A. Pendahuluan
Perjuangan gigih rakyat Banten dalam menghadapi penjajah Belanda sekitar abad 17 lalu, telah menorehkan tinta emas dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Dan dari sekian banyak pemimpin perlawanan di Banten, salah satu yang terkenal adalah Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682).
Dia adalah putra Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad (memerintah 1640-1650) serta cucu dari Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir (memerintah 1605-1640). Masa mudanya, Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar Pangeran Surya. Kemudian setelah ayahnya wafat, sang kakek mengangkatnya sebagai Sultan Muda bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Dia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah setelah kakeknya meninggal dunia.
Selaku penguasa Banten, Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah dikenal tegas dan cakap dalam menjalankan roda pemerintahan. Dia pun berusaha untuk mengembalikan kejayaan Banten seperti pada waktu pemerintahan dua pendahulunya, yakni Sultan Maulana Hasanuddin dan Sultan Yusuf. Guna mewujudkan harapan tersebut, sultan langsung mengeluarkan sejumlah kebijakan. Antara lain, memajukan perdagangan Banten dengan meluaskan daerah kekuasaan dan mengusir Belanda dari Batavia. Berkat kebijakannya itu, dalam waktu tidak terlalu lama, Banten telah menjadi kota pelabuhan dagang yang penting di Selat Malaka. Kondisi ini tidak disukai VOC. Mereka lantas memblokade Banten.
Dari sebelum memerintah, sebenarnya Sultan Abdul Fathi telah mengamati bahwa kedudukan Belanda di Batavia pada satu saat nanti akan membahayakan Banten. Dengan monopoli perdagangan VOC di Batavia, tentu sangat merugikan kehidupan perekonomian Banten pada umumnya. Para pedagang asal Cina dan Maluku yang biasanya berlabuh di Banten, dipaksa untuk singgah di Batavia.
Tiga tahun sudah blokade berjalan dan dampaknya kian terasa. Maka dengan terpaksa Banten mengadakan perjanjian dengan VOC yang menyatakan bahwa hak-hak Belanda diakui dan perdagangan Banten dibatasi oleh Belanda. Akan tetapi, beberapa bulan itu, Sultan Abdul Fathi meniadakan perjanjian tadi dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.
Pada saat bersamaan, Sultan Abdul Fathi juga berkeinginan mewujudkan Banten menjadi kerajaan Islam terbesar. Ada dua hal yang ia lakukan. Pertama, di bidang ekonomi, kesejahteraan rakyat ditingkatkan melalui pencetakan sawah-sawah baru serta irigasi yang sekaligus berfungsi sebagai sarana perhubungan. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf, seorang ulama asal Makassar, menjadi mufti kerajaan yang bertugas menyelesaikan urusan keagamaan dan penasehat sultan dalam bidang pemerintahan.
Selain itu, sultan memang terkenal sangat menaruh perhatian bagi pengembangan agama Islam. Oleh karenanya dia menggalakkan pendidikan agama, baik di lingkungan kesultanan maupun di masyarakat melalui pondok pesantren. Agama Islam pun berkembang pesat, terlebih ditunjang dengan banyaknya sarana dan prasarana peribadatan seperti mushala dan masjid.
Di masa pemerintahannya, Sultan Abdul Fathi punya dua orang putra, yakni Pangeran Gusti (Sultan Haji) dan Pangeran Purbaya. Putra mahkota adalah putranya yang tertua, Pangeran Gusti. Namun sebelum diserahi tanggung jawab selaku sultan muda, Pengeran Gusti dikirim ayahnya ke Tanah Suci, Makkah, guna menunaikan ibadah haji. Ini dimaksudkan agar Pengeran Gusti dapat melihat dari dekat perkembangan Islam di berbagai negara demi meluaskan wawasan bagi pengembangan agama di Banten. Selama Pengeran Gusti berada di Makkah, tugas-tugas pemerintahan untuk sementara dipercayakan kepada Pangeran Purbaya setelah Sultan Abdul Fathi mengundurkan diri.
Di masa pemerintahannya, Sultan Abdul Fathi punya dua orang putra, yakni Pangeran Gusti (Sultan Haji) dan Pangeran Purbaya. Putra mahkota adalah putranya yang tertua, Pangeran Gusti. Namun sebelum diserahi tanggung jawab selaku sultan muda, Pengeran Gusti dikirim ayahnya ke Tanah Suci, Makkah, guna menunaikan ibadah haji. Ini dimaksudkan agar Pengeran Gusti dapat melihat dari dekat perkembangan Islam di berbagai negara demi meluaskan wawasan bagi pengembangan agama di Banten. Selama Pengeran Gusti berada di Makkah, tugas-tugas pemerintahan untuk sementara dipercayakan kepada Pangeran Purbaya setelah Sultan Abdul Fathi mengundurkan diri.
Beberapa tahun kemudian, Pangeran Gusti kembali ke Banten yang kini lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji. Namun dia melihat peranan yang makin besar dari adiknya dalam menjalankan pemerintahan. Hal ini memicu pertikaian antara Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, demikian pula antara Sultan Haji dan sultan. Sejak Sultan Abdul Fathi bertentangan dengan anaknya, beliau sering pergi ke dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang) dan mendirikan keraton baru.
Karena itulah, orang lantas lebih mengenalnya dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa. Sebutan ini menjadi masyhur bahkan di kalangan bangsa asing.
Adanya konflik di internal kesultanan, rupanya tidak luput dari perhatian Belanda. Mereka memanfaatkan kondisi ini dan mendekati Sultan Haji agar menentang kebijakan ayahnya. Haji Belanda juga 'memanas-manasi' Sultan sehingga mencurigai Sultan Ageng Tirtayasa serta menyangka ayahnya kelak akan mengangkat Pengeran Purbaya sebagai sultan.
Karena itulah, orang lantas lebih mengenalnya dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa. Sebutan ini menjadi masyhur bahkan di kalangan bangsa asing.
Adanya konflik di internal kesultanan, rupanya tidak luput dari perhatian Belanda. Mereka memanfaatkan kondisi ini dan mendekati Sultan Haji agar menentang kebijakan ayahnya. Haji Belanda juga 'memanas-manasi' Sultan sehingga mencurigai Sultan Ageng Tirtayasa serta menyangka ayahnya kelak akan mengangkat Pengeran Purbaya sebagai sultan.
Kekhawatiran ini membuat Sultan Haji bersedia mengadakan perjanjian dengan Belanda yang intinya adalah persekongkolan merebut kekuasaan dari tangan Sultan Ageng Tirtayasa.
