- Awal Berdirinya Dinasti Fatimiyah
Telah
disebutkan bahwa ketika dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai melemah,
lahirlah kekhalifahan Fatimiyah, salah satu dinasti Islam beraliran
Syi’ah Isma’liah, pada 909 M di Afrika Utara setelah mengalahkan
dinasti Aghlabiah di Sijilmasa. Dalam sejarah, kejayaan dinasti
Fatimah datang setelah pusat kekuasaannya di pindahkan dari Tunisia
(al-Mahdiah) ke Mesir. Kekuasaan Syi’ah tersebut berakhir pada 1171
M. kekhalifahan Fatimiyah lahir sebagai manifestasi dari idealisme
orang-orang Syi’ah yang beranggapan bahwa yang berhak memangku
jabatan imamah adalah keturuna dari Fatimah Binti Rasulullah.
Kekhalifahan ini lahir diantara dua kekuatan politik, Abbasiyah di
Baghdad, dan Umayah II di Cordova. Sebenernya golongan Syi’ah sudah
lama mencita-citakan berdirinya kekhalifahan sejak pudarnya
kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib di Kufah. Mereka selalu mendapat
tekanan-tekanan politik semasa priode kehalifahan Umayah hingga
Abbasiyah. Itulah sebabnya mereka tidak berani menampakkan kegiatan
politik terhadap pemerintah Umayah maupun Abbasiyah. Dalam kegiatan
politiknya, mereka melakukan gerakan Taqiyah
yang
kelihatannya taat terhadap penguasa tetapi sebenarnya mereka menyusun
kekuatan secara diam-diam (Karim, 2003 (1): 95-96 dan Rahman, 1977:
262-276).
Di
daerah Al-Magrib
terdapat
sekelompok orang Syi’ah yang mendapatkan banyak dukungan dari orang
penganut mazhab Maliki. Daerah itu kemudian berkembang menjadi daerah
yang memberikan angin segar bagi tumbuh suburnya ide-ide mereka
(Hasan, 1958: 112). Dari segi geografis, daerah ini sangat
menguntungkan karena jauh dari pengwasan Damaskus maupun Baghdad. Di
tengah-tengah keleluasaan inilah mereka memiliki kesempatan emas
untuk mendirikan kekuasaan diam-diam. Sejarah menuturkan, bahwa
pendiri dinasti Fatimiyah adalah Sa’id ibn Husain (kemungkinan ia
adalah keturunan Abdullah ibn Maimun, pemimpin Syi’ah dari Persia).
Sejak berdirinya dinasti Abbasiyah, mereka secara diam-diam
menyebarkan misi Isma’liah di bawah pimpinan yang cermat. Gerakan
ini berhasil membangun fondasi yang kuat bagi berdirinya dinasti
Fatimiyah. Pada akhir abad ke 9 M, Abu Abdullah Al-Husain Al-Syi’I,
salah seorang propagandis utama dari pemimpin Syi’ah Isma’liah,
berasal dari Yaman, memperkenalkan diri dari kalangan orang Kitama,
anak dari suku Berber di Afrika Utara, sebagai utusan utama dari Imam
Mahdi. Al-Syi’I berhasil mempengaruhi masyarakat Berber tersebut
untuk mengikuti misinya. Pada saat itu, Ziadatullah Al-Aghlabi
903-909 M (dinasti Aghlabiah) sedang berkuasa di Afrika Utara yang
berpusat di Sijilmasa. Pasukan Al-Syi’i berhasil mengalahkan
pasukan Aghlabi sebanyak dua kali. Al-Syi’i kemudian mengundang
Sa’id agar datang untuk memangku jabatan sebagai pemimpin (Karim,
2003 (1): 96-97). Mendengar kemajuan Al-Syi’i, Sa’id meninggalkan
Salamiah, pusat kegiatan Syi’ah secara rahasia, menuju ke Afrika
Utara dengan menyamar sebagai pedagang. Berita kepergian Sa’id
berhasil di dengar oleh khalifah Abbasiyah di Baghdad yang kemudian
mengirim mata-mata untuk menangkap Sa’id dan pengikutnya. Meskipun
menyamar, Sa’id tertangkap di Sijilmasa. Segera Al-Syi’I menuju
ke Sijilmasa dan berhasil mengalahkan Ziadatullah (Karim, 1972: 462)
dan membebaskannya dari tahanan. Sa’id mengumumkan dirinya sebagai
pendiri dinasti Fatimiyah di Raqqadah--sebagai ibukota—sebelah
tenggara sekitar 10 mil dari ibukota Sunni, Qayrawan. Mulailah sejak
saat itu berdirilah kekhalifahan Fatimiyah dengan khalifah pertama
adalah Sa’id dengan gelar Ubaidillah al-Mahdi (Karim, 2003, 1: 96).
