Dengan mengutip sebuah hadits dari Kitab al-Muaththa’ karangan Imam Malik, seorang ulama terkenal dari Damaskus, Syria, yang hidup pada peralihan abad 13-14 Masehi Ibn Taimiyah menuturkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah lupa. Dalam Kitab Minhaj al-Sunnah, jilid 1 hh 174, diceritakannya bahwa peristiwanya ialah ketika Nabi bersama para Sahabat beliau melakukan suatu shalat wajib. Tidak jelas, tapi pasti suatu shalat yang berraka’at empat. Nabi ternyata melakukan shalat itu dengan jumlah raka’at yang berlebih, yaitu lima raka’at. Para sahabat yang shalat berjama’ah pada bingung. Maka setelah usai shalat, beberapa orang dari mereka memberanikan diri bertanya kepada Nabi: “Wahai Rasulullah, apakah memang ditambah raka’at dalam shalat itu ?” Nabi balik bertanya, “Apa yang telah terjadi?” Mereka menjawab, “Engkau, nabi, melakukan shalat lima raka’at.” Maka dengan amat bijaksana beliau menjawab, “sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa; aku dapat lupa, sebagaimana kamu semua dapat lupa. Maka jika kau lupa, ingatkanlah kau.”
Ibn Taimiyah mengungkapkan peristiwa itu dalam rangkuman argumennya bahwa nabi memang tidak dapat salah, tetapi hanya dalam tugas beliau menyamapaikan pesan Ilahi. Nabi dapat saja melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang tidak mengganggu atau mengurangi kesucian dan keagungan tugas beliau sebagai Utusan Allah. Peristiwa tersbebut adalah salah satu buktinya.
Karena pendapatnya itu, Ibn Taimiyah sendiri terlibat dalam polemik dan kontroversi. Sebagian orang menilainya menyalahi pandangan yang baku dalam Islam, karena, kata merka ini, orang-orang Muslim dari dahulu berpendapat bahwa Nabi mutlak tidak dapat salah. Mereka meberi tafsiran yang lain atas kesalahan-kesalahan kecil seerti dalam cerita tadi.
Tapi barangkali Ibn taimiyah benar. Apalagi jika dipandangnya itu dikaitkan dengan pokok pngkal ajaran Islam, yaitu Tauhid. Sebab Ibn Taimiyah juga membuktikan bahwa dari semua agama, agama Islam adalah yang paling sukses dalam ememlihara Tauhid. Salah satu buktinya ialah, agama Islam boleh dikatakan satu-satunya yang tidak jatuh kepada ajaran dan praktek untuk menyembah tokoh yang mendirikannya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Lihatlah agama-agama lain, hampir semua akhirnya mengajarkan untuk menyembah tokoh yang mendirikannya dan mempraktekkannya. Berkenaan dengan hal itu, kita tidak mempersoalkan sistem keyakinan mereka (itu adalah agama mereka sendiri), tetapi begitulah kenyataannya.
Dr. Nurcholish Madjid.Pintu-Pintu Menuju Tuhan.Paramadina.Jakarta: 1999
Semoga artikel iniamenjdai amal shalih bagi anda, amin.
ReplyDelete