Tahun 1681, Sultan Haji mengkudeta ayahnya dari tahta kesultanan. Sementara itu, Sultan Ageng setelah penggulingan kekuasaan tersebut, tidak lantas berdiam diri. Beliau langsung menyusun kekuatan bersenjata guna mengepung Sultan Haji di Sorosowan (Banten). Karena terus terdesak, akhirnya Sultan Haji meminta bantuan Belanda. Kaum imperialis ini segera mengirimkan ribuan tentara ke Banten untuk melepaskan Sultan Haji.
Dipimpin Kapiten Tack dan de Saint Martin, Belanda juga menyerang benteng Tirtayasa dan dapat menaklukkannya meski menderita kerugian besar. Akan tetapi sebelum Belanda memasuki benteng tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa sempat terlebih dulu membakar seluruh isi benteng dan lantas melarikan diri bersama Pangeran Purbaya dan pengikutnya. Walau pertahanan terakhir Sultan Ageng sudah jatuh, namun Belanda tidak otomatis dapat memadamkan perlawanan rakyat Banten.
Sultan Ageng masih mengadakan perjuangan secara gerilya. Akan tetapi, lama kelamaan Belanda dapat mendesak mereka ke wilayah selatan. Hingga kemudian di tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap melalui tipu muslihat Belanda dan Sultan Haji. Beliau akhirnya dipenjarakan di Batavia sampai meninggalnya pada tahun 1692.
Atas permintaan pembesar dan rakyat Banten, jenazah Sultan Ageng Tirtayasa dapat dibawa kembali ke Banten. Pemimpin kharismatik ini lantas dimakamkan di sebelah utara Masjid Agung Banten. Atas jasa-jasanya itu, pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Ageng Tirtayasa tahun 1975.
B. Awal Pemerintahan
Setelah Putra Mahkota Sultan ‘Abdulma’ali Akhmad mengalami sakit yang berkepanjangan. Diangkatlah puteranya Pangeran Surya sebagai penggantinya yang bergelar Pangeran Adipati atau Adipati Anom. Tidak lama kemudian Sultan Abdulmufakhir Mahmud Abdul Kadir pun wafat. Maka sebagai penggantinya diangkatlah cucunya Pangeran Surya menjadi Sultan Banten ke 5 karena anaknya Sultan Abulma’ali Akhmad telah meninggal terlebih dahulu. Penobatan Pangeran Surya ini terjadi pada tanggal 10 Maret 1651[1].
Sultan yang lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtasaya adalah seorang ahli strategi perang yang dapat diandalkan. Selain itu, Sultan Ageng Tirtayasa juga menaruh perhatian yang besar pada perkembangan pendidikan agama islam. Untuk membina mental prajurit Banten, ia mendatangkan guru-guru agama dari Arab, Aceh dan dari daerah lainnya. Salah seorang guru agama tersebit ialah Syekh Yusuf, ulama besar dari Makassar. Ia kemudian dijadikan mufti agung, guru, dan menantu Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada tahun-tahun pertama pemerintahannya, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil mengembangkan kembali perdagangan Banten. Hal tersebit dapat dilihat dari kenyataan bahwa Banten berhasil menarik perdagangan bangsa Eropa lainnya, seperti Inggris, Perancis, Denmark, dan Portugis. Sebagai saingan VOC, Banten lebih dekat dengan para pedagang Eropa ini karena masih menjalankan sistem perdagangan bebas bukan sistem perdagangan monopoli seperti yang dijalankan VOC. Selain itu, Banten pun mampu mengembangkan perdagangannya dengan Persia, Surat, Mekkah, Koromandel, Benggala dan Siam, Tonkin, Cina (Tjandrasasmita, 1976:8; Djajadiningrat, 1913/1983:59) sehingga VOC menganggap keadaan ini sebagai ancaman serius terhadap perdaganganya yang berbasis di Batavia.
Sultan Ageng Tirtayasa berupaya juga untuk memperluas pengaruh dan kekuasaan ke wilayah Priangan, Cirebon, dan sekitar Batavia guna mencegah perluasaan wilayah kekuaaan Mataram yang telah masuk sejak abad ke 17. Selain itu, juga untuk mencegah pemaksaan monopoli perdagangan VOC yang tujuan akhirnya adalah penguasaan secara politik terhadap Banten[2].
Untuk memperlancar pemerintahannya, diangkatlah beberapa orang yang dianggap cakap sebagai pembantunya. Jabatan Patih atau Mangkubumi diperacyakan kepada Pangeran Mandura dengan wakilnya Tubagus Wiratmaja. Sebagai Kadhi atau Hakim Agung Negara diserahkan kepada Pangeran Jayasentika. Tapi karena tidak lama menjabat beliau meninggal dalam perjalanan menunaikan ibadah haji, maka jabatan Kahdi diserahkan kepada Entol Kaswita yang kemudian dikenal dengan nama Faqih Najmuddin. Pangeran Mandura adalah putr Sultan ‘Abdulmufakhir Mahmud Abdul Kadir, jadi masih terhitung paman, demikian juga Pangeran Jayasentika. Sedangkan Faqih Najmuddin adalah menantu Sultan ‘Abdulmufakhir Mahmud Abdul Kadir yang menikah dengan Ratu Lor.
Untuk memudahkan pengawasan pada daerah-daerah Banten yang tersebar luas, maka diangkatlah ponggawa-ponggawa dan nayaka-nayaka. Mereka berada dibawah pengawasan dan tanggung jawab Mangkubumi. Dalam waktu tertentu diharuskan datang ke Banten dan berkumpul dikediaman Mangkubumi di Kemuning di seberang sungai. Dilaporkannya semua keadaan daerahnya masing-masing. Biasanya setelah itu para ponggawa dan nayaka ini dibawa menghadap Sultan di istana Surosowan untuk menerima petunjuk dan pesan-pesan untuk disampiakan kepada rakyat di daerahnya masing-masing (Djajadiningrat, 1983:71).
Demikian juga pengaturan angkatan perang, Mangkubumi Pangeran Mandura diserahi tugas mengatur dan mengawasi keadaan mereka. Barak-barak prajurit di Kenari diperbanyak dan diperbaiki. Rumah-rumah senapati dan ponggawa-ponggawa ditempatkan sedemikian rupa supaya mereka dapat cepat mengontrol keadaan prajurit-prajuritnya. Tetapi mereka juga tidak terlalu jauh dari istana, untuk memudahkan penyampaian instruksi dari Sultan dalam keadaan yang mendesak (Djajadiningrat, 1983:71 dan Tjandrasasmita, 1967:11).