Tentang
asal-usul Sa’id, para sejarawan berbeda pendapat seperti Ibn
Al-Atsir, Ibn Khaldun, Makrizi, dan banyak yang lainnya menyatakan,
bahwa ia adalah keturunan dari Fatimah, sedangkan Ibnu Khalikan, Ibnu
Ijari, Sayuti, dan Ibnu Tagribirdi menolaknya sebagai keturunan
Fatimah (Karim, 2003 (1): 96). Menurut Saunders, tidak seorangpun
yang dapat melacak asal-usulnya secara memuaskan. Kesulitan untuk
melacak asal-usul tokoh Fatimiyah itu dikarenakan oleh model
pergerakan Syi’ah yang Underground.
Karena, bawah tanah tidak bisa dijejaki. Sifat rahasia dalam gerakan
Syi’ah menjadi penghalang bagi pencarian bukti-bukti sejarah yang
dapat menjelaskan proses gerakan tersebut berlangsung. Hal yang sama
juga terjadi dalam pembentukan dinasti Fatimiyah. Sa’id terkenal
dengan Imam Ubaidillah Al-Mahdi dengan pusat kekuasaannya di
Raqqadah. Karena, Raqqadah terlalu dekat dengan kota pusat Sunni,
Qayrawan, maka pusat pemerintahan di pindahan ke Al-Mahdiah, sekitar
16 mil arah tenggara dari Raqqadah pada 915 M (Karim, 2003 (1): 97).
Pusat pemerintahan mereka yang baru ini merupakan kenang-kenangan dan
sebagai pengekalan dari kerinduan mereka terhadap Imam Al-Mahdi
Al-Mutazar. Sebenarnya nama ini diambil dari pendirinya, Ubaidillah
Al-Mahdi 909-934 M. (Rahman, 1977: 275). Sepeninggal al-Mahdi,
Al-Qain 934-946 M naik takhta. Pada masa ini, armada Fatimah
menyerang pantai selatan Perancis dan menaklukan Genoa. Penggantinya
Al-Mansur 946-952 M. Semasa khalifah IV, Mu’iz li Dinillah 952-975
M, kekalifahan Fatimiyah memasuki era baru (Rahman, 1977: 140-142 dan
Karim, 1972: 463-464).
Setelah
Mesir diketahui sebagai daerah yang makmur dan penduduknya dapat
menerima berbagai aliran mazhab, maka Mu’iz menyerang Mesir dengan
alasan untuk melindungi kaum Syi’ah yang ada di sana. Saat itu
terjadi sengketa pelaksaan upacara keagamaan mereka antara lain
ketika mereka mengadakan perayaan ‘Id
al-Gadir (Syalaby,
1973: 428-429). Khalifah berkenan mengirimkan bala tentara di pimpin
jenderal Jawhar dengan alasan melindungi para penganut Syi’ah dan
merebut kekuasaan dari tangan gubernur Abbasiyah, Abu Al-Khawarij,
pada tahun 969 M. pada masa Mu’iz inilah, puncak kejayaan Fatimiyah
terukir, ia berhasil menyamai keberhasilan Abdurrahman III di
Andalusia. Selama 3 tahun Jawhar berusaha untuk mendirikan dan
membangun pusat pemerintahan, Mesir baru, diberi nama Al-Qahira
(Kairo) sebagai ganti dari pusat ibukota Mesir pada tahun 639-969 M.
Baru setelah Mu’iz datang pada tahun 971 M ke sana, Kairo resmi
dijadikan sebagai pusat pemerintahan Fatimiyah sebagai ganti pusat
pemerintahan mereka yang lama di Al-Mahdiyah (Karim, 2003 (1): 97).
