"Seandainya bukan karena setan
menyelimuti jiwa anak cucu Adam, niscaya mereka menyaksikan malaikat di
langit.” (HR Ahmad).
Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW bersama Abu Bakar melewati
sebuah pemakaman. Tiba-tiba, Nabi tersentak dan berhenti di salah satu makam.
Abu Bakar bertanya, mengapa mereka berdua harus berhenti di makam itu.
"Apakah engkau tak mendengar
mayat ini merintih kesakitan disiksa lantaran tak bersih saat ia buang air?” tanya Rasul.
Abu Bakar sama sekali tidak mendengar suara itu. Lalu Nabi
mengambil setangkai pohon dan ditancapkannya di atas makam serta menjelaskan
sepanjang tangkai itu masih segar, selama itu pula siksaan orang di bawah makam
tersebut diringankan.
Dalam kesempatan lain, Ibnu Katsir dan beberapa kitab tafsir
lainnya menceritakan seorang pemuda pedalaman (A’rabi) berjalan kaki selama
tiga hari tiga malam untuk menjumpai Nabi sebab ia merasa telah melakukan dosa
besar. Pada Senin, ia meninggalkan desanya dan baru sampai di rumah Rasulullah
pada Rabu.
Saat ia sampai di rumah Nabi yang terhubung dengan masjid,
pemuda itu menjumpai kenyataan bahwa banyak orang sedang bersedih. Ia heran dan
bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Salah seorang sahabat menjelaskan, Nabi
baru saja dimakamkan setelah ia wafat hari Senin, tiga hari lalu.
Mendengar berita itu, si pemuda menangis histeris dan tidak ada
yang berhasil menghentikannya. Si pemuda menjelaskan kalau ia baru saja
melakukan dosa besar kemudian datang berjalan kaki dari jauh untuk menemui
Rasulullah karena terdorong oleh satu ayat yang memberinya harapan.
"Dan Kami tidak mengutus
seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Dan sungguh,
sekiranya mereka telah menzalimi dirinya sendiri datang kepadamu (Muhammad),
lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka,
niscaya mereka mendapat Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 60).
Si pemuda berharap Rasulullah mau memintakan maaf kepada Allah
atas dosa besarnya sebagaimana isyarat ayat ini. Namun, Rasulullah sudah wafat.
Inilah yang membuat pemuda tersebut terus meratap. Menjelang Subuh, penjaga
makam Rasulullah didatangi Rasulullah dan bersabda, "Fabasysyirhu annallaha qad gafara lahu
(gembirakanlah pemuda itu karena Allah sudah mengampuninya)."
Setelah mendengar penjelasan itu, si pemuda langsung berhenti
menangis. Ia yakin apa yang disampaikan penjaga makam benar-benar pernyataan
Rasulullah.
Sebab, ia bersandar pada hadits sahih, "Barangsiapa bermimpi
melihat aku, akulah yang sesungguhnya dilihat. Satu-satunya wajah yang tak bisa
dipalsu iblis hanya wajahku.”
Pertanyaan yang mengemuka di sini adalah bagaimana Rasulullah
bisa mendengarkan ratap tangis di sebuah makam, sedangkan orang lain tidak bisa
mendengarnya? Bagaimana pula Nabi bisa memahami kalau ada pemuda meratapi dosa
besar di dekat makamnya dan menjamin kalau dosa pemuda itu diampuni Allah SWT?
Kekuatan apa yang dimiliki Nabi sehingga bisa mendengarkan dan
memahami sesuatu yang menurut orang lain itu wilayah alam gaib? Apakah hanya
Nabi yang dapat mengakses alam gaib? Dalam ilmu tasawuf, fenomena-fenomena yang
dialami Nabi dapat dijelaskan.
Ketika seseorang mampu membuka tabir yang menghijab dirinya, dia
bisa menembus masuk ke dalam suatu alam yang disebut dengan alam mitsal
(istilah Ibnu Arabi) atau alam khayal (istilah Al-Gazali), yang diterjemahkan
oleh William C Chittick dengan The
Imaginal Worlds.
