Keadilan
Adil
dapat diartikan sebagai perbuatan yang sesuai dengan orma-norma atau
aturan-aturan yang berlaku. Contohnya, kalau datang terlambat untuk
membeli tiket misalnya, maka tidak lazim untuk langsung menerobos ke
depan, hendaknya menempati posisi di belakang, lalu mengikuti antrian
untuk sampai ke loket.
Kemudian,
adil bisa diartikan juga sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya,
atau dapat pula dikatakan bahwa adil adalah menempatkan sesuatu pada
proporsinya.
An-nahl
: 190
Ayat
ini dinilai oleh pakar sebagai ayat yang paling sempurna dalam
penjelasan segala aspek kebaikan dan keburukan. Allah swt berfirman
sambil mengukuhkan dan menunjuk lansung dirinya dengan nama yang
teragung guna menekan pentingnya pesan-pesan-Nya untuk berlaku adil
dalam sikap, ucapan dan tindakan, walau terhadap diri sendiri dan
menganjurkan berbuat ihsan, yakni yang lebih utama dari keadilan, dan
juga pemberian apapun yang dibutuhkan dan sepanjang kemampuan bagi
dengan tulus kepada kaum kerabat, dan dia yakni Allah melarang segala
macam dosa, lebih-lebih perbuatan keji yang amat tercela oleh agama
dan akal sehat seperti zina dan homoseksual.
Banyak
sekali pendapat ulama tentang makna Al-‘Adl
pada
ayat ini, ada yang menjelaskannya secara singkat dan padat, misalnya
bahwa yang dimaksud aalah tauhid. Ada juga yang memahaminya dalam
arti kewajiban keagamaan yang bersifat fardu sedang “al-ihsan”
adalah tuntunan agama yang bersifat sunah.
Kata
Al-‘Adl
terambil
dari kata ‘Adala
yang
terdiri dari huruf “ ‘Ain,
dal dan
lam
”,
rangkaian huruf ini mengandung dua makna yang bertolak belakang,
yakni “lurus dan sama” serta “bengkok dan berbeda”, seseorang
yang adil adalah yang berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan
ukuran yang sama, bukan ukuran ganda, persamaan itulah yang
menjadikan seseorang yang adil tidak berpihak kepada salah seorang
yang berselisih.
Beberapa
pakar mendefinisikan adil dengan penempatan sesuatu pada tempat yang
semestinya. Adalagi yang berkata adil adalah moderasi “tidak
mengurangi tidak juga melebihkan”. Manusia dituntut untuk
menegakkan keadilan walau dengan keluarga, ibu bapak dan dirinya (QS
annisa : 135), bahkan terhadap musuhnya sekalipun (QS al-maidah : 8).
Keadilan
pertama yang dituntut adalah dari diri dan terhadap diri sendiri
dengan jalan meletakkan syahwat dan amarah sebagai tawanan yang harus
mengikuti perintah akal dan agama bukan menjadikan tuan yang
mengarahkan akal dan tuntutan agamanya. Karena jika ia demikian ia
tidak berlaku adil, yakni tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya
yang wajar.
Contoh:
- Orang tua memberikan kasih sayang kepada anak-anak mereka tanpa membeda-bedakannya.
- Anak-anak berbakti kepada kedua orang tuanya tanpa membeda-bedakan pula.
- Semua murid memperoleh perlakuan yang sama dari sang guru, tanpa membeda-bedakan apakah ia pandai atau tidak.
- Berat ringannya vonis hakim sesuai dengan berat ringannya kesalahan yang dilakukannya.
Kata
adil dalam pengertian keadilan seperti yang terdapat pada surat
An-Nisa ayat 58 yang berbunyi :
Tafsir
An-Nisa ayat 58
Amanah
adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan
dikembalikan kepada pihak lain untuk pemiliknya. Amanah adalah lawan
dari khianat. Ia tidak diberikan kecuali kepada orang yang dinilai
oleh pemberinya dapat memelihara dengan baik apa yang diberikannya
itu.
Ayat
ini menggunakan bentuk jamak dari kata amanat. Hal ini karena amanat
bukan sekedar sesuatu yang bersifat material, tetapi juga nonmaterial
dan bermacam-macam. Semuanya diperintahkan oleh Allah agar
ditunaikan. Ada amanat antara manusia dengan Allah, antara sesame
manusia, antara manusia dengan lingkungannya, dan antara manusia
dengan dirinya sendiri. Masing-masing memiliki rincian, dan setiap
rincian harus dipenuhi walaupun seandainya amanat yang banyak itu
hanya milik seorang.
Ketika
memerintahkan untuk menetapkan hukum dengan adil, ayat ini memulainya
dengan mengatakan; Apabila
kamu menetapkan hukum diantara manusia,
tetapi sebelumnya, ketika memerintahkan menunaikan amanat, redaksi
semacam ini tidak ditemukan. Ini mengisyaratkan bahwa setiap manusia
telah menerima amanah secara potensial sebelum kelahirannya dan
secara actual sejak ia akil baligh. Tetapi menetapkan hukum bukanlah
sesenang setiap orang. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
tampil melaksanakannya, antara lain pengetahuan tentang hukum dan
tata cara menetapkannya serta kasus yang dihadapinya. Bagi yang
memenuhi syarat-syarat dan bermaksud tampil menetapkan hukum,
kepadanyalah ditujukan perintah di atas, yakni kamu
harus menetapkan dengan adil.
