A. Pendahuluan
Kedatangan Islam di berbagai daerah Indonesia tidaklah
bersamaan. Demikian pula Kerajaan – kerajaan dan daerah – daerah yang di
datanginya mempunyai situasi politik yang berlainan. Pada waktu kerajaan
Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya pada sekitar abad ke 7 dan abad ke 8 M,
Selat Malaka sudah mulai dilalui oleh pedagang – pedagang muslim dalam
pelayarannya ke Negeri – negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur. Apabila
kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 sampai abad ke-12 M dibidang ekonomi dan
politik masih menunjukan kemajuannya, maka sejak abad ke-12 M mulai menunjukkan
kemundurannya yang prosesnya terbukti pada abad ke 13 M. Tanda – tanda kemunduran
Sriwijaya di bidang perdagangan mungkin kita dapat hubungkan dengan berita Chou
Ku-Fei tahun 1178, dalam Ling-wai-tai-ta yang
menceritakan bahwa persediaan barang – barang perdagangan di sriwijaya mahal –
mahal, karena negeri itu tidak lagi menghasilkan banyak hasil – hasil alamnya. Kemunduran di bidang perdagangan serta
politik kerajaan Sriwijaya itu di percepat pula oleh usaha – usaha kerajaan
Singasari di Jawa yang mulai mengadakan ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 M.
Kelemahan Sriwijaya dimanfaatkan oleh para pedagang
muslim untuk mendapatkan keuntungan politik dan perdagangan. Mereka mendukung
daerah-daerah yang muncul, dan daerah yang menyatakan diri sebagai kerajaan
yang bercorak Islam ialah Samudera Pasai di pesisir timur laut Aceh, Kabupaten
Lhok Seumawe atau Aceh Utara kini. Daerah ini sudah disinggahi pedagang muslim
sejak abad ke-7 dan ke-8 M. Proses Islamisasi tentu telah berjalan di sana
sejak abad tersebut, baik dalam bidang politik maupun perdagangan. Dalam tulisan ini pembahasan hanya di khususkan pada
perkembangan peradaban dan keilmuan yang ada pada masa kesultanan Samudra Pasai
dan Aceh Darussalam.
B. Wilayah Geografis Kesultanan Samudera Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera
Pasai. Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh. Kemunculannya sebagai
kerajaan Islam di perkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke 13 M, sebagai
hasil dari proses Islamisasi daerah – daerah pantai yang pernah di singgahi
pedagang – pedagang muslim sejak abad ke 7, ke 8 M, dan seterusnya. Bukti
berdirinya kerajaan Samudera Pasai pada abad ke 13 M itu di dukung oleh adanya
nisan kubur yang terbuat dari granit asal Samudera Pasai. Dari nisan itu, dapat
di ketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadhan tahun
696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M.
Malik Al-Saleh, raja pertama itu, merupakan pendiri Kerajaan
tersebut. Hal itu di ketahui melalui tradisi Hikayat Raja – Raja Pasai, Hikayat Melayu, dan juga hasil
penelitian atas beberapa sumber yang dilakukan Sarjana – sarjana Barat,
khususnya para sarjana Belanda, seperti Snouck Hurgronye, J.P. Molquette, J.L.
Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lain – lain.
Dari segi peta politik, munculnya kerajaan Samudera Pasai abad ke
13 M itu sejalan dengan suramnya peranan maritim kerajaan Sriwijaya, yang
sebelumnya memegang peranan penting dikawasan Sumatera dan sekelilingnya. Dalam
Hikayat Raja – raja Pasai disebutkan
gelar Malik al-Saleh sebelum menjadi raja adalah Merah Sile atau Merah Selu. Ia
masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syaikh Ismail, seorang utusan Syarif
Mekkah, yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik al-Saleh. Nisan kubur itu
didapatkan di Gampong Samudera bekas kerajaan Samudera Pasai tersebut. Merah
Selu adalah Putra Merah Gajah. Nama Merah merupakan gelar bangsawan yang lazim
di Sumatera Utara. Selu kemungkinan berasal dari kata Sungkala yang aslinya berasal dari Sanskrit Chula. Kepemimpinan yang menonjol menempatkan dirinya
menjadi raja.