C. Perkembangan Pemerintahan
- Politik Pemerintahan
Dalam masalah politik kenegaraan, Sultan ‘Abulfath Abdulfattah dengan tegas menentang segala bentuk penjajahan bangsa asing atas negaranya. Mengembalikan Jayakarta ke pangkuan Banten merupakan cita-cita utama dan karenanya Sultan tidak akan pernah mau berbaikan dengan kompeni Belanda. Sultan melihat bahwa perjanjian damai antara Sultan Abulmufakhir dengan kompeni pada tahun 1645 sudah tidak lagi dipatuhi oleh kompeni. Kompeni Belanda masih selalu mencegat kapal-kapal dagang asing yang hendak berlabuh dan mengadakan transaksi dagang dibandar Banten, sehingga pelabuhan Banten banyak mengalami penurunan, karena pedagang asing segan berlabuh d Banten takut diserang kapal-kapal kompeni, baik waktu datang maupun setelah mereka meninggalkan Banten. Sultan pun memperkuat pasukannya di Tangerang dan Angke, yang telah lama dijadikan benteng pertahanan terdepan dalam menghadapi kompeni Belanda. Dari daerah ini pulalah pada tahun 1652 pasukan Banten mengadakan penyerangan ke Batavia[3].
Melihat situasi yang semakin panas itu, kompeni mengirimkan utusan ke Banten untuk menyampaikan usulan pembaruan perjanjian tahun 1645. Dibawanya hadiah-hadiah yang menarik untuk melunakkan hati Sultan, tapi Sultan Abdulfath menolak usulan tersebut. Utusan kedua dikirimnya pula pada bulan Agustus 1655, tapi seperti utusan yang pertama Sultan menolaknya.
Pada tahun 1656 pasukan Banten yang bermarkas di Angke dan Tanggerang mengadakan gerilya besar-besaran, dengan mengadakan pengrusakan kebun-kebun tebu dan penggilingan-penggilingannya, mencegat serdadu-serdadu patroli Belanda, pembakaran markas patrol, dan beberapa pembunuhan orang-orang Belanda, yang semuanya dilakukan pada malam hari.
Untuk menghadapi kompeni dalam pertempuran yang lebih besar, Sultan ‘Abdulfath memperkuat pertahanannya baik dalam jumlah maupun kualitasnya.diadakanlah hubungan yang lebih baik dengan Negara-negara lain seperti : Cirebon, Mataram dan lain-lain (Tjandrasasmita, 1967:13).
Demikian juga keadaan kompeni di Batavia, pasukan perang kompeni diperkuat dengan serdadu-serdadu sewaan dari Kalasi, Ternate, Bandan, Kejawan, Melayu, Bali, Makasar dan Bugis. Memang serdadu yang berasal dari Belanda sendiri sangat sedikit sekali, mereka sengaja mengambil penduduk pribumi untuk menghadapi orang-orang pribumi lainnya; dalam pertempuran pun orang Belanda selalu berada dibelakang, sedangkan yang maju perang adalah serdadu pribumi.
Setelah terjadi beberapa pertempuran yang banyak merugikan kedua belah pihak, maka sekitar bulan November atau Desember 1957 kompeni mengajukan usul genjatan senjata. Perjanjian genjatan senjata in tidak segera disepakati karean kepentingan Belanda dengan kepentingan Banten selalu berbeda. Tanggal 29 April 1958 datanglah utusan Belanda ke Banten membawa surat dari Gubernur Jenderal Kompeni yang berisi rancangan perjanjian persahabatan. Isinya terdiri dari 10 pasal :
1) Kedua belah pihak harus mengembalikan tawanan perangnya masing-masing.
2) Banten harus membayar kerugian perang berupa 500 ekor kerbau dan 1500 ekor sapi.
3) Blockade Belanda atas Banten akan dihentikan setelah Banten menyerahkan rampasan perang.
4) Kantor perwakilan Belanda di Banten harus diperbaiki atas biaya dari Banten.
5) Sultan Banten harus menjamin keamanan dan kemerdekaan perwakilan kompeni Belanda.
6) Karena banyaknya barang-barang Kompeni dicuri dan digelapkan oleh orang Banten, maka kapal-kapal kompeni yang dating di Banten dibebaskan dari pemeriksaan.
7) Setiap orang Banten yang ada di Batavia harus dikembalikan ke Banten, demikian juga sebaliknya.
8) Kapal-kapal Kompeni yang dating ke pelabuhan Banten dibebaskan dari bea masuk, demikian juga keluarnya.
9) Perbatasan daerah Banten dan Batavia ialah Untung Jawa hingga di pedalaman atau pegunungan.
10) Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, warga kedua belah pihak dilarang melewati batas daerahnya masing-masing.
Dari rancangan naskah perjanjian yang diajukan Kopmeni ini Sultan ‘Abulfath dapat melihat kecurangan dan ketidak sungguhan Kompeni atas perdamaian. Pada tanggal4 Mei 1658, Sultan mengirimkan utusan ke Batavia untuk mengajukan perubahan dan tambahan tatas rancangan naskah-naskah perjanjian itu.
Dari surat yang dikirimkannya itu Sultan bersedia menyetujui usul Kompeni asal ditambahkan dalam naskah itu :
1) Rakyat Banten dibolehkan dating ke Batavia setahun sekali untuk membeli senjata, meriam, peluru, mesin, besi, cengkeh dan pala.
2) Rakyat Banten dibebaskan berdagang di Ambon dan Perak tanpa dikenakan pajak dan cukai.
Usul Sultan ini serta merta ditolaknya. Kompeni hanya menginginkan supaya orang Banten membeli rempah-rempah dari kompeni dan itupun harus membayar pajak.
Penolakan Gubernur Jenderal Kompeni atas usulannya ini membuat Sultan sadar bahwa tiklah mengkin akan ada perseuaian pendapat antara dua musuh yang berbeda kepentingan.karena berfikiran demikian maka pada tanggal 11 Mei 1658 dikirimnya surat balasan yang menyatakan bahwa Banten dan kompeni belanda tidak akan mungkin bisa berdamai. Tiada jalan lain yang harus ditempuh kecuali perang. Sejak itulah Sultan ‘Abulfath Abdulfattah mengumumkan perang sabil menghadapi Kompeni Belanda. Diserahkannya seluruh kekuatan angkatan perang Banten di daerah-daerah perbatasan. Maka terjadilah pertempuran besa di darat dan laut sejak bulan Mei 1658 sampai dengan tanggal 10 Juli 1659.
- Dalam Bidang Ekonomi
Dengan ditanda tanganinya genjatan senjata antara Banten dan Batavia, berarti blockade Kompeni atas pelabuhan Banten berakhir pula. Oleh karenanya kapal-kapal dagang asing yang tadinya takut berlabuh da Banten sekarang mereka dapat berniaga dengan aman dan bebas. Maka ramailah pelabuhan Banten dengan kapal-kapal dagang dari berbagai negara seperti Manila, Jepang, Cina, India, Denmark, Belanda, dan Portugis membuka kantor perwakilannya di Banten. Sehingga dapat dikatan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa itu. Pada masa itu pun dikenal adanya uang emas yang dikeluarkan Kesultanan Banten.