Pada
masa Kahlifah Abu Mansur Nizhar Al-aziz 975-996 M yang terkenal
paling pandai, pencinta ilmu dan ambisius, kekusaan Fatimiyah
mencapai puncak kejayaannya, terlebih dalam kegiatan intelektual.
Guna kegiatan ilmiah ia membangun
Dar al-Hikmah di
Kairo. Kekuasaannya meliputi dari Samudera Atlantik sampai ke Laut
Merah, Yaman, Makkah, Damaskus, bahkan Mosul pun mengakui kekuasannya
yang ditunjukkan dengan penyebutan namanya dalam setiap khutbah
Jum’at. Setelah wafat, putranya, Al-Hakim bin Amrillah (Sebutan
Hakim) baik tahta, yang berhasil membangun observasium yang terbesar
di pegunungan Mukattam. Jika diamati secara historis, pemikiran,
paham, dan keyakinan yang dianut oleh khalifah Hakim serta para
pengikutnya yang masih eksis dan terkenal sebagai kelompok Hakimiah
atau Daruzi jauh dari inti-inti ajaran Islam terutama kepercayaan
mereka yang sesat dengan keyakinan, bahwa khalifah ke enam dari
dinasti Fatimiyah, Hakim (996-1021 M) memiliki kekuatan ketuhanan dan
sejak ia hilang di pegunungan Mukattam, maka (menurut pengikut) akhir
dari tanda Tuhan sudah lenyap dari muka bumi, ia tidak mati, dan akan
kembali sebagai Imam Mahdi (Karim, 2003, (1): 8 dan Rahman,
1977:283). Sejak itulah masa kejayaan Fatimiyah tahap surut sampai
akhirnya pada tahun 1171 M. Khalifah XIV al-Adid ditaklukkan oleh
Salah al-Din Ayyubi, maka berakhirlah kekuasaan Fatimiyah selama
setengah Abad lebih (Karim, 2003 (1): 101-103).
- Kemajuan Dinasti Fatimiyah
Kekhalifahan
Fatimiyah yang berdiri di mesir tetap menganut system pemerintahan
yang di jalankan oleh kekhalifahan Fatimiyah yang ada di al-maghrib
yaitu
sistem yang berdasarkan pada pokok pikiran yang menganggap, Imam-Imam
mereka bersih dari kesalahan dan dilindungi dari dosa (Hasan
1958:264), karena menurut mereka yang berhak memangku jabatan kepala
pemerintahan ialah keturunan dari Fatimah Binti Rasulullah. Mereka
ini menisbahkan diri kepada Fatimah, karena beranggapan, bahwa mereka
adalah keturunan dari Fatimah
putri Rasulullah.
Meskipun kadang-kadang mereka disebut ‘Alawin, tetapi mereka tidak
pernah menyebut pemerintahannya sebagai Daulah ‘Alawin
karena
mereka ingin menunjukan pengertian, bahwa yang termasuk golongan
Fatimiyah aalah keturunan Ali dari pancaran Fatimah, bukan keturunan
Ali dari pancaran ibu yang lain. Orang sunni menyebutkan mereka
adalah Ubaydiin yang maknanya pengikut-pengikut Ubaydillah al-Mahdi
(Karim,2003(1):95-97). Dari uraian tersebut tampak, bahwa system
pemerintahan Fatimiyah bernadakan teokrasi karena menurut anggapan
mereka, jabatan Khalifah itu di tentukan oleh (n’ash)
seperti yang mereka yakini ketika nabi mewasiatkan kepemimpinan
kepada Ali di Gadir Khummah. Kemudian yang menunjukan kebenaran
system pemerintahan mereka bersifat teokratis ialah nama-nama yang di
berikan kepada keturunan Ali, dan yang berhak menjabat sebagai
Khalifah seperti al-Mui’z li Dinillah, al-Aziz Bilah, Biamrillah,
al-Zahir li Dinillah dan al-Mustansir Billah. System pengangkatan
kepala Negara adalah system penunjukan. Hasan Ibrahim Hasan
menerangkan bahwa apabila seorang Khalifah Fatimiyah ajalnya sudah
dekat, ia segera menunjuk salah seorang anaknya. Kemudian setelah
Khalifah itu meninggal barulah penggantinya tersebut diambil sumpah
setianya. Banyak diantara Khalifah yang baru diangkat, menyembunikan
kematian ayahnya apabila pada saat itu terjadi suatu ancaman terhadap
kekuasannya seperti al-Qaim Billah menyembunyikan kematian al-Qaim
Billah, sehingga ia mendapat kemenangan melawan pemberontakan (336 H)
dari Abu Yazid. Barulah setelah kemenangannya ia menyiarkan wafat
ayahnya.
