Sunday 24 June 2012

Kekhalifahan Dinasti Fatimiyah




  1. Awal Berdirinya Dinasti Fatimiyah

Telah disebutkan bahwa ketika dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai melemah, lahirlah kekhalifahan Fatimiyah, salah satu dinasti Islam beraliran Syi’ah Isma’liah, pada 909 M di Afrika Utara setelah mengalahkan dinasti Aghlabiah di Sijilmasa. Dalam sejarah, kejayaan dinasti Fatimah datang setelah pusat kekuasaannya di pindahkan dari Tunisia (al-Mahdiah) ke Mesir. Kekuasaan Syi’ah tersebut berakhir pada 1171 M. kekhalifahan Fatimiyah lahir sebagai manifestasi dari idealisme orang-orang Syi’ah yang beranggapan bahwa yang berhak memangku jabatan imamah adalah keturuna dari Fatimah Binti Rasulullah. Kekhalifahan ini lahir diantara dua kekuatan politik, Abbasiyah di Baghdad, dan Umayah II di Cordova. Sebenernya golongan Syi’ah sudah lama mencita-citakan berdirinya kekhalifahan sejak pudarnya kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib di Kufah. Mereka selalu mendapat tekanan-tekanan politik semasa priode kehalifahan Umayah hingga Abbasiyah. Itulah sebabnya mereka tidak berani menampakkan kegiatan politik terhadap pemerintah Umayah maupun Abbasiyah. Dalam kegiatan politiknya, mereka melakukan gerakan Taqiyah yang kelihatannya taat terhadap penguasa tetapi sebenarnya mereka menyusun kekuatan secara diam-diam (Karim, 2003 (1): 95-96 dan Rahman, 1977: 262-276).


Di daerah Al-Magrib terdapat sekelompok orang Syi’ah yang mendapatkan banyak dukungan dari orang penganut mazhab Maliki. Daerah itu kemudian berkembang menjadi daerah yang memberikan angin segar bagi tumbuh suburnya ide-ide mereka (Hasan, 1958: 112). Dari segi geografis, daerah ini sangat menguntungkan karena jauh dari pengwasan Damaskus maupun Baghdad. Di tengah-tengah keleluasaan inilah mereka memiliki kesempatan emas untuk mendirikan kekuasaan diam-diam. Sejarah menuturkan, bahwa pendiri dinasti Fatimiyah adalah Sa’id ibn Husain (kemungkinan ia adalah keturunan Abdullah ibn Maimun, pemimpin Syi’ah dari Persia). Sejak berdirinya dinasti Abbasiyah, mereka secara diam-diam menyebarkan misi Isma’liah di bawah pimpinan yang cermat. Gerakan ini berhasil membangun fondasi yang kuat bagi berdirinya dinasti Fatimiyah. Pada akhir abad ke 9 M, Abu Abdullah Al-Husain Al-Syi’I, salah seorang propagandis utama dari pemimpin Syi’ah Isma’liah, berasal dari Yaman, memperkenalkan diri dari kalangan orang Kitama, anak dari suku Berber di Afrika Utara, sebagai utusan utama dari Imam Mahdi. Al-Syi’I berhasil mempengaruhi masyarakat Berber tersebut untuk mengikuti misinya. Pada saat itu, Ziadatullah Al-Aghlabi 903-909 M (dinasti Aghlabiah) sedang berkuasa di Afrika Utara yang berpusat di Sijilmasa. Pasukan Al-Syi’i berhasil mengalahkan pasukan Aghlabi sebanyak dua kali. Al-Syi’i kemudian mengundang Sa’id agar datang untuk memangku jabatan sebagai pemimpin (Karim, 2003 (1): 96-97). Mendengar kemajuan Al-Syi’i, Sa’id meninggalkan Salamiah, pusat kegiatan Syi’ah secara rahasia, menuju ke Afrika Utara dengan menyamar sebagai pedagang. Berita kepergian Sa’id berhasil di dengar oleh khalifah Abbasiyah di Baghdad yang kemudian mengirim mata-mata untuk menangkap Sa’id dan pengikutnya. Meskipun menyamar, Sa’id tertangkap di Sijilmasa. Segera Al-Syi’I menuju ke Sijilmasa dan berhasil mengalahkan Ziadatullah (Karim, 1972: 462) dan membebaskannya dari tahanan. Sa’id mengumumkan dirinya sebagai pendiri dinasti Fatimiyah di Raqqadah--sebagai ibukota—sebelah tenggara sekitar 10 mil dari ibukota Sunni, Qayrawan. Mulailah sejak saat itu berdirilah kekhalifahan Fatimiyah dengan khalifah pertama adalah Sa’id dengan gelar Ubaidillah al-Mahdi (Karim, 2003, 1: 96).