Memang dalam sejarah perdagangan di Indonesia kita melihat aanya perpindahan pusat perdagangan ini. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, pusat perdagangan beralih ke aceh dan Banten. Sedangkan perdagangan di Jawa Timur pada permulaan abad ke 17 semuanya pindah ke Banten.
- Dalam Bidang Agama
Dalam masa ini perkembangan pendidikan agama Islam maju dengan pesat. Untuk membina mental pada pakyat dan prajurit Banten didatangkan guru-guru dari Aceh, Arab dan daerah lainnya. Salah satunya adalah seorang ulama dari Makassar Syekh Yusuf Taju’l Khalwati yang kemudian dijadikan Mufti Agung, guru dan mantu Sultan. (Hamka, 1982:38).
Baginda Sultan membina hubungan baik dengan beberapa Negara Islam seperti Aceh dan Makassar. Demikian juga dengan Negara Islam di India, Mongol, Turki dan Mekkah. Karena Sultan menyadari bahwa untuk menghadapi Kompeni yang kuat dan penuh dengan taktik licik tidaklah mungkin dihadapi oleh Banten sendiri.
D. Usaha Merebut Kembali Jayakarta dari Tangan Kompeni Belanda
Peristiwa yang mempercepat meletusnya peperangan ketika terbunuhnya Lurah Astrasusila. Lurah Astrasusila yaitu salah seorang ponggawa Banten yang kena marah Sultan karena peristiwa pagarage di Sumur Angsana. Untuk menebus dosanya ini beliau ingin ikut berperang dan mati syahid di sana.
Suatu hari seusai shalat Maghrib, belia dengan diam-diam berlayar dengan sebuah kunting menuju ke timur ke Tanjung Kahit. Ia berusaha mencegat kapal Belanda yag biasanya lewat dari Tong Jawa atau Batavia. Ditengah perjalanan melihat subuah selup Kompeni. Dengan dua orang temannya Lurah Astrasusila berpura-pura sebagai penjual kelapa yang dengan mudah dapat ditawan dan dinaikkan ke selup tersebut. Tapi di atas selup, Lurah Astrasusila dan kedua temannya mengamuk sehingga banyak serdadu Belanda yang dibunuhnya. Tapi akhirnya tiga orang itupun gugur pula.
Mendengar hal tersebut, maka Sultan merasa terharu atas pengorbanan ponggawnya dan beliaupun marah dengan terbunuhnya Lurah Astrasusila itu. Disiapkannya pasukanBanten dan sejak itulah bendera perang mulai dikibarkan[4].
- Angkatan Laut :
1) Armada laut yang menuju perairan Karawang, dipimpin oleh Pangeran Tumenggung Wirajurit.
2) Armada laut yang berkedudukan di dekat pelabuhan Untung Jawa dipimpin oleh Aria Surata.
3) Armada laut yang berkedudukan di dekat pelabuhan Tanahara di pimpin oleh Pangeran Ratu BagusSingandaru.
4) Armada laut yang berkedudukan di dekat perairan Pelabuhan Ratu dipimpin oleh Tumenggung Saranubaya.
b. Penempatan Infantri :
1) Pasukan yang dipimpin oleh Ngabehi Wirasaba dan Ngabehi Purwakarti dikirim ke Caringin untuk menjaga musuh yang masuk dari arah selatan.
2) Pasukan yang dipimpin oleh Ngabehi Tanujiwa, ditugaskan sebagai pasukan penghubung antara garis depan Angke dan Tanggerang dengan kota Surosowan.
3) Pasukan yang dipimpin oleh Ngabehi Tanuita ditempatkan di kota Surosowan sebagai penjaga Ibu Kota Kesultanan.
4) Pasukan yang dipimpin oleh Raden Senapati Ing Ngalaga (Panglima Perang) dan Rangga Wirapatra ditugaskan menjadi pasukan penyerang dan menjadi pasukan induk dengan kekuatan 5000 prajurit pilihan.
c. Pasukan Meriam :
Pada hari yang sudah ditentukan yaitu pada hari Senin tahun Kadi ula pandawa iku atau tahun 1657/58 Masehi[5], berangkatlah pasukan perang Belanda tu ke pos penyerangannya masing-masing seperti yang sudah diintruksikan. Pada hari ini pemberangkatan itu Sultan menyuruh membagi-bagikan hadiah berupa uang dan pakaian sebagai tanda kenang-kenangan dan tanda penguat tekad untuk prajuritnya maupun untuk keluarga yang ditinggal.
Setelah perjalanan selama depan hari, barulah pasukan itu sampai di Tangerang. Dibuatnya barak-barak tentara di Tangerang dan Angke sebagai pusat pertahanan dan basis penyerangan. Mereka bergabung dengan pasukan yang sudah ada disana.
Di Batavia, mendengar keberangkatan pasukan Banten yang kemudian di tempatkan di Tangerang dan Angke ini, sibuklah mereka. Dipersiapkannya pasukan-pasukan yang dibagi menutur asal daerahnya masing-masing. Setelah satu hari perjalanan sampailah mereka di Angke berhadapan dengan pasukan Banten.
Tujuh hari tujuh malam mereka berhadap-hadapan tanpa salah satunya mendahului menyerbu. Barulah seltelah Raden Senapati Ing Ngalaga memberi aba-aba bahwa hari ini akan diadakan penyerangan, bersiap-siaplah semuanya. Pagi-pagi sekali tanda untuk itu dibunyikan, penyerbuan akan segera dimulai.
Raden Senapati Ing Ngalaga berkeliling naik kuda sambil menantang musuh. Pemimpin kedua Ki Rangga Wirapatra berjalan memohon perlindungan Allah untuk menghancurkan orang kafir penindas, berangkatlah pasukan ke medan laga. Sepanjang hari [ertempuran berlangsung hebat tanpa henti-hentinya. Tidak dapat dipastikan siapa yang paling hebat. Baru setelah senja hari, pertempuran itu mulai reda. Kedua belah pihak menarik diri dari garis perang dan kembali ke kubunya masing-masing.
Selama tiga hari tidak terjadi pertempuran. Masing-masing pihak beristirahat sambil mengatur taktik penyerangan selanjutnya.
Raden Senapati Ing Ngalaga memanggil para ponngawa untuk merundingkan taktik perangdan instruksi lainnya. Diusulkan supaya diadakan penyerangan dengan formasi perang burung dadali (format penyerangan menyebar), karena musuh memakai formasi papak (saf tempur bundar disatukan).