Dari
keterangan ini terlihat bahwa kepala Negara ditentukan melalui
penunjukkan sehingga tidak disalahkan kalau ada orang yang
mengatakan, bahwa untuk pemerintahan Fatimiyah bersifat monarki
bahkan bisa saja dikatakan monarki absolute (Karim, 2003 (1): 99 dan
102). Pemerintahak dipimpin oleh seorang khalifah, di bawahnya
terdapat menteri-menteri yang bertanggunjawab kepada khalifah. Mereka
ini memiliki jabatan masing-masing, dan bertanggungjawab pula
terhadap tugas yang diserahkan kepada mereka. Jabatan menteri ini
diserahkan kepada orang yang mampu dan memilki kecakapan dalam urusan
masing-masing. Dalam hal ini, tampak adanya toleransi bahkan ahli
dzimah
pun
apabila memenuhi kecapakan dapat diserahi jabatan mentri. Istilah
wazir
ini
baru tampak pada zaman khalifah al-Aziz Billah, meskipun istilah itu
sudah pernah ada pada masa kekuasaan dinasti Toulun (868-905 M) dan
Ikhsid (935-969 M). diantara menterinya yang terkenal adalah Yakub
ibn Killis, ia diserahi tugas wilayah Mazhalim. Dalam istana terdapat
beberapa direktorat (diwan)
yang sebagian meneliti urusan pajak yang mengurusi urusan tanah
kharaj
(Karim,
2003 (1): 99).
Orang
Fatimiyah beranggapan bahwa Afrika Utara sebagai tanah air mereka
yang kedua. Oleh karena itu,mereka sangat keras dan berhati-hati
dalam melaksanakan politik daerah kekuasaannya yang luas dari
al-Maghrib sampai Mesir. Sesudah itu merembes ke Syam, Palestina, dan
Hijaz serta Yaman. Pusat pemerintahan terletak di Mesir (Kairo)
sebagai pusat pengendali pemerintahan yang sedemikian luas itu
(Karim, 2003 (1): 99). Wilayah kekuasaan terbagi menjadi 4, yaitu
wilayah Qus, yaitu wilayah besar yang meliputi wilayah Mesir. Wilayah
timur meliputi wilayah daerah Bilbis, Qoliub dan Asymum. Wilayah
barat yang meliputi Manup dan Abyar. Wilayah Iskandar, yang meliputi
pesisir laut tengah. Disamping itu, juga terdapat tata administrasi
yang memiliki tugas mengurusi kelancaran tata pemerintahan: urusan
kemiliteran, departemen kemakmuran, urusan perhubungan, dan urusan
kepolisian (Karim, 2003 (1): 99-100).
Secara
keseluruhan tata administrasi kekhalifahan ini hampir
menyerupai tata pemerintahan Umayah dan Abbasiyah. Dalam hal ini
mereka mengambil alih dari tata administrasi dan sangat menguntungkan
perluasan daerah. Disamping itu, mereka sudah mengenal adanya
ketatanegaraan. Hal itu dapat dikenal dengan adanya tata politik,
tata administrasi, tata keuangan, tata kemiliteran dan tata
peradilan.
Dasar-dasar
pranata social kekhalifahan yang berlaku pada kekhalifahan Fatimiyah
ini lebih merupakan bersifat teokrasi
karena
mereka berkeyakinan bahwa khalifah itu ditentukan oleh n’ash
artinya
system yang berlaku adalah system penunjukan, yang menurut mereka
khalifah itu hak dari Ali yang mendapat wasial dari Rasul untuk
menggantikannya, dan untuk seterusnya hak khalifah tersebut menjadi
hak keturunan Fatimiyah pusat pemerintahan adalah di luar kota
Fustat (962-972 M) yaitu sebuah kota yang dibina atas dasar
penunjukkan dari seorang ahli perbintangan berkebangsaan Moor yang
dibawa oleh Muiz dari Afrika Utara. Kota itu diberi nama al-Qahira
(nama
sebuah planet merah/Mars). Dalam versi yang lain al-Qahira
itu
berarti pemenang atau tak terkalahkan (the
victorious)
(Karim, 2003 (1): 102-103).
