masjid. Hal ini perlu diklarifikasi, bahwa ini bukan ajaran asli Syekh Siti Jenar, namun termasuk dalam ajaran San Ali Anshar. Demikian juga, sampai zaman sekarang, di beberapa tempat masih terdapat kebiasaan ritual kungkum bersama lelaki dan perempuan, yang mereka sebut sebagai penerus ajaran Syekh Siti Jenar. Harus dinyatakan disini bahwa hal tersebut adalah warisan dari ajaran San Ali Anshar. 

Oleh karena berbagai ajaran Hasan Ali dan San Ali Anshar begitu menyimpang dari ajaran Syekh Siti Jenar, maka oleh para Wali Songo ajaran jalan rohani tersebut disebut dengan nama ejekan: Suluk Malang Sungsang, ajaran perjalanan ruhani (tarekat) yang mengakibatkan sang Salik makin terhijab dan terjungkir kiblatnya dari Kebenaran Sejati yang dituju. Ia justru semakin jauh dari tujuan yang sesungguhnya. 

Melihat berbagai penyimpangan ajaran Syekh Siti Jenar oleh berbagai kalangan yang memang sebenarnya memusuhi Syekh Siti Jenar itu, maka tokoh-tokoh seperti Sunan Kalijaga, Raden Qasim, Sunan Drajat, dan Sunan Gunung Jati bahu membahu menyadarkan para pengikut Syekh Siti Jenar tentang banyaknya ajaran palsu yang tersebar di masyarakat. Perbaikan ditujukan ke dalam untuk menghindari fitnah yang lebih besar. Sehingga perhatian ulama bukanlah mengarahkan bagaimana upaya memberantas Hasan Ali, San Ali Anshar, dan gerakan para dukun yang menaruh dendam kepada Syekh Siti Jenar. Justru para Wali mengadakan aktivitas dakwah keliling memberikan pencerahan dan penyadaran kepada umat tentang esensi ajaran kebenaran Syekh Siti Jenar, sambil diarahkan agar belajar makrifat kepada mereka yang benar-benar dikenal memiliki sanad silsilah kepada Syekh Siti Jenar dan para Wali. Hal ini juga bertujuan agar menjadi jelas, tentang siapa mengajar siapa, dan apa yang diajarkan. 

Setelah para Wali merasa bahwa sebagian besar masyarakat sudah mengetahui titik kebenaran, serta mengetahui bahwa mereka menjadi korban ajaran yang palsu, barulah para ulama dan Wali, melakukan gerakan yang diarahkan kepada penyebar ajaran sesat tersebut, yakni Hasan Ali dan San Ali Anshar. 

Jika semula tuduhan dari pihak Kesultanan Demak tentang ajaran sesatnya berasal dari Syekh Siti Jenar sendiri, maka kemudian berabgai vonis tuduhan, termasuk vonis ancaman hukuman pancung kepada Syekh Siti Jenar dibatalkan. Namun hukuman serupa kemudian diarahkan kepada dua orang yang mengaku diri sebagai Syekh Siti Jenar, yakni Hasan Ali yang mengaku sebagai Syekh Lemah Abang, dan San Ali Anshar yang mengaku sebagai Syekh Siti Jenar. 

Hasan Ali dijatuhi hukuman di wilayah Cirebon, yakni di Ndalem Kanggaraksan, di rumah Hasan Ali sendiri. Pelaksana hukuman adalah Sunan Gunung Jati dengan keris Kantanaga (dalam Carita Purwaka Caruban Nagari bagian ke-30 dan dalam Babad Tanah Sunda bagian ke-44, disebutkan bahwa yang melakukan hukuman adalah Sunan Kudus dengan keris Kantanaga miliki Sunan Gunung Jati). Jadi hukuman tidak dilaksanakan di Masjid Ciptarasa sebagaimana selama ini diketahui. Sementara San Ali Anshar dihukum di wilayah Demak, yakni di lapangan Pemantingan (Mantingan), bukan di masjdi Agung Demak, atau di alun-alun depan masjid. Yang melaksanakan hukuman tersebut adalah Sunan Kalijaga. 

Berita bahwa hukuman mati dilaksanakan di masjid, sengaja disebarluaskan oleh orang-orang yang waktu itu masih sangat antipati terhadap Islam. Kemudian disebarluaskan oleh para intelektual Belanda, yang kurang simpatik terhadap Islam. Karena, menurut Sunan Kalijaga, masjid adalah tempat manusia beribadah kepada Allah, tempat bersujud, sehingga sangatlah salah jika masjid digunakan untuk mengadili dan membunuh manusia. Lebih bodoh lagi jika sampai terjadi bangkai anjing dikubur di mihrab masjid. 

Berita-berita negatif tersebut pada awalnya sengaja disebarluaskan oleh para pengikut Hasan Ali dan San Ali Anshar untuk memuliakan guru mereka, disamping untuk mendeskreditkan ulama Wali Songo. Sehingga disebutkan bahwa anjing penjelmaan Hasan Ali atau San Ali Anshar disemayamkan di mihrab Masjid Demak atau Masjid Ciptarasa. 

