Ada yang berpendapat bahwa etika cinta dapat dipahami dengan mudah tanpa dikaitkan dengan agama. Tetapi dalam kenyataan hidup, manusia masih mendambakan teganya cinta dalam kehidupan ini. Disatu pihak, cinta didengung-dengungkan lewat lagu dan organisasi perdamaian dunia, tetapi dilain pihak, dalam praktek kehidupan, serta sebagai dasar hidup jauh dari kenyataan. Atas dasar ini, agama memberikan ajaran cinta kepada manusia. Tidak kurang seorang Nabi yang bernama Ibrahim yang mendapat kritik tentang cinta. Suatu saat Ibrahim mendambakan seorang anak. Setelah ahir anak yang dicintainya (Ismail), ternyata cinta Ibrahim kepada anaknnya dapat menggeser cintanya kepada PenciptaNya sehingga Tuhan mencobanya dengan menyuruh Ibrahim menyembelih anaknya. Perintah ini menimbulkan konflik dalam diri Ibrahim, siapa yang harus dicintai, Tuhan atau anaknya.
Cuplikan peristiwa ini memberikan indikasi kepada kita bahwa cinta itu harus proporsional dan adil, jangan lupa diri karena cinta. Untuk itu agama memberikan tuntunan tentang cinta. Berbagai bentuk cinta ini terdapat didalam al-qur’an.
Cinta Diri
Al-quran telah mengungkapkan cinta alamiah manusia terhadap dirinya sendiri, kecenderungan untuk menuntut segala sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi dirinya, dan menghindari diri dari segala sesuatu yang membahayakan keselamatan dirinya, mulai ucapan Nabi SAW. Bahwa seandainya dia mengetahui hal-hal yang gaib, tentu dia akan memperbanyak hal-hal yang baik bagi dirinya dan menjauhan dirinya dari segala keburukan:
“… Dan sekiranya kau mengetahui hal yang gaib, tentulah aku akan memperbanyak kebaikan bagi diriku sendiri dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan …”(Q.S 7:188).
Demikian pula :
“Manusia tidak jemu-jemu memohon kebaikan, tetapi jika mereka ditimpa malapetaka, dia menjadi putus asa lagi putus harapan” (Q.S 41:49).
Manusia cinta pada dirinya agar terus menerus ikaruniai kebaikan, tetapi apabila ditimpa bencana, ia menjadi putus harapan.
Cinta Kepada Sesama Manusia
Alla memerintahkan manusia agar saling mencintai diantara sesamanya.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat” (Q.S 49:10).
Dalam al-qur’an terdapat pujian bagi kaum Anshar karena rasa cintanya kepada kaum Muhajirin. Orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah berian (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hat mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka )orang Muhajirin); mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka sendiri dalam kesusahan.
“Dan siapa yang dipeihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Q.S 59:9).
Cinta diri diantara sesama manusia menurut ajaran agama Islam ditandai dengan sikap yang lebih mengutamakan (mencintai) orang lain daripada dirinya sendiri.
Cinta Seksual
Cinta erat kaitannya dengan dorongan seksual. Hal ini dituliskan dalam al-qur’an :
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jeismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikannya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berfikir” (Q.S 30:21).
Dalam ayat lain:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-aa yang dingin, yaitu wanita-wanita” (Q.S 3:14).
Cinta seksual merupakan bagian dari kebutuhan manusia yang dapat melestarikan kasih sayang, keserasian, dan kerjasama antara suami dan istri. Seks merupakan faktor yang primer bagi kelangsungan hidup keluarga.
Cinta Kebapakan
Cinta ibu kepada anaknya, atau dorongan keibuan, merupakan dorongan fisiologis. Artinya, terjadi perubahan-perubahan fisiologis dan fisis yang terjadi pada diri si ibu sewaktu mengandung, melahirkan, dan menyusui. Dorongan kebapakan tidak seperti dorongan keibuan, tetapi dorongan psikis. Hal in tampak dalam cinta bapak kepada anaknya karena ia merupakan sumber kesenangan dalam kegembiraan baginya, sumber kekuatan dan kebanggaan, dan merupakan faktor penting bagikelangsungan peran bapak dalam kehidupan, dan tetap terkenangnya dia seteah meninggal dunia. Hal ini nampak jelas pada cinta Nabi Yakub a.s kepada puteranya, Yusuf a.s, yang membangkitkan cemburu adiknya dan dengki saudara-saudaranya yang lain.
