Adapun menyalurkan zakat untuk pembangunan masjid sehingga dapat
digunakan untuk mengagungkan nama Allah, berdzikir kepada-Nya, menegakkan
syiar-syiar-Nya, menunaikan shalat, serta menyampaikan pelajaran-pelajaran dan
nasihat-nasihat, maka hal ini termasuk yang diperselisihkan para ulama dahulu
maupun sekarang.
Apakah yang demikian itu dapat dianggap sebagai "fi
sabilillah" sehingga termasuk salah satu dari delapan sasaran zakat
sebagaimana yang dinashkan di dalam Al-quranul Karim dalam surat At-Taubah:
"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS At-Taubah: 60)
Ataukah kata "sabilillah itu artinya terbatas pada
"jihad" saja sebagaimana yang dipahami oleh jumhur? Saya telah
menjelaskan masalah ini secara terinci di dalam kitab saya Fiqh Az-Zakah, dan
di sini tidaklah saya uraikan lagi masalah tersebut.
Dalam buku itu saya memperkuat pendapat jumhur ulama, dengan memperluas
pengertian "jihad" (perjuangan) yang meliputi perjuangan bersenjata
(inilah yang lebih cepat ditangkap oleh pikiran), jihad ideologi (pemikiran),
jihad tarbawi (pendidikan), jihad da'wi (dakwah), jihad dini (perjuangan
agama), dan lain-lainnya. Kesemuanya untuk memelihara eksistensi Islam
dan menjaga serta melindungi kepribadian Islam dari serangan musuh yang hendak
mencabut Islam dari akar-akarnya, baik serangan itu berasal dari salibisme,
misionarisme, marxisme, komunisme, atau dari Free Masonry dan zionisme, maupun
dari antek dan agen-agen mereka yang berupa gerakan-gerakan sempalan Islam
semacam Bahaiyah, Qadianiyah, dan Bathiniyah (Kebatinan), serta kaum sekuler
yang terus-menerus menyerukan sekularisasi di dunia Arab dan dunia Islam.
Berdasarkan hal ini maka saya katakan bahwa negara-negara kaya yang
pemerintahnya dan kementerian wakafnya mampu mendirikan masjid-masjid yang
diperlukan oleh umat, seperti negara-negara Teluk, maka tidak seyogianya zakat
di sana
digunakan untuk membangun masjid. Sebab negara-negara seperti ini sudah tidak
memerlukan zakat untuk hal ini, selain itu masih ada sasaran-sasaran lain yang
disepakati pendistribusiannya yang tidak ada penyandang dananya baik dari uang
zakat maupun selain zakat.
Membangun sebuah masjid di kawasan Teluk biayanya cukup digunakan untuk
membangun sepuluh atau lebih masjid di negara-negara Muslim yang miskin yang
padat penduduknya, sehingga satu masjid saja dapat menampung puluhan ribu
orang.
Dari sini saya merasa mantap memperbolehkan menggunakan zakat untuk
membangun masjid di negara-negara miskin yang sedang menghadapi serangan
kristenisasi, komunisme, zionisme, Qadianiyah, Bathiniyah, dan lain-lainnya.
Bahkan kadang-kadang mendistribusikan zakat untuk keperluan ini—dalam kondisi
seperti ini—lebih utama daripada didistribusikan untuk yang lain.
Alasan saya memperbolehkan hal ini ada dua macam: Pertama, mereka adalah
kaum yang fakir, yang harus dicukupi kebutuhan pokoknya sebagai manusia
sehingga dapat hidup layak dan terhormat sebagai layaknya manusia Muslim.
Sedangkan masjid itu merupakan kebutuhan asasi bagi jamaah muslimah.
Apabila mereka tidak memiliki dana untuk mendirikan masjid, baik dana
dari pemerintah maupun dari sumbangan pribadi atau dari para dermawan, maka
tidak ada larangan di negara tersebut untuk mendirikan masjid dengan
menggunakan uang zakat. Bahkan masjid itu wajib didirikan dengannya sehingga
tidak ada kaum Muslim yang hidup tanpa mempunyai masjid.
Sebagaimana setiap orang Muslim membutuhkan makan dan minum untuk
kelangsungan kehidupan jasmaninya, maka jamaah muslimah juga membutuhkan masjid
untuk menjaga kelangsungan kehidupan rohani dan iman mereka.
Karena itu, program pertama yang dilaksanakan Nabi SAW setelah hijrah
ke Madinah ialah mendirikan Masjid Nabawi yang mulia yang menjadi pusat
kegiatan Islam pada zaman itu.
Kedua, masjid di negara-negara yang sedang menghadapi bahaya perang
ideologi (ghazwul fikri) atau yang berada di bawah pengaruhnya, maka masjid
tersebut bukanlah semata-mata tempat ibadah, melainkan juga sekaligus sebagai
markas perjuangan dan benteng untuk membela keluhuran Islam dan melindungi
syakhshiyah islamiyah.
Adapun dalil yang lebih mendekati hal ini ialah peranan masjid dalam
membangkitkan harakah umat Islam di Palestina yang diistilahkan dengan
intifadhah (menurut bahasa berarti mengguncang/menggoyang) yang pada awal
kehadirannya dikenal dengan sebutan "Intifadhah Al-Masajid". Kemudian
oleh media informasi diubah menjadi "Intifadhah Al-Hijarah" batu-batu
karena takut dihubungkan dengan Islam yang penyebutannya itu dapat menggetarkan
bangsa Yahudi dan orang-orang yang ada di belakangnya.
Kesimpulan: menyalurkan zakat untuk pembangunan masjid dalam kondisi
seperti itu termasuk infak zakat fi sabilillah demi menjunjung tinggi
kalimat-Nya serta membela agama dan umat-Nya. Dan setiap infak harta untuk
semua kegiatan demi menjunjung tinggi kalimat (agama) Allah tergolong fi
sabilillah (di jalan Allah).
Sumber
: Republika.co.id
0 comments:
Post a Comment