Sunday, 17 June 2012

Perkembangan Peradaban dan Keilmuan Islam pada masa Kesultanan Samudera Pasai dan Aceh Darussalam


A.  Pendahuluan

Kedatangan Islam di berbagai daerah Indonesia tidaklah bersamaan. Demikian pula Kerajaan – kerajaan dan daerah – daerah yang di datanginya mempunyai situasi politik yang berlainan. Pada waktu kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya pada sekitar abad ke 7 dan abad ke 8 M, Selat Malaka sudah mulai dilalui oleh pedagang – pedagang muslim dalam pelayarannya ke Negeri – negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur. Apabila kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 sampai abad ke-12 M dibidang ekonomi dan politik masih menunjukan kemajuannya, maka sejak abad ke-12 M mulai menunjukkan kemundurannya yang prosesnya terbukti pada abad ke 13 M. Tanda – tanda kemunduran Sriwijaya di bidang perdagangan mungkin kita dapat hubungkan dengan berita Chou Ku-Fei tahun 1178, dalam Ling-wai-tai-ta yang menceritakan bahwa persediaan barang – barang perdagangan di sriwijaya mahal – mahal, karena negeri itu tidak lagi menghasilkan banyak hasil – hasil alamnya. Kemunduran di bidang perdagangan serta politik kerajaan Sriwijaya itu di percepat pula oleh usaha – usaha kerajaan Singasari di Jawa yang mulai mengadakan ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 M.

Kelemahan Sriwijaya dimanfaatkan oleh para pedagang muslim untuk mendapatkan keuntungan politik dan perdagangan. Mereka mendukung daerah-daerah yang muncul, dan daerah yang menyatakan diri sebagai kerajaan yang bercorak Islam ialah Samudera Pasai di pesisir timur laut Aceh, Kabupaten Lhok Seumawe atau Aceh Utara kini. Daerah ini sudah disinggahi pedagang muslim sejak abad ke-7 dan ke-8 M. Proses Islamisasi tentu telah berjalan di sana sejak abad tersebut, baik dalam bidang politik maupun perdagangan. Dalam tulisan ini pembahasan hanya di khususkan pada perkembangan peradaban dan keilmuan yang ada pada masa kesultanan Samudra Pasai dan Aceh Darussalam. 

B.  Wilayah Geografis Kesultanan Samudera Pasai 

Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam di perkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke 13 M, sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah – daerah pantai yang pernah di singgahi pedagang – pedagang muslim sejak abad ke 7, ke 8 M, dan seterusnya. Bukti berdirinya kerajaan Samudera Pasai pada abad ke 13 M itu di dukung oleh adanya nisan kubur yang terbuat dari granit asal Samudera Pasai. Dari nisan itu, dapat di ketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M.

Malik Al-Saleh, raja pertama itu, merupakan pendiri Kerajaan tersebut. Hal itu di ketahui melalui tradisi Hikayat Raja – Raja Pasai, Hikayat Melayu, dan juga hasil penelitian atas beberapa sumber yang dilakukan Sarjana – sarjana Barat, khususnya para sarjana Belanda, seperti Snouck Hurgronye, J.P. Molquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lain – lain.

Dari segi peta politik, munculnya kerajaan Samudera Pasai abad ke 13 M itu sejalan dengan suramnya peranan maritim kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya memegang peranan penting dikawasan Sumatera dan sekelilingnya. Dalam Hikayat Raja – raja Pasai disebutkan gelar Malik al-Saleh sebelum menjadi raja adalah Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syaikh Ismail, seorang utusan Syarif Mekkah, yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik al-Saleh. Nisan kubur itu didapatkan di Gampong Samudera bekas kerajaan Samudera Pasai tersebut. Merah Selu adalah Putra Merah Gajah. Nama Merah merupakan gelar bangsawan yang lazim di Sumatera Utara. Selu kemungkinan berasal dari kata Sungkala yang aslinya berasal dari Sanskrit Chula. Kepemimpinan yang menonjol menempatkan dirinya menjadi raja.