Keesokan harinya setekah tanda penyerangan di abakan mulailah mereka menjalankan tugasnya masing-masing. Ngabehi Wira Angun-angun dan Prayakarti dengan serdadu pilihan secara diam-diam membakar kampung-kampung, tanaman tebu dan pabrik penggilingan tebu serta melakukan penghancuran segala tempat yang nanti mungkin menjadi sarang musuh. Sedangkan Raden Senapari Ing Ngalaga dengan 500 tentara pilihan menuju kearah Timur dengan tujuan menyerang musuh dari belakang. Adapun prajurit lainnya dipimpin oleh ponggawa dan senapati yang gagah beranai menyerang dari depan. Formasi penyerangan diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan setiap prajurit berperang tanding satu lawan satu.
Paasukan yang dipimpin Demang Narapaksa dan Demang Wirapaksa banyak menimbulkan kerugian jiwa dipihak kompeni. Banyak pemimpin mereka yang dapat dibinasakan diantaranya : Kapitan Drasti, Kapitan Prancis, Kapitan Terus, dan Kapitan Darus.
Pertempuran pada hari itu berlangsung begitu hebat, sehingga banyak mengambil korban dari kedua pihak. Baru setelah senja tiba, pertempuran dihentikan.
Keesokan harinya Raden Senapati memanggil Prayakarti untuk menyampaikan berita tentang keadaan medan perang sambil menyerahkan barang-barang rampasan perang kepada Sultan di Surosowan. Maka dengan 40 orang pengawal berangkatlah Prayaarti ke Ibu Kota Banten. Pembaca surat dari Raden Senapati itu terlihatlah wajah Sultan mencerminkan perasaan gembira bercapur sedih dan gemas. Sultan sangat mengharapkan kehancuran Kompeni secepatnya. Kemudian Sultan berdiri dan memberikan maklumat : “barang siapa yang dapat menyerahkan satu kepala Kompeni Belanda akan diberi hadiah 10 real dan barang siapa yang dapat mnyerahkan satu telinga Belanda akan diberi hadiah 5 real.” (Djajadiningrat, 1983:73-75). Kepada Prayakarti atas jasa-jasanya, Sultan menjanjikan hadiah sebuah desa dan sebuah lampik dengan kotak. Demikian juga ke 40 pengawalnya, merekanpun mendapat hadiah dari Sultan.
Dalam pada itu di lautpun telah terjadi pertempuran hebat. Diceritakan Ratu Bagus Wangsakusuma sedang melakukan patroli diperairan dekat Pontang. Dilihatnya sebuah kapal besar milik Kompeni diselat Pulo Pamujan yang sedang menurunkan sebuah selup penuh berisi senjata menuju ke pantai. Ratu Bagus Wangsakusuma dan pasukannya bersemnbunyi di belakang Pulau Dua dan kemudian menyerang kapal itu. Terjadilah pertempuran di laut yang akhirnya semua serdadu Kompeni dapat dibinasakan dan senjatanya dapat di rampas. Berita inipun disampaikannya kepada Sultan berikut dengan senjata rampasannya.
Ponggawa lainnya, Sarantaka dan Sacantaka bersama dua Pacalang dapat menghancurkan sebuah kapal Kompeni di Tanjung Balukbuk. Pangeran Ratu Bagus Singandaru dapat menghancurkan sebuah kapal Jung besar milik Kompeni yang baru datang dari Malaka di dekat Tanjung Barangbang. Demikian juga dengan pasukan Ki Haji Abbas, mereka dapat mengalahkan kapal Kompeni di dekat perairan Gosong Gugang. Berita kemenangan ini beserta barang rampasannya diserahkan kepada Sultan.
Diperairan yang jauhpun armada-armada Banten ini mencatat kemenangan yang menggembirakan. Pasukan yang dipimpin oleh Rangga Natajiwa, Surantaka dan Wiraprana dapat menghancurkan armada Kompeni di Krawang yang mengangkut pasukan dari Jawa Timur. Sedangkan di perairan Pelabuhan Ratu, pasukan Saranurbaya dapat menghancurkan kapal Kompeni walaupun Saranurbaya sendiri luka parah yang lima hari kemudian meninggal dunia.
Disamping daerah-daerah yang disebutkan di atas, di perairan Teluk Banten Kota Surosowan pun terjadi pertempuran seru. Diceritakan, pada suatu hari datanglah 11 kapal pasukan Kompeni di dekat perairan Pelabuhan Banten. Kapal-kapal itu menyusun dirinya dalam suatu barisan dari Pulau Lima di Timur sampai ke Pulau Dua. Maka disiapkannya barisan meriam yang kesemuanya diarahkan dikapal-kapal itu. Terjadilah tembak-menembak yang seru dari kedua pasukan. Dari kapal Kompeni di tembakkan ke arah benteng pertahanan Banten, demikian juga pasukan Banten membalasnya. (djajadiningrat, 1983 : 75-76).
Dari beberapa meriam Banten banyak yang tepat menemui sasaran. Si Jaka Pekik, si Muntab dan si Kalantaka selalu tepat mengenai sasaran kapal-kapal Kompeni itu. Karena tembakan-tembakan meriam inilah maka akhirnya armada penyerang melarikan diri dan kemblali ke Batavia dengan meninggalkan kapal-kapal yang rusak dan tenggelam. Demikianlah pertempuran di darat dan di laut terus-menerus berlangsung sampai 17 bulan lamanya.
Pada suatu malam yang sunyi tapi tegang itu Arya Mangunjaya datang menghadap Sultan tanpa melalui prosedur biasa. Arya Mangunjaya adalah salah satu ponggawa yang memimpin pasukan perang di fron Tangerang-Angke. Semalam suntuk Sultan mendengarkan laporan Arya Mangunjaya tentang keadaan medan perang. Dilaporkan bahwa keadaan prajurit dan pongawa-ponggawanya masih dalam kondisi baik dan mereka siap untuk bertempur. Tapi perlu diperhatikan, bahwa mereka sudah lebih satu tahun berperang tanpa henti. Oleh karenanya alangkah lebih baik apabila Sultan mengganti mereka dengan pasukan yang masih segar. Setelah Sultan berunding dengan pembesar lainnya, diperintahkannya Mangkubumi untuk menyiapkan pasukan pengganti.
Keesokan harinya Mangkubumi Pangeran Mandura menyiapkan prajuit-prajurit Banten untuk di berangkatkan ke Tangerang dan Angke. Dan sebagai panglima perang diangkatlah Arya Mangunjaya dengan wakilnya Arya Wiratmaja. Sedangkan Pangeran Senapati dipanggil pulang ke Surosowan bersama seluruh pasukannya.
Pada tahun Mantri Kunjaga Tataning Jurit atau pada tahun 1581 saka/1659 Masehi, berangkatlah pasukan pengganti itu ke Angke dan Tangerang. Bersama pasukan itu ikut pula Sayyid Ali utusan dari Mekkah untuk menggantikan Ki Haji Wangsaraja yang bertugas untuk memelihara keyakinan agama prajurit. Kedatangan pasukan pengganti ini diketahui oleh Kompeni Belanda. Dan untuk mengimbangi kekuatan, dikirimnya lagi pasukan tambahan dari Batavia.
