Monday 6 June 2011

Perbandingan Sifat-Sifat Tuhan Menurut Aliran Mu’tazilah dan Aliran Asy’ariyah



Aliran Mu’tazilah

Perbandingan antara kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy’ariyah berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat, sifat itu mestilah kekal seperti halnya dzat tuhan. Jika sifat-sifat itu tidak kekal, yang bersifat kekal bukan hanya satu sifat, tetapi banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat membawa pada faham banyak yang kekal. Ini selanjutnya membawa pula kepada faham syirik atau politheisme. Suatu hal yang tak dapat diterima dalam teologi. Lebih jauh lagi, Washil bin Atha menegaskan bahwa siapa saja menetapkan adanya sifat qadim bagi Allah, maka ia telah menetapkan adanya dua Tuhan.

Kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka menurut kaum Asy’ariyah ialah bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, kekuasaan, hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan bagi mereka tetap mengetahui, berjuasa dan sebagainya, tetapi bukan dengan sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya, “Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri”.

An-Nazhzham mengatakan bahwa jika ditetapkan Allah itu adalah dzat yang tahu, berkuasa, hidup, mendengar, melihat dan qadim yang ditetapkan sebenarnya adalah dzat-Nya (bukan sifat-Nya). Dinafikan pula dari-Nya kebodohan, kelemahan kematian, tuli, dan buta. Demikian pula sifat-sifat Allah yang lain.

An-Nazhzham berpendapat, “perkataanku yang menyebutkan bahwa Allah “bersifat” tahu, berkuasa, mendengar, dan melihat merupakan penamaan Allah yang bersifat positif danmeniadakan lawannya.´ketika ditanya, “apakah Anda mengetahui bahwa Allah memiliki pengetahuan?” Ia menjawab, “Aku mengatakanya karena keluasan bahasa saja dan mengembalikannya kepada penegasan bahwa Ia adalah dzat “Yang” Mahatahu. Demikian juga perkataanku yang mengatakan bahwa Allah memiliki kekuasaan.” Ia tidak mengatakan bahwa Allah memiliki erkehdiupan, atau pendengaaran, atau penglihatan karena yang disebut Allah di dalam al-qur’an berkenaan dengan diri-Nya hanyalah pengetahuan dan kekuatan, sedangkan perkehidupan, pendengaran, dan penglihatan tidak pernah disebut-sebut.

Selanjutnya, Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan, karena bersifat immateri, tidak dapat dilihat dengan mata kepala karena Tuhan tidak mengambil tempat sehingga tidak dapat dilihat, kemudian bila Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala itu berarti Tuhan dapat dilihat sekarang didunia ini, sedangkan kenyataannya tidak seorangpun yang dapat melihat Tuhan di alam ini.

(103).  Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui.

Mengenai hakikat al-qur’an, aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa al-qur’an adalah makhluk sehingga tidak kekal. Mereka beragumen bahwa al-qur’an itu sendiri tersusun dari kata-kata dan kata-kata itu sendiri tersusun dari huruf-huruf.
 
(2).  Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (di-turunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main.

Aliran Asy’ariyah

Aliran ini mengatakan dengan tegas bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut Asy’ariyah, tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatannya. Ia jiga menyatakan bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya disamping mengetahui pengetahuan, kemauan dan daya. Ia lebih jauh berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan bahwa sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah melainkan secara simbolis. Selanjutnya, mereka berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik karenanya tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi—sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah)—tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian tidak berbeda dengan-Nya.

Kemudian Asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan.  Karena sifat-sifat tidak lain dari Tuhan, adanya sifat-sifat itu membawa kepada paham banyak kekal.

Kelihatannya faham kekuasan dari kehendak mutlah Tuhanlah yang mendorong kaum Asy’ariyah memilih penyelesaian di atas. “sifat” mengandung arti tetap dan kekal, sedangkan “keadaan” mengandung arti berubah. Sifat mengandung arti kuat, sedangkan keadaan mengandung arti lemah. Oleh karena itu, perkataan bahwa Tuhan tidak mengandung sifat, tetapi hanya mempunyai keadaan, tidaklah segaris dengan konsep kekuasaan kehendak mutlak Tuhan. Untuk mempertahankan kekuassaan dan kehendak mutlak Tuhan, Tuhan mesti mempunyai sifat-sifat yang kekal.

Asy’ariyah seabagi aliran kalam tradisional yang memberikan daya yang kecil kepada akal juga menolak faham Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani bila sifat jasmani dipandang sama dengan sifat manusia. Namu, ayat-ayat al-qur’an kendatipun menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani, tidak boleh ditakwilkan dan harus diterima sebagaimana makna harfiahnya. Oleh sebab itu, Tuhan dalam pandangan Asy’ariyah mempunyai mata, mata, wajah, tangan serta bersemayam di singgasana. Namun, semua itu dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasnya).

Bertentangan dengan pendapat Mu’tazilah, aliran Asy’ariyah mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhir kelak dengan mata kepala. Aliran ini menjelaskan bahwa sesuatu yang dapat dilihat  adalah sesuatu yang mempunyai wujud. Kaena Tuhan mempunyai wujud, Ia dapat dilihat.dia melihat diri-Nya juga. Bila Tuhan melihat diri-Nya, tentulah Ia sendiri dapat membuat manusia mempunyai kemampuan melihat diri-Nya sendiri.

(22).  Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
(23).  Kepada Tuhannyalah mereka Melihat.

Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa al-qur’an itu adalah kekal tidak diciptakan. Aliran ini berpegang teguh bahwa al-qur’an itu bukan makhluk sebab segala sesuatu tercipta, setelah Allah berfirman kun (jadilah), maka segala sesuatu pun terjadi.penjelsan ini mengisyaratkan bahwa al-qur’an dalam faham mereka bukanlah yang tersusun dari huruf dan suara, tetapi yang terdapat di balik yang tersusun daru suara itu.

25.  Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. Kemudian apabila dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).

Sumber : Dr. Abdul Rozak, M.Ag., dan Dr. Rosihon, M.Ag, “Ilmu Kalam”. Pustaka Setia. Bandung : 2001.



0 comments:

Post a Comment