Dari hikayat itu, terdapat petunjuk bahwa tempat pertama sebagai pusat kerajaan   Samudera Pasai adalah Muara Sungai Peusangan, sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar di sepanjang jalur pantai yang memudahkan perahu – perahu dan kapal – kapal mengayuhkan dayungnya ke pedalaman dan sebaliknya. Ada dua kota yang terletak berseberangan di muara sungai Peusangan itu, yaitu Pasai dan Samudera. Kota Samudera terletak agak lebih ke pedalaman, sedangkan kota Pasai terletak lebih ke muara. Di tempat terakhir inilah terletak beberapa Makam Raja – raja. Adapun para raja yang pernah memerintah di Kerajaan samudera Pasai adalah sebagai berikut :

1.      Sultan Malik Azh-Zhahir (1297-1326 M)
2.      Sultan Mahmud Malik Azh-Zhahir (1326-1345 M)
3.       Sultan Manshur Malik Azh-Zhahir (1345-1346 M)
4.      Sultan Ahmad Malik Azh-Zhahir (1346-1383 M)
5.      Sultan Zainal Abidin Malik Azh-Zhahir (1383-1405 M)
6.      Sultan Nahrasiyah (1405 M)
7.      Sultan Abu Zaid Malik Azh-Zhahir (1455 M)
8.      Sultan Mahmud Malik Azh-Zhahir (1455-1477 M)
9.      Sultan Zainal Abidin (1477-1500 M)
10.  Sultan Abdullah Malik Azh-Zhahir (1500-1513 M)
11.  Sultan Zainal Abidin (1513-1524 M).

C.  Munculnya Kerajaan Aceh Darussalam

Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang di kenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Disini pula terletak ibukotanya. Kurang begitu diketahui kapan kerajaan ini sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat, Kerajaan Aceh berdiri pada abad ke 15 M, di atas puing – puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dialah yang membangun kota Aceh Darussalam. Menurutnya, pada masa pemerintahannya Aceh Darussalam mulai mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan, karena saudagar – saudagar muslim yang sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis (1511 M). sebagai akibat penaklukan Malaka oleh Portugis itu,  jalan dagang yang sebelumnya dari laut Jawa ke utara melalui Selat Karimata terus ke Malaka, pindah melalui selat Sunda dan menyusuri pantai barat Sumatera, terus ke Aceh. Dengan demikian, Aceh menjadi ramai dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai Negeri.

Menurut H.J. De Graaf, Aceh menerima Islam dari Pasai yang kini menjadi bagian wilayah Aceh dan pergantian agama diperkirakan terjadi mendekati pertengahan abad ke 14. Menurutnya, kerajaan Aceh merupakan penyatuan dari dua kerajaan kecil, yaitu Lamuri dan Aceh Dar al-Kamal. Ia juga berpendapat bahwa rajanya yang pertama adalah Ali Mughayat Syah.

Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie yang  bekerja sama dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Dengan kemenangannya terhadap dua kerajaan tersebut, Aceh dengan mudah melebarkan sayap kekuasaannya ke Sumatera Timur. Untuk mengatur daerah Sumatera timur, raja Aceh mengirim panglima – panglimanya, salah seorang diantaranya adalah Gocah, pahlawan yang menurunkan sultan – sultan Deli di Serdang.  

Peletak dasar kebesaran kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar Al-Qahar. Dalam menghadapi bala tentara Portugis, ia menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan Usmani di Turki dan Negara – Negara Islam yang lain di Indonesia. Dengan bantuan Turki Usmani tersebut, Aceh dapat membangun angkatan perangnya dengan baik. Aceh ketika itu tampaknya mengakui kerajaan Turki Usmani sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dan Kekhalifahan dalam Islam.

Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda ( 1608-1637 ). Pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir timur dan barat Sumatera. Dari Aceh, Tanah Gayo yang berbatasan di Islamkan, juga Minangkabau. Hanya orang – orang kafir Batak yang berusaha menangkis kekuatan – kekuatan Islam yang datang, bahkan mereka melangkah begitu jauh sampai minta bantuan Portugis. Tidak seperti Iskandar Muda yang memerintah dengan tangan besi, penggantinya Iskandar Tsani, bersikap lebih liberal, lembut dan adil. Pada masanya Aceh terus berkembang untuk masa beberapa tahun. Akan tetapi, kematiannya diikuti oleh masa – masa bencana. Tatkala beberapa sultan perempuan menduduki singgasana pada tahun 1641-1699, beberapa wilayah taklukannya lepas dan kesultanan menjadi terpecah belah. Setelah itu, pemulihan kembali kesultanan tidak banyak bermanfaat, sehingga menjelang abad ke 18 M Kesultanan Aceh merupakan bayangan belaka dari masa silam dirinya, tanpa kepemimpinan dan kacau balau.

D.  Perkembangan Peradaban dan Keilmuan Islam pada masa Kesultanan Samudera Pasai dan Aceh Darussalam

Pada abad ke 13 M Pasai dan Pidie menjadi Pusat perdagangan internasional yang salah satu ekspor utamanya adalah Lada. Hubungan perdagangan antara Pasai dan Jawa berkembang dengan pesatnya. Tome Pires memperkirakan bahwa Pasai mengekspor lada kira – kira 8000 sampai 10.000/Bahar setiap tahun. Disamping mengekspor lada Samudera Pasai juga mengekspor sutra, kapur barus, dan emas dari daerah pedalaman. Di percayai bahwa metode memroses sutra diperkenalkan di Samudera Pasai oleh orang – orang Cina. Ibn Batutah seorang pengembara Maghribi yang mengunjungi Samudera Pasai pada tahun 1346 M mengemukakan bahwa ia telah bertemu kapal Sultan Pasai di negeri Cina. Utusan – utusan Samudera Pasai telah mengadakan hubungan dengan Cina sejak abad ke 13 M.

Sebagai Bandar perdagangan yang telah maju pada masanya, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang dinamakan Dirham atau Deureuham, yang ditemukan di Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam. Dibagian muka semua dirham Pasai, kecuali kepunyaan Sultan Salah al-Din ( 1405-1412 ), tertera nama sultan dengan gelar Malik al-Zahir. Setelah Kerajaan Aceh menaklukan Kerajaan Samudera Pasai pada tahun1524 M, para Sultan Aceh meniru kebiasaan para sultan Samudera Pasai dengan memakai gelar Malik al-Zahir pada sisi  belakang dirham mereka. Hal ini terjadi sejak pemerintahan Sultan Aceh Darussalam yang pertama, yaitu Sultan Ali Mughayat Syah (1571-1530)  sampai dengan Sultan Ali Ri’ayat Syah (1571-1579). Akan tetapi sejak Sultan Iskandar Muda  ( 1607-1637 ), kata – kata seperti gelar Malik al-Zahir dan Al-Sultan Al-‘Adil tidak lagi digunakan pada dirham Aceh. 

Kejayaan Kesultanan Samudera Pasai mulai mengalami ancaman dari peradaban terbesar di Jawa waktu itu, yakni dari Kerajaan Majapahit dengan Gadjah Mada sebagai Mahapatihnya yang paling legendaris. Gadjah Mada diangkat sebagai Patih di Kahuripan pada periode 1319-1321 Masehi oleh Raja Majapahit yang kala itu dijabat oleh Jayanegara. Pada 1331, Gadjah Mada naik pangkat menjadi Mahapatih ketika Majapahit dipimpin oleh Ratu Tribuana Tunggadewi. Ketika pelantikan Gadjah Mada menjadi Mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan Sumpah Palapa, yaitu bahwa Gadjah Mada tidak akan menikmati buah Palapa sebelum seluruh Nusantara berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Mahapatih Gadjah Mada rupanya sedikit terusik mendengar kabar tentang kebesaran Kesultanan Samudera Pasai diseberang lautan sana. Majapahit khawatir akan pesatnya kemajuan Kesultanan Samudera Pasai. Oleh karena itu kemudian Gadjah Mada mempersiapkan rencana penyerangan Majapahit untuk menaklukkan Samudera Pasai. Desas-desus tentang serangan tentara Majapahit, yang menganut Agama Hindu Syiwa, terhadap kerajaan Islam Samudera Pasai santer terdengar di kalangan rakyat di Aceh. Ekspedisi Pamalayu armada perang Kerajaan Majapahit di bawah komando Mahapatih Gadjah Mada memulai aksinya pada 1350 dengan beberapa tahapan.