Ayat
di atas ketika memerintahkan menunaikan amanat, ditekankannya bahwa
amanat tersebut harus ditunaikan kepada ahlinya
yakni pemiliknya, dan ketika memerintahkan menetapkan hukum dengan
adil, dinyatakannya apabila
menetapkan hukum kepada manusia.
Ini berarti bahwa perintah berlaku adil itu ditujukan terhadap
manusia secara keseluruhan. Dengan demikian baik amanat maupun
keadilan harus ditunaikan dan ditegakkan tanpa membedakan agama,
keturunan atau ras.
Kejujuran
Jujur
merupakan suatu sikap yang termasuk golongan al-Akhlaku al-Karimah
(akhlak yang terpuji) yang selalu diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari. Allah swt memerintahkan orang-orang yang beriman untuk
selalu brlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa
keselamatan. Kejujuran bisa berupa perkataan, bisa juga perbuatan.
Jujur dalam berkata artinya tidak berdusta, dan jujur dalam perbuatan
artinya tidk curang. Allah berfirman dalam surat al-Ahzab ayat 70
yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada
Allah dan katakanlah perbuatan yang benar”.
Dalam
sejarah, tak seorangpun diantara nabi-nabi dan rasul yang tidak
memiliki sifat jujur, karena salah satu yang harus dimiliki oleh
seorang rasul adalah shiddiq yang artinya jujur, juga akan membuat
seseorang menjadi terpercaya atau dapat dipercaya. Nabi Muhammad saw
memperoleh gelar al-Amin tak lain karena kejujurannya menjadi
terpercaya atau dapat dipercaya. Beliau tidak pernah berdusta,
sehingga orang selalu mempercayainya. Gelar terpuji yang beliau
sandang ini tidak datang dari sahabat-sahabatnya saja, tetapi juga
dari orang-orang kafir, musyrik yang mendustakannya. Ini tidak lain
karena Rasulullah saw selalu berkata benar dan tidak pernah
mengatakan/menyuruh sesuatu yang belau tidak melakukannya. Allah
berfirman dalam surat Ash-Shaf ayat 2-3:
Artinya:
Dalam
ayat tersebut Allah menyatakan kebenciannya yang teramat sangat
kepada para pendusta yang hanya bisa berkata tanpa bukti tindakan
nyata. Orang-orang seperti ini sangatlah berbahaya, karena mereka
termasuk golongan orang-orang munafik yang diancam oleh Allah swt
dalam surat al-Taubah ayat 69 dengan ancaman neraka Jahannam. Nabi
saw bersabda, yang artinya: “dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw
bersabda, “tanda-tanda orang munafik ada tiga yaitu, apabila
berbicara dusta, jika ia berjanji ia ingkar, dan jika ia dipercaya
maka dia berkhianat.” (HR Bukhari, Muslim Turmudzi dan Nasa’i).
Maka
jelas, bahwa kejujuran akan mengantarkan orang menuju surga, dan
sebaliknya dusta hanya mengatarkan seseorang menuju neraka. Dalam
perbuatan, sikap dusta ini akan menjelma dalam bentuk kecurangan.
Nabi
saw bersabda: “sesungguhnya kebenaran (kejujuran) itu membawa
kepada kebajikan, dan kebajikan itu membawa ke surge. Orang yang
selalu berkata jujur akan dicatat disisi Allah sebagai orang yang
benar. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada dosa, sedangkan dosa
membawa ke neraka. Dan seseorang yang suka berdusta akan dicatat di
sisi Allah sebagai pendusta.” (HR Bukhari dan Muslim)
Moral
Arti
moral dari segi bahasa berasal dari bahasa Latin, “Mores” yaitu
jamak dari kata “Mos” yang bererti adat kebiasaan. Di dalam kamus
besar bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penentuan baik
dan buruknya suatu perbuatan dan kelakuan. Selanjutnya, moral dalam
arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan
batas-batas dan sifat perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan
yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.
Pengertian moral dijumpai pula dalam The Advanced Leaner’s
Dictionary of Current English. Dalam buku ini dikemukakan beberapa
pengertian moral sebagai berikut:
- Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk.
- Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah
- Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik
Dapat
dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan
balasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau
buruk, benar atau salah. Jika dalam kehidupan sehari-hari dikatakan
bahwa orang tersebut bermoral, maka yang dimaksud adalah bahwa orang
tersebut tingkah lakunya baik. Jika pengertian etika dan moral
tersebut dihubungkan satu dan lainnya, kita dapat menyatakan bahwa
etika dan moral memiliki objek yang sama, yaitu sama-sama membahas
tentang perbuatan manusia untuk selanjutnya ditentukan posisinya
apakah baik atau buruk. Namun demikian, dalam beberapa hal antara
etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan
etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk
menggunakan tolak ukur norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan
berlangsung di masyarakat. Dengan demikian, etika lebih bersifat
pemikiran filosofis dan berada dalam antara konsep-konsep, sedangkan
moral berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku
yang berkembang dimasyarakat. Dengan demikian, tolak ukur yang
digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat
istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat. Etika dan
moral sama artinya, tetepi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit
perbedaan, moral dan moralitas dipakai untuk perbuatan yang dinilai,
sedangkan etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
0 comments:
Post a Comment