“…Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita sendiri, padalah kita (ini) adalah saru golongan (yang kuat)…” (Q.S 12:8).
Demikian pula nampak cintanya Nabi Nuh a.s kepada puteranya :
“Ya Tuhan, sesungguhnya anakku termasuk keuargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya” (Q.S 11:45).
Cinta Kepada Allah
Puncak cinta manusia yang paling jernih, bening dan spiritual ialah cintanya kepada Allah swt dan kerinduan kepada-Nya. Tidak hanya shalat, pujian, dan doanya, tetapi semua tindakan dan tingkah lakunya ditujukan kepada Allah, mengharapkan penerimaan dan ridha-Nya. Dalam firman Allah:
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah kau, nsicaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah maha pengampun lagi maha penyayang” (Q.S 3:31).
Cinta seorang mukmin kepada Allah melebihi cintanya kepada segala sesuatu yang ada didalam kehidupan ini, melebihi cintanya kepada dirinya sendiri, anak-anaknya, isteri-isterimnya, kedua orang tuanya, keluarganya, dan hartanya.
“Katakanlah jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khwatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cinta daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dai) berijtihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (Q.S 9:24)
Cinta yang ikhlas seorang manusia kepada Allah akan merupakan pendorong dan mengarahkannya kepada penundukan semu bentuk kecintaan lainnya. Cinta kepada Allah akan membut seseorang menjadi mencintai sesame manusia, hewan, semua makhluk Allah dan seluruh alam semesta.
Cinta Kepada Rasul (Muhammad)
Cinta kepada Rasul merupakan peringkat kedua setelah cinta kepada Allah. Karena Rasul Muhammad bagi kaum muslimin merupakan contoh ideal yang sempurna bagi manusia, baik dalam tingkah laku, maupun berbagai sifat luhur lainnya.
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Q.S 68:4)
Cinta kepada Rasul ialah karena beliau merupakan suri tauladan, mengajaran al-qur’an dan bijaksana. Muhammad telah menanggung derita dan berjuang dengan penuh tantangan sampai tegaknya agama Islam.
Cinta Kepada Ibu-Bapak
Cinta kepada ibu-bapak dalam agama Islam sangat mendasar, menetukan ridha tidaknya Tuhan kepada manusia. Sabda nabi Muhammad Saw :
“Keridhaan allah bergantung kepada keridhaan kedua orang tua dan kemurkaan Allah bergantung kepada kemurkaan kedua orang tua pula.” (H.R At-Turmudzy).
Khusus mengenai cinta kepada kedua orang tua ini, Tuhan memperingatan dengan keras melalui ajaran akhlak mulia dan langsung dengan tatakramanya.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbut baik kepada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemelihraanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perataan ‘ah’, dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka ucapan yang mulia. Rendahkanla dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan, dan ucapkanlah : wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S 17:23-24).
Seluruh uraian tentang konsep cinta menurut ajaran Islam memberikan kejelasan kepada kita bahwa makna cinta menurut ajaran agama berbeda dengan makna cinta menurut kajian filsafat. Konsep cinta menurut konsep agama sifatnya lebih realistis dan operatif, sedangkan dalam konsep filsafat gambarannya bersifat abstrak. Dalam agama, cinta adalah suatu dinamisme aktif yang berakar dalam kesanggupan kita untuk member cinta dan menghedaki perkembangan dan kebahagiaan orang yang dicintai. Apabila ada orang yang egois tak dapat mencintai orang lain, sesungguhnya ia sendiri tidak dapat mencintai dirinya sendiri.
Sumber : Dr. Munandar Soelaeman. Ilmu Budaya Dasar. Refika Aditama. Bandung: 2000.
blog anda bagus>>>
ReplyDeletesaya ajungi jempol!!!!
dan saya hanya sekedar mampir ya sekalian blogwalking!!!
jika bernit liat blog saya kunjungin balik jja!!!!
mkch ... ntar sya kunjungi lg ..
ReplyDelete