Alam mitsal biasa juga disebut dengan alam antara (barzakh)
karena berada di antara alam syahadah mutlak dan alam gaib. Ini menunjukkan bahwa
alam barzakh bukan hanya alamnya orang yang sudah wafat, melainkan juga dapat
diakses orang-orang yang masih hidup, tetapi diberi kekhususan oleh Allah.
Dengan kata lain, tidak mesti harus menunggu kematian untuk
mengakses alam barzakh. Alam mitsal adalah alam spiritual murni, tetapi masih
bisa bertransformasi ke alam syahadah.
Orang-orang yang diberi kemampuan memasuki alam ini memiliki
kekhususan untuk mengaktifkan indra-indra spiritualnya, sehingga mereka mampu
berkomunikasi secara spiritual dengan alam-alam lain, termasuk dunia lain.
Mereka bisa berkomunikasi interaktif dengan arwah yang meninggal
jauh sebelumnya. Mereka pun dapat berkomunikasi dengan malaikat dan jin,
termasuk dengan benda-benda alam, tumbuh-tumbuhan, dan hewan.
Ingat, tidak ada ‘benda mati’ dalam kamus Tuhan. Semua bisa
bertasbih, Tetapi, kita yang tidak mampu memahami tasbih mereka. "Wa lakin la ta’lamuna
tasbihahum. Kalian tidak mengetahui tasbih mereka,” demikian penegasan
Allah.
Pengalaman ini banyak ditunjukkan di dalam Alquran dan hadits
seperti peristiwa Khidir yang diberi ilmu ladunni (min ladunni ‘ilman) dalam
surah al-Kahfi. Dengan ilmunya itu, ia memahami masa depan anak kecil yang
dibunuhnya. Nabi Sulaiman bisa berkomunikasi dengan malaikat, jin, burung-burung,
ikan, dan angin.
Nabi Muhammad dalam beberapa hadits dijelaskan berdialog dengan
binatang (unta dan kijang), berdialog dengan mimbar tua, dan berkomunikasi
dengan nabi-nabi yang hidup jauh sebelumnya. Nabi secara intensif berkomunikasi
dengan Jibril dan malaikat-malaikat lainnya.
Dalam literatur tasawuf, ternyata bukan hanya para nabi yang
dapat mengakses alam barzakh dengan alam mitsalnya. Para wali (auliya) dan
orang-orang pilihan Tuhan pun melakukannya. Kitab Jami’ Karamat al-Auliya’ karya Syekh
Yusuf bin Isma’il An-Nabhani (2 jilid) mengungkap sekitar 695 nama berkemampuan
mengakses alam mitsal.
Hal itu ditandai dengan kemampuan mereka melakukan sesuatu yang
bisa disebut dengan ‘perbuatan luar biasa’ (khariq li al-‘adah) atau karamah.
Ternyata, banyak sekali di antara mereka yang dapat berkomunikasi aktif dengan
Rasulullah, antara lain Imam Al-Ghazali dan Ibnu Arabi.
Jika Allah menghendaki, Dia memberi kemampuan kepada kekasih-Nya
mengakses alam terjauh sekalipun, seperti dijelaskan dalam firman-Nya, "(Dialah) yang Maha Tinggi
derajat-Nya, yang memilki ‘Arasy, yang menurunkan wahyu dengan perintah-Nya
kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya agar memperingatkan
(manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat)." (QS.
Al-Mu’min: 15).
Alam mitsal merupakan dambaan para pencari Tuhan (salik/murid).
Namun, di sini perlu ditegaskan, jangan ada yang menjadikan alam mitsal sebagai
tujuan. Mujahadah dan riyadhah semata-mata dilakukan untuk memohon ridha Allah,
bukan untuk mencapai karamah atau untuk mengakses alam mitsal.
Sumber : Prof Dr
Nasaruddin Umar
0 comments:
Post a Comment