Tentang asal-usul Sa’id, para sejarawan berbeda pendapat seperti Ibn Al-Atsir, Ibn Khaldun, Makrizi, dan banyak yang lainnya menyatakan, bahwa ia adalah keturunan dari Fatimah, sedangkan Ibnu Khalikan, Ibnu Ijari, Sayuti, dan Ibnu Tagribirdi menolaknya sebagai keturunan Fatimah (Karim, 2003 (1): 96). Menurut Saunders, tidak seorangpun yang dapat melacak asal-usulnya secara memuaskan. Kesulitan untuk melacak asal-usul tokoh Fatimiyah itu dikarenakan oleh model pergerakan Syi’ah yang Underground. Karena, bawah tanah tidak bisa dijejaki. Sifat rahasia dalam gerakan Syi’ah menjadi penghalang bagi pencarian bukti-bukti sejarah yang dapat menjelaskan proses gerakan tersebut berlangsung. Hal yang sama juga terjadi dalam pembentukan dinasti Fatimiyah. Sa’id terkenal dengan Imam Ubaidillah Al-Mahdi dengan pusat kekuasaannya di Raqqadah. Karena, Raqqadah terlalu dekat dengan kota pusat Sunni, Qayrawan, maka pusat pemerintahan di pindahan ke Al-Mahdiah, sekitar 16 mil arah tenggara dari Raqqadah pada 915 M (Karim, 2003 (1): 97). Pusat pemerintahan mereka yang baru ini merupakan kenang-kenangan dan sebagai pengekalan dari kerinduan mereka terhadap Imam Al-Mahdi Al-Mutazar. Sebenarnya nama ini diambil dari pendirinya, Ubaidillah Al-Mahdi 909-934 M. (Rahman, 1977: 275). Sepeninggal al-Mahdi, Al-Qain 934-946 M naik takhta. Pada masa ini, armada Fatimah menyerang pantai selatan Perancis dan menaklukan Genoa. Penggantinya Al-Mansur 946-952 M. Semasa khalifah IV, Mu’iz li Dinillah 952-975 M, kekalifahan Fatimiyah memasuki era baru (Rahman, 1977: 140-142 dan Karim, 1972: 463-464).


Setelah Mesir diketahui sebagai daerah yang makmur dan penduduknya dapat menerima berbagai aliran mazhab, maka Mu’iz menyerang Mesir dengan alasan untuk melindungi kaum Syi’ah yang ada di sana. Saat itu terjadi sengketa pelaksaan upacara keagamaan mereka antara lain ketika mereka mengadakan perayaan ‘Id al-Gadir (Syalaby, 1973: 428-429). Khalifah berkenan mengirimkan bala tentara di pimpin jenderal Jawhar dengan alasan melindungi para penganut Syi’ah dan merebut kekuasaan dari tangan gubernur Abbasiyah, Abu Al-Khawarij, pada tahun 969 M. pada masa Mu’iz inilah, puncak kejayaan Fatimiyah terukir, ia berhasil menyamai keberhasilan Abdurrahman III di Andalusia. Selama 3 tahun Jawhar berusaha untuk mendirikan dan membangun pusat pemerintahan, Mesir baru, diberi nama Al-Qahira (Kairo) sebagai ganti dari pusat ibukota Mesir pada tahun 639-969 M. Baru setelah Mu’iz datang pada tahun 971 M ke sana, Kairo resmi dijadikan sebagai pusat pemerintahan Fatimiyah sebagai ganti pusat pemerintahan mereka yang lama di Al-Mahdiyah (Karim, 2003 (1): 97).