Serangan awal yang dilakukan Majapahit di perbatasan Perlak mengalami kegagalan karena lokasi itu dikawal ketat oleh tentara Kesultanan Samudera Pasai. Namun, Gadjah Mada tidak membatalkan serangannya. Ia mundur ke laut dan mencari tempat lapang di pantai timur yang tidak terjaga. Di Sungai Gajah, Gadjah Mada mendaratkan pasukannya dan mendirikan benteng di atas bukit, yang hingga sekarang dikenal dengan nama Bukit Meutan atau Bukit Gadjah Mada.

Selanjutnya, Gadjah Mada menjalankan siasat serangan dua jurusan, yaitu dari jurusan laut dan jurusan darat. Serangan lewat laut dilancarkan terhadap pesisir di Lhokseumawe dan Jambu Air. Sedangkan penyerbuan melalui jalan darat dilakukan lewat Paya Gajah yang terletak di antara Perlak dan Pedawa. Serangan dari darat tersebut ternyata mengalami kegagalan karena dihadang oleh tentara Kesultanan Samudera Pasai. Sementara serangan yang dilakukan lewat jalur laut justru dapat mencapai Istana.

Selain alasan faktor politis, serangan Majapahit ke Samudera Pasai dipicu juga karena faktor kepentingan ekonomi. Kemajuan perdagangan dan kemakmuran rakyat Kesultanan Samudera Pasai telah membuat Gadjah Mada berkeinginan untuk dapat menguasai kejayaan itu. Ekspansi Majapahit dalam rangka menguasai wilayah Samudera Pasai telah dilakukan berulangkali dan Kesultanan Samudera Pasai pun masih mampu bertahan sebelum akhirnya perlahan-lahan mulai surut seiring semakin menguatnya pengaruh Majapahit di Selat Malaka.

Hingga menjelang abad ke-16, Samudera Pasai masih dapat mempertahankan peranannya sebagai bandar yang mempunyai kegiatan perdagangan dengan luar negeri. Para ahli sejarah yang menumpahkan minatnya pada perkembangan ekonomi mencatat bahwa Pasai pernah menempati kedudukan sebagai sentrum kegiatan dagang internasional di Nusantara semenjak peranan Kedah berhasil dipatahkan.

Namun kemudian, peranan Pasai yang sebelumnya sangat penting dalam arus perdagangan di kawasan Asia Tenggara dan dunia mengalami kemerosotan dengan munculnya bandar perdagangan Malaka di Semenanjung Melayu. Bandar Malaka segera menjadi primadona dalam bidang perdagangan dan mulai menggeser kedudukan Pasai. Tidak lama setelah Malaka dibangun, kota itu dalam waktu yang singkat segera dibanjiri perantau-perantau dari Jawa.

Akibat kemajuan pesat yang diperoleh Malaka tersebut, posisi dan peranan Pasai kian lama semakin tersudut, nyaris seluruh kegiatan perniagaannya menjadi kendor dan akhirnya benar-benar patah di tangan Malaka sejak tahun 1450. Apalagi ditambah kedatangan Portugis yang berambisi menguasai perdagangan di Semenanjung Melayu. Orang-orang Portugis yang pada 1521 berhasil menduduki Kesultanan Samudera Pasai.

Tidak hanya itu, Kesultanan Samudera Pasai semakin lemah ketika di Aceh berdiri satu lagi kerajaan yang mulai merintis menjadi sebuah peradaban yang besar dan maju. Pemerintahan baru tersebut yakni Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Kesultanan Aceh Darussalam sendiri dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Aceh pada masa pra Islam, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura. Pada 1524, Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah menyerang Kesultanan Samudera Pasai. Akibatnya, pamor kebesaran Kerajaan Samudera Pasai semakin meredup sebelum benar-benar runtuh. Sejak saat itu, Kesultanan Samudera Pasai berada di bawah kendali kuasa Kesultanan Aceh Darussalam.

