Teori ini berasal dari seorang filosof dan sosiolog dari Perancis. Emile Durkheim (1958-1917). Di bidang antropologi budaya, dia dikenal karena kritiknya terhadap teori Tylor tentang animisme. Menurut Durkheim, manusia pada awal perkembangan kebudayaannya belum dapat menyadari tentang faham “jiwa” yang abstrak, sebaga substansi yang berbeda dari utubuh atau jasmani. Apalagi tranformasi jiwa menjadi makhluk halus di luar hidup manusia adalah tidak dapat disadari oleh manusia primitif.
Teori Durkheim berpusat pada beberapa pengertian dasar sbagai berikut :
1. Makhluk manusia, yang pertama kali mengembangkan hidupnya di bumi ini, mengemukakan aktivitas agamanya bukan karena mempunyai kesadaran tentang jiwa yang abstrak tetapi karena adanya suatu getaran jiwa, suatu emosi keagamaan, yang timbul dalam jiwa manusia karena adanya pengaruh rasa sentimen kemasyarakatan.
2. Sentimen kemasyarakatan itu berada dalam batin manusia berupa suatu kompleks perasaaan yang mengandung rasa terikat, rasa bakti, rasa cinta dan sebagainya terhadap masyarakatnya sendiri, yang merupakan seluruh alam tempat ia hidup.
3. Sentimen kemasyarakatan yang menyebabkan timbulnya emosi keagamaan, yang merupakan pangkal dari segal kelakuan agama, kadang-kadang menjadi lemah. Oleh karena itu perlu diadakan suatu kontraksi masyarakat, dalam arti mengumpul seluruh masyarakat dalam pertemuan-pertemuan besar.
4. Emosi keagamaan yang timbul karena rasa sentimen kemasyarakatan memerlukan suatu objek tujuan yang mempunyai sifat keramat, sacred, berlawanan dengan objek-objek lain yang tidak mendapat nilai keagamaan, yaitu objek yang tidak keramat atau profane.
5. Objek keramat tidak lain adalah suatu lambang masyarakat. Pada suku bangsa asli di Autralia misalnya, objek keramat itu sering berupa sejenis binatang, tumbuh-tumbuhan juga benda. Objek keramat ini disebut totem, yang mengkonkretkan prinsip konsep totem yang berada di belakangnya, yaitu suatu kelompok tertentu dalam masyarakat berupa clan.
Menurut Durkheim, emosi keagamaan atau sentimen kemasyarakatan merupakan inti dari setiap agama. Adapun tida lainnya, yaitu kontraksi masyarakat, kesadaran akan adanya objek keramat (sacred) dan tidak keramat (profane), serta totem sebagai lambang masyarakat, dimaksudkan untuk memelihara inti agama tadi. Ketiga-tiganya akan menjelmakan upacara, kepercayaan dan mitologi, yang selanjutnya akan menentukan bentuk lahir dari suatu agama dalam masyarakat tertentu.
Susunan tiap masyarakat dari beribu-ribu suku bangsa yang berbeda-beda dimuka bumi ini telah menentukan adanya beribu-ribu bentuk agama yang perbedaannya tampak dalam upacara-upacara, kepercayaan dan mitologinya.
Romdhon, A. Singgih Basuki dkk.Agama-Agama Di Dunia.IAIN Sunan Kalijaga Press. Yogyakarta.
0 comments:
Post a Comment