1. Pengertian
Kata “totem” berasal dari kata “ototeman”, dialek suku Ojibwa di Amerika Utara, yang berarti kekerabatan dan keeluargaan seperti saudara. Kata tersebut sering digunakan untuk mengungkapkan adanya hubungan yang bersifat kekeluargaan antara manusia dan binatang. Kata “ote” itu sendiri mempunyai arti pertalian keluarga dan kekeraabatan antara saudara laki-laki dan perempuan, hubungan kelompok karena kelahiran atau pengangkatan keluarga secara kolektif dan dihubungkan oleh tali persaudaraan, yang membawa konsekuensi tidak boleh saling mengawini.
Dapat diduga bahwa banyak diantara suku-suku di dunia yang beranggapan bahwa ada suatu hubungan yang istimewa antara dirinya dengan binatang. Pergaulan manusia dengan binatang telah membentuk suatu tanggapan yang religius tentang makhluk-makhluk yang hidup bersama manusia dalam dunia yang sama, tetapi yang lain dari dirinya dan dalam banyak hal menguasai hidupnya. Hidup binatang serba tertutup bagi manusia. Banyak binatang yang memiliki kelebihan dari manusia, mislanya dalam ketajaman matanya, ketangkasannya dan sebagainya.
Pada suku tertentu hubungan rahasia antara manusia dan binatang tadi diakui sebagai hubungan keagamaan. Dari sini dapat diduga bahwa tidak jarang manusia menganggap binatang-binatang tertentu sebagai nenek moyangnya, hidupnya dekat binatang tersebut, dan dengan itu manusia beranggapan dapat memperoleh daya kekuatan yang magis. Atau dengan kata lain, manusia dapat memperoleh keselamatan dari perhubungannya dengan binatang.
Masalah pokok dalam totemisme ialah adanya persekutuan, partisipasi dan saling menjadi bagian antara manusia dan binatang. Dalam persekutuan itu manusia primitif percaya bahwa ia akan memperoleh kekuatan yang luar biasa. Dalam banyak suku bangsa, totemisme terbagi menjadi dua, yaitu perorangan dan kelompok. Totemisme perorangan ialah jika binatang tertentu dianggap sebagai pelindung seseorang, dan disebut tetemisme kelompok bila binatang tersebut merupakan pelindung kelompok atau suku.
Totemisme erat sekali hubungannya dengan animisme, karena dalam totemisme binatang-binatang tertentu kadang-kadang dianggap sebagai nenek moyang suku, yaitu sebagai nenek moyang azali. Hal ini terlihat jelas dalam mite penduduk Australia Utara di Arnhem Land. Dalam mite tersebut digambarkan semacam persekutuan jiwa antara nenek moyang dengan jenis binatang tertentu yang dianggap sebagai totem.
2. Teori Totemisme
Banyak sekali para antropolog yang mengadakan studi tentang totemisme ini sehingga untuk mengemukakan semuanya memerlukan suatu pembahasan yang khusus. Emile Durkheim dalam bukunya The elementary Forms of the Religious Life (1915). Pandangannya bermula dari empat ide pokok yang dikemukakan olehRobertson Smith, yaitu (a) bahwa agama primitif adalah kultus marga (khan); (b) kultus tersebut adalah totemisme; (c) tuhan marga adalah marga itu sendiri; dan (d) totemisme merupakan bentuk yang paling dasar atau primitif, yaitu bentuk asli dari agama yang dikenal sekarang ini. Dengan mendasarkan diri pada ide-ide tersebut Durkheim berpendapat bahwa totemisme itu terdapat dalam masyarakat yang memiliki kultur dan struktur sosial yang paling sederhana. Agama, menurutnya, adalah suatu kesatuan sistem kepercayaan dan ibadat dalam kaitannya dengan benda-benda suci (sacred) dan terlarang, yaitu benda-benda yang disisihkan dari lain-lainnya. Kepercayaan dan ibadat tadi menyatu kedalam kelompok moral yang dinamak jamaah, yakni semua mereka yang mengikutinya.
Menurut Durkheim lebih lanjut, totemisme merupaka semacam Tuhan yang tidak bersifat kemanusiaan, yang menetap di bumi dan bersenyawa dengan benda-benda yang tak terbatas jumlahnya, dan erat hubunganya dengan ‘mana’ dan ide yang sejenis dengan masyarakat primitif. Tetapi di Australia, kenyataanya penduduk asli beranggapan bahwa ide Tuhan tersebut tidak dalam bentuk yang abstrak, melainkan dalam bentuk binatang dan tumbuha-tumbuhan, yaitu totem, yang merupakan “bentuk materiil” yang dibelakangnya terdapat imajinasi yang menggambarkan zat bukan materiil atau Tuhan. Karena itu yang prinsipal dan vital bagi mereka adalah “manusia dan totemnya”.
Totem disamping merupakan simbol Tuhan atau sesuatu yang vital juga menjadi simbol masyarakat, karena Tuhan dan masyarakat adalah identik. Tuhan dan klan yang menjadi prinsip totemisme, diwujudkan dan digambarkan dalam bentuk yang dapat dilihat, yaitu pada binatang atau tumbuh-tumbuhan yang bertindak selaku totem. Dalam simbol totem inilah para anggota klan memperlihatkan sikap moral dan rasa ketergantungannya satu sama lain, jiga terhadap kelompoknya secara keseluruhan. Dengan itu pula mereka berkomunikasi dan menegakkan solidaritas. Demikianlah penelitian Durkheim tentang totemisme di Australia.
Romdhon, A. Singgih Basuki dkk.Agama-Agama Di Dunia.IAIN Sunan Kalijaga Press. Yogyakarta.
0 comments:
Post a Comment