Di masa keemasannya, Kerajaan Samudera Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam menjelma menjadi pusat perdagangan internasional. Kerajaan Pelabuhan Islam itu begitu ramai dikunjungi para Pedagang dan Saudagar dari berbagai Benua seperti, Asia, Afrika, Cina, dan Eropa. Tidak hanya menjadi pusat perdagangan internasional, kerajaan Samudera Pasai serta Kerajaan Aceh Darusslam ini pun menjadi Pusat Keilmuan Islam di Asia Tenggara, yang akan dijelaskan lebih rinci sebagai berikut.

1.      Keilmuan Islam pada masa Samudera Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada abad ke-10 M dengan Rajanya bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H). Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana. Masih menurut catatan Ibnu Batutah, Sultan Muhammad Malikul Zahir merupakan sosok pemimpin yang memiliki gairah belajar yang tinggi dalam menuntut ilmu-ilmu Islam. Batutah juga mencatat, pusat Studi Islam yang dibangun di lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan. Ibnu Batutah bahkan memasukkan nama Sultan Muhammad Malikul Zahir sebagai salah satu dari Tujuh Raja di dunia yang memiliki kelebihan luar biasa. Ketujuh raja yang memiliki kemampuan luar biasa menurut Ibnu Batutah antara lain Raja Melayu Sultan Muhammad Malikul Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, Raja Romawi yang sangat pemaaf, Raja Iraq yang berbudi bahasa, Raja Hindustani yang sangat ramah, Raja Yaman yang berakhlak mulia, Raja Turki yang gagah perkasa, serta Raja Turkistan yang bijaksana.

Dari keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut:

a.       Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang Syari’at adalah Fiqh Mazhab Syafi’I
b.      Sistem pendidikannya secara informal berupa Majlis Ta’lim dan Halaqoh
c.       Tokoh pemerintahan merangkap tokoh Agama
d.      Biaya pendidikan bersumber dari negara.

Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari Negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian Ulama, setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis Ta’lim atau Halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru.

Minoritas kreatif di Samudera Pasai telah berhasil memanfaatkan huruf Arab yang di bawa oleh agama Islam untuk dapat menulis karya – karya dalam bahasa Melayu yang di sebut bahasa Jawi. Salah satu karya yang bagian awalnya di tulis dalam bahasa Melayu Klasik, adalah Hikayat Raja – raja Pasai (HRP) yang menceritakan perihal Raja – raja Pasai sejak agama Islam bertapak di kerajaan itu dan di anut oleh masyarakatnya, sampai dengan kerajaan Pasai dibawah raja Ahmad porak poranda di kalahkan oleh Majapahit. Kalimat pertama HRP berbunyi: “Alkisah peri mengatakan ceritera yang pertama masuk agama Islam ini Pasai; maka ada di ceritakan oleh orang yang empunya ceritera negeri yang di bawah angin ini Pasailah yang pertama membawa iman akan allah dan akan rasul allah.”

Tidak dapat di pastikan dengan tepat kapan HRP ini di tulis, karena sebagaimana lazimnya dalam sastra Melayu lama, nama pengarang dan tahun karya itu di susun tidak pernah dituliskan orang. HRP yang di tulis dalam bahasa Melayu yang berkembang di pasai, menurut penelitian Dr. A. H. Hill pengaruhnya jelas terlihat terhadap sejarah melayu yang lain seperti Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Marong Mahawangsa. Bahasa melayu yang terdapat dalam HRP itulah yang lebih kurang tiga abad kemudian di pergunakan oleh Syaikh Abdur-rauf al Singkili untuk menyusun kitab Hukum Syara’ pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu kira – kira pada tahun 1663. Dalam Kitab itu, yang di beri nama Mir’at al-Tullab fi Tashil Ma’rifat Ahkam Syari’iyyah li al-Malik al-Wahab, yaitu Cermin bagi mereka yang menuntut Ilmu Fiqih pada memudahkan mengenal segala hokum Syara’ Allah disebutkan bahwa bahasa yang dipakainya dalam menyusun kitab Hukum Islam itu adalah bahasa Jawi yang di bangsakan kepada bahasa Pasai.