Pada hari berikutnya setelah kedua pasukan saling berhadapan, di tentukanlah hari penyerangan. Mula-mula diadakan perang tanding antara pmpinan kedua pasukan. Arya Mangunjaya ditantang oleh seorang kapten. Sayyid Ali ingin ikut dalam pertempuran itu, tapi kudanya ditahan orang karena tugasnya bukan untuk itu. Prayakarti ketika hendak memenggal kepala kapten musuh yang sudah dibinuhnya, tiba-tiba dibokong oleh empat orang musuh sehingga gugur. Barulah setelah itu perang besar antara kedua pasukan dimulai. Pertempuran ini berjalan sampai senja hari. Pada keesokan harinya Arya Mangunjaya memerintahkan beberapa orang prajurit untuk pergi ke Surosowan melaporkan jalannya perang. Bersama rombongan ini disertakan pula prajurit-prajurit yang terluka, tawanan perang dan juga harta rampasan.
Beberapa hari setelah itu tidak terjadi pertempuran. Baru kemudian pertempuran dilkaukuan dalam selang waktu tertentu. Banyak dari mereka yang gugur dan terluka. Prajurit yang terluka segera di kirimkan ke Surosowan. Tapi banyak diantara mereka yang meninggal diperjalanan karena luka yang parah.
Demikian juga dengan pihak Kompeni. Karena penyerangan pasukan Banten dilakukan terus-menerus dan tanpa mengenal takut, akhrnya kedudukan Kompeni semakin terdesak sampai mendekati atas kota Batavia. Banyak penduduk dan pejabat Kompeni yang mengungsi ke daerah lain. Mereka khawatir kalau-kalau pasukan Banten dapat menembus benteng pertahanan kota, sedangkan bantuan tidak mungkin diharapkan. Karena pada waktu itu Kompeni sedang sibuk berperang dengan Makassar. Sebab itulah Kompeni berusaha mengadakan perdamaian dengan Sultan Abdulfattah di Surosowan. Usul tersebut ditolaknya mentah-mentah.
Utnuk melunakkan hati Sultan, Kompeni minta tolong kepada Sultan Jambi untuk mengatur adanya perjanjian persahabatan. Sultan Jambi mengirimkan utusannya Kiyai Damang Dirade Wangsa dan Kiyai Ingali Marta Sidana ke Surosowan. Akhirnya pada tanggal 10 Juni 1659, ditandatanganinya perjanjian antara Sultan ‘Abulfath Abdulfattah dengan Gubernur Jenderal Joan Matsuiyker. Dengan ditandatanganinya perjanjian genjatan senjata ini, maka berakhirlah untuk sementara perang besar antara Banten dan Batavia.
Dengan diadakannya perjanjian tanggal 10 Juni 1659 itu, Sultan berkesempatan untuk membenahi diri sebagai persiapan menghadapi Kompeni. Untuk tujuan itulah mulai diadakan pembangunan-pembangunan dalam segala bidang yang pada waktu sebelumnya tertund karena perang.
Untuk mencukupi kebutuhan senjata api dan senjata berat lainya, maka Sultan mengadakan hubungan dengan Negara lain yang bersedia menjualnya. Pada masa itu sedang terjadi persaingan keras antara pedagang dari Inggris, Portugis dengan Kompeni Belanda. Oleh karenanya pedagang Inggris, Portugis dan Perancis bersedia menjual senjata-senjata yang dperlukan Banten. Disamping itu hubungan Banten dengan kerajaan Islam di Turki berjalan baik. Sehingga orang-orang Banten yang pergi haji, pulangnya dapat membawa senjata-senjata yang dibelinya dari Negara itu.
Selain senjata-senjata yng di beli dari luar negeri, Sultan pun memerintahkan supaya Banten dapat membuatnya sendiri. Hal ini terbukti dari hasil penggalaian di Situs kampong Sukadiri dan Kepandean. Di sana ditemukan seperangkat alat-alat pengecoran logam dan juga wadah pencetak senjata. (mundardjito, 1977:546).
Itulah sebabnya mengapa Banen mampu mengirimkan meriam dan senjata api lainnya lengkap dengan peluru dan mesinnya beberapa kapal kepada pasukan Trunojoyo di Jawa Timur. (sanusipane, 1950:212).
Demikian juga dengan pengadaan kapal perang. Kapal-kapal ini dipesan dari beberapa daerah di Jawa seperti Jepara dan lainnya. Sedangkan kapal-kapal perang besar dibuat di galangan Banten sendiri dengan bantuan orng-orang portugis dan Belanda yang sudah Islam.
Untuk memperkuat angkatn perangnya, Sultan juga mengangkat prajurit-prajurit muda yang lesemuanya dilatih untuk menhadapi medan perang yang berat. Mereka dipersiapkan untuk menempati pos terdepan di Tangerang dan Angke. Karena memang pada tahun 1660 Sultan memerintahkan membuat perkampungan prajurit di sebalah Barat Untung Jawa yang diperkirakan mampu menampung 5000-6000 prajurit.
Selain di Tangerang, Sultan juga membuat perkampungan prajurit pilihan di Tirtayasa. Bahkan akhirnya Sultan menyuruh membuat Istana yang nantinya digunakan sebagai pusat pengontrol kegiatan di Tangerang dan Batavia di samping unttuk tempat peristirahatan. Maka dengan demikian Tirtayasa di jadikan penghubung antara Surosowan dengan benteng pertahanan di Tangerang. Dengan demikan juga jalur komunikasi dari medan perang akan lebih singkat.
Disamping jalan darat yang sudah ada, juga dibuatlah jalan laut yang menghubungkan Surosowan-Tirtayasa-Tangerang. Maka dibuatlah saluran tembus dari pontang-Tanahara-Sungai Untung Jawa menyusuri jalan darat-melalau sungai Cikande sampai ke pantai Pasilian. Saluran ini dibuat cukup lebar sehingga bisa dilayari kapal perang ukuran sedang.
Proyek pembuatan saluran ini dimulai pada tahun 1660 dan selesai sekitar tahun 1678. melalui sungai buatan ini Sultan dapat segera mengirimkan bantuan ke Tangerang baik dari pos tirtayasa maupun dari surosowan. Sungai buatan yang pasti dikerjakan dengan kemauan dan biaya raksasa ini rupanya bukan saja berfungsi militen tetapi juga untuk pertanian. Dengan dibuatnya saluran tembus itu, dibuat pula sawah-sawah disekitarnya. Maka tumbuhlah daaerah sekitar pontang dan tirtayasa menjadi daerah penghasil padi yang dapat diandalkan untuk daerah banten.