Terkait dengan cerita tentang bangkai anjing dan Syekh Siti Jenar, juga terkait juga dengan konteks politik saat itu. Cerita tentang bangkai anjing adalah rekayasa alim ulama jahat yang mengabdi kepada Sultan Trenggono. Mereka mengabsahkan titah pelarangan ajaran Syekh Siti Jenar oleh Sultan Demak melalui cerita-cerita yang membodohkan umat. Untuk mengabsahkan pelarangan itu, mereka menebar cerita bohong bahwa yang membunuh Syekh Lemah Abang adalah Majelis Wali Songo. Yang harus dikemukakan bahwa Majelis Wali Songo hanya memberikan fatwa tentang vonis hukuman. Namun pelaksanaan hukuman diserahkan kepada individu Wali yang memiliki keterkaitan paling dekat dengan permasalahan yang ada. Sebagaimana sudah dikemukakan bahwa yang menghukum San Ali Anshar adalah Sunan Kalijaga sendirian, dan yang menghukum Hasan Ali adalah Sunan Gunung Jati sendiri. 

Tegasnya, Majelis Wali Songo tidak pernah bersidang di Masjid Agung Demak untuk mengadili Hasan Ali maupun San Ali Anshar. Itu semua kabar bohong yang dibuat alim ualma pengabdi Sultan Trenggono. Akan tetapi semua itu ada hikmah terbesarnya, yakni agar posisi Syekh Siti Jenar--juga yang dikenal sebagai Syekh Lemah Abang, Syekh Sitibrit, Syekh Jabarantas, Susuhunan Binang, Pangeran Kajenar, Syekh Nurjati, Pangeran Panjunan dan Sunan Sasmita (Babad Cirebon; S.Z. Hadisutjipto, pada pupuh ke-16 dan ke-31)--sebagai “sang awang”, benar-benar telah jatuh sebagai tanah yang diinjak-injak, dan direndahkan manusia sesuai kehendak dan keinginan Syekh Siti Jenar sendiri. Terkait dengan hal yang dialami oleh Syekh Siti Jenar ini, sebenarnya bukanlah persoalan yang aneh dalam tasawuf. Karena Syekh Siti Jenar hanya sekedar melaksasanakan salah satu nasihat sufi, yang pernak dikemukakan oleh Syekh Ibn ‘Athaillah al-Sakandari dalam kitab Al-Hikmah: “Tanamlah wujud dirimu di kedalaman bumi paling dalam. Karena benih mana pun yang tidak ditanam berselimut bumi, pertumbuhannya pasti tidak akan sempurna”. 

Dengan segala kerendahan, caci maki, fitnah dan berbagai tuduhan serta perendahan yang selalu diterima Syekh Siti Jenar, hal ini justru semakin menumbuhsuburkan kebaikannya di sisi Allah swt. 

Hukuman yang dijatuhkan kepada Hasan Ali dan San Ali Anshar, sebenarnya bukanlah murni karena ajarannya yang dianggap menyimpang atau menyeleweng. Karena tidak ada hak manusia satu menghakimi manusia lain dalam masalah amaliah agama. Sedangkal apapun orang menafsirkan ajaran agama, tidaklah ada hak bagi orang lain untuk menyatakan ini sesat itu bid’ah dan kemudian membunuhnya. Satu-satunya kesalahan berat yang dilakukan San Ali Anshar adalah ia secara sengaja telah menggunakan nama orang lain, yaitu Syekh Siti Jenar dengan tujuan membuat fitnah dan kerusakan. Dengan sengaja pula ia mengajarkan ilmu sihir, zikir berjamaah laki-laki dan perempuan, mengaku Tuhan titisan Wisnu, menghujat sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw sebagai kafir, dan menjadikan perempuan sebagai barang yang bsia dimiliki bersama.

San Ali Anshar telah merusak tatanan hidup dan moral manusia berdalih agama. Semua tiu dia nisbahkan kepada nama Syekh Siti Jenar. Selain alasan-alasan hukuman tersebut, Sunan Kalijaga juga memiliki alasan lain, yakni dalam rangka menuntut hukum qishash (hukum balas bunuh) utang darah yang dilakukan San Ali Anshar terhadap keluarga kakek dari istri Sunan Kalijaga, khususnya Syekh Abdul Qahhar al-Baghdady, paman istri Sunan Kalijaga yang dibunuh oleh orang-orang suruhan San Ali Anshar. 

Abdul Qahhar adalah adik Abdul Qadir putra Syekh Abdul Malik di Baghdad, yang menjadi salah satu guru dari Syekh Siti Jenar, sekaligus guru San Ali Anshar. Namun karena kekecewaan tempat istimewa sebagai murid terdekat beralih kepada Syekh Siti Jenar, San Ali Anshar melancarkan penghianatan yang membuat keluarga Syekh Abdul Malik dimusuhi dan diburu oleh penguasa, karena tuduhan mengikuti madzhab Syi’ah yang sesat. Akibatnya Abdul Qahhar meninggal oleh “kaki tangan” San Ali Anshar. Akibat fitnah San Ali Anshar pula, maka Syekh Siti Jenar mendapatkan “stempel” penganut madzhab Syi’ah Rafidhah. Padahal sewaktu di Baghdad justru San Ali Ansharlah yang memperkenalkan Syekh Siti Jenar kepada beberapa orang ulama Syi’ah Muntadzar, walaupun Syekh Siti Jenar tidak penganut paham tersebut. 