Sejalan dengan berkembang suburnya agama Islam di Pasai, ilmu Tasawuf pun mendapat tempat yang penting pula. Sejarah Melayu atau Kitab Sulalatussalatin (edisi Abdullah Bin Abdulkadir Munsyi) menceritakan bahwa di tanah Arab ada seorang alim Maulana Abu Ishak namanya yang sangat faham akan ilmu Tasawuf. Ia mengarang kitab Durru’l-manzum dan mengajarkan isi kitab itu. Sultan Malaka Mansyur Syah sangat memuliakan Maulana Abu Bakar dan Baginda berguru kepada Maulana itu. Kemudian sultan Mansyur Syah mengirim kitab itu ke Pasai untuk di beri arti dan oleh Sultan Pasai tugas ini di bebankan kepada seorang alim di Pasai bernama Makhdum Patakan. Setelah di artikan oleh Makhdum ini hasilnya di antarkan kembali ke istana Malaka dan sultan Mansyur Syah terlalu sukacita melihat kitab itu sudah di beri makna. Baginda menunjukan kitab yang di kirim dari Pasai itu kepada Maulana Abu Bakar, dan Maulana Abu Bakar berkenan di hatinya terhadap terjemahan yang di buat oleh Makhdum Patakan serta di pujinya ulama dari Pasai itu.

Dari uraian ini menjadi jelas kepada kita betapa majunya sudah bahasa melayu yang di sebut bahasa Jawi itu di kerajaan Samudera Pasai sehingga mampu untuk menerjemahkan kitab Tasawuf seperti Durru’l-manzum itu. Di samping orang datang berguru ke Pasai, ada pula diantara para ulama Pasai yang seperti di ceritakan oleh hikayat Patani, meninggalkan negerinya pergi ke Patani untuk mengembangkan agama Islam di negeri itu.

Samudera Pasai yang menjadi pusat tamaddun Islam di Asia Tenggara merupakan pula kerajaan pertama yang berikhtiar mengaktualisasikan perintah Allah dalam Al-qur’an dengan mempergunakan ungkapan Al-Sultan Al-‘adil dalam mata uangnya yang terbuat dari emas yang dinamakan Dirham. Dirham yang tertua di kerajaan Samudera Pasai di keluarkan semasa pemerintahan Sultan Muhammad Malik Al-Zahir ( 1297-1326 ). Mata uang yang berdiameter 10 mm itu dengan berat 0,60 gram dan dengan mutu 18 karat, di bagian depannya tertera nama Muhammad Malik Al-Zahir, sedangkan di bagian belakangnya terdapat Ungkapan Al-Sultan al-‘Adil.

Ungkapan Al-sutan al-‘Adil berasal dari firman allah dalam kitab suci al-Qur’an, surat 16 (An-nahl) ayat 90. Surat An-Nahl ini kita temukan pula dalam kitab Taj al-salatin atau Taju’s-salatin (TS),  yaitu Kitab Mahkota segala Raja, yang berisi pedoman cara mengendalikan pemerintahan berdasarkan ajaran Islam, diterjemahkan dari bahasa Parsi oleh Bukhari al-Jauhari di kerajaan Aceh Darussalam pada 1603. Konon kitab asli dalam bahasa Parsi itu belum ditemukan. Besar sekali kemungkinan kitab yang tertulis dalam bahasa Parsi itu telah lama dikenal dan berusaha diamalkan dikerajaan Pasai, melihat dipasai terdapat pengaruh Parsi yang cukup besar. Dari Ibn Batutah yang pada 1325 berkunjung ke Pasai kita ketahui bahwa disana berada dua orang Kadi dari Parsi, yaitu Syarif Amir Sayyid dari Shiraz dan Taj al-Din dari Isfahan.