Rupanya inilah yang dituju oleh Sultan yaitu mempersiapkan daerah strategis untuk pos pembantu penyerangan keBatavia. Di samping juga menjadi daerah kantong atau penyedia bahan makanan untuk perajurit di medan perang.
Selain di Tirtayasa Sultan pun menyempurnakan dan memperbaiki keadaan di Ibukota kerajaan. Dengan bantuan bebrapa ahli bangunan dari Portugis dan Belanda yang sudah masuk Islam di antaranya Hendrik Lucasz Cardeel diperbaikilah bangnan-bangunan istana Surosowan. Benteng istana diperkuat dan diberi bastion di setiap mata angin dan dilengkapi dengan 66 buah meriam yang diarahkan ke segenap penjuru.
Demikian juga dengan sungai di sekeliling benteng. Irigasi di sekitar Ibukota pun diperbaiki dan diperluas daya jangkauannya sehingga area sawah yang mendapat pengairan semakin luas. Daerah yang tadinya selalu kekurangan air menjadi subur.
E. Politik Adu Domba Belanda
Seperti kebiasaan-kebiasaan Sultan sebelumnya, Sultan Abulfath Abdulfattah mengangkat putra pertamanya yaitu Abu’n Nasr Abdul Kahhar menjadi “Putra Mahkota”. Jabatan ini biasanya dikaitkan sebagai Mangkubumi Pembantu atau Mangkubumi Kedua dalam struktur pemerintahan.
Putra Mahkota Sultan Abu’n Nasr Abdul Kahhar diberi kuasa untuk mengatur semua urusan dalam negeri, sedangkan urusan luar negeri masih sepenuhnya wewenang Sultan Abdulfattah. Semenjak itu Sultan Abulfath pindah ke Istananya yang di Tirtayasa. Mulai dari sinilah beliau dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa.
Dengan pindahnya Sultan ke Tirtyasa, Belanda semakin mendapat kesempatan baik. Didekatinya Putra Mahkota dengan segala rayuan dan bujukan. Akhirnya memang Putra Mahkota dapat dikecohkan. Kompeni Belanda dapat kemudahan baik dalam bidang perdagangan maupun bidang lainnya. Sampai-sampai dalam tingkah laku, cara berpakaian dan sebagainya banyak meniru kebiasaan-kebiasaan orang Belanda yang dirasa asing oleh rakyat.
Maka pada tahun 1674 berangkatlah Putra Mahkota sultan Abu’nasr Abdul Kahar beserta rombongannya ke Mekkah sekalian melawat ke negeri islam lainnya .
Selama Putra Mahkota pergi ke Mekkah, pemerintahan di Surosowan dipercayakan kepada adiknya Pangeran Purbaya. Mengingat Pangeran Purbaya sifatnya jauh lebih baik dari kakaknya, Sultan Ageng banyak menyerahkan tanggung jawab kerajaan ke pundaknya. Sehingga Putra Mahkota pulang dari Mekkah, didapati Pangeran Purbaya lebih banyak mendapat kekuasan dari ayahnya. Karena itulah terlihat adanya ketegangan di antara keduanya.
Keadaan demikian dimanfaatkan oleh Kompeni Belanda untuk menghasut Sultan Haji dan berusaha mengadu domba antara anak dan ayahnya. Sehingga timbullah keberanian Sultan Haji untuk menentang kebijaksanaan ayahnya itu. Dan karena dianggapnya semua orang yang ada di lingkungannya memusuhinya, Sultan Haji lebih percaya kepada Kompeni yang dianggapnya sebagai kawan sejati.
F. Tahap Akhir Perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa
Hubungan Sultan Haji dengan Kompeni Belanda sudah sedemikian dekatnya sehingga dalam pasukan pertahanan Surosowan pun ditempatkan sutu barisan pasukan Kompeni sebagai pasukan tambahan. Pada hakikatnya mereka adalah mata-mata yang ditanam Kompeni di Banten. Memang inilah yang dituju Kompeni, Sultan Haji sudah terbius dengan segala yang berbau Belanda. Ia lebih percaya kepada kata-kata Kompeni daripada patuha-petuah ayahnya. Karena hasutan Kompeni inilah maka hubungan Sultan Haji dengan ayahnya semakin renggang, bahkan kedua sultan ini saling curiga-mencurigai.
Satu hal yang mengecewakan Sultan Ageng Tirtayasa adalah surat ucapan selamat yang dikirimkan Sultan Haji atas diangkatnya Speelman menjadi Gubernur Jenderal VOC. Padahal pada saat itu Kompeni baru saja menghancurkan pasukan gerilya Banten di Cirebon dan yang kemudian dapat menguasai Cirebon seluruhnya.
Melihat anaknya yang seprti itu, Sultan Ageng Tirtayasa memobilisasikan pasukan perangnya untuk digunakan sewaktu-waktu. Bahkan satu regu pasukan Sultan Haji yang diutus untuk menyelidiki kekuatan di tirtayasa, ikut pula bergabung dengan Sultan Ageng. Sultan tidak peduli lagi dengan tentara dan ponggawa yang berpihak kepada Sultan Haji yang dianggap berpindah adapt dan berbeda haluan.
Dalam suasana yang demikian panas, Sultan Ageng mendengar kabar bahwa beberapa kapal Banten yang pulang dari Jawa Timur ditahan Kompeni karena dianggap kapal perampok. Tuntutan Sultan supaya mereka dibebaskan tidak diindahkan Kompeni. Rasa harga diri sebagai Sultan dari satu Negara merdeka terasa diremehkan. Maka diumumkannya bahwa Banten dan Kompeni Belanda ada dalam situasi perang.
Keputusan Sultan Ageng ini ditentang oleh anaknya, Sultan Haji. Dia menyanggah atas dimaklumkannya perang atas Kompeni. Dikatakannya bahwa keputusan itu terlalu ceroboh dan karena tidak musyawarah dahulu dengan Sultan Haji, maka keputusan ini tidak sah. Dengan bermodalkan bantuan dari pasukan Kompeni Belanda yang dijanjikan kepadanya, maka dikatakannya bahwa ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa sudah tua dan pikun sehingga mulai saat itu kekuasaan Banten seluruhnya dipegang oleh Sultan Haji.
Melihat tingkah laku anaknya yang sudah keterlaluan ini, habislah sudah kesabaran sultan ageng Tirtayasa. Musuh besarnya adalah Kompeni Belanda, tapi untuk menggempurnya haruslah ada kesatuan kata dari selua rakyat Banten yaitu dengan mengganti Sultan Haji. Sultan bukan perang kepada anaknya tetapi dengan antek penjajah.