Beberapa penulis di Indonesia juga menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang ulama penganut madzhab Syi’ah yang ditantang oleh para Wali yang bermadzhab Sunni (Rahimsah, t.t., 121-124; Simon, 2004: 368-371). Hal ini perlu dikoreksi, karena persentuhan Syekh Siti Jenar dengan para ulama Syi’ah hanyalah dalam konteks silaturahmi dan mudzakarah. Walaupun analisis ilmiah dan pemikirannya sangat filosofis, namun dalam bidang fikih ia bermadzhab Ghazali. Paham Ahlussunnah Waljama’ah Syekh Siti Jenar ditunjukkan dalam pernyataan Babad Tanah Jawa Poerwaredja yang dikutip Rinkes (1910: VI/115), bahwa Syekh Siti Jenar termasuk Wali Songo yang berlandaskan pada Ijma, Qiyas, Dalil, dan Hadits. 

Perbedaan pendapat antara Syekh Siti Jenar dengan para ulama Wali Songo adalah dalam konteks perbedaan apresiasi politik, aplikasi fikih, dan filosofi ketuhanan, bukan dikotomi Sunni-Syi’ah. Sehingga membawa perbedaan pandangan tersebut dengan menariknya pada dimensi dikotomi Sunni-Syi’ah menjadi tidak tepat, apalagi petunjuk ke arah sana tidak mendapatkan landasan referensi yang jelas. Umumnya hal ini terjadi karena bercampur aduknya kisah San Ali Syekh Siti Jenar, Hasan Ali dan San Ali Anshar. Tiga orang tokoh yang berbeda pemahaman keagamaan, namun dalam penulisan sejarah dan kisah para Wali di Indonesia dianggap sebagai satu tokoh. Hal ini memunculkan banyak kesalahpahaman dalam penulisan sejarah dan kisah tentang para Wali Songo, utamanya Syekh Siti Jenar. Lebih parah lagi, sebagian penulis memberikan tuduhan bahwa maraknya penulisan Syekh Siti Jenar terkait dengan gerakan politik PKI dan zending Kristenisasi (misalnya Hasanu Simon, 2004: 381-383, 428-429). Tentu tuduhan ini menjadi suatu tindakan fitnah keji atas sejarah, dan sangat jauh dari kenyataan yang ada. 

Sedangkan Hasan Ali, tak jauh kesalahannya dengan gurunya. Dia telah menggunakan nama Syekh Lemah Abang dengan membuat fitnah dan kerusakan. Dia dibunuh di Cirebon karena secara terang-terangan membangun dukuh Lemah Abang di selaran dukuh Lemah Abang yang didirikan Syekh Datuk Abdul Jalil. Dia mengajarkan ajaran sesat seperti gurunya.

Dia tidak sadar bahwa para sesepuh Cirebon sangat kenal siapa Syekh Datuk Abdul Jalil atau Syekh Siti Jenar dan siapa Hasan Ali putera Rsi Bungsu. Kesalahannya yang tersebar, dia memerintahkan pengikut-pengikutnya untuk membunuh Pangeran Bratakelana, putera Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dia sangat membenci Syarif Hidayatullah yang dianggapnya merampas haknya sebagai pelanjut Pesantren Giri Amparan Jati yang didirikan oleh Syekh Datuk Kahfi, suami dari bibinya. Dia menganggap dirinya lebih berhak menjadi guru suci di Giri Amparan Jati dibanding Syarif Hidayatullah. 

Dia tidak pernah tahu jika yang mengangkat Syarif Hidayatullah sebagai pelanjut Syekh Datuk Kahfi adalah Syekh Datuk Abdul Jalil, yaitu santri terkasih dan saudara sepupu yang diamanti Syekh Datuk Kahfi mengemban pesantren tersebut. Bahkan Syekh Datuk Bayanullah, adik kandung Syekh Datuk Kahfi tidak sedikitpun mempersoalkan masalah tersebut. 

Jadi dapat dipahami, bahwa banyak motif yang menyebabkan kedua tokoh jahat tersebut kemudian dijatuhi hukuman mati yang dilaksanakan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati, bukan semata-mata karena ajarannya yang sesat. Tentu alasan yang paling mendasar adalah upaya makar (bughat, pemberontakan) terhadap para ulama dan Sultan sebagai penguasa sah di Kesultanan Demak dan Cirebon.

Sumber :
K.H. Muhammad Sholikhin. Ternyata Syekh Siti Jenar Tidak Dieksekusi Wali Songo. Erlangga. Boyolali: 2008.

0 comments:

Post a Comment