- Kemunduran Dinasti Fatimiyah
Kemunduran
Dinasti Fatimiyah
berawal pada pemerintahan Khilafah al-Hâkim. Ketika diangkat menjadi
khalifah ia baru berumur 11 tahun. Al-Hâkim memerintah dengan tangan
besi, masanya dipenuhi dengan tindak kekerasan dan kekejaman. Ia
membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja
kristen, termasuk sebuah gereja yang di dalamnya terdapat Kuburan
Suci umat Kristen. Maklumat penghancuran Kuburan Suci ini
ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibn Abdûn.
Peristiwa ini merupakan salah satu penyebab terjadinya Perang Salib.
Ia memaksa umat Kristen dan Yahudi memakai jubah hitam, dan mereka
hanya diperbolehkan menunggangi keledai. Orang-orang Yahudi dan
Nasrani dibunuh dan aturan-aturan tidak ditegakan dengan konsisten.
Ia
juga dengan mudah membunuh orang yang tidak disukainya, bahkan pernah
membakar sebuah desa tanpa alasan yang jelas. Kemudian pada tahun 381
H / 991 M ia menyerang Aleppo dan berhasil merebut Homz dan Syaizar
dari tangan penguasa Arab. Peristiwa ini menimbulkan sikap
oposan dari penduduk dan menyeret Daulah Fatimiyah dalam
konflik dengan Bizantium. Walaupun pada akhirnya al-Hâkim berhasil
mengadakan perjanjian damai dengan Bizantium selama sepuluh tahun.
Al-Hâkim
kemudian memilih mengikuti perkembangan ekstrem ajaran Ismailiyah,
dan menyatakan dirinya sebagai penjelmaan Tuhan. Ia meninggalkan
istana dan berkelana hingga akhirnya terbunuh di Mukatam pada 13
Pebruari 1021. Kemungkinan ia dibunuh oleh persekongkolan yang
dipimpin adik perempuannya, Sitt al-Mulûk, yang telah diperlakukan
tidak hormat olehnya.
Al-Hâkim
kemudian digantikan oleh az-Zâhir, anaknya sendiri. Ketika diangkat
menjadi khalifah ia baru berumur 16 tahun. Pada mulanya Dinasti
Fatimiyah
didirikan oleh bangsa Arab dan orang Barbar, tapi ketika masa
az-Zâhir situasi berubah, khalifah lebih mendekati keturunan Turki.
Hal ini menjadi pemicu timbulnya pertikaian antara orang Turki dan
suku Barbar di dalam pemerintahan Fatimiyah. Az-Zâhir mendapat izin
dari Konstantin ke VIII agar namanya disebutkan dimasjid-masjid yang
berada di bawah kekuasaan sang kaisar. Ia juga mendapat izin untuk
memperbaiki masjid yang berada di Konstantinopel. Ini semua sebagai
balasan terhadap restu sang khalifah untuk membangun kembali gereja
yang didalamnya terdapat Kuburan Suci, dimana dulu gereja ini
dihancurkan oleh al-Hâkim.
Setelah
meninggal az-Zâhir kemudian digantikan oleh anaknya sendiri yang
baru berusia 11 tahun, yaitu al-Mustanshir. Mulai masa ini
sistem pemerintahan Dinasti Fatimiyah berubah menjadi parlementer,
artinya khalifah hanya berfungsi sebagai simbol saja, sementara
pemegang kekuasaan pemerintahan adalah para mentri. Oleh
karena itulah masa ini disebut “ahdu
nufuzil wazara”
(masa pengaruh mentri-mentri). Al-Mustanshir sebagaimana juga
az-Zâhir lebih mendekati keturunan Turki, hingga muncul dua kekuatan
besar yaitu Turki dan Barbar. Perang saudarapun tidak dapat dielakan.
Setelah
meminta bantuan Badrul Jamal dari Suriah, khalifah dan orang Turki
dapat mengalahkan Barbar, dan berakhirlah kekuasaan orang Barbar di
dalam Dinasti Fatimiyah.