Berkat pengaruh para ulama Parsi dalam kerajaan Pasai dapat disimpulkan bahwa kitab Tajussalatin yamg berbahasa Parsi telah dikenal di Pasai dan kemudian tradisi mempelajari kitab itu diteruskan dikerajaan Aceh dan disini kitab itu diterjemahkan oleh Bikhari Al-Jauhari kedalam bahasa Melayu untuk menjadi pegangan Raja-raja Melayu di Asia Tenggara, yang kemudian diterjemahkan pula kedalam bahasa Jawa oleh kerajaan Mataram Islam.

Betapa besarnya pengaruh Parsi di kerajaan Samudera Pasai dapat terlihat pada epigraf yang amat menarik di Samudera Pasai berupa sebuah puisi yang di tulis dalam bahasa Parsi. Puisi ini berbentuk ghazal terpahat pada nisan yang terbuat dari batu pualam kepunyaan Na’ina Husam al-Din yang berpulang ke rahmatullah pada tahun 1420 M. Nisannya itu di hiasi dengan ornamen dedaunan dan bunga – bungaan yang amat indah. Puisi yang terukir pada makam itu adalah karya seorang penyair besar Persia yang termasyur yaitu Shaikh Muslih al-Din Sa’di ( 1133-1292 ), lahir di Shiraz dan di kebumikan di Saadiya, Iran.

2.   Masa Aceh Darussalam

Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M). Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada hari jum’at di sebuah masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut Mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum Mukim. Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
·         Sebagai tempat belajar Al-Qur’an

·         Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam.

Fungsi lainnya adalah sebagai berikut:
·         Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu.
·         Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca Al-Qur’an di bulan Puasa.
·         Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan.
·         Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri atau bulan Puasa.
·         Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota kampung.
·         Tempat bermusyawarah dalam segala urusan.
·         Letak Meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat sholat.

Selanjutnya sistem pendidikan di Dayah (Pesantren) seperti di Meunasah tetapi materi yang diajarkan adalah kitab Nahu, yang diartikan kitab yang dalam Bahasa Arab, meskipun arti Nahu sendiri adalah tata bahasa (Arab). Dayah biasanya dekat masjid, meskipun ada juga di dekat Teungku yang memiliki dayah itu sendiri, terutama dayah yang tingkat pelajarannya sudah tinggi. Oleh karena itu orang yang ingin belajar nahu itu tidak dapat belajar sambilan, untuk itu mereka harus memilih dayah yang agak jauh sedikit dari kampungnya dan tinggal di dayah tersebut yang disebut Meudagang. Di dayah telah disediakan pondok-pondok kecil yang memuat dua orang tiap rumah. Dalam buku karangan Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, istilah Rangkang merupakan Madrasah setingkat Tsanawiyah, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung, dan akhlak. Rangkang juga diselenggarakan disetiap mukim. Bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi perhatian.

Aceh pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana-sarjanaya yang terkenal di dalam dan luar negeri. Sehingga banyak orang luar datang ke Aceh untuk menuntut ilmu, bahkan ibukota Aceh Darussalam berkembang menjadi kota Internasional dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Kerajaan Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam terkemuka di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada masa itu banyak pula ulama dan pujangga-pujangga dari berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para ulama dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan berbagai ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam kitab berisi ajaran agama. Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi penting dan Aceh menjadi kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para ulama dan pujangga yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad Azhari yang mengajar ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang Pogmatic dan Mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu Usul Fiqh dan Syekh Muhammad Jailani Ibn Hasan yang mengajar Logika.

Tokoh pendidikan agama Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan ajaran Tasawuf yang beraliran Wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai seorang pujangga ia menghasilkan karya-karya, Syair Si Burung Pungguk, Syair Perahu. Ulama penting lainnnya adalah Syamsuddin As-Samathrani atau lebih dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan paham wujudiyah di Aceh. Kitab yang ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin dan lainnya.