Dari hikayat itu, terdapat petunjuk bahwa tempat pertama sebagai
pusat kerajaan Samudera Pasai adalah
Muara Sungai Peusangan, sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar di sepanjang
jalur pantai yang memudahkan perahu – perahu dan kapal – kapal mengayuhkan
dayungnya ke pedalaman dan sebaliknya. Ada dua kota yang terletak berseberangan
di muara sungai Peusangan itu, yaitu Pasai dan Samudera. Kota Samudera terletak
agak lebih ke pedalaman, sedangkan kota Pasai terletak lebih ke muara. Di
tempat terakhir inilah terletak beberapa Makam Raja – raja. Adapun para raja yang pernah memerintah di
Kerajaan samudera Pasai adalah sebagai berikut :
1.
Sultan Malik Azh-Zhahir (1297-1326 M)
2.
Sultan Mahmud Malik Azh-Zhahir (1326-1345 M)
3.
Sultan
Manshur Malik Azh-Zhahir (1345-1346 M)
4.
Sultan Ahmad Malik Azh-Zhahir (1346-1383 M)
5.
Sultan Zainal Abidin Malik Azh-Zhahir
(1383-1405 M)
6.
Sultan Nahrasiyah (1405 M)
7.
Sultan Abu Zaid Malik Azh-Zhahir (1455 M)
8.
Sultan Mahmud Malik Azh-Zhahir (1455-1477 M)
9.
Sultan Zainal Abidin (1477-1500 M)
10. Sultan
Abdullah Malik Azh-Zhahir (1500-1513 M)
11. Sultan
Zainal Abidin (1513-1524 M).
C. Munculnya Kerajaan Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh terletak di
daerah yang sekarang di kenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Disini pula
terletak ibukotanya. Kurang begitu diketahui kapan kerajaan ini sebenarnya
berdiri. Anas Machmud berpendapat, Kerajaan Aceh berdiri pada abad ke 15 M, di
atas puing – puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dialah
yang membangun kota Aceh Darussalam. Menurutnya, pada masa pemerintahannya Aceh
Darussalam mulai mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan, karena saudagar –
saudagar muslim yang sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka
ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis (1511 M). sebagai akibat penaklukan Malaka
oleh Portugis itu, jalan dagang yang
sebelumnya dari laut Jawa ke utara melalui Selat Karimata terus ke Malaka,
pindah melalui selat Sunda dan menyusuri pantai barat Sumatera, terus ke Aceh.
Dengan demikian, Aceh menjadi ramai dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai
Negeri.
Menurut H.J. De Graaf, Aceh menerima Islam dari Pasai yang kini
menjadi bagian wilayah Aceh dan pergantian agama diperkirakan terjadi mendekati
pertengahan abad ke 14. Menurutnya, kerajaan Aceh merupakan penyatuan dari dua
kerajaan kecil, yaitu Lamuri dan Aceh Dar al-Kamal. Ia juga berpendapat bahwa
rajanya yang pertama adalah Ali Mughayat Syah.
Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie
yang bekerja sama dengan Portugis,
kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Dengan kemenangannya terhadap dua kerajaan
tersebut, Aceh dengan mudah melebarkan sayap kekuasaannya ke Sumatera Timur.
Untuk mengatur daerah Sumatera timur, raja Aceh mengirim panglima –
panglimanya, salah seorang diantaranya adalah Gocah, pahlawan yang menurunkan
sultan – sultan Deli di Serdang.
Peletak dasar kebesaran kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin
Riayat Syah yang bergelar Al-Qahar. Dalam menghadapi bala tentara Portugis, ia
menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan Usmani di Turki dan Negara –
Negara Islam yang lain di Indonesia. Dengan bantuan Turki Usmani tersebut, Aceh
dapat membangun angkatan perangnya dengan baik. Aceh ketika itu tampaknya
mengakui kerajaan Turki Usmani sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dan
Kekhalifahan dalam Islam.
Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda ( 1608-1637 ). Pada masanya Aceh menguasai seluruh
pelabuhan di pesisir timur dan barat Sumatera. Dari Aceh, Tanah Gayo yang
berbatasan di Islamkan, juga Minangkabau. Hanya orang – orang kafir Batak yang
berusaha menangkis kekuatan – kekuatan Islam yang datang, bahkan mereka
melangkah begitu jauh sampai minta bantuan Portugis. Tidak seperti Iskandar
Muda yang memerintah dengan tangan besi, penggantinya Iskandar Tsani, bersikap
lebih liberal, lembut dan adil. Pada masanya Aceh terus berkembang untuk masa
beberapa tahun. Akan tetapi, kematiannya diikuti oleh masa – masa bencana.