Pada masa Kahlifah Abu Mansur Nizhar Al-aziz 975-996 M yang terkenal paling pandai, pencinta ilmu dan ambisius, kekusaan Fatimiyah mencapai puncak kejayaannya, terlebih dalam kegiatan intelektual. Guna kegiatan ilmiah ia membangun Dar al-Hikmah di Kairo. Kekuasaannya meliputi dari Samudera Atlantik sampai ke Laut Merah, Yaman, Makkah, Damaskus, bahkan Mosul pun mengakui kekuasannya yang ditunjukkan dengan penyebutan namanya dalam setiap khutbah Jum’at. Setelah wafat, putranya, Al-Hakim bin Amrillah (Sebutan Hakim) baik tahta, yang berhasil membangun observasium yang terbesar di pegunungan Mukattam. Jika diamati secara historis, pemikiran, paham, dan keyakinan yang dianut oleh khalifah Hakim serta para pengikutnya yang masih eksis dan terkenal sebagai kelompok Hakimiah atau Daruzi jauh dari inti-inti ajaran Islam terutama kepercayaan mereka yang sesat dengan keyakinan, bahwa khalifah ke enam dari dinasti Fatimiyah, Hakim (996-1021 M) memiliki kekuatan ketuhanan dan sejak ia hilang di pegunungan Mukattam, maka (menurut pengikut) akhir dari tanda Tuhan sudah lenyap dari muka bumi, ia tidak mati, dan akan kembali sebagai Imam Mahdi (Karim, 2003, (1): 8 dan Rahman, 1977:283). Sejak itulah masa kejayaan Fatimiyah tahap surut sampai akhirnya pada tahun 1171 M. Khalifah XIV al-Adid ditaklukkan oleh Salah al-Din Ayyubi, maka berakhirlah kekuasaan Fatimiyah selama setengah Abad lebih (Karim, 2003 (1): 101-103).



  1. Kemajuan Dinasti Fatimiyah

Kekhalifahan Fatimiyah yang berdiri di mesir tetap menganut system pemerintahan yang di jalankan oleh kekhalifahan Fatimiyah yang ada di al-maghrib yaitu sistem yang berdasarkan pada pokok pikiran yang menganggap, Imam-Imam mereka bersih dari kesalahan dan dilindungi dari dosa (Hasan 1958:264), karena menurut mereka yang berhak memangku jabatan kepala pemerintahan ialah keturunan dari Fatimah Binti Rasulullah. Mereka ini menisbahkan diri kepada Fatimah, karena beranggapan, bahwa mereka adalah keturunan dari Fatimah putri Rasulullah. Meskipun kadang-kadang mereka disebut ‘Alawin, tetapi mereka tidak pernah menyebut pemerintahannya sebagai Daulah ‘Alawin karena mereka ingin menunjukan pengertian, bahwa yang termasuk golongan Fatimiyah aalah keturunan Ali dari pancaran Fatimah, bukan keturunan Ali dari pancaran ibu yang lain. Orang sunni menyebutkan mereka adalah Ubaydiin yang maknanya pengikut-pengikut Ubaydillah al-Mahdi (Karim,2003(1):95-97). Dari uraian tersebut tampak, bahwa system pemerintahan Fatimiyah bernadakan teokrasi karena menurut anggapan mereka, jabatan Khalifah itu di tentukan oleh (n’ash) seperti yang mereka yakini ketika nabi mewasiatkan kepemimpinan kepada Ali di Gadir Khummah. Kemudian yang menunjukan kebenaran system pemerintahan mereka bersifat teokratis ialah nama-nama yang di berikan kepada keturunan Ali, dan yang berhak menjabat sebagai Khalifah seperti al-Mui’z li Dinillah, al-Aziz Bilah, Biamrillah, al-Zahir li Dinillah dan al-Mustansir Billah. System pengangkatan kepala Negara adalah system penunjukan. Hasan Ibrahim Hasan menerangkan bahwa apabila seorang Khalifah Fatimiyah ajalnya sudah dekat, ia segera menunjuk salah seorang anaknya. Kemudian setelah Khalifah itu meninggal barulah penggantinya tersebut diambil sumpah setianya. Banyak diantara Khalifah yang baru diangkat, menyembunikan kematian ayahnya apabila pada saat itu terjadi suatu ancaman terhadap kekuasannya seperti al-Qaim Billah menyembunyikan kematian al-Qaim Billah, sehingga ia mendapat kemenangan melawan pemberontakan (336 H) dari Abu Yazid. Barulah setelah kemenangannya ia menyiarkan wafat ayahnya.