Pada tanggal 26 malam 27 Februari 1682, dengan dipimpin langsung oleh Sultan Ageng, melailah diadakan penyerbuan ke Surosowan. Penuerbuan mendadak ini berhasil mematahkan perlawanan Surosowan. Dalam waktu singkat, pasukan Sultan Ageng dapat menguasai istana. Sultan Haji sendiri melarikan diri dan minta perlindungan kepada Jacob de Roy bekas pegawai Kompeni.
Keadaan Surosowan ini segera dapat diketahui Batavia. Dikirimkannya pada tanggal 06 Maret 1982 dua kapal perang penuh dengan pasukan Kompeni yang dipimpin oleh Saint Martin. Tetapi karena perlawanan pasukan Banten, mereka tidak dapat mendarat. Karena itulah Kapten Sloot dan W. Caeff wakil Kompeni di Banten segera mengirim utusan ke Batavia untuk supaya Kompeni mengirimkan pasukan darat yang lebih banyak lagi.
Setelah mempelajari keadaan medan perang, Kompeni mengirimkan pasukan bantuan dari darat dan laut. Pasukan laut dipimpin oleh Kapten Francois Tack yang bersama-sama dengan pasukan Saint Martin mengadakan penyerangan di depan pelabuhan Banten. Sedangkan pasukan darat dipimpin oleh Kapten Hartsinck dengan kekuatan 1000 orang bergerak ke arah Tangerang. Nanti dalam penyerangan ke Tirtayasa pasukan ini bergabung dengan pasukan dari laut. Sehingga nanti Tirtayasa diserang dari dua arah. Demikian taktik Kompeni.
Melalui pertempuran yang banyak memakan korban, akhirnya pasukan Kapten Tack dan Saint Martin dapat menguasai Surosowan. Sultan Ageng Tirtayasa dan pasukannya mundur ke arah barat Sungai Ciujung. Pertempuran ini berlangsung terus menerus sampai akhirnya pasukan Sultan Ageng hanya dapat bertahan di Benteng Kedemangan.
Dalam pada itu, pasukan Banten di Tangerang dan Angke berusaha dengan sekuat tenaga menahan serangan pasukan Kapten Hartsinck. Di sebelah timur Sungai Angek, Kompeni ana dapat bertahan di bentengnya saja, sedangkan benteng di sebelah baratnya dapat dikuasai pasukan Banten yang dipimpin Pangeran Dipati pada tanggal 30 Maret 1682. tapi setelah melalui pertempuran yang lama, akhirnya pada tanggal 08 Desember 1982 kubu pertahanan Banten di Angke dan Tangerang dapat dikuasai Kompeni. Benteng di Kademangan pun akhirnya dapat dihancurkan pasukan Kapten Tack pada tanggal 02 Desember 1982. dengan demikian ruang gerak prajurit Sultan Ageng Tirtayasa semakin kecil. De sebelah barat, pasukan Kompeni yang dibantu pasukan Sultan Haji menguasai sampai kademangan. Sedangkan dari arah timur pasukan Kapten Hartsinck sudah sampai di Tanahara. Sehingga daerah induk yang masih dikuasai Sultan Ageng hanyalah Yanahara, Tirtayasa dan Kademangan saja. (Sanusi Pane, 1950 : 216).
Kademangan dan Tanahara merupakan benteng pasukan Sultan Ageng Tirtayasa yang terkuat untuk mempertahankan Tirtayasa. Di Tanahara, Sultan Ageng menempatkan pasukan darat dan laut. Pasukan darat dipusatkan di benteng Tanahara sedangkan pasukan laut di Pulau Cangkir. Karena kuatnya pertahanan di sana, maka Kompeni menambah pasukan tempur dari Batavia yang dipimpin Kapten Jonker. Setelah mengerahkan pasukan penyerang dari darat dan laut, barulah pada tanggal 28-29 Desember 1682 Tanahara dapat direbut Kompeni.
Untuk merebut Tirtayasa diadakanlah penyerangan serentak dari dua jurusan. Pasukan Kapten Tack dan Sultan Haji menyerang dari Pontang, sedangkan pasukan Hartsinck dan Kapten Jonker menyerang dari Tanahara.
Seluruh barisan pertahanan Sultan Ageng dikerahkan untuk melawan kekuatan Kompeni, Sultan, Pangeran Purbaya, Syekh Yusuf dan seluruh pembesar negeri semuanya turut berperang memimpin pasukan. Pertempuran berlangsung amat hebat, tapi akhirnya pasukan Sultan Ageng sedikit demi sedikit dapat dipukul mundur. Sultan memperkirakan bahwa pasukannya tidak akan mampu mempertahankan Tirtayasa lebih lama lagi. Sehingga satu-satunya jalan supaya tidak jatuh korban sia-sia adalah dengan mengundurkan diri meninggalkan Tirtayasa.
Demikianlah atas perintah Sultan, seluruh pasukan yang masih ada diharuskan mundur ke arah selatan ke hutan Keranggan. Tapi sebelumnya Sultan memerintahkan pula supaya istana dan bangunan lainnya dibakar. Sultan tidak rela bangunan-bangunan itu diinjak oleh orang kafir dan pendurhaka.
Dengan ditangkapnya sultan Ageng Tirtayasa dan Syekh Yusuf serta pengikut-pengikutnya telah membawa Banten keambang penjajahan Kompeni. Peperangan sudah mulai berkurang tetapi rakyat masih mengadakan perlawanan walaupun mungkin tidak berarti. Sementara itu, dengan restu Kompeni pulalah Sultan Haji dikukuhkan menjadi Sultan Banten. Dengan demikian, kedaulatan Kesultanan Banten telah runtuh.
G. Penutup
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1682. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Sultan Ageng Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.
Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.
Daftar Pustaka
Djajadiningrat, Hosein.1982. Tinjauan Kritis Sadjarah Banten. Jakarta: Djambatan.
Graaf, H.J. de, ‘South-East Asian Islam to the eighteenth century,’ dalam P.M. Holt, Ann K.S. Lambton dan Bernard Lewis (eds.), The Cambridge History of Islam, vol. 2
Iskandar, Joseph dkk.2001. Sejarah Banten. Jakarta: Tryana Sjam’un Corp.
Kartidirdjo, Sartono.1984a.Pemberontakan Petani Banten 1888.terjemahan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Malik, Khatib.2001. Perjuangan Rakyat Banten Menuju Provinsi; Kesaksian Seorang Wartawan. Jakarta: Antara Pustaka Utama.
Michrob, Halwany, and Chudari, A. Mudjahid.1993.Catatan Masa Lalu Banten. Serang: Saudara.
Tjandrasasmita, Uka.1976. Sultan Ageng Tirtayasa. Jakarta, Yayasan Purbakala Banten.
sumber: wikipedia
Foto lukisan Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma dari Mataram bukan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten. https://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Agung_dari_Mataram https://id.wikipedia.org/wiki/Ageng_Tirtayasa_dari_Banten
ReplyDelete