Tatkala beberapa sultan perempuan menduduki singgasana pada tahun 1641-1699,
beberapa wilayah taklukannya lepas dan kesultanan menjadi terpecah belah.
Setelah itu, pemulihan kembali kesultanan tidak banyak bermanfaat, sehingga
menjelang abad ke 18 M Kesultanan Aceh merupakan bayangan belaka dari masa
silam dirinya, tanpa kepemimpinan dan kacau balau.
D. Perkembangan Peradaban dan Keilmuan
Islam pada masa Kesultanan Samudera Pasai dan Aceh Darussalam
Pada abad ke 13 M Pasai dan Pidie menjadi Pusat
perdagangan internasional yang salah satu ekspor utamanya adalah Lada. Hubungan
perdagangan antara Pasai dan Jawa berkembang dengan pesatnya. Tome Pires
memperkirakan bahwa Pasai mengekspor lada kira – kira 8000 sampai 10.000/Bahar
setiap tahun. Disamping mengekspor lada Samudera Pasai juga mengekspor sutra,
kapur barus, dan emas dari daerah pedalaman. Di percayai bahwa metode memroses
sutra diperkenalkan di Samudera Pasai oleh orang – orang Cina. Ibn Batutah seorang pengembara Maghribi yang
mengunjungi Samudera Pasai pada tahun 1346 M mengemukakan bahwa ia telah
bertemu kapal Sultan Pasai di negeri Cina. Utusan – utusan Samudera Pasai telah
mengadakan hubungan dengan Cina sejak abad ke 13 M.
Sebagai Bandar perdagangan yang telah maju pada
masanya, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang dinamakan Dirham atau Deureuham, yang ditemukan di Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh
Utara, Nanggroe Aceh Darussalam.
Dibagian
muka semua dirham Pasai, kecuali kepunyaan Sultan Salah al-Din ( 1405-1412 ),
tertera nama sultan dengan gelar Malik
al-Zahir. Setelah Kerajaan Aceh menaklukan Kerajaan Samudera Pasai pada
tahun1524 M, para Sultan Aceh meniru kebiasaan para sultan Samudera Pasai
dengan memakai gelar Malik al-Zahir pada
sisi belakang dirham mereka. Hal ini
terjadi sejak pemerintahan Sultan Aceh Darussalam yang pertama, yaitu Sultan
Ali Mughayat Syah (1571-1530) sampai
dengan Sultan Ali Ri’ayat Syah (1571-1579). Akan tetapi sejak Sultan Iskandar
Muda ( 1607-1637 ), kata – kata seperti
gelar Malik al-Zahir dan Al-Sultan Al-‘Adil tidak lagi digunakan
pada dirham Aceh.
Kejayaan Kesultanan Samudera Pasai mulai mengalami ancaman dari peradaban
terbesar di Jawa waktu itu, yakni dari Kerajaan Majapahit dengan Gadjah Mada
sebagai Mahapatihnya yang paling legendaris. Gadjah Mada diangkat
sebagai Patih di Kahuripan pada periode 1319-1321 Masehi oleh Raja
Majapahit yang kala itu dijabat oleh Jayanegara. Pada 1331, Gadjah Mada naik
pangkat menjadi Mahapatih ketika Majapahit dipimpin oleh Ratu Tribuana
Tunggadewi. Ketika pelantikan Gadjah Mada menjadi Mahapatih Majapahit inilah
keluar ucapannya yang disebut dengan Sumpah Palapa, yaitu bahwa Gadjah Mada
tidak akan menikmati buah Palapa sebelum seluruh Nusantara berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Majapahit.
Mahapatih Gadjah Mada rupanya sedikit terusik mendengar kabar tentang
kebesaran Kesultanan Samudera Pasai diseberang lautan sana. Majapahit khawatir
akan pesatnya kemajuan Kesultanan Samudera Pasai. Oleh karena itu kemudian
Gadjah Mada mempersiapkan rencana penyerangan Majapahit untuk menaklukkan
Samudera Pasai. Desas-desus tentang serangan tentara Majapahit, yang menganut Agama Hindu Syiwa, terhadap kerajaan Islam Samudera Pasai
santer terdengar di kalangan rakyat di Aceh. Ekspedisi Pamalayu armada perang
Kerajaan Majapahit di bawah komando Mahapatih Gadjah Mada memulai aksinya pada
1350 dengan beberapa tahapan.
