1. Aliran Mu’tazilah
Aliran mu’tazilah sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terdapat pada hal-hal yan dikatakan baik. Namu, ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena Ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Di dalam al-qur’an pun dijelaskan bahwa Tuhan tidaklah berbuat zalim. Ayat-ayat al-qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah unuk mendukung pendapatnya adalah surat Al-Anbiya [21]:23, dan surat Ar-Rum [30]:8.
Qadi Abd Al-Jabar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat yang baik dan Mahasuci dari perbuatan yang buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu ditanya. Ia menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik, tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu?. Adapun ayat yang kedua menurut Al-Jabar, mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Andaikan Tuhan melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa Ia menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupkan berita bohong.
Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan Tuhan yang berjalan sejajar dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasanan dan kehendak Tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu hal, yaitu kewajiban berbuat baik bagi manusia. Faham kewajiban Tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-aslah) mengonsekuensikan aliran Mu’tazilah memuculkan kewajiban Allah sebagai berikut :
a. Kewajiban Tidak Memberikan Beban di Luar Kemampuan Manusia
Memberi beban di luar kemampuan manusia (taklif wa la yutaq) adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka tentang keadilah Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil kalau Ia memberi beban yang telalu berat kepada manusia.
b. Kewajiban Mengirimkan Rasul
Bagi aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal gaib, pengiiman Rasul tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukkan pengiriman Rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumen merka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus diketahui mansuia tentang Tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat yang baik dan terbaik bai manusia dengan cara mengirim Rasul. Tanpa Rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.
c. Kewajiban Menepati Janji dan Ancaman
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengaan dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik; dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahah dan kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
2. Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran ini, faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Karena percaya terhadap kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy’ariyah menerima faham pemberian beban di luar kemampuan manusia.
Walaupun pengiriman Rasul mempunyai arti penting dalam teologi, aliran Asy’ariyah menolaknya sebagai kewajiban Tuhan. Hal itu bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Faham ini tidak dapat membawa akibat yang tidak baik. Sekiranya Tuhan tidak mengutus seorang Rasul kepada umat manusia, hidup manusia akan mengalami kekacauan. Tanpa wahyu, manusia tidak dapat membedakan perbuatan baik dari perbuatan buruk. Ia akan berbuat apa saja yang dikehendakinya. Namun, sesuai dengan faham Asy’ariyah tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, hal ini tak lagi menjadi permasalahan bagi teologi mereka. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Tuhan dalam faham ini tidak berbuat untuk kepentingan manusia.
Karena tidak mengakui kewajiban Tuhan, aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman yang ada dalam al-qur’an dan hadits. Di sini timbul persoalan bagi aliran Asy’ariyah karena dalam al-qur’an dikatakan dengan tegas bahwa siapa yang beruat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi ini, kata-kata Arab “man, alladzina” dan sebagainya yang menggambarkan arti siapa, diberi interpretasi oleh Asy’ari, “bukan semua orang, tapi sebagian”. Dengan demikian kata siapa dalam ayat “Barangsiapa menalan harta anak yatim piatu dengan cara yang tidak adil, maka ia sebenarnya menelan api masuk ke dalam perutnya”. Dengan interpretasi demikianlah, Asy’ariyah mengatasi persoalan wajibnya Tuhan menepati janji dan menjalankan ancaman.
Sumber : Dr. Abdul Rozak, M.Ag., dan Dr. Rosihon, M.Ag, “Ilmu Kalam”. Pustaka Setia. Bandung : 2001.
0 comments:
Post a Comment