Pada
masa al-Mustanshir ini kekuasaan Dinasti Fatimiyah
di wilayah Suriah mulai terkoyak dengan cepat. Sementara di
Palestina sering terjadi pemberontakan terbuka. Sebuah kekuatan besar
yang datang dari timur, yaitu bani Saljuk dari Turki, juga
membayang-bayangi. Pada waktu yang bersamaan propinsi-propinsi
Fatimiyah di Afrika memutuskan hubungan dengan pusat kekuasaan,
bermaksud memerdekakan diri dan kembali kepada sekutu lama mereka,
Dinasti Abasiyyah. Pada tahun 1052, suku Arab yang terdiri dari bani
Hilal dan bani Sulaim yang mendiami dataran tinggi Mesir memberontak.
Mereka bergerak ke bagian barat dan berhasil menduduki Tripoli dan
Tunisia selama beberapa tahun.
Sementara
itu pada tahun 1071, sebagian besar wilayah Sisilia, yang mengakui
kedaulatan Fatimiyah
dikuasai oleh bangsa Normandia yang daerah kekuasaannya terus meluas
hingga meliputi sebagian pedalaman Afrika. Hanya kawasan Semenanjung
Arab yang mengakui kekuasaan Fatimiyah.
Az-Zâhir
kemudian digantikan oleh al-Mustanshir. Di masa ini terjadi kekacauan
dimana-mana. Kericuhan dan pertikaian terjadi antara orang-orang
Turki, suku Barbar dan pasukan Sudan. Kekuasaan negara lumpuh dan
kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun telah melumpuhkan
perekonomian negara. Di tengah kekacauan itu, pada tahun 1073
khalifah memanggil Badr al-Jamalî, orang Armenia bekas budak dari
kegubernuran Akka dan memberinya wewenang untuk bertindak sebagai
wazir dan panglima tertinggi. Amîr al-Juyûsî (komandan Perang)
yang baru ini mengambil komando dengan seluruh kekuatan yang ia punya
untuk memadamkan berbagai kekacauan dan memberikan nyawa baru pada
pemerintahan Fatimiyah.
Tapi usaha ini, yang juga diteruskan oleh anak dan penerus
al-Mustanshir yaitu al-Afdhal, tidak dapat menahan kemunduran Dinasti
ini.
Tahun-tahun
terakhir dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah
ditandai dengan munculnya perseteruan yang terus menerus antara para
wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Setelah
al-Mustanshir wafat, terjadi perpecahan serius dalam tubuh Ismailiah.
Perpecahan itu terjadi antara dua kelompok yang berada di belakang
kedua anak al-Mustansir yaitu Nizar dan al-Musta’li. Pendukung
Nizar lebih aktif, ekstrim dan menjadi gerakan pembunuh. Sedangkan
pendukung al-Musta’li lebih moderat. Akhirnya yang terpilih menjadi
khalifah adalah al-Musta’li karena ia didukung oleh al-Afdhal.
Al-Afdhal mendukung al-Musta’li dengan harapan ia akan memerintah
dibawah pengaruhnya. Akan tetapi basis spiritual Ismailiah menjadi
runtuh. Setelah al-Musta’li wafat, al-Amin, anak al-Musta’li yang
baru berumur lima tahun diangkat sebagai khalifah.
Al-Amin
kemudian digantikan oleh al-Hafidz. Ketika ia meninggal
kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan saja. Anak
dan penggantinya, az-Zhafir diangkat menjadi khalifah dalam usia yang
masih sangat muda hingga. Merasa tidak mampu menghadapi tentara
salib, khalifah az-Zafir melalui wazirnya Ibnu Salar, meminta bantuan
kepada Nuruddin az-Zanki, penguasa Suriah di bawah kekuasaan Baghdad.
Nurudin mengirim pasukannya ke Mesir di bawah panglima Syirkuh dan
Salahuddin Yusuf bin al-Ayubi yang kemudian berhasil membendung
invasi tentara salib ke Mesir. Kemudian kekuasaan az-Zafir
direbut oleh wazirnya, Ibnu Sallar. Tapi Ibnu Sallar kemudian
dibunuh, dan az-Zafir juga terbunuh secara misterius. Kemudian
naiklah al-Faiz, anak az-Zhafir yang baru berusia empat tahun,
sebagai khalifah. Khalifah kecil ini meninggal dalam usia 11 tahun dn
digantikan oleh sepupunya al-Adhid yang baru berumur sembilan tahun.