Serangan awal yang dilakukan Majapahit di perbatasan Perlak mengalami
kegagalan karena lokasi itu dikawal ketat oleh tentara Kesultanan Samudera
Pasai. Namun, Gadjah Mada tidak membatalkan serangannya. Ia mundur ke laut dan
mencari tempat lapang di pantai timur yang tidak terjaga. Di Sungai Gajah,
Gadjah Mada mendaratkan pasukannya dan mendirikan benteng di atas bukit, yang
hingga sekarang dikenal dengan nama Bukit Meutan atau Bukit Gadjah Mada.
Selanjutnya, Gadjah Mada menjalankan siasat serangan dua jurusan, yaitu
dari jurusan laut dan jurusan darat. Serangan lewat laut dilancarkan terhadap
pesisir di Lhokseumawe dan Jambu Air. Sedangkan penyerbuan melalui jalan darat
dilakukan lewat Paya Gajah yang terletak di antara Perlak dan Pedawa. Serangan
dari darat tersebut ternyata mengalami kegagalan karena dihadang oleh tentara
Kesultanan Samudera Pasai. Sementara serangan yang dilakukan lewat jalur laut
justru dapat mencapai Istana.
Selain alasan faktor politis, serangan Majapahit ke Samudera Pasai dipicu
juga karena faktor kepentingan ekonomi. Kemajuan perdagangan dan kemakmuran
rakyat Kesultanan Samudera Pasai telah membuat Gadjah Mada berkeinginan untuk
dapat menguasai kejayaan itu. Ekspansi Majapahit dalam rangka menguasai wilayah
Samudera Pasai telah dilakukan berulangkali dan Kesultanan Samudera Pasai pun
masih mampu bertahan sebelum akhirnya perlahan-lahan mulai surut seiring
semakin menguatnya pengaruh Majapahit di Selat Malaka.
Hingga menjelang abad ke-16, Samudera Pasai masih dapat mempertahankan
peranannya sebagai bandar yang mempunyai kegiatan perdagangan dengan luar
negeri. Para ahli sejarah yang menumpahkan minatnya pada perkembangan ekonomi
mencatat bahwa Pasai pernah menempati kedudukan sebagai sentrum kegiatan dagang
internasional di Nusantara semenjak peranan Kedah berhasil dipatahkan.
Namun kemudian, peranan Pasai yang sebelumnya sangat penting dalam arus
perdagangan di kawasan Asia Tenggara dan dunia mengalami kemerosotan dengan
munculnya bandar perdagangan Malaka di Semenanjung Melayu. Bandar Malaka segera
menjadi primadona dalam bidang perdagangan dan mulai menggeser kedudukan Pasai.
Tidak lama setelah Malaka dibangun, kota itu dalam waktu yang singkat segera
dibanjiri perantau-perantau dari Jawa.
Akibat kemajuan pesat yang diperoleh Malaka tersebut, posisi dan peranan
Pasai kian lama semakin tersudut, nyaris seluruh kegiatan perniagaannya menjadi
kendor dan akhirnya benar-benar patah di tangan Malaka sejak tahun 1450.
Apalagi ditambah kedatangan Portugis yang berambisi menguasai perdagangan di
Semenanjung Melayu. Orang-orang Portugis yang pada 1521 berhasil menduduki
Kesultanan Samudera Pasai.
Tidak hanya itu, Kesultanan Samudera Pasai semakin lemah ketika di Aceh
berdiri satu lagi kerajaan yang mulai merintis menjadi sebuah peradaban yang
besar dan maju. Pemerintahan baru tersebut yakni Kerajaan Aceh Darussalam yang
didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Kesultanan Aceh Darussalam sendiri
dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Aceh pada
masa pra Islam, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan
Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura. Pada 1524, Kerajaan Aceh Darussalam di
bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah menyerang Kesultanan Samudera Pasai.
Akibatnya, pamor kebesaran Kerajaan Samudera Pasai semakin meredup sebelum
benar-benar runtuh. Sejak saat itu, Kesultanan Samudera Pasai berada di bawah
kendali kuasa Kesultanan Aceh Darussalam.
Di masa keemasannya, Kerajaan Samudera Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam menjelma menjadi pusat perdagangan internasional. Kerajaan
Pelabuhan Islam itu begitu ramai dikunjungi para Pedagang dan Saudagar dari berbagai Benua seperti, Asia, Afrika, Cina, dan Eropa.