Dari keterangan ini terlihat bahwa kepala Negara ditentukan melalui penunjukkan sehingga tidak disalahkan kalau ada orang yang mengatakan, bahwa untuk pemerintahan Fatimiyah bersifat monarki bahkan bisa saja dikatakan monarki absolute (Karim, 2003 (1): 99 dan 102). Pemerintahak dipimpin oleh seorang khalifah, di bawahnya terdapat menteri-menteri yang bertanggunjawab kepada khalifah. Mereka ini memiliki jabatan masing-masing, dan bertanggungjawab pula terhadap tugas yang diserahkan kepada mereka. Jabatan menteri ini diserahkan kepada orang yang mampu dan memilki kecakapan dalam urusan masing-masing. Dalam hal ini, tampak adanya toleransi bahkan ahli dzimah pun apabila memenuhi kecapakan dapat diserahi jabatan mentri. Istilah wazir ini baru tampak pada zaman khalifah al-Aziz Billah, meskipun istilah itu sudah pernah ada pada masa kekuasaan dinasti Toulun (868-905 M) dan Ikhsid (935-969 M). diantara menterinya yang terkenal adalah Yakub ibn Killis, ia diserahi tugas wilayah Mazhalim. Dalam istana terdapat beberapa direktorat (diwan) yang sebagian meneliti urusan pajak yang mengurusi urusan tanah kharaj (Karim, 2003 (1): 99).


Orang Fatimiyah beranggapan bahwa Afrika Utara sebagai tanah air mereka yang kedua. Oleh karena itu,mereka sangat keras dan berhati-hati dalam melaksanakan politik daerah kekuasaannya yang luas dari al-Maghrib sampai Mesir. Sesudah itu merembes ke Syam, Palestina, dan Hijaz serta Yaman. Pusat pemerintahan terletak di Mesir (Kairo) sebagai pusat pengendali pemerintahan yang sedemikian luas itu (Karim, 2003 (1): 99). Wilayah kekuasaan terbagi menjadi 4, yaitu wilayah Qus, yaitu wilayah besar yang meliputi wilayah Mesir. Wilayah timur meliputi wilayah daerah Bilbis, Qoliub dan Asymum. Wilayah barat yang meliputi Manup dan Abyar. Wilayah Iskandar, yang meliputi pesisir laut tengah. Disamping itu, juga terdapat tata administrasi yang memiliki tugas mengurusi kelancaran tata pemerintahan: urusan kemiliteran, departemen kemakmuran, urusan perhubungan, dan urusan kepolisian (Karim, 2003 (1): 99-100).


Secara keseluruhan tata administrasi kekhalifahan ini hampir menyerupai tata pemerintahan Umayah dan Abbasiyah. Dalam hal ini mereka mengambil alih dari tata administrasi dan sangat menguntungkan perluasan daerah. Disamping itu, mereka sudah mengenal adanya ketatanegaraan. Hal itu dapat dikenal dengan adanya tata politik, tata administrasi, tata keuangan, tata kemiliteran dan tata peradilan.


