Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama
Kabupaten Aceh Besar. Di sini pula terletak ibu kotanya. Kurang begitu
diketahui kapan kerajaan ini sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat, kerajaan
Aceh berdiri pada abad ke-15 M, di tas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh
Muzaffar Syah (1465-1697 M). dialah yang membangun kota Aceh Darussalam. Menurutnya, pada masa
pemerintahannya Aceh Darussalam mulai mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan,
karena saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya berdagang dengan Malaka
memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis (1511 M).
sebagai akibat penaklukkan Malaka oleh Portugis itu, jalan dagang yang
sebelumnya dari laut Jawa ke utara melalui Selat Karimata terus ke Malaka,
pindah melalui Selat Sunda dan menyusur pantai Barat Sumatera, terus ke Aceh.
Dengan demikian, Aceh menjadi ramai dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai
negeri.
Menurut H.J De Graaf, Aceh menerima Islam dari Pasai yang kini menjadi
bagian wilayah Aceh dan pergantian agama diperkirakan terjadi mendekati
pertengahan abad ke-14 M. Menurutnya, kerajaan Aceh merupakan penyatuan dari
dua kerajaan kecil, yaitu Lamuri dan Aceh Dar Al-Kamal. Ia juga berpendapat
bahwa rajanya yang pertama adalah Ali Mughayat Syah.
Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie yang
bekerja sama dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. dengan
kemenangannya terhadap dua kerajaan tersebut, Aceh dengan mudah melebarkan
sayap kekuasaannya ke Sumatera Timur. Untuk mengatur daerah Sumatera Timur, raja
Aceh mengirim panglima-panglimanya, salah seorang diantaranya adalah Gocah,
pahlawan yang menurunkan sultan Deli dan Serdang.
Peletak dasar kebesaran kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah
yang bergelar Al-Qahar. Dalam menghadapi bala tentara Portugis, ia menjalin
hubungan persahabatan dengan kerajaan Usmani di Turki dan Negara-negara Islam
yang lain di Indonesia. Dengan bantuan Turki Usmani tersebut, Aceh dapat
membangun angkatan perangnnya dengan baik. Aceh ketika itu tampaknya mengakui
kerajaan Turki Usmani sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dan kekhalifahan
dalam Islam.
Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda (1608-1637). Pada masanya Aceh menguasai pelabuhan di pesisir
Timur dan Barat Sumatera. Dari Aceh, Tanah Gayo yang perbatasan diislamkan, juga
Minangkabau. Hanya orang-orang kafir Batak yang berusaha menangkis
kekuatan-kekuatan Islam yang datang. Bahkan mereka melangkah begitu jauh sampai
minta bantuan Portugis. Sultan Iskandar Muda tidak terlalu bergantung kepada
bantuan Turki Usmani yang jaraknya jauh. Untuk mengalahkan Portugis, sultan
kemudian bekerja sama dengan musuh Portugis, yaitu Belanda dan Inggris.
Tidak seperti Iskandar Muda yang memerintah dengan tangan besinya, penggantinya,
Iskandar Tsani, bersikap lebih liberal, lembut dan adil. Pada masanya, Aceh
terus berkembang untuk masa beberapa tahun. Pengetahuan agama maju dengan pesat.
Akan tetapi, kematiannya diikuti oleh masa-maa bencana. Tatkala beberapa sultan
perempuan menduduki singgasana pada tahun 1641-1699, beberapa wilayah
taklukannya lepas dan kesultanan menjadi terpecah belah. Setelah itu, pemulihan
kembali kesultanan tidak banyak bermanfaat, sehingga menjelang abad ke-18 M
kesultanan Aceh merupakan bayangan belaka dari masa silam dirinya, tanpa
kepemimpinan dan kacau balau.
Dr. Badri
Yatim, M.A.”Sejarah Peradaban Islam
Dirasah Islamiyah II”.PT Raja Grafindo Persada.Jakarta:2008.
Makasih artikelnya, sangat bermanfaat ??
ReplyDelete