Tidak hanya menjadi pusat perdagangan internasional, kerajaan Samudera Pasai
serta Kerajaan Aceh Darusslam ini pun menjadi Pusat Keilmuan Islam di Asia
Tenggara, yang akan dijelaskan lebih rinci sebagai berikut.
1. Keilmuan Islam pada masa Samudera
Pasai
Kerajaan Islam pertama
di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada abad ke-10 M
dengan Rajanya bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik
Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H). Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari
Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan Malik Az-Zahir,
raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i, mengadakan
pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta
mempraktekkan pola hidup yang sederhana. Masih menurut catatan Ibnu Batutah, Sultan Muhammad
Malikul Zahir merupakan sosok pemimpin yang memiliki gairah belajar yang tinggi
dalam menuntut ilmu-ilmu Islam. Batutah juga mencatat, pusat Studi Islam yang dibangun di lingkungan kerajaan menjadi
tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan. Ibnu Batutah bahkan memasukkan
nama Sultan Muhammad Malikul Zahir sebagai salah satu dari Tujuh Raja di dunia yang memiliki kelebihan luar biasa. Ketujuh
raja yang memiliki kemampuan luar biasa menurut Ibnu Batutah antara lain Raja
Melayu Sultan Muhammad Malikul Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas
dan mendalam, Raja Romawi yang sangat pemaaf, Raja Iraq yang berbudi bahasa,
Raja Hindustani yang sangat ramah, Raja Yaman yang berakhlak mulia, Raja Turki
yang gagah perkasa, serta Raja Turkistan yang bijaksana.
Dari keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai
berikut:
a.
Materi pendidikan dan pengajaran agama
bidang Syari’at adalah Fiqh Mazhab Syafi’I
b.
Sistem pendidikannya secara informal
berupa Majlis Ta’lim dan Halaqoh
c.
Tokoh pemerintahan merangkap tokoh Agama
d.
Biaya pendidikan bersumber dari negara.
Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M,
sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul
ulama-ulama dari Negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan
Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan.
Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian Ulama,
setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama,
antara lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk
pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis Ta’lim atau Halaqoh. Sistem
halaqoh yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di
tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru.
Minoritas kreatif di Samudera Pasai telah berhasil
memanfaatkan huruf Arab yang di bawa oleh agama Islam untuk dapat menulis karya
– karya dalam bahasa Melayu yang di sebut bahasa Jawi. Salah satu karya yang
bagian awalnya di tulis dalam bahasa Melayu Klasik, adalah Hikayat Raja – raja Pasai (HRP) yang menceritakan perihal Raja –
raja Pasai sejak agama Islam bertapak di kerajaan itu dan di anut oleh
masyarakatnya, sampai dengan kerajaan Pasai dibawah raja Ahmad porak poranda di
kalahkan oleh Majapahit. Kalimat pertama HRP
berbunyi: “Alkisah peri mengatakan ceritera yang pertama masuk agama Islam
ini Pasai; maka ada di ceritakan oleh orang yang empunya ceritera negeri yang
di bawah angin ini Pasailah yang pertama membawa iman akan allah dan akan rasul
allah.”
Tidak dapat
di pastikan dengan tepat kapan HRP ini di tulis, karena sebagaimana lazimnya
dalam sastra Melayu lama, nama pengarang dan tahun karya itu di susun tidak
pernah dituliskan orang. HRP yang di
tulis dalam bahasa Melayu yang berkembang di pasai, menurut penelitian Dr. A.
H. Hill pengaruhnya jelas terlihat terhadap sejarah melayu yang lain seperti Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Marong Mahawangsa. Bahasa melayu
yang terdapat dalam HRP itulah yang
lebih kurang tiga abad kemudian di pergunakan oleh Syaikh Abdur-rauf al
Singkili untuk menyusun kitab Hukum Syara’ pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu
kira – kira pada tahun 1663. Dalam Kitab itu, yang di beri nama Mir’at al-Tullab fi Tashil Ma’rifat Ahkam
Syari’iyyah li al-Malik al-Wahab, yaitu Cermin
bagi mereka yang menuntut Ilmu Fiqih pada memudahkan mengenal segala hokum
Syara’ Allah disebutkan bahwa bahasa yang dipakainya dalam menyusun kitab Hukum
Islam itu adalah bahasa Jawi yang di bangsakan kepada bahasa Pasai.