Dasar-dasar pranata social kekhalifahan yang berlaku pada kekhalifahan Fatimiyah ini lebih merupakan bersifat teokrasi karena mereka berkeyakinan bahwa khalifah itu ditentukan oleh n’ash artinya system yang berlaku adalah system penunjukan, yang menurut mereka khalifah itu hak dari Ali yang mendapat wasial dari Rasul untuk menggantikannya, dan untuk seterusnya hak khalifah tersebut menjadi hak keturunan Fatimiyah pusat pemerintahan adalah di luar kota Fustat (962-972 M) yaitu sebuah kota yang dibina atas dasar penunjukkan dari seorang ahli perbintangan berkebangsaan Moor yang dibawa oleh Muiz dari Afrika Utara. Kota itu diberi nama al-Qahira (nama sebuah planet merah/Mars). Dalam versi yang lain al-Qahira itu berarti pemenang atau tak terkalahkan (the victorious) (Karim, 2003 (1): 102-103).



  1. Kemunduran Dinasti Fatimiyah

Kemunduran Dinasti Fatimiyah berawal pada pemerintahan Khilafah al-Hâkim. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 11 tahun. Al-Hâkim memerintah dengan tangan besi, masanya dipenuhi dengan tindak kekerasan dan kekejaman. Ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja kristen, termasuk sebuah gereja yang di dalamnya terdapat Kuburan Suci umat Kristen. Maklumat penghancuran Kuburan Suci ini ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibn Abdûn. Peristiwa ini merupakan salah satu penyebab terjadinya Perang Salib. Ia memaksa umat Kristen dan Yahudi memakai jubah hitam, dan mereka hanya diperbolehkan menunggangi keledai.  Orang-orang Yahudi dan Nasrani dibunuh dan aturan-aturan tidak ditegakan dengan konsisten.  Ia juga dengan mudah membunuh orang yang tidak disukainya, bahkan pernah membakar sebuah desa tanpa alasan yang jelas. Kemudian pada tahun 381 H / 991 M ia menyerang Aleppo dan berhasil merebut Homz dan Syaizar dari tangan penguasa Arab. Peristiwa  ini menimbulkan sikap oposan dari penduduk dan menyeret  Daulah Fatimiyah  dalam konflik dengan Bizantium. Walaupun pada akhirnya al-Hâkim berhasil mengadakan perjanjian damai dengan Bizantium selama sepuluh tahun.

Al-Hâkim kemudian memilih mengikuti perkembangan ekstrem ajaran Ismailiyah, dan menyatakan dirinya sebagai penjelmaan Tuhan. Ia meninggalkan istana dan berkelana hingga akhirnya terbunuh di Mukatam pada 13 Pebruari 1021. Kemungkinan ia dibunuh oleh persekongkolan yang dipimpin adik perempuannya, Sitt al-Mulûk, yang telah diperlakukan tidak hormat olehnya.

Al-Hâkim kemudian digantikan oleh az-Zâhir, anaknya sendiri. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 16 tahun. Pada mulanya Dinasti Fatimiyah didirikan oleh bangsa Arab dan orang Barbar, tapi ketika masa az-Zâhir situasi berubah, khalifah lebih mendekati keturunan Turki. Hal ini menjadi pemicu timbulnya pertikaian antara orang Turki dan suku Barbar di dalam pemerintahan Fatimiyah. Az-Zâhir mendapat izin dari Konstantin ke VIII agar namanya disebutkan dimasjid-masjid yang berada di bawah kekuasaan sang kaisar. Ia juga mendapat izin untuk memperbaiki masjid yang berada di Konstantinopel. Ini semua sebagai balasan terhadap restu sang khalifah untuk membangun kembali gereja yang didalamnya terdapat Kuburan Suci, dimana dulu gereja ini dihancurkan oleh al-Hâkim.

Setelah meninggal az-Zâhir kemudian digantikan oleh anaknya sendiri yang baru berusia 11 tahun, yaitu al-Mustanshir.  Mulai masa ini sistem pemerintahan Dinasti Fatimiyah berubah menjadi parlementer, artinya khalifah hanya berfungsi sebagai simbol saja, sementara pemegang kekuasaan pemerintahan adalah para mentri. Oleh karena itulah masa ini disebut “ahdu nufuzil wazara” (masa pengaruh mentri-mentri). Al-Mustanshir sebagaimana juga az-Zâhir lebih mendekati keturunan Turki, hingga muncul dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar. Perang saudarapun tidak dapat dielakan. Setelah meminta bantuan Badrul Jamal dari Suriah, khalifah dan orang Turki dapat mengalahkan Barbar, dan berakhirlah kekuasaan orang Barbar di dalam Dinasti Fatimiyah.