Maka pada tahun 1167 M pasukan Nuruddin az-Zanki untuk kedua kalinya
kembai memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin.
Kedatangan mereka kali ini tidak hanya membantu melawan kaum salib
tetapi juga untuk menguasai Mesir. Daripada Mesir dikuasai tentara
salib, lebih baik mereka sendiri yang menguasainya. Apalagi Perdana
Mentri Mesir waktu itu, Syawar, telah melakukan penghianatan.
Akhirnya pasukan Nuruddin berhasil mengalahkan tentara salib
dan menguasai Mesir.
Semenjak
itu kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Apalagi ia mendapat
dukungan dari masyarakat yang mayoritas sunni. Peristiwa ini
menyebabkan menguatnya pengaruh Nuruddin Zangki dan panglimanya
Salahuddin al-Ayubi. Puncaknya terjadi pada masa al-Adid, pada masa
pemerintahannya Salahuddin telah menduduki jabatan wazir. Dengan
kekuasaannya Salahuddin menghormati dan memberikan kesempatan kepada
orang-orang Fathimy. Namun ketika al-Adhid jatuh sakit pada tahun 555
H / 1160 M, Salahudin al-Ayubi mengadakan pertemuan dengan para
pembesar untuk menyelengarakan khutbah dengan menyebut nama khalifah
Abasiyyah, al-Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuh dan berakhirnya
kekuasaan Dinasti Fatimiyah
untuk kemudian digantikan oleh Dinasti Ayubiyyah.
Dinasti
Fatimiyah berkuasa selama 262 tahun, dari tahun 297 H/ 909 M sampai
tahun 567 H/ 1171 M. Selama itu berkuasa 14 orang khalifah, yaitu:
1. Ubaidillah
(al-Mahdi) (909-934)
2.
al-Qa’im (934-946)
3. al-Mansur
(946-952)
4. al-Mu’izz
(952-975)
5. al-Aziz
(975-996)
6.
al-Hâkim (996-1021)
7.
az-Zâhir
(1021-1035)
8. al-Mustansir
(1035-1094)
9. al-Musta’li
(1094-1101)
10.
al-Amin
(1101-1130)
11.
al-Hafiz (1130-1149)
12.
az-Zafir (1149-1154)
13.
al-Fa’iz (1154-1160)
14.
al-Adid (1160-1171)
- Kelemahan Dinasti Fatimiyah
Keruntuhan
Dinasti Fatimiyah disebabkan oleh beberapa kelemahan yang ada pada
masa pemerintahannya. Kelemahan-kelemahan
itu antara lain:
- Pada fase kedua, sistem pemerintahan berubah menjadi sistem parlementer.
- Adanya resistensi dari orang-orang Sunni dan Nasrani di Mesir.
- Terjadinya perebutan kekuasaan antara bangsa Barbar dan bangsa Turki terutama dalam bidang militer.
- Madzhab Syi’ah.
- Datangnya serbuan dari tentara salib.
- Lemahnya para khilafah.
Perluasan
wilayah difokuskan ke bagian Timur sementara pembinaan di Afrika
Utara terabaikan sehingga menyebabkan berkurangnya pengaruh Dinasti
Fatimiyah
di sana. Akhirnya
Afrika Utara melepaskan diri dan membentuk pemerintahan sendiri.
Terlebih lagi, para penguasanya itu selalu tenggelam dalam kehidupan
yang mewah, dan adanya pemaksaan ideologi syi’ah kepada rakyat yang
mayoritas sunni.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasan,
Hasan Ibrahim. Sejarah
dan Kebudayaan Islam. Terj.
Jahdan Ibnu humam. Yogyakarta: Kota Kembang, 1986.
Karim,
M. Abdul. Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2007.
Rahman,
Syaikh Muhammad Lutfar. Islam.
Dhaka:
Bangla Academy, 1977.
Syalabi,
Ahmad. Sejarah
Kebudayaan Islam. Vol. III. Jakarta:
Alhusna Zikra, 1997.
0 comments:
Post a Comment