Sejalan dengan berkembang suburnya agama Islam di Pasai,
ilmu Tasawuf pun mendapat tempat yang penting pula. Sejarah Melayu atau Kitab
Sulalatussalatin (edisi Abdullah Bin Abdulkadir Munsyi) menceritakan bahwa
di tanah Arab ada seorang alim Maulana Abu Ishak namanya yang sangat faham akan
ilmu Tasawuf. Ia mengarang kitab
Durru’l-manzum dan mengajarkan isi
kitab itu. Sultan Malaka Mansyur Syah sangat memuliakan Maulana Abu Bakar dan
Baginda berguru kepada Maulana itu. Kemudian sultan Mansyur Syah mengirim kitab
itu ke Pasai untuk di beri arti dan oleh Sultan Pasai tugas ini di bebankan kepada seorang alim di Pasai bernama Makhdum Patakan. Setelah di artikan oleh
Makhdum ini hasilnya di antarkan kembali ke istana Malaka dan sultan Mansyur
Syah terlalu sukacita melihat kitab itu sudah di beri makna. Baginda menunjukan
kitab yang di kirim dari Pasai itu kepada Maulana Abu
Bakar, dan Maulana Abu Bakar berkenan di hatinya terhadap terjemahan yang di buat oleh Makhdum Patakan serta di pujinya ulama dari Pasai itu.
Dari uraian ini
menjadi jelas kepada kita betapa majunya sudah bahasa melayu yang di sebut
bahasa Jawi itu di kerajaan Samudera Pasai sehingga mampu untuk menerjemahkan
kitab Tasawuf seperti Durru’l-manzum itu.
Di samping orang datang berguru ke Pasai, ada pula diantara para ulama Pasai
yang seperti di ceritakan oleh hikayat Patani, meninggalkan negerinya pergi ke Patani untuk mengembangkan agama Islam di negeri itu.
Samudera Pasai yang
menjadi pusat tamaddun Islam di Asia Tenggara merupakan pula kerajaan pertama
yang berikhtiar mengaktualisasikan perintah Allah dalam Al-qur’an dengan mempergunakan ungkapan Al-Sultan Al-‘adil dalam mata uangnya yang terbuat dari emas yang
dinamakan Dirham. Dirham yang tertua di kerajaan Samudera Pasai di keluarkan semasa pemerintahan Sultan Muhammad Malik
Al-Zahir ( 1297-1326 ). Mata uang yang berdiameter 10 mm itu dengan berat 0,60
gram dan dengan mutu 18 karat, di bagian depannya tertera nama Muhammad Malik
Al-Zahir, sedangkan di bagian belakangnya terdapat Ungkapan Al-Sultan al-‘Adil.
Ungkapan Al-sutan al-‘Adil berasal dari firman allah dalam kitab suci al-Qur’an,
surat 16 (An-nahl)
ayat 90. Surat An-Nahl ini kita temukan pula dalam kitab Taj al-salatin atau Taju’s-salatin (TS), yaitu Kitab
Mahkota
segala Raja,
yang berisi pedoman cara
mengendalikan pemerintahan berdasarkan ajaran Islam, diterjemahkan dari bahasa Parsi oleh Bukhari al-Jauhari di kerajaan Aceh Darussalam pada 1603. Konon kitab asli dalam bahasa Parsi itu belum ditemukan. Besar sekali kemungkinan kitab
yang tertulis dalam bahasa Parsi itu telah lama dikenal dan berusaha diamalkan
dikerajaan Pasai,
melihat dipasai terdapat pengaruh Parsi yang cukup besar. Dari Ibn Batutah yang
pada 1325 berkunjung ke Pasai kita ketahui bahwa disana berada dua orang Kadi dari Parsi, yaitu Syarif Amir Sayyid dari Shiraz dan Taj al-Din
dari Isfahan.
Berkat pengaruh
para ulama Parsi
dalam kerajaan Pasai dapat disimpulkan bahwa kitab Tajussalatin
yamg berbahasa Parsi telah dikenal di Pasai dan kemudian tradisi mempelajari kitab itu diteruskan dikerajaan Aceh dan disini kitab itu diterjemahkan oleh Bikhari
Al-Jauhari kedalam bahasa Melayu untuk menjadi pegangan Raja-raja
Melayu di Asia Tenggara, yang kemudian diterjemahkan pula kedalam bahasa Jawa oleh kerajaan Mataram Islam.