Ulama dan pujangga lain yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Ia menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu dalam Kesusastraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah kitab Bustanul Salatin.

Pada masa kejayaan  kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 Daars (Fakultas). Sultan Iskandar Muda sangat memperhatikan pengembangan pendidikan, di samping tentunya keagamaan. Ia sangat dekat dengan para ulama. Di antaranya yang terkenal adalah Syams al-Addin al-Samatrani (w. 1630 M), seorang sufi pengikut Hamzah Fansuri. Sultan dan juga para ulama besar membangun pusat-pusat pendidikan yang disebut Dayah. Nuruddin al-Raniri dan Abd al-Rauf Singkel adalah di antara ulama terkenal yang mengajar di lembaga pendidikan ini. Ketika itu, Kerajaan Aceh Darussalam menjadi pusat kajian Islam di wilayah Asia Tenggara. Banyak penuntut ilmu yang datang dari luar untuk belajar di lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan dayah itu. Di antaranya adalah Syaikh Burhanuddin yang berasal dari Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat. Dayah berfungsi semacam pendidikan tinggi Islam. Karena di lembaga inilah ilmu-ilmu keIslaman yang paling tinggi dipelajari oleh para penuntut ilmu. Kemajuan dalam bidang pendidikan Islam di Aceh ini menyebabkan orang menjulukinya sebagai “Serambi Mekkah”.

E.  Penutup

Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru.

Pada masa kejayaan  kerajaan Aceh, Sultan Iskandar Muda sangat memperhatikan pengembangan pendidikan, di samping tentunya keagamaan. Ia sangat dekat dengan para ulama. Di antaranya yang terkenal adalah Syams al-Addin al-Samatrani (w. 1630 M), seorang sufi pengikut Hamzah Fansuri. Sultan dan juga para ulama besar membangun pusat-pusat pendidikan yang disebut dayah. Nuruddin al-Raniri dan Abd al-Rauf Singkel adalah di antara ulama terkenal yang mengajar di lembaga pendidikan ini. Ketika itu, dengan melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh, serta adanya Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat studi Islam. Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya. Menurut B.J. Boland, bahwa seorang Aceh adalah seorang Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik dan Sharon Siddique. 1989. Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarta : LP3ES.
Alfian, Teuku Ibrahim. 2005. Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Amin, Samsul Munir. 2010. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Amzah. 
Ensiklopedi Tematis dunia Islam Asia Tenggara.
Lombard, Denys. 1991. Kerajaan Aceh. Jakarta : Balai Pustaka.
Notosusanto, Nugroho, dan Djoened Poesponegoro, Marwati. 1992. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta : Balai Pustaka.
Saefullah. 2010. Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Saifuddin Anshari, Endang. 2004. Wawasan Islam. Jakarta : Gema Insani.
Sufi, Rusdi. 1995. Pahlawan Nasional sultan Iskandar Muda. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta : PT. Raja grafindo Persada.
Http://10-Kesultanan-Islam-Samudera-Pasai.htm.wordpress.com. 10-03-2012
Http://Kesultanan Samudera Pasai. Melayu Online.com/ 10-03-2012

1 comment:

  1. JIKA ANDA BUTUH ANGKA GHOIB/JITU 2D.3D.4D YG DI JAMIN TEMBUS 100% DI PUTARANG SGP/HKG SILAHKAN SAJA ANDA TLP KY JAYA DI NOMOR 085-342-064-735 TRIMAH KASIH





















    JIKA ANDA BUTUH ANGKA GHOIB/JITU 2D.3D.4D YG DI JAMIN TEMBUS 100% DI PUTARANG SGP/HKG SILAHKAN SAJA ANDA TLP KY JAYA DI NOMOR 085-342-064-735 TRIMAH KASIH




















































































    JIKA ANDA BUTUH ANGKA GHOIB/JITU 2D.3D.4D YG DI JAMIN TEMBUS 100% DI PUTARANG SGP/HKG SILAHKAN SAJA ANDA TLP KY JAYA DI NOMOR 085-342-064-735 TRIMAH KASIH

    ReplyDelete