Genjer-Genjer Dan Stigmatisasi Komunis
Oleh; Paring Waluyo Utomo
Genjer- genjer mlebu kendil wedange gemulak
Setengah mateng dientas yong dienggo iwak
Sego nong piring sambel jeruk ring ngaben
Genjer-genjer dipangan musuhe sego
Sebelum pendudukan tentara Jepang pada tahun 1942, wilayah
Kabupaten Banyuwangi termasuk wilayah yang secara ekonomi tak kekurangan.
Apalagi ditunjang dengan kondisi alamnya yang subur. Namun saat pendudukan
Jepang di Hindia Belanda pada tahun 1942, kondisi Banyuwangi sebagai wilayah
yang surplus makanan berubah sebaliknya. Karena begitu kurangnya bahan makanan,
sampai-sampai masyarakat harus mengolah daun genjer (limnocharis flava) di
sungai yang sebelumnya oleh masyarakat dianggap sebagai tanaman pengganggu. Situasi sosial semacam itulah yang menjadi inspirasi bagi Muhammad Arief,
seorang seniman Banyuwangi kala itu untuk menciptakan lagu genjer-genjer.
Digambar oleh M Arif bahwa akibat kolonialisasi, masyarakat Banyuwangi hidup
dalam kondisi kemiskinan yang luar biasa sehingga harus makan daum genjer.
Kisah itu nampak dalam sebait lagu genjer-genjer diatas.
Seiring dengan perkembangan waktu dan Indonesia mencapai
kemerdekaan, Muhammad Arief sebagai pencipta lagu genjer-genjer bergabung
dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang memiliki hubungan ideologis
dengan Partai Komunis Indonesia. Maka lagu inipun segera menjadi lagu popular
pada masa itu, bahkan dalam pernyataannya kepada penulis, Haji Andang CY
seniman sekaligus teman akrab M Arief di Lekra serta Hasnan Singodimayan,
sesepuh seniman Banyuwangi menyebutkan bahwa lagu genjer-genjer menjadi lagu
populer di era tahun 1960-an, dimana Bing Slamet dan Lilis Suryani penyanyi
beken waktu itu juga gemar menyanyikannya dan sempat masuk piringan hitam.
Kedekatan lagu genjer-genjer dengan tokoh-tokoh Lekra dan
komunis memang tak dapat dipungkiri. Bahkan dalam sebuah perjalanan menuju
Denpasar, Bali pada tahun 1962, Njoto seorang seniman Lekra dan juga tokoh PKI
sangat kesengsem dengan lagu genjer-genjer. Waktu itu Njoto memang singgah di
Banyuwangi dan oleh seniman Lekra diberikan suguhan lagu genjer-genjer. Tatkala
mendengarkan lagu genjer-genjer itu, naluri musikalitas Njoto segera berbicara.
Ia segera memprediksikan bahwa lagu genjer-genjer akan segera meluas dan
menjadi lagu nasional. Ucapan Njoto segera menjadi kenyataan, tatkala lagu
genjer-genjer menjadi lagu hits yang berulangkali ditayangkan oleh TVRI dan
diputar di RRI (Lihat Jurnal Srinthil Vol. 3 tahun 2003).
Genjer-genjer Phobia
Entah apa yang salah dengan genjer-genjer sebagai sebuah produk
kebudayaan? Selepas PKI dan orang-orang PKI, berikut anak cucunya dihancurkan
oleh orde baru, tak terkecuali pula lagu genjer-genjer yang sebenarnya adalah
lagu yang menggambarkan potret masyarakat pada jaman pendudukan Jepang. Mungkin
steriotype lagu genjer-genjer menjadi lagu komunis dan patut dihancurkan muncul
atas beberapa faktor. Pertama; sejak awal lagu ini berkembang dan dikreasi oleh
kalangan komunis dan dikembangkan oleh kalangan komunis pula. Walaupun pada
perkembangannya pada era tahun 1960 an lagu ini tidak hanya digemari oleh
kalangan komunis, tetapi juga masyarakat secara luas. Namun orde baru
menerapkan politik bumi hangus, maka seluruh produk apapun yang dilahirkan oleh
orang-orang komunis haram hukumnya dan patut dihabisi. Kedua; Ketika peristiwa
G 30 S tahun 1965 terjadi, Harian KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia)
memplesetkan genjer-genjer menjadi jendral-jendral. Dalam catatan pribadinya
Hasan Singodimayan, seniman HSBI dan teman akrab M Arief menuliskan bahwa lagu
genjer-genjer telah dipelesetkan.