Betapa besarnya pengaruh Parsi di kerajaan Samudera
Pasai dapat terlihat pada epigraf yang amat menarik di Samudera Pasai berupa
sebuah puisi yang di tulis dalam bahasa Parsi. Puisi ini berbentuk ghazal
terpahat pada nisan yang terbuat dari batu pualam kepunyaan Na’ina Husam al-Din
yang berpulang ke rahmatullah pada tahun 1420 M. Nisannya itu di hiasi dengan
ornamen dedaunan dan bunga – bungaan yang amat indah. Puisi yang terukir pada
makam itu adalah karya seorang penyair besar Persia yang termasyur yaitu Shaikh
Muslih al-Din Sa’di ( 1133-1292 ), lahir di Shiraz dan di kebumikan di Saadiya,
Iran.
2.
Masa
Aceh Darussalam
Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil
peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai
di belahan Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan
Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M). Bentuk teritorial yang terkecil
dari susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang
dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya
berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada hari jum’at di
sebuah masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut Mukim, yang
memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum Mukim. Jenjang pendidikan yang
ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah
(Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di setiap
gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
·
Sebagai tempat belajar Al-Qur’an
·
Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi
yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu,
akhlak dan sejarah Islam.
Fungsi lainnya adalah
sebagai berikut:
·
Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu
untuk kampung itu.
·
Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat
membaca Al-Qur’an di bulan Puasa.
·
Tempat kenduri Maulud pada bulan
Mauludan.
·
Tempat menyerahkan zakat fitrah pada
hari menjelang Idhul Fitri atau bulan Puasa.
·
Tempat mengadakan perdamaian bila
terjadi sengketa antara anggota kampung.
·
Tempat bermusyawarah dalam segala
urusan.
·
Letak Meunasah harus berbeda dengan
letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah
dan mengetahui arah kiblat sholat.
Selanjutnya sistem pendidikan di Dayah (Pesantren)
seperti di Meunasah tetapi materi yang diajarkan adalah kitab Nahu, yang
diartikan kitab yang dalam Bahasa Arab, meskipun arti Nahu sendiri adalah tata
bahasa (Arab). Dayah biasanya dekat masjid, meskipun ada juga di dekat Teungku
yang memiliki dayah itu sendiri, terutama dayah yang tingkat pelajarannya sudah
tinggi. Oleh karena itu orang yang ingin belajar nahu itu tidak dapat belajar
sambilan, untuk itu mereka harus memilih dayah yang agak jauh sedikit dari
kampungnya dan tinggal di dayah tersebut yang disebut Meudagang. Di dayah telah
disediakan pondok-pondok kecil yang memuat dua orang tiap rumah. Dalam buku
karangan Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, istilah Rangkang
merupakan Madrasah setingkat Tsanawiyah, materi yang diajarkan yaitu bahasa
Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung, dan akhlak. Rangkang juga diselenggarakan
disetiap mukim. Bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar
menjadi perhatian.
Aceh
pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana-sarjanaya yang
terkenal di dalam dan luar negeri. Sehingga banyak orang luar datang ke Aceh
untuk menuntut ilmu, bahkan ibukota Aceh Darussalam berkembang menjadi kota
Internasional dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Kerajaan Aceh
telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam terkemuka di
Timur Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada masa itu banyak pula ulama dan
pujangga-pujangga dari berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para ulama
dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan berbagai
ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam kitab berisi ajaran agama.
Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi penting dan Aceh menjadi
kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para ulama dan pujangga yang
pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad Azhari yang mengajar ilmu
Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang Pogmatic dan Mistik,
Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu Usul Fiqh dan Syekh Muhammad Jailani Ibn
Hasan yang mengajar Logika.
Tokoh
pendidikan agama Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah
Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan
ajaran Tasawuf yang beraliran Wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri
adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai
seorang pujangga ia menghasilkan karya-karya, Syair Si Burung Pungguk, Syair Perahu.
Ulama penting lainnnya adalah Syamsuddin As-Samathrani atau lebih dikenal
dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan
paham wujudiyah di Aceh. Kitab yang ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin
dan lainnya.
Ulama
dan pujangga lain yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin
Ar-Raniri. Ia menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama
Islam dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi
mutu dalam Kesusastraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh
adalah kitab Bustanul Salatin.
