Permasalahan yang timbul dari pengertian tafsir dan takwil ini ialah apakah tafsir dan takwil itu sama atau identik pengertiannya dalam istilah mufassirin? Ada yang berpendapat bahwa takwil itu sinonim dengan tafsir, karena dilihat dari segi tujuan keduanya tidak berbeda, yaitu menjelaskan makna ayat-ayat al-qur’an.
Sedang sebagian ulama melihat ada perbedaan-perbedaan antara keduanya, yaitu :
- Tafsir berbeda dengan takwil pada ayat yang menyangkut soal umum dan khusus. Pengertian tafsir lebih umum daripada takwil, karena takwil berkenaan dengan ayat-ayat yang khusus, misalnya ayat-ayat mutasyabihat. Jadi mentakwilkan ayat-ayat al-qur’an yang mutasyabihat itu termasuk tafsir, tetapi tidak setiap menafsirkan ayat disebut takwil.
- Bahwa tafsir adalah penjelas lebih lanjut bagi takwil.
- Tafsir menerangkan makna lafazh (ayat) melalui pendekatan riwayat, sedangkan takwil melalui pendekatan dirayah (kemampuan ilmu).
- Tafisr menerangkan makna-makna yang diambil dari bentuk yang tersurat (ibarat), sedangkan takwil dari yang tersirat (bilisyarah).
- Tafsir berhubungan dengan makna-makna ayat atau lafazh yang biasa-biasa saja, sedangkan takwil berhubungan dengan makna-makna yang sakral dan ilmu-ilmu Ketuhanan.
- Tafsir mengenai penjelasan maknanya telah diberikan sendiri oleh al-qur’an,sedangkantakwil penjelasan maknanya diperoleh melalui istinbath (penggalian) dengan memanfaatkan ilmu-ilmu alatnya.
Demikian juga dengan terjemah tidaklah identik, meskipun keduanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu menjelaskan. Tafsir menjelaskan suatu maksud yang semula sulit dipahami, sedangkan terjemah juga menjelaskan makna daru suatu bahasa yang tidak dikuasai melalui bahasa lain yang dikuasai. Meurut Rif’at Syauqi dan M. Ali Hasan (1988:176-177) terdapat perbedaan antara keduanya, antara lain :
- Pada terjemah terjadi peralihan bahasa, dari bahasa pertama ke bahasa terjemah, tidak ada lafazh atau kosa kata bahasa pertama itu melekat pada bahaa terjemahnya. Bentuk terjemah telah lepas sama sekali dengan bahasa yang diterjemahkan. Tidak demikian halnya dengan tafsir. Tafsir selalu ada keterikatan dengan bahasa asalnya, dan dalam tafsir tidak terjadi peralihan bahasa, sebagaimana lazimnya dalam terjemah. Yang terpenting dan menonjol dalam tafsir ialah ada penjelasan, baik penjelasan kata-kata mufrad (kosa kata) maupun penjelasan susunan kalimat.
- Pada terjemah sekali kali tidak boleh melakukan istithrad, yakni penguraian meluas melebihi dari sekedar mencari padanan kata, sedangkan dalam tafsir, pada kondisi tertentu, tidak boleh hanya melakukan penguraian meluas itu, tetapi justru uraian itu wajib dilakukan. Lagi pula dalam terjemah, makna yang diungkapkan sebaiknya tidak lebih dan tidak kurang dari bahasa yang pertama, sehingga sekiranya terjadi kesalahan dalam bahasa pertama, maka akan terjadi pada terjemahnya. Berbeda dengan tafsir, bahwa yang dituntut daripadanya adalah menyampaikan penjelasan pesan dari bahasa asalnya.
- Terjemah pada lazimnya mengandung tuntuta dipenuhi semua makna yang dikehendaki oleh bahasa pertama, tidak demikian halnya dengan tafsir. Yang menjadi pokok perhatiannya ialah tercapai penjelasan yang sebaik-baiknya, baik secara global maupun secara terperinci, baik mecakup keseluruhan makna saja, tergantung pada apa yang diperhatikan mufassir dan orang yang merima tafsir itu.
- Terjemah pada lazimnya mengandung tuntutan ada pengakuan, bahwa semua makna yang dimaksud, yang lebih dialih bahasakan oleh penterjemah ialah makna yang ditunjuk oleh pembicaraan bahasa pertama dan memang itulah yang dikehendaki oleh penutur bahasa. Tidak demikian halnya dengan tafsir. Dalam dunia tafsir soal pengakuan sangat relatif, tergantung pada faktor kredibilitas mufassirnya. Mufassir akan mendapatkan pengakuan jika dalam mufassir itu ia didukung oleh banyak dalil yang dikemukakannya, sebaliknya ia tidak akan mendapatkan pengakuan ketika hasil tafsiranya itu tidak didukung oleh dalil-dalil.
Demikian pula jika yang melakukan penafsiran itu orang yang sehaluan denga yang membaca atau mendengar tafsiran, maka akan mendapat pengakuan, akan tetapi jika tidak sehaluan, mungkin pengakuan itu tidak ada.
Sumber : Abd. Chalik, Drs. H. A. Chaerudji, “Ulum Al-Qur’an”. Diadit Media. Jakarta Pusat. 2007.
0 comments:
Post a Comment