Pada masa al-Mustanshir ini kekuasaan Dinasti Fatimiyah di wilayah Suriah mulai terkoyak dengan cepat.  Sementara di Palestina sering terjadi pemberontakan terbuka. Sebuah kekuatan besar yang datang dari timur, yaitu bani Saljuk dari Turki, juga membayang-bayangi. Pada waktu yang bersamaan propinsi-propinsi Fatimiyah di Afrika memutuskan hubungan dengan pusat kekuasaan, bermaksud memerdekakan diri dan kembali kepada sekutu lama mereka, Dinasti Abasiyyah. Pada tahun 1052, suku Arab yang terdiri dari bani Hilal dan bani Sulaim yang mendiami dataran tinggi Mesir memberontak. Mereka bergerak ke bagian barat dan berhasil menduduki Tripoli dan Tunisia selama beberapa tahun.

Sementara itu pada tahun 1071, sebagian besar wilayah Sisilia, yang mengakui kedaulatan Fatimiyah dikuasai oleh bangsa Normandia yang daerah kekuasaannya terus meluas hingga meliputi sebagian pedalaman Afrika. Hanya kawasan Semenanjung Arab yang mengakui kekuasaan Fatimiyah.

Az-Zâhir kemudian digantikan oleh al-Mustanshir. Di masa ini terjadi kekacauan dimana-mana. Kericuhan dan pertikaian terjadi antara orang-orang Turki, suku Barbar dan pasukan Sudan. Kekuasaan negara lumpuh dan kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun telah melumpuhkan perekonomian negara. Di tengah kekacauan itu, pada tahun 1073 khalifah memanggil Badr al-Jamalî, orang Armenia bekas budak dari kegubernuran Akka dan memberinya wewenang untuk bertindak sebagai wazir dan panglima tertinggi. Amîr al-Juyûsî (komandan Perang) yang baru ini mengambil komando dengan seluruh kekuatan yang ia punya untuk memadamkan berbagai kekacauan dan memberikan nyawa baru pada pemerintahan Fatimiyah. Tapi usaha ini, yang juga diteruskan oleh anak dan penerus al-Mustanshir yaitu al-Afdhal, tidak dapat menahan kemunduran Dinasti ini.

Tahun-tahun terakhir dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah ditandai dengan munculnya perseteruan yang terus menerus antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Setelah al-Mustanshir wafat, terjadi perpecahan serius dalam tubuh Ismailiah. Perpecahan itu terjadi antara dua kelompok yang berada di belakang kedua anak al-Mustansir yaitu Nizar dan al-Musta’li. Pendukung Nizar lebih aktif, ekstrim dan menjadi gerakan pembunuh. Sedangkan pendukung al-Musta’li lebih moderat. Akhirnya yang terpilih menjadi khalifah adalah al-Musta’li karena ia didukung oleh al-Afdhal. Al-Afdhal mendukung al-Musta’li dengan harapan ia akan memerintah dibawah pengaruhnya. Akan tetapi basis spiritual Ismailiah menjadi runtuh. Setelah al-Musta’li wafat, al-Amin, anak al-Musta’li yang baru berumur lima tahun diangkat sebagai khalifah.