Pada
masa kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya
banyak didirikan masjid sebagai tempat beribadah umat Islam, salah satu masjid
yang terkenal Masjid Baitul Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan
Tinggi dan mempunyai 17 Daars (Fakultas). Sultan Iskandar Muda sangat
memperhatikan pengembangan pendidikan, di samping tentunya keagamaan. Ia sangat
dekat dengan para ulama. Di antaranya yang terkenal adalah Syams al-Addin
al-Samatrani (w. 1630 M), seorang sufi pengikut Hamzah Fansuri. Sultan dan juga
para ulama besar membangun pusat-pusat pendidikan yang disebut Dayah.
Nuruddin al-Raniri dan Abd al-Rauf Singkel adalah di antara ulama terkenal yang
mengajar di lembaga pendidikan ini. Ketika itu, Kerajaan Aceh Darussalam
menjadi pusat kajian Islam di wilayah Asia Tenggara. Banyak penuntut ilmu yang datang
dari luar untuk belajar di lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan dayah
itu. Di antaranya adalah Syaikh Burhanuddin yang berasal dari
Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat. Dayah berfungsi semacam pendidikan
tinggi Islam. Karena di lembaga inilah ilmu-ilmu keIslaman yang paling tinggi
dipelajari oleh para penuntut ilmu. Kemajuan dalam bidang pendidikan Islam di
Aceh ini menyebabkan orang menjulukinya sebagai “Serambi Mekkah”.
E. Penutup
Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M,
sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul
ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan
Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan.
Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama,
setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama,
antara lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk
pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh
yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah
lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru.
Pada
masa kejayaan kerajaan Aceh, Sultan Iskandar Muda sangat memperhatikan
pengembangan pendidikan, di samping tentunya keagamaan. Ia sangat dekat dengan
para ulama. Di antaranya yang terkenal adalah Syams al-Addin al-Samatrani (w.
1630 M), seorang sufi pengikut Hamzah Fansuri. Sultan dan juga para ulama besar
membangun pusat-pusat pendidikan yang disebut dayah. Nuruddin al-Raniri
dan Abd al-Rauf Singkel adalah di antara ulama terkenal yang mengajar di
lembaga pendidikan ini. Ketika itu, dengan
melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh, serta adanya
Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat studi Islam. Karena faktor agama Islam
merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh
pada periode berikutnya. Menurut B.J. Boland, bahwa seorang Aceh adalah seorang
Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Taufik dan Sharon Siddique.
1989. Tradisi dan Kebangkitan Islam di
Asia Tenggara. Jakarta : LP3ES.
Alfian, Teuku Ibrahim. 2005. Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta
: Gadjah Mada University Press.
Amin,
Samsul Munir. 2010. Sejarah Peradaban
Islam, Jakarta : Amzah.
Ensiklopedi
Tematis dunia Islam Asia Tenggara.
Lombard,
Denys. 1991.
Kerajaan Aceh. Jakarta :
Balai Pustaka.
Notosusanto, Nugroho, dan Djoened
Poesponegoro, Marwati. 1992. Sejarah
Nasional Indonesia III. Jakarta : Balai Pustaka.
Saefullah. 2010. Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Saifuddin
Anshari, Endang. 2004. Wawasan Islam. Jakarta
: Gema Insani.
Sufi, Rusdi. 1995. Pahlawan Nasional sultan Iskandar Muda. Jakarta : Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta : PT. Raja
grafindo Persada.
Http://10-Kesultanan-Islam-Samudera-Pasai.htm.wordpress.com. 10-03-2012
Http://Kesultanan Samudera Pasai. Melayu
Online.com/ 10-03-2012
JIKA ANDA BUTUH ANGKA GHOIB/JITU 2D.3D.4D YG DI JAMIN TEMBUS 100% DI PUTARANG SGP/HKG SILAHKAN SAJA ANDA TLP KY JAYA DI NOMOR 085-342-064-735 TRIMAH KASIH
ReplyDeleteJIKA ANDA BUTUH ANGKA GHOIB/JITU 2D.3D.4D YG DI JAMIN TEMBUS 100% DI PUTARANG SGP/HKG SILAHKAN SAJA ANDA TLP KY JAYA DI NOMOR 085-342-064-735 TRIMAH KASIH
JIKA ANDA BUTUH ANGKA GHOIB/JITU 2D.3D.4D YG DI JAMIN TEMBUS 100% DI PUTARANG SGP/HKG SILAHKAN SAJA ANDA TLP KY JAYA DI NOMOR 085-342-064-735 TRIMAH KASIH