Jendral Jendral Nyang ibukota pating keleler
Emake Gerwani, teko teko nyuliki jendral
Oleh sak truk, mungkir sedot sing toleh-toleh
Jendral Jendral saiki wes dicekeli
Jendral Jendral isuk-isuk pada disiksa
Dijejer ditaleni dan dipelosoro
Emake Germwani, teko kabeh milu ngersoyo
Jendral Jendral maju terus dipateni
Akibat penulisan lagu genjer-genjer menjadi jendral-jendral,
maka kian kuatlah alasan orde baru untuk membumihanguskan lagu ini. Pada
perkembangannya, siapapun yang tetap menyanyikan lagu ini akan ditangkap oleh
aparat keamanan, tentu dengan tuduhan komunis.Karena larangan menyanyikan lagu
genjer-genjer, maka beberapa seniman gandrung di Banyuwangi juga dilarang untuk
menyanyikan lagu genjer-genjer, dan beberapa lagu dan gendhing yang memompa kesadaran
politik massa-rakyat.
Para seniman-seniman gaek pada masa itu seperti Hasnan
Singodimayan, dan Haji Andang CY juga merasa heran dengan munculnya lirik lagu
genjer-genjer yang sedemikian mendeskreditkan petinggi-petinggi militer waktu
itu. Namun apalah kuasa orang-orang lemah waktu itu. Sudah jatuh tertimpa
tangga pula, mungkin itulah ungkapan yang patut untuk menggambarkan kondisi
seniman-seniman rakyat yang kebanyakan berafiliasi dengan lekra. Jangankan
mengoreksi lagu genjer-genjer, menyelamatkan diri mereka saja susah.
Rehabilitasi Kultural
Kini kita telah memasuki babakan politik baru, sebuah babakan
politik yang digadang-gandang akan menarasikan kebebasan. Konsep kebebasan
menjadi pilar penting bagi episode kehidupan yang bertemakan demokrasi. Kalau
memang saat ini kita bersungguh-sungguh membuat tema kehidupan tentang
demokrasi, maka ada hal hal penting yang menurut hemat penulis diperhatikan,
khususnya yang menyangkut politik-kebudayaan.
Pertama; Alam demokrasi harus memberikan tempat yang setara bagi
segenap kalangan, tanpa memandang latar belakang kultural, agama, dan politik.
Konsekuensinya, seluruh produk kebudayaan apapun bentuknya diperkenankan tampil
kembali menghiasai ruang publik, dan diserahkan kepada pasar politik untuk
memberikan penilaian. Itu artinya, produk-produk kebudayaan yang pada masa lalu
dikambinghitamkan tanpa argumentasi mestinya diberikan ruang pemulihan kembali
untuk tampil mengisi khasanah kebudayaan Indonesia. Sebagai contoh yang paling
nyata adalah kesenian genjer-genjer.
Kedua; Negara melalui otoritas regulasinya semata-mata
diletakkan sebagai fasilitator yang menaungi seluruh produk kebudayaan yang
muncul dan dikembangbiakkan oleh rakyat. Regulasi Negara tidak lagi menjadi
mesin pemangkas yang setiap saat menghabisi produk-produk kesenian rakyat.
Dalam rangka sebagai fasilitator itu, negara selayaknya menaruh jarak yang sama
dengan semua produk kebudayaan rakyat.
Sumber : Bluefame.com
0 comments:
Post a Comment