Al-Amin kemudian   digantikan oleh al-Hafidz. Ketika ia meninggal kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan saja. Anak dan penggantinya, az-Zhafir diangkat menjadi khalifah dalam usia yang masih sangat muda hingga. Merasa tidak mampu menghadapi tentara salib, khalifah az-Zafir melalui wazirnya Ibnu Salar, meminta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki, penguasa Suriah di bawah kekuasaan Baghdad. Nurudin mengirim pasukannya ke Mesir di bawah panglima Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin al-Ayubi yang kemudian berhasil membendung invasi tentara salib ke Mesir.  Kemudian kekuasaan az-Zafir direbut  oleh wazirnya, Ibnu Sallar. Tapi Ibnu Sallar kemudian dibunuh, dan az-Zafir juga terbunuh secara misterius. Kemudian naiklah al-Faiz, anak az-Zhafir yang baru berusia empat tahun, sebagai khalifah. Khalifah kecil ini meninggal dalam usia 11 tahun dn digantikan oleh sepupunya al-Adhid yang baru berumur sembilan tahun. Maka pada tahun 1167 M pasukan Nuruddin az-Zanki untuk kedua kalinya kembai memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Kedatangan mereka kali ini tidak hanya membantu melawan kaum salib tetapi juga untuk menguasai Mesir. Daripada Mesir dikuasai tentara salib, lebih baik mereka sendiri yang menguasainya. Apalagi Perdana Mentri Mesir waktu itu, Syawar, telah melakukan penghianatan. Akhirnya  pasukan Nuruddin berhasil mengalahkan tentara salib dan menguasai Mesir.

Semenjak itu kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Apalagi ia mendapat dukungan dari masyarakat yang mayoritas sunni. Peristiwa ini menyebabkan  menguatnya pengaruh Nuruddin Zangki dan panglimanya Salahuddin al-Ayubi. Puncaknya terjadi pada masa al-Adid, pada masa pemerintahannya Salahuddin telah menduduki jabatan wazir. Dengan kekuasaannya Salahuddin menghormati dan memberikan kesempatan kepada orang-orang Fathimy. Namun ketika al-Adhid jatuh sakit pada tahun 555 H / 1160 M, Salahudin al-Ayubi mengadakan pertemuan dengan para pembesar untuk menyelengarakan khutbah dengan menyebut nama khalifah Abasiyyah, al-Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuh dan berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah untuk kemudian digantikan oleh Dinasti Ayubiyyah.

Dinasti Fatimiyah berkuasa selama 262 tahun, dari tahun 297 H/ 909 M sampai tahun 567 H/ 1171 M. Selama itu berkuasa 14 orang khalifah, yaitu:

1.  Ubaidillah (al-Mahdi) (909-934)

2.  al-Qa’im (934-946)

3.  al-Mansur (946-952)

4.  al-Mu’izz (952-975)

5.  al-Aziz (975-996)

6.  al-Hâkim (996-1021)

7.  az-Zâhir (1021-1035)

8.  al-Mustansir (1035-1094)

9.  al-Musta’li (1094-1101)

10.  al-Amin (1101-1130)

11.  al-Hafiz (1130-1149)

12.  az-Zafir (1149-1154)

13.  al-Fa’iz (1154-1160)

14.  al-Adid (1160-1171)


  1. Kelemahan Dinasti Fatimiyah

Keruntuhan Dinasti Fatimiyah disebabkan oleh beberapa kelemahan yang ada pada masa pemerintahannya. Kelemahan-kelemahan itu antara lain:

  1. Pada fase kedua, sistem pemerintahan berubah menjadi sistem parlementer.
  2. Adanya resistensi dari orang-orang Sunni dan Nasrani di Mesir.
  3. Terjadinya perebutan kekuasaan antara bangsa Barbar dan bangsa Turki terutama dalam bidang militer.
  4. Madzhab Syi’ah.
  5. Datangnya serbuan dari tentara salib.
  6. Lemahnya para khilafah.

 Perluasan wilayah difokuskan ke bagian Timur sementara pembinaan di Afrika Utara terabaikan sehingga menyebabkan berkurangnya pengaruh Dinasti Fatimiyah di sana. Akhirnya Afrika Utara melepaskan diri dan membentuk pemerintahan sendiri. Terlebih lagi, para penguasanya itu selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah, dan adanya pemaksaan ideologi syi’ah kepada rakyat yang mayoritas sunni.


DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Hasan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Terj. Jahdan Ibnu humam. Yogyakarta: Kota Kembang, 1986.

Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.

Rahman, Syaikh Muhammad Lutfar. Islam. Dhaka: Bangla Academy, 1977.

Syalabi, Ahmad. Sejarah Kebudayaan Islam. Vol. III. Jakarta: Alhusna Zikra, 1997.

0 comments:

Post a Comment